Tampilkan postingan dengan label Kontemplasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kontemplasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Desember 2020

Jeda untuk Hati: Sebuah Renungan Pagi




Oleh Tauhid Nur Azhar

Waktu adalah dimensi yang malar. Selalu maju seiring dengan nalar dan sadar. 

Tentu masing-masing kita berbeda kadar, berbeda cara menakar, dan juga berbeda dalam hal nilai yang mengakar. Tetapi kita semua meyakini bahwa waktu dan ruang adalah keniscayaan yang terintegrasi dengan esensi dan eksistensi. Keberadaan dan nilai keberadaan. 

Saya pribadi menyadari di masa-masa penuh ujian ini begitu banyak merasakan kebaikan dan ketulusan dari banyak orang, yang bahkan tidak kita kenal sebelumnya. 

Kebersamaan dalam mengarungi ujian mempererat kepedulian dan menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan yang memanusiakan kembali manusia. Akar keberadaan untuk memberi kebermanfaatan menjadi semakin terasakan. 

Bahkan secara resiprositas, saat seorang kawan mengalami kesulitan dan kita merasa kurang optimal dalam membantu, ada rasa bersalah yang terasa mengganggu. 

Mungkin ini adalah nilai kesadaran yang menyeruak dari pemahaman terhadap esensi dan eksistensi. Kehadiran di ruang waktu yang terus maju dan jejaring interaksi yang terjadi di dalamnya. 

Kemampuan prokreasi dan komunikasi yang berpadu dalam orkestrasi fungsi eksekusi (executive function), membuat simfoni nan harmoni dari semua fungsi neurofisiologi dan endokrinologi dalam menghadirkan kreasi berupa komposisi yang penuh arti dalam memaknai perjalanan hidup ini. 

Tak dapat dipungkiri, Sunatullah dan Fitrah makhluk adalah menua, menjadi renta. Berdegenerasi dan mengalami transformasi fungsi. Meski sulit dan berat untuk dijalani, apalagi dimengerti, tetapi sesuai takdir semua akan terjadi. 

Perjalanan hidup akan menghadirkan pengalaman dan pembelajaran. Tak pelak ini adalah peran organik dari organa sensuum alias indera, juga thalamus, limbik, dan area asosiatif di korteks otak. 

Master Chef PFC (prefrontal cortex) akan meramunya menjadi berbagai keputusan dan kebijaksanaan yang kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kualitas hidup kita. Termasuk di dalamnya persoalan kepemimpinan, pengelolaan potensi, dan juga adaptasi serta proses pelatihan dalam menghadapi berbagai ujian. 

Dinamika emosi dan pengembangan konsep perilaku menjadi bahan baku yang selalu harus diracik dan dijaga agar tidak "over" atau "under" cook. Dan itu menantang sekali. 

Kita memainkan sebuah komposisi rumit dalam orkestra grand philharmonic dalam pentas kehidupan, dengan partitur yang setiap halaman berikutnya dapat berubah sesuai dengan berbagai pola interaksi dinamis yang terjadi, dimana sebagian besarnya justru di luar kendali kita. 

Maka uncertainty menjadi satu variabel yang "memaksa" kita untuk terus belajar beradaptasi dan membangun keyakinan sebagai "core value" yang pada gilirannya akan menghadirkan konsep IMAN. 

Ada jejaring fungsi, interaksi, dan koordinasi yang direncanakan, diciptakan, dan dijalankan oleh Supra Sistem yang mengawali, menghadirkan, dan mengakhiri. Di titik inilah kewaskitaan yang maujud dalam kepekaan terhadap gejala dan tanda dapat menjadi konstruksi keluhuran manusia. 

Kemampuan membangun perspektif dengan visi (vision) secara utuh. Dan perjalanan, pengalaman, serta pembelajaran yang disertai dengan permenungan, kontemplasi, serta upaya mawas diri dan kemauan untuk menerima "kehadiran" Yang Hakiki menjadi kata kunci.

Sumber gambar:

Rabu, 29 Juli 2020

Gandhi, Tolstoy, dan Wukuf di Padang Arafah



Oleh Duddy Fachrudin 

Kian hari semakin banyak yang mempelajari mindfulness. Malam ini baru saja selesai mengkaji dan berdiskusi terkait ilmu ini. Yang hadir tidak main-main, para profesional, akademisi, dan juga praktisi.

Lalu apa yang sebenarnya kita cari? Segenap tanya meminta jawaban yang sesuai logika hingga rasa.

Begitulah manusia. Semestinya. Senantiasa ingin bertumbuh dan berkembang seperti Gandhi dan Tolstoy yang kadang pemikirannya tak kita mengerti. Gandhi yang senang jalan kaki dan puasa, sementara Tolstoy, bangsawan dan pujangga besar itu bercita-cita menjadi orang biasa-biasa saja.

Keduanya tak pernah bertatap muka, namun disatukan oleh kata-kata.

Dalam surat terakhirnya kepada Gandhi, Tolstoy menulis:

The longer I live-especially now when I clearly feel the approach of death-the more I feel moved to express what I feel more strongly than anything else, and what in my opinion is of immense importance, namely, what we call the renunciation of all opposition by force, which really simply means the doctrine of the law of love unperverted by sophistries. 

Love, or in other words the striving of men's souls towards unity and the submissive behaviour to one another that results therefrom, represents the highest and indeed the only law of life, as every man knows and feels in the depths of his heart (and as we see most clearly in children), and knows until he becomes involved in the lying net of worldly thoughts. This law was announced by all the philosophies- Indian as well as Chinese, and Jewish, Greek and Roman.

Cinta melahirkan persatuan dan kesatuan. Tak ada lagi membeda-bedakan, penilaian, serta penghakiman. Semua sama berkat cinta. Karena cinta pula lahir ahimsa. 

Keduanya menempuh jalan sunyi. Jalan transformasi. Bukan untuk mengubah dunia. Melainkan menanam untuk diri sendiri. Agar memahami dan mengenali diri.

###

Siapa kita ini? Semburat tanya kembali menggeliat. 

Bersama mereka dari berbagai negara, bangsa, berbeda suku, ras, dan kulit warna melakukan waqafa (berhenti sejenak), di padang arafah (hamparan pengetahuan) di waktu siang dan malam hari, di puncak haji.

Wukuf, berdiam diri untuk mengenal, dan memahami, serta menyadari diri.

Begitulah haji mengajarkan. Haji adalah arafah. Begitu sabda Nabi.

Haji adalah retreat akbar yang mengajak manusia untuk menilai dirinya agar tak lagi memvaluasi untung rugi. Tak lagi termelekati rupa-rupa kemolekan sensasi yang diindera oleh penglihatan, pendengaran, juga hati.

Arafah adalah upaya untuk menjadi murni. Cara agar kita manusia melepaskan diri dari jerat ilusi dan halusinasi. Strategi dalam mengolah batin untuk tak lagi menjadi hakim selama hidupnya. 

Maka arafah adalah hikmah bagi mereka yang berserah menjalani kehidupan dengan ilmu dan cinta.

Sumber gambar:

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Kecerdasan kognitif terkanalisasi dalam saluran berprioritas tinggi untuk memodulasi, bahkan memanipulasi berbagai potensi untuk mempertahankan eksistensi. 

Kebijakan didominasi upaya terkonstruksi mempertahankan eksistensi, bahkan melalui cara-cara yang bersifat agresi, ekspansi, okupasi, dan terkadang semua itu disertai sifat destruksi. 

Angkara yang bersimaharaja, berkelindan dengan banjir neurotransmiter pengeksitasi dan melahirkan ketrampilan berseni tinggi dalam proses mengeksploitasi berbagai hal yang semestinya dimaknai sebagai potensi untuk berbagi. 

Domain qualia atau roso yang sebenarnya merupakan representasi akumulasi kecerdasan dalam modul intelijensia qolbiyah, kini menyusut kisut, terpojok ke sudut, tergantikan oleh pusaran vorteks kusut yang berasal dari olah pikir yang kalut. 

Ketidakseimbangan stream konektomik antar wilayah pengambilan keputusan strategik, mengakibatkan lahirnya turbulensi sistemik. PFC dan Insula sulit berkolaborasi dengan area Basal Ganglia. 

Hipokampal area teralienasi dalam kepungan arus deras kecemasan yang membanjir deras, dari hulu Batang Otak yang telah tererosi dan daya dukung rasionalnya terdegradasi. 

Konflik keluarga sesama trah prosensefalon yang rukun sejak embrional kini meruncing. Telensefalon tak lagi bertegur sapa dengan diensefalon. Neokorteks dan PFC tak lagi hangat bercerita dengan thalamus dan hipokampus. 

Apalagi jika bicara di tingkat wangsa keturunan tuba neuralis: prosensefalon, mesensefalon, dan rhombencephalon yang telah berdiferensiasi dan mengalami spesifikasi fungsi meski sudah semestinya terus menyambung silaturahmi dan membina komunikasi karena toh bersama menjalankan banyak fungsi. 

Grup WA keluarga menjadi panas, banyak kasus unfriend dan unfollow di berbagai media di mana bagian-bagian fungsional otak semestinya saling berinteraksi untuk membangun sinergi. 

Maka tak heran jika jonggring salaka bernama qualia terdampak panasnya olakan kawah Chandradimuka yang meletupkan nafsu membara dari dasar dapur magma naluri manusia. 

Dan kini di saat langit mendadak sepi dan riuh rendah jalanan tak lagi bersahutan. Ada bisikan halus yang perlahan terdengar semakin keras. Bahkan semakin lama semakin tegas. Mungkin agar selain mulai berpikir cerdas, juga harus bertindak gegas, sekaligus belajar bersikap ikhlas. 

Pageblug meredam nafsu kemayu untuk tampil oke selalu, ia menggantikan itu dengan panggilan cumbu rayu untuk bersatu dan melangkah secara padu. 

Kearifan dan welas asih kembali mendapat pentas yang pantas untuk tak sekedar menyintas, tapi juga menjadi bagian dari solusi tuntas. 

Mari kita lihat bagaimana kini manusia lebih peduli pada saudara dibanding pada dirinya sendiri. Empati lahir dalam bentuk partisipasi untuk saling mensubstitusi dan melengkapi apa yang kini banyak tak lagi dimiliki. 

Kolaborasi hadir nyaris tanpa koordinasi karena yang berbicara adalah frekuensi hati. OFC, PFC, ACC, dan Insula tak lagi menjadi sekedar kuda penghela, melainkan ber tiwikrama menjadi maruta (angin) yang memutar kincir peniup akasa (langit) yang menjadi media lahirnya dahana (api). 

Daya guna bertenaga untuk mengubah petaka menjadi penyubur banthala (bumi) dengan berpandu kerlip kartika (bintang) ilmu yang menjadi navigasi dalam proses mencari jati diri. 

Maka pageblug ini adalah medan kurusetra dimana angkara akan berguguran disapu sifat Asta Brata yang merepresentasi jiwa ksatria dalam setiap dimensi spiritual manusia. 

Lihatlah ksatria-ksatria muda dari berbagai tlatah bangsa, kini menyatu bersama, mengikhlaskan diri dalam jalan dharma bagi kepentingan ummat manusia. 

Inilah mungkin makna qualia semesta yang datang bersama bala yang seolah merenggut rasa aman maya, dan menghempaskan kita ke dasar nalar tak berkadar. 

Dan di saat terkapar, terlihatlah kerlip berpendar di tubir sadar... selalu ada jalan keluar, jika ada kekuatan untuk bersandar. 

La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim,  lafadz hauqalah yang menisbatkan bahwa kita semua tak bisa terlepas dari kuasa dan ketentuan Allah.

Sumber gambar:

Selasa, 24 Maret 2020

Covid, Hafidh, Lockdown, dan Vektor Hati


Oleh Duddy Fachrudin

Manusia diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Virus diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Dalam kegelapan malam, Nabi diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Semua diperjalankan
Tuhan memperjalankan

###

Semua diberhentikan
Tuhan memberhentikan

Ikhlas menerima apapun yang datang
Ikhlas menerima apapun yang pergi

Datang untuk pergi
Pulang untuk kembali

###

Diperjalankan dengan aneka tanya yang berkelindan
Jawaban-jawaban hanya ada saat melalui jalur pendakian

Seperti Nabi yang mendaki
Seperti Mereka yang senantiasa bersuci

Atau Mereka yang berdiam diri
Menembus samudera cinta hakiki

Melepaskan diri dari jerat eksistensi materi,
untuk menghirup cahaya esensi

###

Ada covid
Ada pula hafidh

Kamu covid atau hafidh?

Hafidh pemelihara
Covid pembawa bencana dengan tingkah lakunya

###

Tak pernah bertanya akar dari masalah
Hanya mencoba mengobati dan berupaya mencegah

Mata sembab melihat jasad tergeletak di bumi tak berpetak

Lalu pernahkah bertanya sebab dari semua ini?

###

Hafidh diperjalankan
Covid diperjalankan

Ada hafidh tetap hafidh
Ada hafidh menjadi covid
Ada covid selalu covid
Ada covid berubah wujud menjadi hafidh
Ada pula hafidh berwajah covid

###

Kenapa mesti berawal di Cina?
Kenapa mesti tak kasat mata?
Kenapa mesti menjelang puasa?
Kenapa mesti melalui peringatan hari dimana Nabi mengalami perjalanan luar biasa?

Pernahkah pemimpin dunia bertanya?

###

Ada shiyam
Ada shoum

Lockdown itu shiyam sekaligus shoum

Shiyam puasa makan minum dalam sehari
Shoum lebih luas lagi, menahan diri

Shiyam dan shoum meningkatkan iman dan imun

Masa kamu tidak mau melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kelangsungan hidupmu?

###

Tapi nanti depresi
Resesi ekonomi
Dapur tak mengepul lagi

Dengan bilang seperti ini, kamu sudah menjadi orang yang merugi

Manusia kufur yang tak bersyukur

Hidup ini hak guna, sejak kapan hidup menjadi hak milik?

###

Sejak materi mendominasi

Akhirnya jadilah penganut materialisme
Jadilah menuhankan kapitalisme

Semua dilihat dari untung rugi duniawi

###

Maka, beruntunglah mereka yang tak menikahi dunia

Seperti Nabi,
yang perlu diteladani dan diikuti

Makan dibatasi
Stok pakaiannya hanya untuk 2 hari
Rumahnya sangat kecil dan sempit sekali
Semua kekayaannya dibagi-bagi

###

Derita umatnya saat ini tak ada apa-apanya dibanding deritanya

Semua anak cucunya mati
Pernah diracun, disantet, diludahi, dan dicaci maki
Dilempar kotoran, dikucilkan, dan diusir dari kampung halaman

Yang tak menyukainya menyeru, "Tangkap... hidup atau mati!"

###

Tapi Nabi yang paling sering menangis dan mengemis dalam sujudnya

Cinta dan takut beriringan mengisi ruang hati
Tertuju satu hanya pada Ilahi

###

Dan salah satu do'a favorit Nabi:

"Ya Tuhan, hidupkan aku keadaan miskin dan bangkitkan aku kelak bersama orang-orang miskin."

Kamu pernah berdo'a seperti itu?

###

Sehat itu tak hanya fisik
Sehat itu holistik

Sehat mental, sosial, dan spiritual

Juga sehat finansial

Tapi kalau melihat Nabi, ia begitu sangat tidak sehat finansial

Namun begitu, riwayat sakitnya hanya 2 kali

###

Andai Nabi melihat bencana ini ia sangat bersedih

Sedih bukan karena jumlah yang mati

Sedih karena melihat kepongahan manusia
Meringis karena banyak yang mengaku mencintainya, namun nyatanya tipu-tipu belaka

###

Ini bukan lagi soal lockdown atau herd immunity

Ini masalah vektor hati

###

Hati yang perlu isra' dan mi'raj,
melintasi berbagai dimensi

Referensi:
Bagian shiyam, shoum dan Nabi terinspirasi dari buku dr. Ade Hashman yang berjudul, "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib", penerbit Bentang

Sumber gambar:
https://emphaticallynomadic.com/how-to-find-yourself-through-a-spiritual-journey/

Selasa, 13 Maret 2018

Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 2, habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini.

Lalu kita (baca: saya dan anda) itu sesungguhnya apa? Dan semesta yang katanya tempat kita itu apa? Jika kita makhluk persepsi, dari apakah semesta kita ini dibangun?

Sekitar 2600 tahun yang lalu seorang bijak bernama Anaximandros merasa semesta adalah sebuah ruang, dimana benda-benda diletakkan dan berputar saling mengitari. Parmenides dan Phytagoras membayangkan bumi dan berbagai benda angkasa adalah benda bulat yang saling berinteraksi, terbang, dan punya hubungan ke semua arah. Peri Ouranou yang ditulis Aristoteles menjabarkan bahwa langit adalah rumah kita, dan kelak Dante mencari gubug derita tempat semua sengsara dunia bermuara, inferno.

Tetapi apa sesungguhnya semesta?

Albert Einstein, Faraday, Maxwell, Bohr, Heisenberg, Riemann, sampai Gell-Man pada akhirnya bersepakat dalam kurun waktu yang berbeda dan satu sama lain mungkin tak pernah jumpa. Bahwa semesta ini adalah medan. Medan gravitasi dan medan elektromagnetik, dimana mekanika deterministik Newton mendapat tempat untuk unjuk manfaat. Di mana gelombang radio dan elektromagnetik dapat berosilasi, bervibrasi, dan menggoda indera dengan menghasilkan rasa berupa citra atau suara yang dapat ditransmisikan ke mana saja. Albert jua lah yang bersabda bahwa semesta ini wajib memuai karena ia bukan bola. Ia materi yang terdorong oleh daya maha luar biasa yang meninggalkan tapak berupa cosmic microwave background dan juga bentuknya yang melengkung menyerupai kurvatura (Reimann Curvature).

Maka matahari, bumi, juga bulan adalah sekumpulan materi bulat yang dijatuhkan ke dalam selongsong lonjong yang membuatnya berputar secara revolusioner sembari terus berthawaf dalam rotasinya. Lalu dikenalah konsep kuanta dengan probabilitasnya yang tak mampu ditebak sempurna. Lalu Planck dan banyak ilmuwan sejenisnya mengenal konsep ada dan hadir jika suatu partikel atau elektron keluar dari kebiasaannya, melompat, bereksitasi dan melepas energi.

Itulah tanda. Hadir dan ada itu berbuat dan beraksi. Maka Abdussalam mengumpulkan semua gaya yang menjadi syarat hadir dan ada. Nuklir kuat dan lemah di inti, elektromagnetik, dan gravitasi.

Maka terangkailah partikel elementer, elemen dasar eksistensi yang terdiri dari quark-quark yang membentuk proton dan netron yang dilekatkan oleh gluon. Dan ruang terisi. Dan neutrino hadir dalam diam yang tak sunyi, dan Higg Bosson merajut elemen dasar menjadi sesuatu yang dilabeli fungsi. Lalu berturut-turut terciptalah termodinamika dengan entropinya, dan energi hadir, dikonversi dan melekat sebagai catu daya fungsi. Sebagaimana mekanika kuantum, maka perpindahan panas (kalor adalah energi) tak lepas dari "peluang" atau probabilitas.

Boltzman bersikukuh bahwa termodinamika berbeda dengan konsep kuanta, meski jawabnya sangatlah sederhana: ia dan juga kita tidak tahu dan tidak mampu.

Jeremy England pada akhirnya berpendapat bahwa sistem dan fungsi khususnya terbangun karena kebutuhan yang mengharuskan adanya interaksi sebagaimana foton dalam proses fotosintesa memerlukan fusi hidrogen dan juga sekumpulan unsur logam seperti magnesium dan besi dalam klorofila.

Maka semesta terbangun sebagaimana juga persepsi. Semua bagi saya dan anda adalah asumsi yang terverifikasi melalui konsistensi pencarian yang disepakati. Namanya riset dan penelitian. Tapi pertanyaan besarnya adalah, apakah semua yang dilihat, diukur, dan disepakati itu nyata ada? Atau hanya dinyatakan ada, atau bahkan di"ada-ada"kan nyata?

Jawabannya mungkin sebagaimana "relativitas khusus" Einstein yang kerap dianalogikan dalam kisah metafora tentang 2 bersaudara yang hidup di dimensi dengan kecepatan gerak yang berbeda.

Yang hidup dan bergerak secepat cahaya tak bisa dipenjara ruang dan waktu. Karena cahaya adalah "jeruji" dan tembok yang menghasilkan persepsi tentang ruang dan masa yang memenjara kita dalam makna. Maka kita yang berada dalam ruang yang dicipta konsensus cahaya akan menua, pudar, dan terurai berulang dan berulang hingga tak berhingga.

Lalu jika demikian apa yang tersisa? Sisa itulah sesungguhnya kita. Remah kecil yang tercipta, keping mungil yang mendamba. Bayangan yang hanya ingin kembali pada Sang Pemilik-Nya.

Sumber gambar:
Dokumen pribadi (Tauhid Nur Azhar)

Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Di keheningan atap dunia saya terhenyak. Selarik kesadaran merembes perlahan ke dalam benak. Dingin dan menyegarkan. Lalu seberkas cahaya yang terpantul dari kilau salju nan putih mengguncang mesin tanya dalam pikiran, apakah manusia itu? Di mana kita sesungguhnya berada? Dan mengapa?

Sejauh mata memandang hanya indah yang terhampar dalam sunyi seolah mengajak diri untuk larut merenungi. Perlahan air mata membulir, entah karena apa. Sontak semua kata kehilangan makna. Bahkan diri kecil yang tersuruk dan terpuruk di bentang ke Maha Akbaran Sang Pencipta ini tak kuasa menjawab tentang apa yang hendak dicarinya. 

Saya terduduk dan tertunduk lemas. Kesadaran yang meruyak merusak semua mimpi tentang nilai yang diyakini. Bahkan kini saya tidak yakin dengan diri saya sendiri. Benarkah saya ada di sini? 

Karena terbersit dalam otak saya bahwa saya dan disini, serta saat ini adalah sebentuk produk mental yang dihasilkan serangkaian mekanisme kognitif kompleks yang mengurai tanda dan data menjadi ada. Apakah saya ini sebentuk persepsi tentang saya yang dihasilkan oleh konspirasi indera dengan semesta? 

Lalu semesta itu apa? Mengapa saya ada? Lanjut saya bertanya, entah pada siapa. Bukankah saya "merasa" ada karena saya teraba, terlihat, terdengar, terhidu, tersakiti, terindui, ternikmati, terzhalimi, tersedihi, termarahi, dan tertawa-tawa sendiri semata karena sebuah pemahaman tentang proses interaksi dan pemahaman yang disepakati? 

Saya ini Maya karena menjadi Ada hanya karena merasa. Saya ini makhluk gagasan yang berkonsensus untuk merasa sebagai sebuah makhluk. Lalu apakah saya sebuah proyeksi lintas dimensi dari Sang Pemilik gagasan sejati? Apakah saya sekedar refleksi? Pantulan dari wujud yang Hakiki? Apakah saya bayangan tak berbatang tubuh yang hanya hadir bersyarat karena adanya wujud yang mewujudkan cahaya menjadi bayang bernama manusia? Saya meremas segenggam salju dan menamparkannya ke muka. Otak saya beku. Lidah saya kelu.

Ada listrik mengalir di sela sulkus sentralis yang memisahkan lobus parietalis dan frontalis di hemisferium otak saya. Nyetrum. Dan membuat kilau salju membutakan pandang dan membawa khayal berenang di lautan awan yang terbentang di depan sana. Raba, dengar, lihat, panas-dingin, gurih umami, juga pada gilirannya warna, renyah tawa, eksotika rupa, keseksian istri tercinta, serta duka dan air mata yang menyertai kecewa dan kehilangan adalah sebentuk kesepakatan belaka. Tentang makna dan yang dimaknai. 

Harapan adalah kesepakatan konspiratif antara memori yang berisi hasil belajar dan pengalaman dengan sensor nafsu yang menamainya kenikmatan. Maka bercinta secara fisik adalah bentuk prokreasi, proses regenerasi dan rekreasi. Anehnya pemenuhan harapan adalah hadiah yang didambakan (reward), bahkan menjadi motivasi kuat agar makhluk virtual ini manglih rupa menjadi robot pemuas diri (masturbating robot). 

Meski tak dapat dipungkiri bahwa segerombol sel-sel neuron haus dopamin yang berkumpul dalam nukleus akumben atau juga ventral tegmental area juga adalah motivator konstruktif yang tak kalah ciamik dengan motivator cantik sekelas Merry Riana dalam kehidupan nyata. Ingin bahagia adalah syarat bahagia, demikian kira-kira, dan itulah tugas mereka. Pemuas harapan. Pemupus kerinduan. Penuntas dahaga terhadap kenikmatan. 

Lalu makhluk virtual yang relatif dan terpolarisasi ini jatuh terpuruk dalam neraka dunia yang bernama konsep diametral. Dalam konsep yang menyiksa ini tersedia ruang untuk hadirnya sedih, marah, dan kecewa. Karena semua harapan akan punya pasangan antagonis yang dari seberang sisi terpolar seolah tersenyum bengis. Lalu saya dan anda mengenal tangis, juga mampu bertindak sadis bin bengis. Itulah kita, yang katanya manusia, dan sepakat meyakini kalau kita itu manusia.

Bersambung ke Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 2, Habis)

Sumber gambar:
Dokumen pribadi (Tauhid Nur Azhar)