Tampilkan postingan dengan label Mindful Couple. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindful Couple. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Maret 2022

Mindful Couple: Tulus Berpisah dengan Penuh Cinta ala Lagu-Lagu Tulus



Oleh Nita Fahri Fitria 

Di tengah cuaca Praha yang dingin, dengan wajah yang nyaris membeku, Tulus menggambarkan sepi dan dinginnya kondisi perpisahan sepasang insan yang dulunya saling mencinta. 

Ini adalah lagu ballad pertamanya yang berhasil menghipnotis puluhan juta pasang telinga pada 2016 lalu. Uniknya, lirik lagu “Pamit” milik Tulus ini terangkai dengan makna implisit: kesadaran penuh soal kondisi yang ada dan kesediaan untuk melepas demi kebaikan bersama.

Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saat ku menanti fajar

Sudah coba berbagai cara
Agar kita tetap bersama
Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut kuhilang

Dua bait lirik di atas menggambarkan pengamatan yang objektif terhadap tokoh “aku” dalam lagu dengan pasangannya. Tubuhnya saling bersandar, tapi arah pandangnya sudah berbeda, dan kita menginginkan hal yang tak lagi sama. Bersama, tapi sudah tak lagi saling terhubung, sudah berusaha, tapi ternyata tak membuahkan hasil. Pilihan kata yang diambil menggambarkan kedewasaan seseorang yang mengambil keputusan setelah melewati proses pengamatan dan proses usaha untuk memperbaiki keadaan.

Perdebatan apapun menuju kata pisah
Jangan paksakan genggamanmu

Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu

Jangan paksakan genggamanmu, sebuah pinta demi kebaikan si cinta agar tak memaksakan sesuatu yang memang tak lagi bisa menyatu. Izinkan aku pergi, kutetap teman baikmu, cara pamit yang dewasa dengan sebuah penekanan: perpisahan ini tak akan membuatku membencimu. Sebuah jaminan agar perpisahan ini tak menyisakan masalah berkepanjangan.

Maret 2022, Tulus kembali menyajikan lagu perpisahan dengan irama yang lebih manis dan santai. Kali ini liriknya tak kalah mindful dan penuh kebijaksanaan. Judulnya “Hati-Hati di Jalan”, jadi biar berpisah tetap mendo’akan yang baik-baik. Do’a baik untuk dia yang mengarah pada tuju yang berbeda, karena “aku” dalam lagu ini sadar penuh bahwa hidup mereka harus terus berjalan.

Kau melanjutkan perjalananmu
Ku melanjutkan perjalananku


Tidak hanya soal hati-hati di jalan. Meski temanya perpisahan, tapi lagu ini punya sisi optimisme yang terselip apik pada lirik,

Semoga rindu ini menghilang
Konon katanya waktu sembuhkan


Si “aku” di sini begitu memahami perasaannya yang merindu kasih sayang yang membekas, tapi di saat yang bersamaan juga optimis bahwa ada jalan keluar usai lorong panjang yang gelap akibat pijar yang tlah redam. Inilah lagu patah hati yang mengajarkan resiliensi.

Tulus mengajarkan kita bahwa manusia sejatinya punya sumber daya untuk tetap berdiri tegak dan tak putus harap meski dalam kondisi berduka. 

Bahwa keterampilan mengamati situasi, melihat segala sesuatu sesuai apa adanya ia, bukan sesuai dengan penilaian yang kita mau, sangat bisa membuat manusia pada akhirnya menimbang dengan jernih dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Sadar akan ada luka, tapi juga sadar bahwa setiap luka ada penawarnya. 

Memahami ini sebagai situasi yang tak mudah dan menyakitkan, tapi juga sadar bahwa tak ada alasan untuk menyalahkan apalagi membenci. Itulah mengapa, meski sakit, tapi tetap mendo’akan yang terbaik.

Dan Tulus telah mengajarkan perpisahan yang tulus dengan penuh cinta kasih.

Sumber gambar:

Kamis, 02 September 2021

Mindful Couple: Hal Terpenting yang Wajib Dilakukan Sebelum Mengenal Pasangan



Oleh Duddy Fachrudin

Perceraian (lagi). 

Mengelola sebuah pernikahan tak semudah jatuh cinta lalu mengatakan i lup yu semata. Dan juga bukan karena aku kamu (baca: kita) terdapat kesamaan lalu membuat janji suci dalam sebuah ikatan. Karena... pernikahan sejatinya adalah manajemen ketidakcocokan. 

Maka belajar saling mengenal pasangan adalah suatu keniscayaan: 

Yaa ayyuhan naasu inna khalaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'ubaw wa qabaa 'ila lita'aarafu, inna akramakum 'indallahi 'atqaakum, innallaaha 'aliimun khabir. (Al-Hujurat)

Namun, mengenal pun bukan hanya tertuju pada pasangan. Mengenali diri seringkali dilupakan dan dinomorduakan.  

Blind self, saat buta tentang diri artinya di saat itu tidak menyadari sepenuhnya diri. Karena jarangnya memberi perhatian, kita tidak mengetahui dan mengenali pikiran, dorongan-dorongan, kebiasaan-kebiasaan, dan keinginan-keinginan, yang pada akhirnya kita "seolah" tidak memiliki pilihan dalam mengambil keputusan. Reaktif berdasarkan pikiran yang melintas dengan super cepat dalam kepala.


Dialektika kesadaran semestinya dibangun menembus lapis-lapis ego. Tapi... seringnya membangun mekanisme pertahanan akhirnya luput dari kewaskitaan. 

Tanpa disadari, waktu terus berlalu  menjadi bom waktu yang meledak tanpa ampun menyisakan rasa malu. Bukannya refleksi diri, tapi saling menghakimi penuh caci maki. 

Awalnya cinta berujung benci. 

Begitulah cerita sang jiwa berliku luka antara rasa dan logika. 

Sumber gambar: 

Kamis, 05 Desember 2019

Mindful Couple: Jika Engkau Ingin Menikah... (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Yang kita perlukan adalah membuka diri terhadap segala perbedaan yang dihadapi, kemudian bertoleransi akan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, gak gue banget, agar mempermudah diri kita untuk menghadapi tantangan lain yang sudah pasti akan datang.

Menerima dan berdamai dengan harapan-harapan kita yang mungkin belum bisa dipenuhi oleh pasangan. Serta menerima dan berdamai dengan situasi pasca menikah yang mungkin tidak seindah bayangan. Di situlah pentingnya kesediaan untuk terus belajar.

Begitu kita membuka diri, ok suami aku begini, situasi saat ini begini dan aku terima dengan hati yang terbuka. Kita akan secara otomatis belajar beradaptasi dengan semua itu. Untuk menghadapi sifat pasangan yang begini, kita harus bagaimana atau untuk menjalani situasi begitu, harus bagaimana, dan seterusnya. 

Dan melalui proses belajar itulah kita akan menemukan cara untuk terus berjalan seimbang dan harmonis, tidak lagi sikut-sikutan, ingin jalan duluan, atau saling menyalahkan. Kalau sudah begitu, tantangan apapun yang dihadapi akan membuat hubungan kita semakin solid. 

Coba bayangkan jika dalam satu tubuh, kaki kanan memakai flat shoes sementara kaki kiri menggunakan sepatu setinggi tujuh senti, dan disuruh berjalan di atas hamparan kerikil. 

Terbayang? Itulah gambaran pasangan yang tidak bisa saling membuka dan menyeimbangkan diri. Baru beberapa langkah saja pasti sudah jatuh tersungkur. Maka, mari seimbangkan.

Tentu saja proses membuka diri agar bisa saling menyeimbangkan dengan pasangan ini tidak hadir begitu saja. Kemampuan ini perlu dibangun sejak masih sendiri. 

Untuk membangunnya kita perlu banyak memberikan kesempatan pada diri untuk menerima tantangan baru seperti bepergian ke tempat asing, bertemu dengan banyak orang, serta melakukan banyak aktivitas yang memungkinkan diri kita untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda. 

Hal-hal tersebut akan melatih diri kita untuk memiliki kemampuan adaptasi yang baik serta terbiasa untuk belajar dan menerima hal baru.

Jadi, jika engkau ingin menikah...

Bepergianlah, merantaulah, berteman dengan banyak orang, belajar hal baru, ijinkan diri sendiri untuk menerima hal yang gak gue banget. 

Sumber gambar:

Mindful Couple: Jika Engkau Ingin Menikah... (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Termasuk kategori life event dalam teori perkembangan, menikah memang momen super penting bagi setiap insan. Life event adalah sebuah kejadian/ pengalaman yang menghadirkan perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Tentu saja, menikah menghadirkan begitu banyak perubahan pada diri kita, bukan?

Perubahan dalam pernikahan tidak hanya sekedar perubahan dulu tidur sendiri sekarang berdua, atau dulu ngurusin diri sendiri sekarang ngurusin suami. Tapi dalam pernikahan ada banyak sekali perubahan yang detail, rumit, dan penuh kejutan. Maka tidak heran, mereka yang melewati masa berpacaran sekian tahun saja mengatakan bahwa setelah menikah semuanya berbeda.

Setelah menikah kita akan menghadapi pasangan dengan karakter, latar belakang, sudut pandang, kebiasaan, dan segalanya bisa jadi benar-benar berbeda dengan kita. Di hadapan kita juga ada keluarga pasangan yang terdiri dari ayah dan ibu mertua, saudara ipar, keponakan, om, tante, kakek, nenek, sepupu yang masing-masingnya juga memiliki detail kepribadian yang berbeda dengan kita. Terhampar pula di hadapan, perbedaan budaya, tradisi keluarga, bahasa, cara pengelolaan keuangan, hobi, dan sederet detail lainnya. Belum lagi soal manajemen diri, waktu, dan pekerjaan pasca menikah yang tentunya juga akan mengalami perubahan.

Banyak orang kemudian merasa seperti terpenjara, tidak nyaman, ingin kembali membujang, atau sekedar melarikan diri sejenak karena tidak siap menghadapi sederet perbedaan tadi.

Bahkan ada yang berpisah dengan dalih terlalu banyak perbedaan, tidak lagi cocok, buntu, dan sebagainya di usia pernikahan yang masih seumur jagung. 

Jadi sebetulnya pernikahan itu apa sih? Kok orang-orang begitu mendambakan pernikahan, tapi kemudian merasa stress, depresi, merasa terpenjara, dan menjadi sebal setengah mati pada pasangan yang dulu dicintai, justru setelah hidup bersama dalam ikatan yang katanya membahagiakan itu?

Pernikahan adalah soal membuka diri. Dalam mindfulness, sikap membuka diri dinamakan beginners mind

Sepasang pria dan wanita yang tengah dimabuk cinta dan ingin melewatkan sisa hidup bersama, perlu untuk terus saling membuka diri untuk saling belajar, saling bertoleransi, dan saling berupaya agar bisa berjalan seimbang sebagai sepasang kaki yang menapaki jalan menuju satu tujuan. 

Sekali saja kita menutup diri dan berkata, “Aku gak mau ya, itu gak aku banget.”, maka sejatinya kita tengah membangun tirani kita sendiri. Lantas, apakah kita harus menjadi orang lain? Tidak juga...


Sumber gambar:

Senin, 23 September 2019

Mindful Couple: Kembali Ke Awal


Oleh Duddy Fachrudin

Alex dan Beno. Keduanya punya profesi yang super sibuk. Keduanya anak tunggal. Keduanya keras kepala. Keduanya dipertemukan, dan jatuh cinta.

Cinta saja rupanya tak cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Ego masing-masing yg ingin dituruti dan saling menghakimi memunculkan luapan freatik maupun konflik nan masif. Bertubi-tubi pertengkaran melelahkan fisik dan mental, yang pada akhirnya membuat keduanya terpental.

Hubungan interpersonal antara dua insan dalam sebuah ikatan adalah manajemen ketidakcocokan. Begitulah pesan alm. Sophan Sophian, cinta sejatinya Widyawati. Ketidakmampuan pengelolaan dan pengendalian sifat serta karakter individu hanya akan menimbulkan luka bagi pasangannya.

Selain itu, karena terdapat banyak perbedaan, maka setiap individu diminta belajar untuk saling mengenal... Yaa ayyuhan naasu inna khalaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'ubaw wa qabaa 'ila lita'aarafu, inna akramakum 'indallahi 'atqaakum, innallaaha 'aliimun khabir. (QS. 49: 13)

Maka memberi jeda saat konflik menerpa bertujuan untuk mengerti dan memahami. Berhenti adalah sebuah langkah untuk kembali ke awal, titik nol, dimana pikiran dan hati dapat menjadi jernih sehingga memungkinkan untuk hadirnya berbagai alternatif respon yang lebih positif dan bijaksana.

Seperti kata Glen Fredly, "...tak ingin daku, mengulangi cara yang sama tuk mengerti tentang kita..."

Maka strategi yang berbeda niscaya ada. Untuk itu perlu kiranya mengembangkan metacognitive awareness, sebuah istilah yang diciptakan Barnard & Teasdale di awal 90'an yang menggambarkan suatu keadaan pikiran yang berkesadaran dan memiliki perspektif yang luas.

Contoh yang paling nyata datang dari kisah One Piece: Stampede, dimana para bajak laut yang menjadi musuh angkatan laut justru berkoalisi dengan mengusung satu visi. Keduanya menyisihkan ego demi satu tujuan yang sama, yaitu mengalahkan Douglas Bullet, villain utama yang kekuatannya konon melampaui Rayleigh. Loh kok malah nyambungnya ke One Piece ya...

Lalu pertanyaannya: satu itu apa?

Sumber gambar:

Jumat, 28 Juni 2019

Mindful Couple: Cinta Saja Tak Cukup... ?


Oleh Duddy Fachrudin

All you need is love, kata the Beatles. Namun nyatanya, cinta saja tak cukup membuat Song Couple melanjutkan perjalanan cintanya. John Lennon, Paul McCartney, Ringo Starr, dan George Harrison kalau begitu penipu dong?

Mengelola sebuah penikahan tak semudah jatuh cinta lalu mengatakan i love you semata. Meskipun ada beberapa kesamaan, pernikahan sejatinya adalah manajemen ketidakcocokan antara dua insan yang berbeda.

Karakter, kepribadian, suku, bangsa, hingga agama serta keyakinan dapat menjadi faktor protektif sekaligus resiko dalam sebuah pernikahan. Ada yang dapat bertahan dan ada pula yang memilih jalan perpisahan karenanya.

Maka, Tuhan yang menciptakan perbedaan ini juga sekaligus menganugerahkan seperangkat alat dan sarana bagi manusia untuk belajar serta mengembangkan kecerdasan berbasis kesadaran (mindful).

Maka cinta sesungguhnya rasa yang tak lagi berpusat dan bermuara pada reward dan punishment. Ia hadir juga bukan karena kemolekan fisik atau materi.

Cinta ada karena humanisme jiwa yang tertempa oleh segala derita dan terpapar oleh cahaya semesta berisi oksitosin yang melimpah ruah.

Maka cinta adalah rasa yang jatuh berulang-ulang karena ia selalu takjub akan keindahan yang tersembunyi di lorong-lorong langit dan bumi.

Bernyanyilah, menarilah.

Merayakan cinta. Menyibukkan diri dengan cinta.

Mungkin cinta saja sudah cukup, jika kita memahami betapa indahnya cinta itu.

Sumber gambar:
https://www.bolasport.com/read/311767581/song-joong-ki-dan-song-hye-kyo-seharusnya-bisa-jadi-atlet-dan-tampil-pada-olimpiade

Senin, 26 November 2018

Mindful Couple: Jodoh di Tangan Manusia


Oleh Duddy Fachrudin

Seorang wanita muda berparas ayu menemui saya, menjadi peserta dalam sebuah pelatihan dan kemudian mengutarakan gundah dan rasa gelisahnya. Dalam kesempatan yang hening penuh rasa, sang wanita bercerita bahwa orangtuanya ingin agar ia memiliki pasangan seorang dokter. Realitanya, saat ini ia memiliki kekasih yang jauh dari kriteria ayah bundanya. Konflik hati menangungi dirinya.

Saya menemaninya mengobrol, bertukar kata, dan kadang-kadang bertanya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu ia jawab dengan mindful (hati-hati) namun pasti. Sebagai seorang anak, ia mencoba memilih mengikuti kata orangtuanya. Ikhlas.

Hari berlalu melepas waktu. Beberapa minggu setelah sesi itu saya mendengar sebuah kabar bahwa ia tidak lagi bersama kekasihnya. Bahwa ia bertemu seorang calon dokter berparas tampan. Tingginya hampir sama. Pun begitu rupanya.

Keputusan dan tindakan wanita cantik itu membuat tangan-tangan Tuhan bergerak.

Bergerak untuk mempertemukan keduanya.

Sumber gambar:
https://www.pinterest.com/pin/476326098063551904/

Minggu, 30 September 2018

Mindful Couple: Mencintai Kehilangan


Oleh Duddy Fachrudin

Kehilangan adalah luka. Ia juga derita yang menjerat rasa.
Meski begitu, kehilangan dapat memiliki makna yang berbeda. Setidaknya bagi para manusia yang pandai mengambil hikmah.

Kehilangan begitu menyesakkan, jika tidak dibekali dengan penerimaan dan pemaafan.

Maka kehilangan memanggilmu untuk menguji cintamu.

Mencintai kehilangan bukanlah memaksa untuk terhempas, melainkan ikhlas melepas.
Mencintai kehilangan adalah mensyukuri nikmat yang telah diberi.
Dan...
mencintai kehilangan berarti siap menerima kebaruan dalam kehidupan.

Janganlah menjadi jiwa-jiwa yang bersedih,
karena kekasihmu selalu di sini,
saat ini.

Dengarkanlah...
dengarkanlah rasa yang berhembus mesra dengan sepenuh hati.

Sumber gambar:
http://griyaquran.org/belajar-alquran/ikhlas-berbuat-kebaikan-i

Senin, 17 September 2018

Mindful Couple: Dia adalah Jodohku



Oleh Duddy Fachrudin

Maria: Kamu percaya jodoh Fahri?

Fahri : Ya... Setiap orang...

Maria: Punya jodohnya masing-masing. Itu yang selalu kamu bilang. Aku rasa Sungai Nil dan Mesir itu jodoh. Senang ya kalo kita bisa bertemu dengan jodoh... yang diberikan Tuhan dari langit...

Fahri : Bukan dari langit Maria, tapi dari hati... dekat sekali

Jodoh. Satu kata yang membuat orang yang masih melajang namun sudah berkeinginan untuk menikah selalu bertanya pada dirinya: 

Kapan aku menikah? 

Atau benarkah dia jodohku yang tepat? 

Ada sebuah kekhawatiran yang melanda aspek psikologis seseorang ketika ia berada pada situasi tersebut. Situasi dimana ia akan berhadapan dengan dunia baru bersama pasangan hidupnya, yaitu membina hubungan berlandaskan sebuah ikatan yang sakral—mitsaqan ghaliza.

Maka memilih jodoh tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Perlu hati-hati dan mindful, dilihat dan diamati bobot-bibit-bebet kalau kata orang Jawa. Bobot berkaitan dengan kualitas fisik dan mental serta keilmuan. Bibit berbicara tentang asal usul keturunan. Dan bebet hubungannya dengan status sosial.

Selain bobot-bibit-bebet, sebenarnya ada satu aspek lagi yang jarang diperhatikan, namun justru ini adalah tolok ukur yang sangat penting diantara ketiganya.

Jika bobot-bibit-bebet merupakan tolok ukur eksternal, maka yang satu ini bersifat internal.

Aspek itu adalah yakin bahwa dia jodoh kita.

Bagaimana kita bisa yakin bahwa dia adalah teman hidup yang akan selalu menyertai perjalanan hidup kita?

Seorang guru bijak berpesan agar kita senantiasa menangkap pertanda semesta yang hadir lalu lalang di depan mata.

Maka selaras dengan semesta adalah syarat kita memakna isyarat.

"Bagaimana?", tanya seorang murid. "Bagaimana saya bisa selaras dengan semesta ini wahai guru?"

Hening.

Seperti Fahri berujar, "Bukan dari langit Maria, tapi dari hati... dekat sekali".

Selaras.

Sumber gambar:
https://izzahbaridah.wordpress.com/inspiration/my-dream/mesir/

Jumat, 04 Mei 2018

Mindful Couple: Dapatkah Mindfulness Mencegah Perceraian?

Growing Old Together

Oleh Duddy Fachrudin

9000 kasus perceraian.

Jumlah itu menempatkan Kabupaten Cirebon menduduki peringkat tiga mengenai tingkat perceraian tertinggi selama tahun 2017. Juara satu dan dua "dimenangkan" oleh Kabupaten Indramayu dan Kota Cimahi. Begitulah berita yang tersaji di jabar.tribunnews.com pada tanggal 22 Maret 2018.

Dalih cerai sebagian besar karena faktor kemiskinan.

Terasa janggal jika kemiskinan dijadikan kambing hitam penyebab perceraian. Karena "iltamisur rizqa bin nikaah," ujar Sang Nabi, Muhammad Saw.

Dalam hadis ini kita diminta mencari rezeki melalui jalan pernikahan. Jadi, pernikahan sesungguhnya tidak akan pernah membuat pelakunya miskin.

Ada variabel yang belum diteliti atau ditemukan yang menjadi penyebab perceraian.

Namun, kita boleh belajar pada John Gottman (2015), seorang Guru Besar bidang Psikologi dari Universitas Washington yang selama lebih dari 40 tahun memfokuskan diri mengkaji relasi pasangan suami istri. Berdasarkan penelitiannya, ada 4 hal yang dapat menjadi prediktor perceraian.

Pertama: CRITICISM
Kritik adalah ketidaksetujuan yang dibangun atas sebuah persepsi. "Kamu egois", "Kamu tidak bisa diandalkan dan selalu sibuk", "Kamu selama ini tidak peduli sama aku". "Kamu... kamu... dan kamu..."

Kehidupan pernikahan dipenuhi dengan saling mengkritik dan menilai pasangan.

Kedua: DEFENSIVENESS
Kebalikan dari kritik, defensiveness adalah sikap bertahan, membela diri, dan tidak menerima kritikan pasangan. "Nggak kok, aku nggak egois", "Aku sibuk karena diminta bosku, jadi ini bukan salahku, kan?", "Aku sudah memberikan apa yang kamu inginkan!".

Defensiveness pada akhirnya bertujuan "menyerang" balik atas ungkapan yang dirasa memojokkan salah satu pasangan.

Ketiga: CONTEMPT
Serang-menyerang yang berkelanjutan menghasilkan perang. Penghinaan bernada sarkas dapat muncul keluar begitu saja tanpa kendali. Inilah contempt. Menyakitkan rasanya mendengarkan kalimat sarkastik, apalagi itu berasal dari pasangannya sendiri. Contoh interaksi sarkastik dari film Ada Apa Dengan Cinta:

Cinta: Sejak gue ketemu elo, gue berubah jadi orang yang beda (nada tinggi). Orang yang nggak bener.

Rangga: Gini ya Ta, salah satu diantara kita, itu pasti lebih punya hati, atau punya otak. Tapi kamu kayaknya nggak punya kedua-duanya deh.

Jlebb.

Keempat: STONEWALLING
Setelah "perang" berkepanjangan, masing-masing pasangan kemudian berpikir, lalu self-talk, "Saya lebih baik diam, tidak usah menanggapi, karena percuma menanggapi." Suasana panas membara yang membakar fondasi keluarga akhirnya berubah dingin membeku dan membatu meninggalkan sembilu.

Ibarat makan sayur tanpa garam. Hambar.

Kalaupun salah seorang menanggapi ucapan pasangannya, ia berkata dengan sangat irit, "Oh.." atau "Mmm..." atau tanpa suara dan hanya gerakan non-verbal tanpa rasa yang semakin membuat suhu udara rumah tangga semakin minus dibawah nol derajat.

Berdasarkan pemaparan Gottman tersebut, maka sumber malapetaka pernikahan sesungguhnya adalah permasalahan komunikasi. Ketidakmampuan mendengarkan dan menerima satu sama lain akibat keangkuhan yang melekat merupakan awal dari bencana yang bernama perceraian.

Maka apakah dengan mengembangkan sikap mindful, seperti memberikan perhatian penuh dan tidak reaktif saat pasangan berbicara dapat mencegah perceraian, dan bahkan sekaligus menambah keintiman relasi suami-istri?

Referensi:
Gottman, J.M. (2015). Principa amoris: The new science of love. Routledge: New York.

Sumber gambar:
https://www.pinterest.com/bratandpunk/growing-old-together/

Senin, 05 Maret 2018

Mindful Couple: Terima Kasih Istriku (Belajar dari Perempuan)



Oleh Duddy Fachrudin

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya?
Meninggalkan hati untuk dicaci

Lalu sekali ini aku lihat karya surga dari mata seorang hawa

Ada apa dengan cinta?
Tapi aku pasti akan kembali dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya

Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku

Karena aku ingin kamu
Itu saja

(dibacakan Rangga di ending “Ada Apa Dengan Cinta”)

Pernahkah terbesit mempelajari perempuan? Tidak. Itulah yang saya pikirkan dulu. Namun kini seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia saya perlu mempelajarinya, mengenalinya, dan memahaminya. Pertanyaannya bagaimana dan dengan cara seperti apa?

Mengapa tidak mulai saja dengan melihat dan mengenali perilaku ibu?

Ibu: sifat, karakter, dan perilaku seorang wanita tercermin dari seorang ibu. Dialah orang pertama yang khawatir akan kondisi anak-anaknya. Ibu pula yang menolong kita pertama kali saat kita sakit. Kasih sayangnya tertumpah ruah. Cintanya tak bisa diukur karena begitu tulusnya ia mencintai kita. Tak heran Rasulullah Saw. menyebut kata “ibu” tiga kali sebagai orang yang paling penting bagi kita sebelum kata “ayah”.

Berikutnya, kita bisa mempelajari perempuan dari istri kita. Bagi yang telah menikah pasti dapat merasakan perbedaan antara kita sebagai suami dengan istri kita. Tidak mudah memahami satu sama lain, karena kadang ego masing-masing dapat mengalahkannya. Sang istri mengharapkan suaminya tidak hanya bekerja, tapi juga ikut membantu mengurus anak. Sementara sang suami bersikeras tak mau membantu karena ketika tiba di rumah selepas bekerja energi fisik dan psikisnya sudah terkuras sehingga tak ada waktu untuk menyambut permohonan istrinya. Itulah kenyataannya. Oleh karenanya, alm. Sophan Sophian mengatakan bahwa pernikahan adalah manajemen ketidakcocokan.

Mempelajari perempuan tidak lepas dari wanita-wanita pilihan yang pernah hidup di dunia ini. Kisahnya tertulis dalam artikel maupun buku-buku yang tak pernah lekang oleh waktu. Mereka adalah wanita-wanita terbaik yang memiliki kualitas surga. Misalnya saja Ibunda Khadijah, yang selalu setia menemani dan menjadi teman curhat Rasulullah Saw., manusia paling mulia itu mengalami guncangan saat awal-awal menerima wahyu.

Perempuan berbeda dengan laki-laki. Value utama perempuan adalah yang berkaitan dengan perasaan dan hubungan (relationship), sementara laki-laki menekankan power, competence, dan achievement, begitu kata John Gray, penulis “Men Are From Mars, Women Are From Venus”.

Maka sebagai seorang laki-laki, kita harus bisa memahami perempuan dari setiap kata yang terucap, dari raut wajah yang tergurat, dan dari air mata yang mengalir menuruni kedua pipinya. Dengan memahaminya, perbedaan bukan menjadi penghalang. Justru perasaan cinta dan sayang akan semakin besar.

Begitukah?

Mungkin...

Karena bagi seorang laki-laki, yang terpenting adalah meniatkan diri untuk menjadi pasangan terbaik baginya, bukan?

Dalam ending “Ada Apa Dengan Cinta”, kepergian Rangga untuk melanjutkan sekolah ke New York membanjiri air mata Cinta. Sesungguhnya, jauh-dekatnya jarak antara dua orang yang saling mencintai tidak akan membedakan rasa. Rasa itu tetap sama jika kita meniatkan cinta ini sebagai satu pijakan untuk meraih cinta-Nya.

Maka perempuan... ijinkanlah setiap bulir air mata yang menetes adalah karena-Nya. Dengan begitu tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tak ada yang perlu dirisaukan. Jalani saja perjalanan cinta ini dengan sederhana. Itu saja...

Saat kekhawatiran tiada, kebersyukuran terbit dan ia tak akan pernah terbenam. 

Sumber gambar:
http://momandwife.com/2011/10/free-printable-thank-you-card-download/

Kamis, 28 September 2017

Mindful Couple: Bersyukurlah Ketika Anda Patah Hati, Loh Mengapa?


Oleh Tauhid Nur Azhar

…too much love will kill you… (Queen),
cinta ini membunuhku… (d’Masiv)

Tahukah anda bahwa para ilmuwan neurosains baru saja mendefinisikan sebuah fenomena fisiologis yang unik di saat seseorang mengalami tekanan batin yang berat. Tekanan tersebut dapat ditimbulkan oleh masalah-masalah yang terkait dengan proses interaksi dan komunikasi sosial, termasuk persoalan hubungan cinta antara dua orang yang tengah dimabuk asmara.

Hasil pengamatan di beberapa negara ditemui sindrom “putus cinta” ini seringkali menimbulkan gangguan yang menyerupai gejala serangan jantung, infark miokardium akut. Timbul serangan rasa nyeri di daerah dada yang menjalar ke punggung, lambung, dan daerah lengan sebelah kiri. Dapat pula diikuti dengan kesulitan bernafas (sesak), keluarnya keringat dingin, dan tubuh terasa lemas.

Sindroma ini dikenal sebagai sindroma Takotsubo atau miokardiopati Takotsubo. Dr. Ilan Wittstein, MD kardiolog dari The John Hopkins University Medical School dan kawan-kawan, menemukan kasus takotsubo terjadi akibat adanya akumulasi neuropeptida otak yang merupakan keturunan katekolamin. Turunan katekolamin yang kerap dijumpai serta memiliki efek simpatik secara sistemik antara lain adalah epinefrin dan norepinefrin.

Tetapi di dalam kasus Takotsubo ternyata tidak hanya epinefrin dan norepinefrin saja yang kadarnya melonjak drastis, melainkan juga molekul-molekul peptida kecil dan neurotransmiter seperti metaneprin, normetaneprin, neuropeptida Y, dan peptida natriuretik turut melonjak secara drastis.

Akumulasi produksi faktor kimiawi yang terjadi di saat amigdala menerima data yang “,menyakitkan” serta “gagal” meregulasi emosi negatif, akan menyebabkan efek kardiak berupa fibrilasi sesaat yang diikuti dengan “pingsan”nya sejumlah sel-sel otot jantung. Jadi putus cinta, ditolak, ataupun patah hati memang bisa membuat jantung “klenger” atau “semaput” !

Apakah sindroma ini berbahaya? Tergantung kepada seberapa luasnya daerah otot jantung yang “semaput”. Jika daerah yang mengalami kardiomiopati sesaat itu cukup luas, maka bisa saja akibatnya fatal.

Mengingat fungsi utama jantung adalah mensuplai kebutuhan oksigen untuk seluruh sistem tubuh, termasuk otak, maka keadaan jantung “mogok” bekerja ini dapat menimbulkan hipoksia (kekurangan oksigen) di jaringan. Jika kekurangan oksigen ini berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama maka jaringan yang amat bergantung pada asupan oksigen akan tertganggu bahkan rusak permanen.

Tetapi catatan klinis Dr. Ilan Wittstein dan kawan-kawan yang telah dipublikasikan di jurnal New England Journal of Medicine (2005), menunjukkan bahwa kasus-kasus kardiomiopati akibat kejutan psikologis ini biasanya bersifat reversible, alias dapat pulih kembali.

Kondisi jantung pun pada umumnya baik dan tidak disertai dengan kerusakan yang bersifat kronis. Cara membedakan dengan serangan jantung pada umumnya pun relatif mudah. Pada sindroma kardiomiopati Takotsubo tidak ditemukan adanya peningkatan kadar enzim-enzim penanda kerusajan jaringan otot jantung seperti CK dan CK-MB.

Siapa saja yang mungkin mengalami sindroma Takotsubo? Orang-orang yang memiliki tingkat stres harian sudah sangat tinggi, orang-orang yang kinerja otaknya lebih didominasi oleh sirkuit amigdala, dan orang yang memiliki tipologi kepribadian rentan terhadap stres.


Maka syukurilah peristiwa “patah hati”, cari hikmahnya dan jangan terlalu disesali. Sebab “patah hati” pasti adalah karunia Allah yang belum kita sadari maknanya. Jika disesali maka QS. Ibrahim ayat 7 akan berlaku, dimana nikmat jika disesali akan berubah menjadi azab. Nah, salah satu manifestasi azab itu mungkin sindroma jantung “klenger” yang dinamai Takotsubo!

Referensi:
Wittstein, I. S., Thiemann, D. R., Lima, J. A. C., Baughman, K. L., Schulman, S. P., Gerstenblith, G., Wu, K. C., Rade, J. J., Bivalacqua, T. J., Champion, H. C. (2005). Neurohumoral features of myocardial stunning due to sudden emotional stress. New England Journal of Medicine, 352 (6), 539-548.

Sumber gambar:
https://mysendoff.com/2011/05/dying-of-a-broken-heart/

Kamis, 07 September 2017

Mindful Couple: 5 Langkah Agar Mudah Move On dari Masalah Percintaan


Oleh Duddy Fachrudin

Suatu ketika ada seorang perempuan muda menceritakan masalahnya kepada saya. Inti dari masalahnya adalah pasangannya sudah meyakinkan dirinya bahwa ia akan menikahinya. Tentu saja perempuan muda tersebut merasa senang dan mempersiapkan diri untuk menjadi pendamping hidup yang terbaik.

Namun, ternyata belum ada langkah konkrit yang dilakukan pasangannya untuk menikahinya. Perempuan muda ini terjebak dalam perasaan galau, gelisah, dan gundah gulana. Ia bingung apa yang harus dilakukannya? Apakah ia harus meninggalkan pasangannya dan mencari laki-laki lain yang siap menjadi suaminya atau tetap menunggu pasangannya melamar dirinya di hadapan orang tuanya.

Tentu saja kasus sulit move on tidak hanya terjadi pada masalah percintaan. Saya pernah menangani mahasiswa yang stuck pada kuliahnya di tingkat pertama di sebuah universitas ternama di Indonesia. Nilai-nilainya sangat rendah sehingga ia harus mengulang beberapa mata kuliah pada tahun berikutnya. Pada saat itu kondisi keluarganya juga sedang tidak harmonis. Hal tersebut yang semakin membuat mahasiswa ini kehilangan fokus pada kuliahnya.

Permasalahan sulit move on yang paling buruk adalah ketika kita tidak hidup di masa ini. Pikiran kita mengembara ke masa lalu, entah pada kekecewaan, kemarahan, dendam, perasaan sakit hati, sampai rasa bersalah yang tinggi. Orang yang hidup pada bayang-bayang masa lalu hidupnya tidak akan bahagia. Ia seperti berjalan menuju masa depan sambil membawa beban yang sangat berat di pundaknya.




Move on pada intinya adalah terlepas dan berpindah. Orang yang sulit move on berarti pikirannya masih melekat pada suatu hal yang ada di masa lalu. Maka apa yang perlu dilakukan untuk move on? Cukup dengan melepaskan atau membebaskan pikiran yang terpenjara. Berikut langkah-langkahnya (dengan ilustrasi kasus percintaan):

Pertama, jika ada pikiran yang mengganggu, cukup amati, misalnya muncul perasaan kecewa, cukup amati perasaan kecewa itu tanpa berkomentar. Cara mengamati yang baik adalah diam sejenak.

Kedua, deskripsikan perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Oh saya kecewa karena pasangan saya mengkhianati saya.”

Ketiga, terima perasaan kecewa tersebut, misalnya, “Saya mengijinkan diri saya menerima perasaan kecewa ini...Terima kasih tubuh, jiwa dan pikiran yang telah mencintainya. Dengan begitu saya menyadari sekali bahwa saya mencintainya. Namun ternyata apa yang telah direncanakan dan diusahakan tidak berjalan lancar. Maafkan saya wahai tubuh, pikiran, dan jiwa, karena kalian semua tersakiti. Saya sekarang mulai belajar untuk ikhlas... ikhlas melepaskan semuanya. Terima kasih sekali lagi, dan maafkan saya."

Keempat, berpikir secara matang untuk mengambil keputusan move on. Dengan berpikir matang maka keputusan yang diambil akan lebih bijaksana.

Kelima, hiduplah untuk saat ini, yaitu dengan menikmati hari ini dengan bahagia. Kadang kita tidak di masa lalu dan masa depan. Pikiran kita mengembara ke masa lalu atau kita terlalu mengkhawatirkan hal yang belum terjadi di masa depan.

Dengan move on dari masalah dan masa lalu kita itu berarti kita mengijinkan diri kita terbebas dari belenggu pikiran yang mengganggu. Kita juga telah mengijinkan diri kita untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Dan terakhir, kita mengijinkan diri kita untuk menerima segala keberkahan dan keberlimpahan dari Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.merdeka.com/gaya/5-alasan-move-on-adalah-hal-tersulit-tetapi-tetap-harus-dilakukan.html