Tampilkan postingan dengan label Mawas Diri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mawas Diri. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Maret 2021

Pesan Sunan Gunung Jati untuk Transformasi Layanan Konseling Mahasiswa


Oleh Duddy Fachrudin 

Setahun yang lalu, World Economic Forum (WEF) merilis top 10 skills yang perlu dimiliki para pekerja pada tahun 2025. Keterampilan-keterampilan tersebut dibagi ke dalam 4 aspek: problem solving, self-management, working with people, dan technology use & development.

Dari 10 keterampilan, terdapat keterampilan yang tergolong "newbie". Keterampilan di dalam aspek self-management yang meliputi active learning & learning strategies dan resilience, stress tolerance, & flexibility termasuk di dalamnya. Keduanya menempati rangking 2 dan 9 dalam top 10 skills tersebut. 

Kedua skills tersebut terselip diantara keterampilan-keterampilan yang sudah familiar sejak tahun-tahun sebelumnya seperti analytical thinking & innovation, complex problem solving, leadership, & creativity. Namun, di era disrupsi, active learning & resilience ditambahkan seiring dengan perubahan jaman yang sangat cepat dan uncertainty

Isu kesehatan mental pegawai juga tidak lepas dari pengamatan WEF dan menjadi alasan pentingnya sumber daya manusia memiliki resiliensi dan toleransi terhadap stres yang tinggi, yang didalamnya juga terintegrasi dengan kecerdasan emosional. World Health Organization (WHO) sendiri sudah mewanti-wanti adanya pandemi baru di masa depan berupa depresi yang menyerang siapa saja dan mengakibatkan disabilitas dalam kehidupan individu itu sendiri.

Jauh-jauh hari, satu dari 40 dawuh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati kepada anak cucunya adalah selalu mawas diri. Dalam ranah psikologi, mawas diri (self-awareness) adalah kemampuan mengamati diri, baik pikiran, laku, dan perasaan. Ini penting bukan hanya dalam mencegah korupsi, tapi juga upaya dalam mengembangkan kesehatan mental di dunia yang tidak pasti. Al-Qur'an menyebut mawas diri sebagai wa fii anfusikum afalaa tubsiruun yang mengajak manusia untuk tadabbur dan tafakkur ke dalam diri sehingga tidak terjebak dalam ilusi dan delusi.

Pertanyaan sesungguhnya dimanakah tempat untuk belajar mawas diri?

Keluarga melalui ayah bunda seyogyanya menjadi sarana perkembangan psikologis anak-anaknya. Namun tidak jarang mereka luput atau bahkan tidak tahu atau tahu tapi tidak mau karena terlalu sibuk dengan segala aktivitasnya. Padahal salah satu kunci keberhasilan seorang anak (yang kemudian menjadi remaja) adalah memiliki keterampilan mawas diri. Ia mengenal dan memahami emosi, pikiran, dan bagaimana mengelolanya menjadi perilaku yang adaptif dan berdaya guna bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Maka, di sinilah peran Tim Pelaksana Bimbingan Konseling (TPBK) di setiap universitas yang menjadi wadah mahasiswa untuk mengenal diri dan membimbing dalam pengembangan kesehatan mental mereka. Setelah lulus, kelak para mahasiswa sudah memiliki bekal kompetensi keterampilan resiliensi dan memiliki toleransi terhadap stres yang tinggi yang bisa meningkatkan performansi dan menjadi solusi, yang akhirnya maujud dalam prestasi. 

Adanya layanan konsultasi dan konseling kesehatan mental bagi mahasiswa bukan lagi perihal akreditasi, tapi merupakan bagian terpadu dari health promoting university. Ini salah satu kunci menuju World Class University.  

Sumber gambar:

Kamis, 10 Desember 2020

Jeda untuk Hati: Sebuah Renungan Pagi




Oleh Tauhid Nur Azhar

Waktu adalah dimensi yang malar. Selalu maju seiring dengan nalar dan sadar. 

Tentu masing-masing kita berbeda kadar, berbeda cara menakar, dan juga berbeda dalam hal nilai yang mengakar. Tetapi kita semua meyakini bahwa waktu dan ruang adalah keniscayaan yang terintegrasi dengan esensi dan eksistensi. Keberadaan dan nilai keberadaan. 

Saya pribadi menyadari di masa-masa penuh ujian ini begitu banyak merasakan kebaikan dan ketulusan dari banyak orang, yang bahkan tidak kita kenal sebelumnya. 

Kebersamaan dalam mengarungi ujian mempererat kepedulian dan menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan yang memanusiakan kembali manusia. Akar keberadaan untuk memberi kebermanfaatan menjadi semakin terasakan. 

Bahkan secara resiprositas, saat seorang kawan mengalami kesulitan dan kita merasa kurang optimal dalam membantu, ada rasa bersalah yang terasa mengganggu. 

Mungkin ini adalah nilai kesadaran yang menyeruak dari pemahaman terhadap esensi dan eksistensi. Kehadiran di ruang waktu yang terus maju dan jejaring interaksi yang terjadi di dalamnya. 

Kemampuan prokreasi dan komunikasi yang berpadu dalam orkestrasi fungsi eksekusi (executive function), membuat simfoni nan harmoni dari semua fungsi neurofisiologi dan endokrinologi dalam menghadirkan kreasi berupa komposisi yang penuh arti dalam memaknai perjalanan hidup ini. 

Tak dapat dipungkiri, Sunatullah dan Fitrah makhluk adalah menua, menjadi renta. Berdegenerasi dan mengalami transformasi fungsi. Meski sulit dan berat untuk dijalani, apalagi dimengerti, tetapi sesuai takdir semua akan terjadi. 

Perjalanan hidup akan menghadirkan pengalaman dan pembelajaran. Tak pelak ini adalah peran organik dari organa sensuum alias indera, juga thalamus, limbik, dan area asosiatif di korteks otak. 

Master Chef PFC (prefrontal cortex) akan meramunya menjadi berbagai keputusan dan kebijaksanaan yang kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kualitas hidup kita. Termasuk di dalamnya persoalan kepemimpinan, pengelolaan potensi, dan juga adaptasi serta proses pelatihan dalam menghadapi berbagai ujian. 

Dinamika emosi dan pengembangan konsep perilaku menjadi bahan baku yang selalu harus diracik dan dijaga agar tidak "over" atau "under" cook. Dan itu menantang sekali. 

Kita memainkan sebuah komposisi rumit dalam orkestra grand philharmonic dalam pentas kehidupan, dengan partitur yang setiap halaman berikutnya dapat berubah sesuai dengan berbagai pola interaksi dinamis yang terjadi, dimana sebagian besarnya justru di luar kendali kita. 

Maka uncertainty menjadi satu variabel yang "memaksa" kita untuk terus belajar beradaptasi dan membangun keyakinan sebagai "core value" yang pada gilirannya akan menghadirkan konsep IMAN. 

Ada jejaring fungsi, interaksi, dan koordinasi yang direncanakan, diciptakan, dan dijalankan oleh Supra Sistem yang mengawali, menghadirkan, dan mengakhiri. Di titik inilah kewaskitaan yang maujud dalam kepekaan terhadap gejala dan tanda dapat menjadi konstruksi keluhuran manusia. 

Kemampuan membangun perspektif dengan visi (vision) secara utuh. Dan perjalanan, pengalaman, serta pembelajaran yang disertai dengan permenungan, kontemplasi, serta upaya mawas diri dan kemauan untuk menerima "kehadiran" Yang Hakiki menjadi kata kunci.

Sumber gambar:

Selasa, 05 Mei 2020

Masa Pandemi adalah Hari Raya



Oleh Duddy Fachrudin 

Dalam satu dekade ini banyak diskusi, penelitian, pelatihan, seminar, kajian online seputar mindfulness. Tak ketinggalan buku-buku hingga film-film terkait mindfulness berserakan. 

Mindfulness itu bikin bahagia. Membuat kita tenang dan terbebas dari stres serta kecemasan. Melepaskan jerat trauma dan depresi berkepanjangan.

Moso... hati ini tak percaya. 

Apalagi mindfulness dapat mengatasi panik di saat pandemi corona ini. Benarkah? 

Mindfulness itu hadir sepenuhnya, di sini, saat ini. 

"Tapi ketika saya hadir sepenuhnya, justru saya cemas dan panik. Pikiranku tidak kemana-mana, ada di sini, menyaksikan berita corona bertubi-tubi," aku mengatakan hal yang persis dikatakan orang-orang pada Simbahku. 

"Mindfulness iku opo sih Le?", takon Simbah. 

Dengan perut yang kenyang, malam itu akhirnya kami berdiskusi tentang mindfulness

"Intinya kesadaran Mbah," ujarku. 

Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Oh ilmu eling toh." 

Dalam kondisi mindful sejatinya pikiran dan perasaan membelenggu itu sirna. 

Simbah lalu bertanya, "Mereka ini, maksudnya orang-orang ini sadar tidak bahwa memang dunia itu tempatnya penderitaan?" 

"Waduh, aku ora weruh Mbah," balasku. 

Dalam tradisi psikologi berbasis spiritual, mindfulness memang memiliki korelasi dengan luka dan duka. Karena isi dunia bukan hanya cita, kesenangan, dan bahagia. 

Simbah lalu mengambil sebuah buku lalu membuka halaman demi halaman. 

"Nah ini..." wajah Simbah terlihat sumringah mendapatkan apa yang dicarinya. 

Laki-laki tua yang gemar kutangan ini lalu berkata, "Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid." 

Manusia itulah murid. Seperti Nabi Adam yang diajarkan nama-nama. Kita semua manusia senantiasa terus membaca (iqra) dan belajar, mencari dan bertanya. Lalu apakah hari raya? Apakah ia adalah hari kemenangan? Namun bagaimana ada kesukaran di saat kebahagiaan? 

Seperti saat ini. Begitu banyak derita akibat wabah corona. Kegelisahan, resesi, PHK dimana-mana, kelaparan, dan tentunya ketakutan. Bagaimana mungkin dibalik penderitaan itu adalah hari raya? Dongkol hatiku.

Simbah melihat raut wajahku yang bingung. "Kamu harus paham kata-kata itu. Yang bilang Ibnu Atha'illah." 

"Sang Arif Bijaksana?", tetiba suasana hatipun berubah menjadi lebih ceria. 

Petuah-petuahnya tidak diragukan lagi. 

Simbah lalu bilang, "Hari raya itu artinya saat kamu mendekat pada Gusti Allah. Orang yang mendapatkan kesukaran lebih mudah mengemis dan menangis sekaligus bermesraan sama Tuhannya." 

Jadi masa pandemi corona ini hari raya? 

Tarik napas sejenak... napas masuk... napas keluar...

Masih ora mudeng aku. 

Sumber gambar: 
Dokumentasi pribadi 

Selasa, 13 Agustus 2019

Dialog Imajiner Den Mas Yudho


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seperti kayu yang mengikhlaskan dirinya menjadi abu ketika api perlu urup untuk menguripi.

Pengorbanan bukanlah kesia-sian, melainkan kesadaran tertinggi untuk memahami arti "hadir" dan mencintai.

Ada, Berada, dan Tiada semua hanyalah makna yang dibingkai kata-kata. Direnda menjadi rajutan perca dalam teater kala yang tepinya disulami bordir sementara.

Maka apa salahnya menjadi abu?

Apa salahnya mencintai api yang lalu melumat aku?

Karena aku, sang kayu, tahu. Tanpa aku tak ada kamu (api), dan tak ada panas yang lahir dari rahim ikhlas.

Bukankah semesta fana ini semata hanyalah lingkaran panas (baca tenaga) yang membangkitkan raga (baca; makhluk)?

Dan tak ada yang kuasa mencegah apapun yang telah menjadi kehendak-Nya.

Maka kayu, api, abu, dan kamu.. ya kamu.. yang tetap ada, karena ada yang rela tiada, hanyalah semata wayang berjiwa yang jumawa seolah digdaya dalam menguntai rasa menjadi cerita.

Meski punya nalar, kita kerap tak sadar bahwa semua cerita ditulis sekehendak penulisnya. Dan Sang Penulis adalah Qulillâ humma mâlikal mulki.

Wa tukhrijul hayya minal mayyiti wa ma tukhrijul mayyita minal hayya... Ada yang pergi dan mati untuk lahir dan hadirnya kehidupan, demikian pula sebaliknya. 

Dan pada gilirannya semua hanyalah sebaris ingatan tanpa penubuhan. Menjadi ada karena tiada, dan sementara menjadi tanda bahwa setiap ada akan menjadi tiada kecuali yang Satu jua...

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi

Rabu, 15 Agustus 2018

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Alam saiber yang sesungguhnya tanpa ruang ini juga melucuti dan menanggalkan segenap identitas dan karakter yang kita sematkan pada peran yang kita jalani dalam proses interaksi di dimensi materi. Anonimitas menjadi ciri pribadi virtual. Transparan sekaligus getas. Fleksibel sekaligus dapat mengeras.

Makhluk-makhluk di dunia daring bersifat invisible, alias tidak terlihat yang berkorelasi dengan hilangnya ketakutan untuk bertanggungjawab. Kejahatan lintas dimensi menjadi kehilangan aturan dan alat bukti. Semua ini pada gilirannya akan diikuti oleh terjadinya banjir bit yang terangkai sebagai informasi. Di tengah banjir informasi yang menyebabkan cognitive exhausted ini, ada beberapa informasi yang dapat "singgah" bahkan menetap di benak kita.

Priming. Tim dari Stanford memberi contoh kongkrit betapa otak manusia bekerja berdasarkan asumsi yang berbasis dari pengalaman dan informasi yang diterima sebelumnya.

Tim ini meminta kita untuk menatap sebuah gambar berupa bercak-bercak tinta di bidang putih dan entah apa yang terlintas di sistem asosiasi visual kita tentang bentuk apa yang tergambar di sana. Tapi sebuah petunjuk kecil yang menunjukkan adanya seekor anjing Dalmatian sedang merunduk dan minum akan membuat kita takkan pernah lagi lupa gambar apa itu sesungguhnya setiap kali gambar itu ditunjukkan pada kita.

Daerah visual primer yang telah mendapat asupan data dari beberapa area fungsi luhur (higher function) dan sistem memori akan selalu menampilkan interpretasi terhadap citra berdasar pengetahuan yang telah diinstalkan. Selain itu hasil riset menunjukkan bahwa karakter info yang bersifat trailer vision atau info yang bersifat suspense/ drama serta penuh kejutan disukai oleh otak kita.

Mengapa? Karena kita lelah dengan banjir data yang tak "menarik" untuk dianalisa. Kita perlu drama, kita perlu misteri, kita perlu kondisi "uncertainty". Karena kita berharap bahwa kejutan dapat menjadikan lini masa kehidupan kita akan dipenuhi letupan-letupan kecil kebahagiaan yang menjanjikan serangkaian kenikmatan.

Maka kita pun mengenal konsep loss aversion, rasa kehilangan pada "sesuatu" yang menurut kita "semestinya" menjadi milik kita. Maka sebagian dari kita menisbatkan ritual agama dan pengalaman spiritualitas adalah fragmen-fragmen kenikmatan yang dapat terus memberikan harapan dan menumbuhkan motivasi untuk terus dapat merasakan sensasinya.

Terdengar seperti seks dan judi ya? Atau kuliner dan petualangan ekstrem? Demikianlah kira-kira.

Penelitian di School of Medicine-nya University of Utah menunjukkan bahwa pengalaman spiritual terkait dengan simbol dan prosesi keagamaan pada probandus di sana mengaktivasi pusat reward yang bernama nukleus akumben dan daerah ventro medial prefrontal cortex (vmPFC) yang berfungsi sebagai pusat pemilahan, pembobotan, dan penilaian berkonotasi moral. Serta menyita perhatian karena teraktivasinya area focused attention yang secara anatomi dikenal sebagai inferior frontal junction. Konstruksi persepsi dari sensasi ini terbentuk antara lain karena konstruksi simbol (semiotika).

Menurut Edelman (1964) dalam proses transmisi pesan melalui simbol semiotika, dikenal dua kategori simbol yaitu referential dan condensation symbol. Ada peristiwa atau fenomena yang menjadi rujukan dan jika terjadi secara serial maupun paralel akan terkonsentrasi sebagai suatu kebenaran, kita menyebutnya sebagai fakta.

Apakah semua fakta selalu benar? Kembali pada konsep referensi dan kondensasi serta priming. Sebuah fakta akan melahirkan banyak kebenaran. Dan kebenaran akan selalu memerlukan alasan.

Tibalah kita di abad alasannya Sartre, hingga jika ada fakta yang ingin kita benarkan, kita pun akan membuat alasannya. Sekaligus kita terjebak dalam jejaring pemaknaan (signifikansi), apakah kebenaran itu penting untuk kita carikan alasan?

Maka ujung pencarian sebenarnya sederhana saja, menemukan sebuah kebenaran yang tak lagi memerlukan alasan dan sederet teori tentang kebermaknaan. Kebenaran di seberang alasan dan makna.

Halaman Sebelumnya <<<

Referensi:
Edelman, M. J. (1964). The symbolic uses of politics. Urbana: University of Illinois Press.

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Kita hidup di sebuah dunia yang terbukti semakin paralel meski belum lintas dimensi. Alam virtual yang semula hanya tersedia sebagai peluang dan potensi, kini maujud nyata melalui perkembangan teknologi dan sistem komputasi. Ada ruang hidup baru yang berwujud semesta sebagaimana bagian barat Amerika sebelum datangnya para petualang Eropa.

Maka judul di atas adalah diskursus antara Sartre dan Clifford Geertz yang lebih dikenal dengan idiom santri-abangannya.

Abad kecerdasan ditandai dengan terelaborasinya data menjadi pengetahuan dan terkonvergensinya pengetahuan menjadi sains yang memerlukan metodologi dan alasan. Perspektif berikutnya tentulah iman dan kebijaksanaan (wisdom). Alam daring dengan ciri kemudahan komunikasi akan melahirkan peradaban saling mengunci dan terkoneksi (connected). Untuk selanjutnya tentulah akan lahir kerjasama dan kolaborasi yang menghadirkan produk serta tatanan.

Pro kreasi.

Inilah keistimewaan manusia yang punya daya cipta dan sistematika berpikir adi daya. Kita membangun, menciptakan, dan disadari ataupun tidak, juga menghancurkan. Bahkan bukan cuma menghancurkan, melainkan meluluhlantakkan. Katastropik.

Bukankah dengan logika sederhana dan premis-premis bersahaja saja sudah langsung terlihat kasat mata, bahwa manusia mengkreasikan bencana dan berperan sebagai korban di dalamnya.

Alam hanya menjalankan peran dan ketetapannya, tapi manusia punya kesempatan. Punya pilihan. Punya daya nalar. Punya daya kreasi dan kemampuan untuk menyelaraskan antara gagasan dan aksi. 

Lalu alam baru yang dinamai dunia saiber mulai menggeser batasan ruang dan waktu. Bahkan manusia telah menciptakan mesin-mesin peradabannya yang mengadopsi nyaris sempurna kemampuan istimewa otak manusia.

Big data, data mining, AI, DL dan knowledge growing system-nya Mas Arwin Sumari telah melahirkan dunia autonomous dimana manusia perlahan tapi pasti mulai kehilangan kendali terhadap nilai-nilai kemanusiaannya.

Mari kita simak lahir dan bergulirnya mesin pencari dan berbagai aplikasi perpanjangan inderawi; peta, layanan daring multiguna, sampai habitat baru yang dibangun lewat media sosial. Mesin yang semakin cerdas mulai membangun lapis perasaan dan kesadaran. 

Sadarkah kita jika setiap jejak digital kita dapat memberikan engine gambaran tentang siapa kita?

Preferensi kita, dinamika emosi kita, psikografik, bahkan prediksi jalan hidup kita yang bahkan kita sendiri belum yakin akannya.

Ada konsep filter bubble yg menghasilkan algorithmic enclave (Lim, 2017) di mana pola dan kebiasaan yang tercermin dalam aktivitas di alam saiber akan memerangkap kita dalam jebakan infrastruktur manufaktur jiwa.

Apa itu manufaktur jiwa? Kita akan masuk ke dalam balon-balon preferensi yang mengepung kita dengan data dan fakta yang dipakaikan sesuai dengan pola yang kita tampilkan. Dengan kata lain, kita menciptakan posibilitas lahirnya dunia kita sendiri, dan itu dirancang dengan cerdasnya oleh mesin dan sistem yang kita buat sendiri. 

Kita terkepung dengan data yang kita sukai dan kita rasa sesuai dengan kebutuhan kita. Mesin menawarkan efek psikadelik halusinogenik yang tak kalah trengginas dengan Meskalin dan senyawa sejenisnya seperti Psylocibin dari jamur tahi sapi.

Lalu bukan hanya preferensi suka dan kegembiraan saja yang direkonstruksi oleh engine yang dibangun oleh para engineer yang ahli dalam perkara engineering. Perkara reka dan merekayasa. 

Maka kebencian, kemarahan, dan variabel penderitaan juga direkayasa hingga kita terekadaya. Sebagaimana yang oleh Daniel Keats Citron (2014) lebih ditekankan pada proses pelabelan negatif yang destruktif pada seseorang atau sesuatu hal hingga patut untuk dibenci dan disakiti. 

>>> Halaman Berikutnya

Referensi:
Citron, DK. (2014). Hate crimes in cyberspace. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. 

Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3): 411-427

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x