Tampilkan postingan dengan label Sabar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sabar. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka kita manusia adalah makhluk yang bahagia sekaligus menderita. Punya cinta sekaligus teraniaya. Tersandera dalam pilihan, terjebak dalam pusar keputusan. Terbudak oleh puser kenikmatan, dan terus berlari dari kenyataan, karena itu amat menyakitkan. 

Maka menjadi ksatria, kata Marinta si anak Matahari, adalah kehendak watak yang setia pada kejernihan hati dan kebeningan pikir. Bening yang hening dan hening yang bening. Boleh kalah tetapi merasa menang, khususnya pada saat yang dihadapi adalah pertempuran mengatasi pemberontakan dalam diri. 

Boleh juga menang dan merasa menang, karena pada hakikatnya manusia akan selalu berada di fase interstitia... makhluk dua dunia yang selalu dapat bermetamorfosa. Makhluk antara 0 dan 1, antara ada dan tiada. 

Lalu mengapa harus mengada? Apalagi mengada-ada? Padahal menjadi "ada" itu punya alasan sempurna. 

Yen tanana sira iku, Ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami. 

Karena kita adalah lukisan sempurna yang menggambarkan kehadiran-Nya tentu saja. Karena sifat tan keno kinoyo ngopo sudah semestinya terintegrasi ke dalam susunan sel-sel tubuh, darah, dan syaraf dan maujud dalam wadag yang berpikir dan mengonstruksi kesadaran soal takdir dan hadir. 

Maka menyelami kemanusiaan adalah mereguk Tirta Pawitra Mahening Suci yang sumbernya hanya bisa didapatkan jika kita jujur pada diri sendiri. Saat kita dapat melihat dengan jernih sosok "Dewa Ruci", homunculus, yang terproyeksi pada sekumpulan memori dan persepsi tentang siapa "aku" itu. 

"Aku" yang asli tanpa atribut syahwati karena sekedar takut mati dalam kondisi tak berarti. Karena pati jroning urip itu keniscyaan yang membuat hidup kita itu tak ubahnya bak sesosok zombie. Atau vampir penyedot energi hanya demi eksistensi. Menjadi Rara Kenyot yang menyedot segenap daya linuwih semesta hanya agar teraktualisasi selamanya. 

Selamanya yang maya dalam nyata. Semua terjadi karena manusia terpenjara dalam cinta yang terkomoditisasi, lalu melahirkan hasrat untuk dimiliki. Cinta yang tak lagi mengalir mengikuti takdir. Menepati janji pada ruang dan waktu untuk selalu maju dan berlalu. Cinta dan Berada itu mengalir...


Sumber gambar:

Minggu, 10 Februari 2019

Berlatih Sabar dengan SOBER


Oleh Duddy Fachrudin

Alkisah seorang cowok keren berkelana dari kampungnya nun jauh di sudut Sanur menuju Jakarta, sebuah kota yang penuh ambisi dan memiliki tingkat stres yang tinggi. Meskipun begitu kota tersebut merupakan kota cinta dan penuh hikmah, setidaknya bagi pemuda ini.

Ia merantau mencari ilmu dan karena kecerdasannya ia diterima di jurusan psikologi di kampus ternama. Kadek nama pemuda itu, yang selama menempuh studi lebih banyak melakukan eksperimen kehidupan dibanding membaca buku. Ia bahkan jarang terlihat belajar oleh teman-teman atau dosen-dosennya. Namun nilai-nilainya justru yang paling tinggi dibandingkan dengan teman-teman satu angkatannya.

Semua orang curiga bahwa ia melakukan kecurangan, seperti mencontek atau bahkan menyogok. Teman-temannya berkomentar negatif tentangnya, bahkan ia juga mulai dijauhi oleh mereka. Hanya seorang karib yang senantiasa menemaninya, meskipun ia berada di kota sebelah tempat Kadek menempuh studi.

Sendiri ia menghadapi kenyataan yang sebenarnya fiksi. Jiwanya gelisah ingin marah serta membuktikan diri bahwa ia tak bersalah. Namun kemudian ia teringat pesan gurunya di Sanur, "Orang-orang yang berkomentar menjelekkan adalah mereka yang belum mengenal kebenaran dan tersentuh cinta dalam hatinya."

Maka pesan itu yang menjaganya untuk tetap bijaksana layaknya Arjuna yang tak ternoda dan bercahaya mengendara kereta di Padang Baratayudha sembari ditemani Krisna.

"Mereka (Kurawa) juga saudaraku, maka jika aku menjelekkan atau berkomentar negatif kepadanya sama seperti melukai diriku sendiri."

Begitulah Kadek berbagi rasa dengan teman satu-satunya di suatu senja di Kedai Kopi 372 Dago Pakar.

Tak ada yang kebetulan. Sore itu diskusi menarik tentang "Menerima dan Memaafkan" tersaji bersama hangatnya kopi dibawakan oleh Bu Diana, seorang Guru Mindfulness dari kaki Gunung Ungaran dan muridnya mba Fefi.

Kadek dan temannya mengikuti diskusi interaktif yang diselingi musik dan latihan mindfulness nan asyik. Salah satu latihannya adalah SOBER.

SOBER merupakan konsep dari sabar yang merupakan bagian dari hidup mindful. "Carilah pertolongan, salah satunya melalui sabar..." Begitu ujar Bu Diana di hadapan audiens yang begitu antusias...

Bu Diana kemudian meminta mba Fefi menjabarkan SOBER. Dengan mindfulnya, wanita berparas lembut itu menyampaikan SOBER yang ternyata merupakan sebuah singkatan dari:

Stop
Observe
Breathing
Expand
Respond


"Bisa dijelaskan lebih lanjut"?, tanya seorang peserta bernama Anisa, seorang staf riset dan pengembangan di sebuah sekolah bisnis yang saat itu sedang mempelajari mindfulness.

Mba Fefi kemudian melanjutkan:

Stop: disaat mendapatkan suatu kejadian yang tidak menyenangkan, kita tidak langsung merespon. Tapi ijinkan diri kita untuk sejenak berhenti.

Observe: lalu amati pikiran dan perasaan kita, termasuk amati lingkungan juga.

Breathing: kemudian tarik nafas. Ijinkan diri kita nyaman, rileks dan dalam kondisi yang tenang serta penuh kedamaian.

Expand: setelahnya kita mungkin mendapatkan berbagai alternatif respon yang bijaksana atas peristiwa negatif yang baru saja terjadi.

Respond: kalau sudah mendapat respon terbaik, lakukan respon tersebut.

"Itulah SOBER," lanjut mba Fefi.

Kadek yang menyimak diskusi itu semakin yakin bahwa komentar negatif hanya bisa dikalahkan dengan mempraktikkan SOBER.

Sumber gambar:
Dokumentasi Pribadi

Kamis, 30 Agustus 2018

Sikap Mindfulness: Rahasia Sabar


Oleh Tauhid Nur Azhar

Seorang pemuda mendatangi tukang tato. “Tolong buatkan tato terhebat untukku,” pintanya.

“Baik Tuan, tapi gambar apa yang harus kubuat?” tanya pembuat tato.

“Seekor singa yang gagah. Engkau lihat, perawakan badanku gagah serupa singa, maka buatlah gambar singa yang melambangkan keperkasaanku. Kerahkan segenap kemampuanmu. Totolkan warna biru dan merah sebanyak-banyaknya,” ungkapnya penuh semangat.

“Di mana saya harus membuatnya Tuan?”

“Tato yang indah itu pantasnya engkau buat di punggung.”

Sewaktu tukang tato hendak memasukkan tinta melalui jarum ke kulit pemuda itu, terasa olehnya rasa sakit menjalar di punggungnya. Pemuda gagah itu berteriak, “Aduh, gila. Kamu hendak membunuhku ya? Gambar apa yang sedang kau buat?”

“Katanya Tuan meminta gambar singa!”

“Bagian mana yang mulai kau buat?”

“Saya mulai dari bagian ekor,” kata tukang tato itu sedikit takut.

“Tidak usah memakai ekor. Nafasku tersengal-sengal gara-gara ekor singa sialan itu. Biarlah gambar singa itu tanpa ekor!”

Tukang tato itu pun membuat bagian lain dengan hati-hati, tanpa menggunakan pisau. Dia kembali menusukkan jarum. Seketika itu si pemuda menjerit kesakitan.

“Bagian mana yang kau buat?” tanyanya sambil meringis.

“Ini telinga, wahai Tuan yang baik hati,” hibur tukang tato.

“Tak perlu pakai telinga. Potong saja telinganya.”

Tukang tato itu kembali bekerja. Dia menusukkan jarum ke bagian lain. Pemuda itu pun menjerit kesakitan. “Bagian mana lagi yang sedang kau buat?” rintihnya dengan wajah memerah.

“Oh ini perutnya Tuan yang gagah,” ujar tukang tato mulai kesal.

“Singaku tidak memerlukan perut. Bagian itu tentu menghabiskan banyak tinta!”

Tukang tato mulai kebingungan. Rasa jengkel dan kecewa berbaur menjadi satu. Dia terdiam dan tak tahu harus berbuat apa.

“Belum pernah ada orang berlaku seperti Anda? Mana ada seekor singa yang tak memiliki ekor, telinga dan perut? Tuhan tidak pernah menciptakan singa seperti itu."

Begitulah kawan ... Hal besar berawal dari hal kecil. Kesuksesan hidup diawali oleh aneka ujian dan tantangan.

Untuk mentato gambar singa di badan pun, seseorang harus rela ditusuki jarum, mulai dari gambar ekor, telinga, kaki, dan lainnya.

Tanpa kesabaran menahan sakit, mustahil akan terbentuk gambar singa yang gagah. Hikayat yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi ini, mengandung hikmah bahwa sabar adalah kunci meraih kesuksesan hidup. 

Sabar bisa bermakna positif menyikapi derita, menahan diri dari syahwat nan gawat, serta memfokuskan diri berbuat taat.

Maka be mindful, be patient.

Sumber gambar:
https://www.pinterest.com/pin/384354149432001173/