Selasa, 13 Maret 2018

Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 2, habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini.

Lalu kita (baca: saya dan anda) itu sesungguhnya apa? Dan semesta yang katanya tempat kita itu apa? Jika kita makhluk persepsi, dari apakah semesta kita ini dibangun?

Sekitar 2600 tahun yang lalu seorang bijak bernama Anaximandros merasa semesta adalah sebuah ruang, dimana benda-benda diletakkan dan berputar saling mengitari. Parmenides dan Phytagoras membayangkan bumi dan berbagai benda angkasa adalah benda bulat yang saling berinteraksi, terbang, dan punya hubungan ke semua arah. Peri Ouranou yang ditulis Aristoteles menjabarkan bahwa langit adalah rumah kita, dan kelak Dante mencari gubug derita tempat semua sengsara dunia bermuara, inferno.

Tetapi apa sesungguhnya semesta?

Albert Einstein, Faraday, Maxwell, Bohr, Heisenberg, Riemann, sampai Gell-Man pada akhirnya bersepakat dalam kurun waktu yang berbeda dan satu sama lain mungkin tak pernah jumpa. Bahwa semesta ini adalah medan. Medan gravitasi dan medan elektromagnetik, dimana mekanika deterministik Newton mendapat tempat untuk unjuk manfaat. Di mana gelombang radio dan elektromagnetik dapat berosilasi, bervibrasi, dan menggoda indera dengan menghasilkan rasa berupa citra atau suara yang dapat ditransmisikan ke mana saja. Albert jua lah yang bersabda bahwa semesta ini wajib memuai karena ia bukan bola. Ia materi yang terdorong oleh daya maha luar biasa yang meninggalkan tapak berupa cosmic microwave background dan juga bentuknya yang melengkung menyerupai kurvatura (Reimann Curvature).

Maka matahari, bumi, juga bulan adalah sekumpulan materi bulat yang dijatuhkan ke dalam selongsong lonjong yang membuatnya berputar secara revolusioner sembari terus berthawaf dalam rotasinya. Lalu dikenalah konsep kuanta dengan probabilitasnya yang tak mampu ditebak sempurna. Lalu Planck dan banyak ilmuwan sejenisnya mengenal konsep ada dan hadir jika suatu partikel atau elektron keluar dari kebiasaannya, melompat, bereksitasi dan melepas energi.

Itulah tanda. Hadir dan ada itu berbuat dan beraksi. Maka Abdussalam mengumpulkan semua gaya yang menjadi syarat hadir dan ada. Nuklir kuat dan lemah di inti, elektromagnetik, dan gravitasi.

Maka terangkailah partikel elementer, elemen dasar eksistensi yang terdiri dari quark-quark yang membentuk proton dan netron yang dilekatkan oleh gluon. Dan ruang terisi. Dan neutrino hadir dalam diam yang tak sunyi, dan Higg Bosson merajut elemen dasar menjadi sesuatu yang dilabeli fungsi. Lalu berturut-turut terciptalah termodinamika dengan entropinya, dan energi hadir, dikonversi dan melekat sebagai catu daya fungsi. Sebagaimana mekanika kuantum, maka perpindahan panas (kalor adalah energi) tak lepas dari "peluang" atau probabilitas.

Boltzman bersikukuh bahwa termodinamika berbeda dengan konsep kuanta, meski jawabnya sangatlah sederhana: ia dan juga kita tidak tahu dan tidak mampu.

Jeremy England pada akhirnya berpendapat bahwa sistem dan fungsi khususnya terbangun karena kebutuhan yang mengharuskan adanya interaksi sebagaimana foton dalam proses fotosintesa memerlukan fusi hidrogen dan juga sekumpulan unsur logam seperti magnesium dan besi dalam klorofila.

Maka semesta terbangun sebagaimana juga persepsi. Semua bagi saya dan anda adalah asumsi yang terverifikasi melalui konsistensi pencarian yang disepakati. Namanya riset dan penelitian. Tapi pertanyaan besarnya adalah, apakah semua yang dilihat, diukur, dan disepakati itu nyata ada? Atau hanya dinyatakan ada, atau bahkan di"ada-ada"kan nyata?

Jawabannya mungkin sebagaimana "relativitas khusus" Einstein yang kerap dianalogikan dalam kisah metafora tentang 2 bersaudara yang hidup di dimensi dengan kecepatan gerak yang berbeda.

Yang hidup dan bergerak secepat cahaya tak bisa dipenjara ruang dan waktu. Karena cahaya adalah "jeruji" dan tembok yang menghasilkan persepsi tentang ruang dan masa yang memenjara kita dalam makna. Maka kita yang berada dalam ruang yang dicipta konsensus cahaya akan menua, pudar, dan terurai berulang dan berulang hingga tak berhingga.

Lalu jika demikian apa yang tersisa? Sisa itulah sesungguhnya kita. Remah kecil yang tercipta, keping mungil yang mendamba. Bayangan yang hanya ingin kembali pada Sang Pemilik-Nya.

Sumber gambar:
Dokumen pribadi (Tauhid Nur Azhar)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar