Oleh Tauhid Nur Azhar
Mimpi apa saya? Di malam yang mendadak basah ini saya juga
mendadak gelisah, resah, dan gundah...
Apakah ini nyata? Demikian sebaris tanya bak running text terus saja berulang di dalam benak saya seolah menjadi
cameo pengisi ruang.
Ya undangan kehormatan Dhian, seorang akademisi ISI
Surakarta, membuat saya terdampar dan terkapar lemas di pantai-pantai sadar tak
berbalut lagi selembar nalar.
Sungguh sajian malam ini kurang ajar... Asu, kata
Mas Butet, yang semalam duduk tepat di depan saya.
Diawali terbukanya gerbang
mistika yang penuh dengan mustika lewat mantra musika Kua Etnika yang menggetarkan
sukma, dimulailah sebuah perjalanan spiritual menuju gua garba cinta dan asal
muasal manusia.
Mbak Silir dengan intonasi yang bisa semilir sekaligus berhembus
kencang menghilir, membuai gendang telinga untuk larut dalam rima demi rima yang
dibangkitkan dari pusara cerita oleh sang penyulap, kata Landung Simatupang anak
Batak asli Jogja.
Marinta Si Anak Matahari yang mewarisi radiasi hasil fusi
saripati Tanah Karo dengan puser bumi tanah Jawa, Solo, membungkus kasunyatan
dalam aliran gairah syahwat nalar nan gawat sampai tak terasa ada yang mengerut
dalam cawat. Sirna lah nafsu yang berbaju hasrat. Lahirlah sejuta tanda tanya
nan menggoda, meski sebagian besarnya tersandera retorika dan akan larut dalam
pekatnya haeno tiga dunia nyata.
Kasunyatan...yang nyata sesungguhnya yang
maya. Yang lapar sesungguhnya indera. Yang kuasa sesungguhnya raga yang menjadi
daya wadag adalah boga. Dan hidup adalah maha daya yang tak terperdaya oleh
cinta maya.
Adalah air, adalah rasa, adalah eter yang mengisi setiap jengkal
ruang semesta. Persetan dengan Schopenhauer dengan majas idea nya. Persetan dengan
Heidegger yang terlalu centil dengan ajaran Husserl tentang
fenomena...
Belajarlah mencari apa yang terlukis dan tertulis di jiwa. Dan Jawa adalah Jiwa yang bermata, Mata Jiwa. Mata yang menembus sifat fana dan berkelindan dengan para malaikat yang baka.
Belajarlah mencari apa yang terlukis dan tertulis di jiwa. Dan Jawa adalah Jiwa yang bermata, Mata Jiwa. Mata yang menembus sifat fana dan berkelindan dengan para malaikat yang baka.
Wujud, qidam, baqa... eksistensi
materi adalah bagian dari konstruksi hati yang mencari. Yang dicari tak pernah
pergi, tapi kita mencintai proses mencari. Karena esensi mencari adalah
mengenali yang hakiki. Mengagumi dan mengamati dari setiap sudut persepsi.
Halaman Selanjutnya >>>
Sumber gambar:
https://funnyjunk.com/channel/wallpapers/A+collision+of+dark+and+light/pLstDcY/
0 komentar:
Posting Komentar