Tampilkan postingan dengan label Transpersonal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Transpersonal. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 April 2022

Sikap Mindfulness: Mencintai Tanpa Menghakimi


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sabda Kanjeng Nabi: irhamu man fil ardl, yarhamkum man fis samaa. Sungguh dalam artinya. Bernas diksinya. Mengena sekali pesannya. 

Cintailah (Sayangilah) mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu...

Hadist ini sejalan dengan dalil wa ma arsalnaka ila rahmatan lil alamin, bahwa pada hakikatnya kehadiran manusia ditujukan sebagai "agen" rahmat bagi segenap semesta sekalian alam. 

Kontribusi manfaatnya tidak semata hanya dapat dirasa di lingkungan terbatas, melainkan juga bersifat luas dan mampu melintas ruang yang semula kita anggap takkan mungkin teretas.

Lapis-lapis batas pengamatan memberikan perspektif baru tentang adanya cakrawala di balik setiap cakrawala. Mega kluster Laniakea adalah wadah bagai super kluster Virgo yang bahkan hari ini baru bisa kita cermati sampai The OPIK, awan materi batas Bima Sakti.

Dan di tengah itu semua bergaung sejuta tanda tanya tentang makna mencinta. Tentang siapakah gerangan hamba? Lalu apa yang menjadi keniscayaan yang sesungguhnya?

Wujil dalam Suluk Wujil Sunan Bonang bertanya pada Sunan Wahdat,

Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.

"Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini."

Jika mengacu pada suluk tersebut, menyembah itu harus tahu siapa yang disembah bukan? Harus sadar sepenuhnya tentang peran dan kehadiran. Tentang esensi dan jati diri.

Demikian sekelumit nilai yang dapat dipetik dari penggalan suluk Wujil karya putra Bong Swi Hoo dan cucu Maulana Maliq Ibrahim As Samarqandi.

Pertanyaan yang muncul dalam suluk itu sangat fundamental dan cenderung retorik. Dimana jawabannya harus dicari jauh ke dalam diri sendiri.

Sebagaimana perjalanan Werkudara ke dalam samudera makna sebagaimana dikisahkan dalam Dewa Ruci. Kisah yang berupaya menggambarkan konsep manunggaling kawula Gusti dengan cara membangun dialog antara entitas (Werkudara) dengan representasi consciousness-nya, Dewa Ruci. Tentu dialog yang terjadi sebenarnya adalah dialog retoris yang berkutat tentang proses pencarian jati diri.

Kisah Dewa Ruci ini sebenarnya adalah kisah adaptif yang tidak dapat ditemukan di naskah asli Mahabaratha yang ditulis Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.

Sementara Kisah Dewa Ruci yang menjadi bagian dari script para dalang Jawa merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).

Kembali pada Suluk Wujil Sunan Bonang, peran dan esensi personal tercermin dari kegelisahan Wujil untuk segera mendapat ilmu makrifat karena sudah jenuh belajar syariat.

Padahal proses menuju makrifat itu perlu melalui penyucian jiwa atau nafs, lalu pemurnian qalbu, diikuti pengosongan pikiran dan ruh dari selain Allah. 

Istilah lain untuk metoda ini adalah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengelola hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia. Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.

Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu (Ahad), sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati.

Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. (Hadi Susanto, 2018).

Maka Wujil pun berkisah pada gurunya tentang "kenekatan"nya mencari makna hidup, karena sudah tidak sabar terus disuruh mengaji "Alif".

Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal // sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan // reming neta kalawan suruping pati // wekasing ana-ora.


"Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia daripada kesatuan, mencari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan yang tiada."


Demikian Wujil menyampaikan pada gurunya, Sunan Wahdat. Meski pada hakikatnya Wujil pasti sadar sepenuhnya jika manusia itu sesuai dalil adalah wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun.

Tugasnya adalah beribadah. Ibadah seperti apa? Ibadah yang kaffah yang melibatkan segenap potensi manusia dan jin yang telah dianugerahkan sebagai amanah.

Maka ikhlas menerima, melepas, atau ngekepi juga bagian dari ibadah, asal kita menjalaninya dengan tanpa menghakimi atau membutuhkan alasan yang kadang justru tidak diperlukan.

Sumber gambar:

Rabu, 19 Januari 2022

Filosofi Tahu Bulat



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di Nusantara serta pernah berkesempatan ngumbara ke berbagai sudut mancanagara, saya tuh paling senang melihat dan memperhatikan manusia. Juga hewan, tumbuhan, serta alam sekitar tentu saja.

Sementara sebagai bagian dari alam semesta rasanya bahagia sekali jika dapat mengetahui sekelumit pengetahuan terkait berbagai hal, misal sebab akibat ataupun sekedar definisi dari suatu benda atau fenomena. Ada yang rumit dan ada yang dapat dipahami secara tidak sulit.

Ada yang perlu diungkit, ada yang dinamis seperti jungkat-jungkit, dan ada pula yang pengertiannya berpusar melilit.

Tapi TAHU adalah sesuatu. Mungkin Mang Rene, yang bernama lengkap Rene Descartes (kalau di Jawa mungkin namanya Rene Yo Le) atau dalam bahasa Latin sebagaimana banyak manuskrip di masanya ditulis, dikenal sebagai Renatus Cartesius, paham benar soal TAHU ini, maka ia pun bersabda: COGITO ERGO SUM. Aku berpikir maka aku ada. Aku ada karena aku berpikir. Berpikir berarti meNAHU. Pikir adalah pabrik TAHU.

Mang Rene ini unik, pemikir tapi pernah daftar tentara, 1617 jadi tentara Belanda dan pada masa perang 30 tahun menjadi tentara Bavaria. Justru saat jadi tentara itulah Mang Rene punya privilege untuk berpikir dan menulis.

Karya-karya besarnya antara lain Discours de la méthode dan Meditationes de prima Philosophia. Tapi mungkin banyak yang belum TAHU bahwa sang filsuf TAHU ini adalah bapak matematika modern yang sumbangan pemikirannya antara lain maujud dalam sistem koordinat Cartesius yang banyak digunakan dalam aplikasi kalkulus.

Mang Rene juga seorang neuroscientist, karena pernah menghasilkan karya besar tentang proses berpikir dalam naskah yang diberi judul Rules for the Direction of the Mind.

Tapi pada prinsipnya sih Mang Rene banyak bicara soal TAHU dan bagaimana untuk menjadi TAHU. Bumbu ikutannya mah banyak, ada diskursus logika sampai fallacy. Tapi bahasan kita hari ini adalah soal TAHU, meNAHU, dan dikeTAHUi.

Kalau dipikir-pikir seluruh siklus kehidupan manusia itu berpusar di pabrik TAHU bukan? Indera dikaruniakan dan dihadirkan untuk menghimpun data sebagai bahan baku perTAHUAN atau pengeTAHUan sebagai kata benda yang bisa menjadi adjektiva, mencerminkan sifat. Dengan kata kerja atau keterangan mengeTAHUi dan proses nya: mencari TAHU.

Kan kita tidak TAHU-TAHU paham, mengerti, dan bisa? Jadi semua proses adalah belajar, dan belajar adalah perancah untuk mengonstruksi TAHU. Setelah TAHU kita jadi MAU. Mau apa? MAU TAHU.

Demikian bukan?

Maka lahirlah motif, lahirlah ingin, lahirlah reward alias imbalan, lahirlah desire atau hasrat syahwat yang membuat jantung berdetak lebih cepat.

Imbalan dari proses adalah harapan yang terbumikan. TAHU adalah syarat lahirnya MAU yang berkorelasi kausalistik dengan imbalan atau penghargaan akan capaian yang merupakan apresiasi terhadap upaya untuk menubuhkan bayangan keinginan menjadi sebuah kenyataan. Aktualisasi diri yang menjadi bagian dari proses dan capaian.

Maka TAHU menjadi kata kunci eksistensi. TAHU juga menjadi platform esensi kesadaran, keberadaan, dan peran. TAHU menjadi nilai inti dari interaksi dan komunikasi.

Dari kacamata neurosains TAHU diawali dari indera yang memberi stimuli berupa aneka data dalam berbagai bentuk biofisika. Lalu ada perhatian yang diarahkan sehingga materi yang diterima akan diperhatikan. 

Salience network yang terdiri dari anterior singulata dan korteks insula akan memilah dan memilih data dan mengklasifikannya seperti Dewey mengklasifikasi buku sebagai sumber pustaka di perpustakaan. Dan selanjutnya data akan diolah menjadi memori dan serangkai cerita yang akan mewarnai otak kita.

Dalam diam yang tak hening, kadang kita larut dalam lamunan yang bahasa Jakselnya adalah self referential processing (Ekhtiari et al, 2016), dan memikirkan serta merancang masa depan, imagining future.

Pada saat itulah korteks singulata posterior, prekuneus, dan medial prefrontal korteks, serta korteks parietal inferior bahu membahu mengolah data menjadi pabrik TAHU masa depan. Kita jadi TAHU apa yang kita MAU, dan TAHU apa yang harus kita lakukan agar TAHU dan MAU bisa ADA dan mengADA. Kita menamainya CARA, atau boleh juga sih biar keren, disebut Metoda.

Untuk bisa punya CARA kita perlu ILMU yang didapatkan dari meracik TAHU dan bumbu-bumbu.

Maka kata orang-orang penganut Stoic, Stoicism, atau kita Indonesiakan saja menjadi Stoika, kebahagiaan itu bersumber dari hal-hal yang dapat kita kendalikan. Maka mengendalikan itu perlu metoda, perlu cara bukan? Iya kan Kang Zeno? Kang Epitectus, Boss Marcus Aurelius, dan Om Seneca sependapat kah? Jika sependapat, aman berarti ya?

Metodanya ya bisa melalui retorika, dialektika, sampai mengkaji secara fisika (nalar) dan etika serta estetika (rasa). Tapi intinya tetap TAHU apa yang kita TAHU, TAHU apa yang kita tidak TAHU, dan kadang ya yang sering sih tidak TAHU apa yang kita tidak TAHU. Memang ada juga sih yang tidak TAHU kalau kita TAHU.

Saya mungkin yang sering sok TAHU padahal tidak TAHU juga kadang saya pura-pura tidak TAHU kalau saya tuh TAHU. Banyak alasan untuk itu secara fisika dan etika bukan?

Maka TAHU yang mana yang semestinya menjadi TAHU ideal? Buat kita, baca manusia, ya tidak ada. Karena semua TAHU, pengeTAHUan, TAHU MAU dan MAU TAHU itu subjektif. Meski ada pengeTAHUan komunal yang dibangun melalui jejaring interaksi personal, tetapi TAHU tetaplah AKU, karena AKU tak TAHU kamu dan KAMU takkan pernah TAHU AKU. Karena kita sama-sama TAHU, oleh karena itu kita sama-sama tidak TAHU.

Bukankah segenap makhluk itu diciptakan berpasangan? Temasuk TAHU tentunya bukan? 

Seriously, TAHU adalah esensi. Nilai inti dari eksistensi. Bahkan sumber dari segenap proses kreasi. Kehadiran kita dan alam semesta kan bagian dari proses TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi bukan?

Survivalitas saja kan lahir karena kita TAHU apa yang kita butuhkan untuk mempertahankan kehidupan bukan? Komunikasi dan bisnis hadir karena kita TAHU bagaimana cara kita menjalin simbiosis dalam sebentuk interaksi sarat kepentingan yang bersifat mutualis bukan?

Lalu pada gilirannya kita akan menyadari bahwa esensi dari TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi itu adalah kehidupan dan keberadaan itu sendiri bukan? TAHU adalah kesadaran.

TAHU apakah yang paling lezat? TAHU BULAT tentu saja.

TAHU yang BULAT adalah sebentuk kesadaran yang dibangun oleh konstruksi pengeTAHUan yang sudah tak lagi bersudut dan berbidang. Tak ada garis dan nodus yang tak terpusat. Fokus. AHAD.

Digoreng dadakan. Spontan dan selalu segar. Tumbuh dan berkembang. Melaju seiring jaman. Adaptif terhadap dinamika kebutuhan, lapar goreng banyak, kenyang tak digoreng.

500 an, murah, mudah, terjangkau. Bisa didapatkan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Demikian tulisan hari ini yang diendorse TAHU BULAT. Mohon jangan ditelan bulat-bulat, periksa dulu siapa tahu ada ulat, atau ada bagian yang disunat. Sudah ya, TAMAT. 

Sumber gambar:
https://www.kompas.com/food/read/2021/06/17/151100275/3-tips-goreng-tahu-bulat-kopong-agar-renyah-dan-mengembang

Senin, 19 April 2021

Perjalanan untuk Rehat


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Allah memiliki sifat laisa kamitslihi syaiun, artinya Allah tidak bisa disamakan dengan apapun. Artinya sesuatu yang bisa dipikir atau dikonstruksi secara perseptual oleh manusia adalah syaiun, bukan Allah.

Maka kita diminta untuk pandai memilah, memillih, dan mengolah tanda serta fenomena untuk mencari jejak makna kehadiran dari Allah, Zat yang Maha Mencipta.

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. (QS. Al-Jaatsiyah Ayat 3)

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (QS. Adz-Dzaariyat Ayat 20)

Kedua ayat tersebut sejalan dengan ayat tentang keutamaan ilmu dan iman sebagaimana dapat dipelajari di surat Al Mujadallah ayat 11 berikut:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan. 

Dalam mencari dan berproses membangun kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam kehidupan berlaku prasayarat dan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Yaitu terintegrasinya iman dan ilmu dalam suatu bentuk keselarasan jasadiyah, aqliyah, dan ruhiyah yang terimplementasi dalam konteks Iqra, Akhlaq, dan Adab yang terepresentasi sebagai aspek kebermanfaatan dan Rahmah bagi semesta sekalian alam.

Upaya manusia mencari makna kehadiran Penciptanya berjalan seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia mengekstraksi tanda yang maujud dalam berbagai fenomena, interaksi, dan perubahan dinamis yang diolah melalui fungsi kognisinya. Cara berpikir menjadi konsekuensi logis dari dianugerahkannya kemampuan berpikir.

Mulai dari era Ibnu Sina dengan pendekatan peripatetiknya atau Suhrawardi dengan faham Isyraqiyyah atau iluminasinya, sampai ke pendekatan para muttakalimun atau teosofi transendentalis, al-hikmah al-muta'aliyah, pada dasarnya adalah sebuah gerakan terstruktur untuk mencari makna dan tujuan hidup.

Bahkan jika mengacu kepada pandangan Mulla Sadra yang menggagas prinsip gerak lintas substansi; termasuk materi, ruang, dan waktu, yang dikenal sebagai al harakah al jawhariyah, dimana ada penekanan bahwa setiap perkembangan manusia dimaksudkan untuk mencapai kesempurnaan yang memerdekakan dari keterikatan pada substansi yang melekat padanya sifat perubahan.

Kita semestinya mampu melihat esensi dari substansi, hingga meski kita sendiri bertumbuh, berkembang, dan pasti berubah, esensi dari kehadiran substansi adalah ajeg. Ada makna tunggal yang dapat kita sebut sebagai konsep Ahad.

Dan jika hidup itu adalah sebuah petualangan dalam perjalanan, kata Sadra, perjalanan pertama adalah perjalanan makhluk kepada kebenaran (safar min al-khalq ila al-haqq).

Perjalanan kedua adalah perjalanan bersama kebenaran di dalam kebenaran (safar bi al-haqq fi al-haqq).

Sedangkan perjalanan ketiga adalah retroversi atau kebalikan dari perjalanan pertama, sebab perjalanan ini berangkat dari kebenaran menuju makhluk (safar min al-haqq ila al-khalq).

Lalu perjalanan keempat adalah sintesis dari perjalanan kedua, karena perjalanan ini adalah perjalanan bersama kebenaran di dalam makhluk (safar bi al-haqq fi al-khalq).

Izinkan saya untuk merekonstruksi konsep perjalanan tersebut ke dalam satu konklusi yang dapat disebut istikmal al-nafs atau penyempurnaan manusia dan jiwanya.

Maka tak heran jika dalam fase kehidupannya, baik jin maupun manusia itu tugasnya cuma satu, beribadah, sebagaimana termaktub dalam QS. Az Zariyat Ayat 56 berikut:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ


Karena apapun dinamika dan perubahan non esensial yang terjadi, secara substansial esensi dari hidup adalah belajar mengenali tujuan dan pada akhirnya meraih kesadaran tentang makna kehadiran, penciptaan, dan tentu saja Sang Maha Pencipta. 

Bukankah dalam hadist qudsi disampaikan bahwa:
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtu ‘l-khalq li-kay u’raf.

Dari balik misteri dan khazanah rahasia (termasuk proses penciptaan), maka Allah Swt. Sang Maha Pencipta menghendaki kita mengenal-Nya. Dan segenap proses dalam "mengenal" itu maujud dalam isti'mal al nafs.

Pencarian dan penelusuran jejak untuk menemukan jalan kembali dapat saja merambah pendekatan quantum seperti pengertian super posisi ataupun jika berbicara tentang konsep hakikat materi kita dapat menelisik lebih mendalam soal berbagai kondisi anomali. Antara lain kondisi tersebut dapat dilihat pada Einstein Bose Condensat dan berbagai varian hubungan panjang gelombang, frekuensi, dan energi, sampai teori Zero Kelvin , dimana dalam kondisi super fluida, Helium-4 yang didinginkan 2° K dapat menentang arah gravitasi.

Artinya? 

Kita tentu saja mendapat gambaran tentang Zat yang Maha Merencanakan dan Mengendalikan melalui beberapa instrumen yang menjadi bagian terintegrasi hukum alam, Sunatullah, yang berlaku secara universal di semesta yang kita kenal.

Dari proses eksplorasi pengetahuan itu juga manusia melahirkan suatu kemampuan adaptif akumulatif: prokreasi. Dimana manusia yang dikaruniai kemampuan prokreasi melalui melekatnya fungsi kognisi dan afeksi serta motorik aksi yang berkonsekuensi kita dapat berkontribusi pada sub sistem pengelolaan semesta,


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ


Dari penafsiran terhadap QS. Al Anbiya ayat 107 tersebut tampak nyata bahwa proses pengelolaan dan belajar menalar sesuai kadar tertakar adalah prasyarat untuk mengonstruksi sadar. Kehadiran yang harus menjadi rahmah adalah sebentuk pengejawantah dari spirit utama Bismillah.

Penjabaran sifat welas asih menjadi kata kunci untuk membangun piranti kewaskitaan yang tak lain adalah piranti inti, sokoguru ke-Tauhidan. Persoalan akidah adalah meta konstruksi dari segenap proses dalam hidup.

Tasqiyatun nafs menjadi metoda purifikasi terhadap faktor distortif yang dapat menginterferensi niat yang menjadi titik acuan dalam melempangkan jalan ikhlas dengan rambu sabar dan safety guidance berupa rasa syukur holistik.

Maka jika kembali pada prinsip al harakah al jawhariyah, dimana setiap elemen kesemestaan termasuk kita, terkena Sunatullah untuk terikat pada konsep motion in substance and space sebagai konsekuensi telah ditetapkannya waktu, maka tak pelak satu simpulan sederhana adalah, mulailah bersyukur, sabar, dan ikhlas menjalani hidup secara substansial untuk mengenali esensi. Lalu di satu titik hakikat dapat datang merapat. 

Mungkin itulah saat tepat untuk rehat. 

Sumber gambar:

Minggu, 14 Maret 2021

Mindful Parenting: Ketika Mencintai Bukan Lagi Sekedar Alat untuk Dicintai




Oleh Tauhid Nur Azhar 

V: 

Halo Pak Tauhid, apa kabarnya? Semoga baik dan sehat selalu ya pak.

Kalo berkenan saya mau menanyakan kelanjutan pertanyaan saya mengenai arti “cinta” menurut science setahun yang lalu pak.

Jadi kesimpulannya kalau kita bicara sains, cinta antara manusia itu semuanya selalu transaksional ya pak? Bagaimana dengan rasa cinta orangtua dengan anaknya yang rela berkorban nyawa?

Apa benar artinya jika semakin seorang manusia mengerti banyak berbagai ilmu pengetahuan mengenai bagaimana sistem kehidupan ini bekerja, berpikir logis rasional dan disertai rasa syukur penuh dalam menjalani hidupnya yang sesaat karena cukup memahami esensi dari hidup, ketika orang tersebut mencapai kemerdekaan secara bathin, maka orang tersebut lebih “mampu” mengasihi tanpa bersifat transaksional?

Yang artinya ketika manusia sudah mencapai kesadaran tingkat tinggi dalam hidupnya lebih mampu mengasihi manusia lain secara non transaksional karena kondisi bathinnya yang sudah cukup “penuh”.

Seperti cerminan Tuhan sebagai entitas yang membentuk ‘segalanya’ dan merupakan sumber ‘tak terbatas’ dari segala hal itu menjadikannya sebagai entitas kasih yang tak terbatas juga. Yang mana dibutuhkan entitas entitas lain yang masih berkekurangan, entah itu energi maupun informasi.

Maaf kalau bahasa saya agak dangkal, mengingat background saya yang non akademis, semoga Pak Tauhid bisa memahami maksud saya hehe.

Dan saya terbuka pak dengan penjelasan sains diluar peran agama supaya pikiran saya bisa lebih terbuka.

Mohon pencerahannya ya Pak.

Karena saya khawatir kalau menyampaikan sesuatu tanpa dasar dan salah pada banyak orang malah jadi batu sandungan.

Terima kasih sebelumnya ya pak Tauhid jika berkenan meluangkan waktu.

T: 

Siap. Alhamdulillah. Senang sekali bisa menyambung diskusi ini. Cinta yang selama ini kerap dibahas memang secara konotatif maupun denotatif kerap dikaitkan dengan kepemilikan dan berlakunya hak istimewa dalam relasi yang seolah disepakati. Di tataran ini tentu sifat transaksional tak terhindari dan menjadi sebuah keniscayaan yang senantiasa membayangi. Tetapi konsep cinta ini juga sebagaimana semua definisi dan persepsi di semesta, ia dinamis dan bertumbuh. 

Cinta transaksional itu berada di level dimana kita justru tengah mengarungi konsep mencintai secara solipsitik, mencintai diri sendiri yang memang merupakan fitrah kita juga untuk larut dalam egosentrisme. 

Kita cenderung mencintai dengan bermotif protektif dan reflektif. Apa yabg kita cintai adalah subjek ataupun objek yang memproyeksikan dan merefleksikan pemenuhan kebutuhan dan keinginan preferentif kita (sesuai kecenderungan dan selera yang dibangun dari proses belajar melalui pemaknaan terhadap pengalaman). 

Kita butuh hiburan yang dapat dipenuhi melalui pemahaman terhadap konsep dan nilai estetika, maka kita memburu kecantikan dan kerupawanan sebagai proyeksi objektifnya. Maka kita mengembangkan preferensi dan selera untuk menyukai berbagai kriteria subjektif pada objek tertentu sebagai sebentuk indikator bahwa cinta itu bersyarat dan memerlukan prasyarat. Ada ketentuan yang berlaku. Ini masih dalam domain transaksional, yang anehnya meski terkesan dangkal tapi esensial dan justru sangat fundamental, alias memang diperlukan dan dibutuhkam sebagai penunjang kehidupan. 

Maka manusia di otaknya dikaruniai memori primordial tentang warna, bau/aroma, bentuk tertentu yang terasosiasi dengan makanan, misalnya, adalah cara atau alat survival yang memang dikaruniakan untuk mengakomodir kebutuhan terhadap pemenuhan hajat hidup tersebut. Dalam salah sebuah riset terkait kompatibilitas genomik dan imunitas, ternyata orang cenderung memilih pasangan yang memiliki karakter imunitas saling bertolak belakang, agar dapat memiliki library gen imun yang lebih kompleks sebagai warisan kepada generasi penerusnya.

Artinya ketika kita mencintai sesuatu dengan berbagai term and condition yang diberlakukan, itu adalah kewajaran karena merupakan bagian dari kebutuhan primordial terkait dengan respon defensif untuk mempertahankan kehidupan. Yang tentu juga merupakan ekspresi lain dari mensyukuri nikmat hidup.

Dalam konteks cinta yang bertumbuh akan muncul suatu proses pengayaan yang diawali dengan bertambahnya pengetahuan akan esensi dari eksistensi. Kita akan selalu bertanya tentang hakikat keberadaan dan kehadiran dan mulai mampu mengidentifikasi beberapa faktor yang menghadirkan kelelahan dan keresahan yang mendistorsi hidup melalui gelombang kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran. 

Lalu kita pun mulai menyadari bahwa respon agresi dan tindakan-tindakan preemptive yang dilakukan dengan alasan prevensi itu bersifat menyerang dan mendahului (kompetisi) seperti tergambar dalam idiom si vis pacem parabelum

Tapi justru dalam lautan distorsi itu cinta terpurifikasi. Seolah berbagai dinamika interaksi itu adalah sebuah rektor purgatory yang memberikan efek sentrifugal sehingga kita terpental ke alam Paradiso (Dante Alegori). Kita jadi memiliki referensi tentang kesementaraan dan relativitas, lalu mulai mencari kesejatian. 

Jadi semua itu proses, seperti tergambar dalam tingginya kadar hormon oksitosin di kelompok rubah Lyudmilla yg terepresentasi dalam sebentuk kuatnya ikatan kekeluargaan di antara rubah tersebut. Tetapi sebagai konsekuensinya, kehadiran kadar oksitosin yang tinggi itu juga mendorong munculnya sifat xenofobia di keluarga itu. Takut dan curiga berlebih pada sesamanya yang bersifat asing. Sesama dapat diartikan memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama, dan karena asing adalah kata lain bukan bagian dari kita, maka tentu ini akan mendatangkan potensi membahayakan bukan? 

Maka politik identitas secara psikologi massal juga dapat mengarah ke sana, menimbulkan ketakutan dan kebencian pada sesama yang dianggap dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan dan kepentingan.

Di sisi lain saat hubungan telah mampu melampaui motif egosentrisme dalam pemenuhan kebutuhan, maka akan lahir altruisme yang berdasar pada komponen empati sebagai bagian dari esensi eksistensi. Ketulusan dan keikhlasan yang dilambari kesabaran adalah tingkatan kesadaran di mana nalar telah mulai tercerahkan dalam memetakan tujuan. 

Kesementaraan dan kepentingan telah mampu ditempatkan secara proporsional agar dapat menjadi energi penggerak aktualisasi diri yang ditandai dengan kebermanfaatan dan kebermaknaan. Pada akhirnya hidup ini kan bermakna jika bermanfaat, dan itu diberi batasan "kalau sempat". Dan dalam kesementaraan itulah konsepsi cinta transaksional akan kandas karena semua dalam relativitas akan berbatas.

Dan kita tidak bisa meretas apalagi mengubah kepastian yang telah digariskan secara tegas. Maka kita akan mulai merasakan bahwa cinta dalam konteks melepas, berbagi, dan memberi justru membuat ruang luas yang membuat kita sulit kalah oleh lelah. Sulit marah karena salah. Sulit menyerah karena masalah.

Pandemi membuat sebagian dari kita rela mengorbankan rasa cintanya terhadap kebebasan berkumpul, bernafas tanpa masker, dan tak perlu mencuci tangan karena mereka termasuk kelompok beresiko rendah atau bahkan mungkin kelompok yang telah mendapat vaksin. Mereka mulai memikirkan esensi dari eksistensinya dan konsekuensi dari setiap pilihannya terhadap suatu konstelasi yang tak terkurung entitas personal individual. 

Di titik inilah mulai muncul kesadaran bahwa makna keberadaan kita hanya bisa "dibaca" melalui proyeksi yang terpantul dari subjek dan objek yang menerima pancaran "gelombang" kita. Kita adalah sekumpulan persepsi reflektif dari mitra interaksi kita. Di sanalah kita bercermin dan melihat bayang diri kita yang sesungguhnya.

Maka kita akan memulai "siaran" melalui gelombang aktivitas kita dengan harapan akan mendapatkan pantulan terbaik yang dapat melegitimasi niat yang telah dieksekusi. 

Kok masih terdengar seperti sebuah transaksi? 

Karena memang kita hidup dalam alam yang terbentuk dari proses interaksi. Tapi jangan khawatir, transaksi nirlaba akan membawa kita terbebas dari tekanan yang melahirkan kecemasan dan kekhawatiran. 

Di level inilah nalar sadar sesuai kadar akan menjadikan makna hidup berakar. Dan cinta serta proses mencintai sudah lagi tak peduli akan imbal balik ataupun apresiasi. Mencintai bukan lagi sekedar alat untuk dicintai, melainkan semata untuk mensyukuri eksistensi diri ❤️ 

Sumber gambar:

Senin, 28 September 2020

Keajaiban Dunia dan Kesehatan Mental




Oleh Duddy Fachrudin 

Alkisah di sebuah kelas SD sudut kampung terpencil negara ini, ibu guru bertanya kepada murid-murid kelas enamnya yang cerdas-cerdas, "Hayooo anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan keajaiban dunia?"

Seorang anak laki-laki yang duduk di sudut kelas mengacungkan tangannya, "Aku mau jawab Buuu..." Sang ibu guru melirik muridnya, "Ya Faul... silahkan..."

"Keajaiban dunia itu Candi Borobudur, Danau Toba, Menara Eiffel, Piramida, Taj Mahal, Ka'bah, Tembok Besar China, dan Colosseum," kata Faul. Beberapa saat kemudian setelah Faul menyebutkan keajaiban dunia, tiba-tiba seorang temannya mengacungkan tangannya, "Aku mau menambahkan guru..."

"Aisyah, silakan sebutkan keajaiban dunia yang lainnya," kata ibu guru.

"Bu guru... keajaiban dunia itu ketika aku melihat, mendengar, merasakan... menyentuh, berjalan, bermain, dan mencintai."

Seluruh kelas terdiam, termasuk ibu guru.

Lalu di saat keheningan tercipta, dan rasa telah merasuk di dada, seorang anak mengacungkan tangannya... "Keajaiban dunia itu... adalah diri manusia sendiri."

###

Menyadari diri kita ajaib itu sungguh ajaib.

Mengapa? Karena inilah pintu gerbang dari samudera kebersyukuran. 

Kita tidak lagi membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa cukup dengan diri kita sendiri dan apa yang kita miliki. Dan kita tak lagi mengeluh ini itu kepada Tuhan Yang Memberi Kehidupan ini.

Hidup ini pemberian ajaib. 

Dan tubuh dengan segala yang tersembunyi di dalamnya yang juga sangat ajaib ini adalah suatu anugerah paling indah yang Tuhan ciptakan.

Sayangnya manusia sering lupa bahwa dirinya ajaib. 

Hal itu terjadi karena manusia sering mencari ke luar dirinya. 

Mencari untuk memuaskan kehidupannya. Sehingga tak kadang karena hal ini pula hidupnya tergerus. Pikiran, perasaan, dan tubuhnya tak lagi selaras. Jiwanya tak lagi harmonis.

Maka orang yang bahagia sesungguhnya berhenti mencari. 

Ia mulai menggali ke dalam dirinya. Menyelam ke dasar lautan hati untuk menemukan mutiara terindah yang diciptakan Tuhan. 

Khusyu merindu dalam keheningan dan tak lagi berkeinginan. 

Oh cinta ini...
hanya ragu tentang waktu 
apa yang ku tunggu,

Hidup untuk ku tepati

Sumber gambar: 
https://www.instagram.com/duddyfahri/ 

Selasa, 02 Juni 2020

Virus Berdamai dengan Manusia



Oleh Duddy Fachrudin 

Melawan atau berdamai? 

Kemarin-kemarin manusia berperang #melawancorona. Saat ini beralih menyatakan damai saja. 

Manusia sudah kalah? Mungkin. 

Kalah karena belum bisa mengelola diri, sementara corona masih bergentayangan untuk menyambangi. 

Ia akan selalu ada di antara kehidupan manusia. Menjadi entitas penyeimbang dari keserakahan dan kerusakan yang dibuat manusia. 

Dengan adanya corona, harusnya terjadi akselerasi akhlak manusia dalam tatanan kehidupan "new normal". Karena corona menghentak kesadaran jiwa-jiwa yang selama ini terpedaya dan tepenjara dalam ilusi serta delusi berkepanjangan. 

Kehadiran corona yang terus bermutasi sekaligus beradaptasi pada kondisi tubuh inangnya ini tanda bahwa ia mahluk yang amat cerdas. 

Namun bukankah mutasinya melemah? Dan akhirnya virus tak lagi ganas menginfeksi tubuh manusia. 

Itu artinya memang virus tak ingin buru-buru mati. Kalau inangnya wafat bukankah ia juga game over lebih cepat? 

Corona ingin terus membersamai manusia selama hidupnya. 

"Aku hanya ingin hidup  lebih lama, seperti halnya manusia dengan segala upayanya saat ini menginginkan hal itu juga." 

Corona seolah berkata, "Silahkan manusia membuat vaksinnya..." 

Virus berdamai dengan manusia. 

Simbah bilang, "Virus, bakteri, mahluk yang kecil-kecil itu kakak kandungnya manusia. Ora usah berantem, apalagi musuhan sama kakak sendiri." 

Benahi saja dirimu. Ojo adigang adigung adiguna. 

Wasi'a kursiyyuhus-samaawati wal-ard. 

Simbah melanjutkan meditasinya. Aku mengikutinya. 

Sumber gambar: 

Rabu, 20 Mei 2020

Menggapai Keseimbangan: Dari Spanish Flu Hingga Covid-19



Oleh Hamzah Abdurrahman

100 tahun sejak Spannish Flu yang menginfeksi 1/3 populasi dunia dan menelan lebih dari 50 juta korban jiwa[1], manusia kembali mendapat sebuah pandemi yang sangat menghebohkan masyarakat dunia: Covid-19.

Jika kita melihat sejarah terjadinya pandemi di muka bumi, mereka selalu menyisakan perubahan drastis bagi kehidupan manusia.

Seperti Spannish Flu pada tahun 1918 yang tepat sekali dengan berakhirnya Perang Dunia (PD) pertama. Dimana berakhirnya wabah tersebut merubah pemikiran manusia terutama dari sisi teknologi industri kesehatan.

Pasca wabah Spannish Flu, banyak sekali perusahaan kesehatan yang bermunculan baik itu dalam produk obat obatan, alat kesehatan, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya, wabah tersebut hanya berlangsung selama 2 tahun hinnga berakhir di tahun 1920.

Berbeda dengan coronavirus yang terjadi tahun ini. Dimana virus tersebut datang ketika populasi manusia berjumlah 7,7 miliyar[2] dengan segudang masalah yang berdampak pada perubahan iklim.

Maka tak heran, sebelum terjadinya wabah ini, isu climate change dan lingkungan hidup menjadi pusat perhatian.

Meledaknya populasi manusia dalam 100 tahun terakhir, menuntut kebutuhan akan sumber daya alam dan lahan tempat tinggal menjadi semakin tinggi. Ditambah dengan meningkatnya populasi manusia di kota kota besar, menjadikan manusia terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu atau biasa kita sebut dengan urbanisasi.

Pertambahan populasi manusia menjadi kesempatan orang-orang atau kelompok untuk menyediakan kebutuhan manusia seperti pangan, tempat tinggal, pakaian, mobilitas, dan berbagai jenis kebutuhan lainnya.

Bahkan bukan hanya menyediakan kebutuhan manusia, akan tetapi membentuk sebuah tren gaya hidup baik dalam bentuk fashion, kendaraan, properti, dan berbagai tren gaya hidup.

Demi memenuhi permintaan manusia akan kebutuhan dasar dan gaya hidup terjadi banyak eksploitasi alam dan perusakan lingkungan secara masif yang berlangsung selama puluhan tahun. Maka tak heran, dengan meningkatnya gaya hidup manusia, seringkali membentuk perilaku hedonisme.

Perilaku ini menjelma bak “virus” yang penyebarannya semakin cepat melalui perantara teknologi informasi. Tak heran jika barang barang branded, rumah dan kendaraan mewah mejadi cita-cita baru bagi manusia.

Bahkan beberapa kelompok manusia, rela mengurangi kebutuhan primernya seperti asupan makanan, hanya untuk membeli sebuah gadget Apple terbaru. Tentu hal ini menjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, dimana manusia menggeser prioritas akan kebutuhan hidup menjadi gaya hidup.

Hedonisme, perilaku berlebih-lebihan yang menggerus keseimbangan disadari oleh mereka yang peduli akan kesederhanaan.

Beberapa kelompok manusia, membuat sebuah inovasi untuk membantu merubah mindset manusia agar dapat mengendalikan diri dari berkembangnya moderenisasi.

Inovasi gaya hidup tersebut adalah hidup minimalis. 

Apa itu tren hidup minimalis? Pada dasarnya, tren ini mencoba mengembalikan fungsi atau skala prioritas manusia dimana kebutuhan hidup jangan sampai tergeser oleh gaya hidup.

Lalu apakah kita tidak boleh memiliki gaya hidup? Tentu saja boleh, namun kita harus bisa mengontrol keinginan gaya hidup dengan memperhatikan kemampuan diri sendiri.

Bahkan gaya hidup tersebut jika dimanfaatkan dapat meningkatkan produktivitas manusia. Sehingga kita hanya akan membeli barang jika memang barang tersebut diperlukan.

Tren minimalis kini bukan hanya sekedar tentang membeli barang yang perlu dan tidak diperlukan. Tren ini kini berkembang pada kepedulian akan lingkungan hidup bahkan pada arsitektur bangunan.

Tren minimalis kini memikirkan apakah aspek kehidupan kita mengganggu kesehatan dan kelestarian lingkungan, seperti mengurangi penggunaan plastik, pakaian untuk jangka waktu panjang, kendaraan berbasis motor listrik, hingga masuk pada tren untuk menggunakan kendaraan umum sebagai alat mobilitas utama.

Dari segi arsitektur atau kebutuhan akan tempat tinggal, tren minimalis menghadirkan solusi bagi masyarakat urban yang tinggal di daerah pemukiman padat. Tren ini mencoba memanfaatkan ruangan yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan manusia, yaitu dengan mengoptimalkan ruangan rumah menjadi lebih efektif untuk digunakan.

Seorang arsitek Indonesia bernama Yu Sing memiliki semangat menghadirkan desain rumah ramah lingkungan bagi semua kalangan masyarakat. Konsep hunian yang dihadirkan Yu Sing memang sangat unik. Ia menghadirkan konsep hunian yang berkolaborasi antara alam dan manusia, agar memenuhi kebutuhan satu sama lainnya.

Bahan dasar rumah memanfaatkan material alam dan kearifan lokal seperti bambu, kayu, pelepah, dan sebagainya. Selain itu, Yu Sing memiliki konsep untuk memanfaatkan luas tanah yang bagi kebanyakan orang dianggap sempit, menjadi hunian yang layak, nyaman dan ramah lingkungan. Tentu sangat sejalan dengan tren minimalis diberbagai penjuru dunia.

Maka pandemi ini menjadi momentum perubahan perilaku umat manusia. Agar manusia lebih memperhatikan kepentingan bersama, mencegah diri dari melakukan kerusakan, meninggalkan hedonisme, dan belajar untuk mengembangkan hidup minimalis. Sehingga bumi ini dapat merasakan kembali keseimbangan alam yang telah lama ia rindukan.

Wa laa tufsidu fil-ardi ba’da islaahihaa wad’uhu khaufaw wa tama’aa, inna rahmatallahi qariibum minal-muhsinin. (QS. Al-A’raf: 56)

Referensi:
[1] https://www.cdc.gov/flu/pandemic-resources/1918-pandemic-h1n1.html
[2] https://www.worldometers.info/world-population/world-population-by-year/

Sumber gambar: 
Dokumentasi Pribadi 

Senin, 18 Mei 2020

Ketidakpastian dan Makhluk Qubit Bernama Manusia



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Dalam mengarungi masa-masa pandemi corona ini, mari sejenak merenung mengenai konsep "ketidakpastian" atau bahasa londonya uncertainty. Hal ini dikaji dalam ilmu fisika secara khusus dalam prinsip Heisenberg. 

{∆x.∆p> h/2} (bisa dilihat di gambar di bawah ya). 

Dimana "ketidakpastian" ini maujud dalam pernyataan terkait posibilitas dan probabilitas. 

Seberapa besar kemungkinan sesuatu itu terjadi ? 

Keterangan gambar (searah jarum jam): 
Prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam gelombang, dapat disimak pula pola double slit dari Thomas Young. Anotasi Dirac yang dapat diaplikasikan dalam konsep super posisi dan quantum states. Bloch Sphere dengan konsep qubit dan formulasi quantum states

Jika mendapat pertanyaan seperti itu biasanya kita akan memutar otak lalu mulai mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah gerangan yang turut menentukan tingkat posibilitas suatu keadaan.

Dan mungkin saja faktor-faktor yang teman-teman identifikasi sama dengan yang teridentifikasi oleh saya, yaitu: adanya pengetahuan, pengalaman, kemampuan (terlatih), derajat niat dan usaha, kondisi yang mendukung, serta mungkin ada yang memasukkan faktor "keberuntungan" (opportunity) atau nasib.

Semua benar tentu saja, sekaligus semua juga belum tentu benar dalam memastikan kemungkinan untuk menjadi 100% mungkin. 

Mengapa? Karena masih ada faktor probabilitas tentu saja. 

Bukankah jika semua syarat untuk mencapai keberhasilan terpenuhi maka probabilitasnya juga mendekati 100%?

Contoh jika kita sudah mengikuti dan menjalankan safety procedure, maka hampir dapat dipastikan kita akan selamat dalam perjalanan atau penerbangan misalnya. 

Apakah anda yakin? Kan dalam kalimat itu saja masih ada kata "hampir". Artinya tidak ada sesuatu hal pun di semesta ini yang bersifat deterministik alias pasti selama terkait dengan konsep probabilitas alias kemungkinan. 

Sementara bagi manusia hal yang telah dapat dipastikan sebagai konsekuensi rasional dari kelahiran adalah kematian. Kepastian ini pun dijamin dengan perubahan waktu ∆t (delta t) yang tak dapat diubah dengan perubahan posisi dan kecepatan (∆s dan ∆v). 

Maka saya sering menyampaikan premis (premis: kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dalam logika) tentang perjalanan adalah bukan persoalan menempuhi jarak, melainkan waktu. 

Sehingga dalam premis minornya, ruang adalah konsekuensi dari kehadiran waktu.

Kembali ke probabilitas. Maka pada hakikatnya manusia sebagai makhluk unik yang dikaruniai kemampuan analitik yang mampu melahirkan gagasan, imajinasi, dan kreasi punya keterikatan secara probabilistik justru di rasio yang deterministik, 50%. 

Semua kemampuan super kognitif manusia yang tercipta karena adanya pengintegrasian fungsi-fungsi seperti memori, asosiasi, korelasi, interpretasi, dan kemampuan sintesis, akan bermuara pada limit probabilitas 50%.

Kepastian di ketidakpastian 50% membawa kita pada irisan dengan pendekatan di domain quantum

Manusia dengan pilihan algoritmik yang melekat padanya dan ketidak kuasaannya untuk mengendalikan hasil akhir dari setiap tahapan proses/ reaksi, dapat digambarkan berada di posisi quantum state (QS).

Dimana QS menurut definisi GK Tong adalah an entangled quantum state is made of two or more particles held in a multitude of undecided outcomes.

Kondisi dan posisi "undecided" ini mengikuti konsep binari dengan tingkatan fasenya (lihat gambar di atas). Sehingga setiap pilihan selalu menyediakan pasangan kemungkinan. 

Dalam filosofi akidah ini dapat menggambarkan posisi makhluk yg selalu berada dalam status relatif, karena yang absolut, satu, dan tidak berpasangan adalah Allah (Qur'an Surat Al-Ikhlas).

Sehingga dalam perjalanan hidup ini kita juga dapat digambarkan tengah berada dalam kondisi "super posisi". 

Dimana menurut Delfosse, super posisi, entanglement, dan tunneling adalah "dunia qubit" yang membuat kita saat ini sudah berada dalam berbagai posisi secara paralel, sekaligus belum berada di sana.

The qubit is the basis of quantum computing due to their quantum mechanical properties: superposition, entanglement, and quantum tunneling. Qubits can be in a state of a 0, 1, and also in a state where they are 0 and 1 at the same time — this is called superposition. 

(Silahkan simak di anotasi Dirac yang ada di gambar ya).

Bahkan jika kita mempelajari cara kerja otak kita dalam membangun kesadaran, beberapa teori yang sepertinya baru sampai pada tingkatan analogi, ternyata sudah mulai banyak diteliti lebih mendalam. 

Sebagai contoh pendekatan Quantum Brain Dynamics yang digagas Harald Atmanspacher. Framework otak yang bersifat spektral saat membangun kesadaran dari komposisi berbagai fungsi di otak hanya akan ideal jika didekati dengan teori quantum field, dan akan sulit diurai jika menggunakan pendekatan biokimiawi linier yang bertumpu pada fungsi neurotransmiter. 

Bahkan Roger Penrose dan Stuart Hameroff sudah lebih detil berfokus pada mikrotubul yang terlibat dalam proses sinaptik dan neurotransmisi sebagai salah satu elemen dari mekanisme quantum yang bekerja di otak. 

Penrose dan Hameroff menggulirkan gagasan dalam bentuk postulasi Orchestrated Objective Reduction (OOR). Konsep ini jika boleh saya tambahkan, hanya akan dapat bekerja jika prinsip-prinsip dasar quantum state dengan dunia qubitnya bisa diterapkan. 

Hubungan antara aspek biologi dan karakter fisikanya sebenarnya sudah terepresentasi dalam level quasi partikel yang terdiri dari phonon yang berasal dari eksitasi atom padat yang mengalami vibrasi, dan plasmon yang berasal dari osilasi plasma. 

Dalam hal ini kita dapat asumsikan bahwa seluruh sel-sel otak, bahkan mungkin tubuh dan juga semesta, semuanya berada dalam fase quantum state atau super posisi yang memiliki semua potensi probabilitas. 

Kondisi entanglement yang akan menghasilkan spektrum fungsi karena dapat menjalankan program "meta" dalam ranah kognisi hingga muncul pola interaksi real time yang membangun konstruksi qualia, atau bangunan kesadaran lintas dimensi.

Maka jika kita cermati berbagai premis di atas, tampak ada suatu korelasi yang kuat antara berbagai fenomena di setiap lapis dan dimensi kehidupan, yang menyiratkan adanya suatu kompleksitas terencana. 

Menghablurnya aspek filosofis dalam dimensi materi di level quantum menghantarkan kita pada kesadaran baru tentang esensi dari eksistensi yang terintegrasi dalam distribusi fungsi. 

Sumber gambar:
WAG Rumah Peradaban

Jumat, 08 Mei 2020

Pendidikan, Bajak Laut, dan Peradaban "New Normal"



Oleh Duddy Fachrudin 

"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Dokter senior dan terhormat di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta yang bilang begitu dalam pengantar di buku "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib" yang ditulis dr. Ade Hashman. 

Dulu ada buku yang berjudul "Jangan ke Dokter Lagi". Yang nulisnya padahal dokter. 

Mungkin suatu saat ada buku beredar dengan judul di sampul depannya bertuliskan "Jangan ke Psikolog Lagi". Yang nulisnya seorang psikolog. 

Mbah Jon Kabat-Zinn bercerita: 
Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan "Dr. Kabat-Zinn/ Departement of Medicine". Semuanya tergantung di balik pintu ruangan saya selama 15 tahun, tanpa terpakai. 

Baginya, memakai jas putih/ malaikat itu bukanlah esensi dari eksistensi. Yang sejati ialah saat mampu berinteraksi dengan perhatian penuh (mindful) dengan siapapun yang ada di hadapannya. Wherever you go, there you are

Di dunia yang serba mengagungkan materi, manusia acapkali mengejar eksistensi. 

Manusia berlomba-lomba dalam penampilan, citra diri (melalui pencitraan), kekayaan, dan kekuasaan. 

"Le, segala yang nampak itu palsu," Simbah memulai wejangannya. 

"Ojo gampang ditipu," katanya lagi. 

### 

UU Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara gamblang menegaskan bahwa fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: 

1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
2. berakhlak mulia; 
3. sehat; 
4. berilmu; 
5. cakap; 
6. kreatif; 
7. mandiri; 
8. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Kata kunci dalam pendidikan adalah ilmu. Dalam Al Qur'an kata tersebut dan kata jadiannya disebutkan hingga 780 kali. Prinsip dalam berilmu dan mencari ilmu sendiri tidak lain adalah aktivitas berpikir (afalaa ta'qilun, afalaa yatadabbarun, afalaa tatafakkaruun). 

Jika kita mengoptimalkan fungsi nalar sebaik mungkin dalam proses pendidikan atau mencari ilmu, maka karakter, watak, hingga akhlak mulia dapat maujud dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang mendapat amanat sebagai mandat-Nya di bumi. 

Namun distraksi kemelekatan materialis dan pola pikir kapitalis, serta kesombongan manusia telah mengikis serta mengkhianati potensi agung yang telah dianugerahkan Tuhan padanya. 

Al-Ghazali berpesan, "Ketahuilah wahai kekasih, manusia tidaklah diciptakan dengan main-main, ataupun secara serampangan, namun diciptakan secara mengagumkan untuk sebuah tujuan yang mulia." 

Kehidupan "New Normal" setelah pandemi bukan hanya terkait cara-cara baru dalam berinteraksi, bekerja, bepergian, dan menjalani aktivitas sehari-hari. 

Era baru ini adalah masa bajak laut sepeninggal Gold D. Roger. Yaitu jaman bajak laut yang humanis dan menjalani pelayaran dengan penuh kesadaran.  Bajak laut tanpa eksploitasi dan eksplorasi pemenuhan kebutuhan alias nirketamakan. Perompak yang justru tidak memfokuskan diri pada untung rugi serta dunia materi. 

Seperti halnya Luffy berkata, "Aku tak peduli di mana harta itu berada! Aku juga tak peduli apa One Piece benar ada atau tidak. Semua orang mempertaruhkan nyawa demi mencari jawabannya. Kalau semua rahasia itu dibuka sekarang... aku sebaiknya berhenti jadi bajak laut! Aku tidak suka melakukan petualangan yang membosankan!" 

Monkey D. Luffy, karakter yang diciptakan Sensei Oda dalam serial One Piece adalah representasi dari manusia "New Normal". 

Bertualang menikmati hidup dengan penuh kebersyukuran adalah esensi dibandingkan pencarian harta karun. Dalam pelayarannya ia merajut silaturahmi pada kawan maupun lawan. Penampilan dan gayanya yang sederhana (minimalis) justru menjadi sumber kekuatannya. Kalau dalam filosofi Jawa, "Sugih tanpo bondo". Kaya tanpa benda atau materi. 

Luffy memperjuangkan keadilan sosial berbasis gotong royong, meskipun tidak jarang ia mengalami banyak luka derita. Sebagai pemimpin Bajak Laut Topi Jerami ia menerapkan unboss dengan menghilangkan hirarki dan nirpencitraan sama sekali. 

###

Jepang bangkit pasca peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki. Jerman menjadi salah satu negara yang disegani di Eropa dan Dunia setelah robohnya sekat Berlin pada 9 November 1989. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Peradaban "SDM Maju Indonesia Unggul" harus diawali dengan tercapainya tujuan pendidikan, terciptanya manusia-manusia yang senantiasa berpikir berdzikir menggunakan nalar dan menjalani hidup sesuai kadar. Manusia kadar yang tahu batas, yang bisa "puasa" dalam gempita dan gemerlap dunia.

"Dan sing paling penting jadi manusia yang bisa sadar darimana dirinya, siapa dirinya, dan mau kemana dirinya. Itulah peradaban manusia modern, opo iku sebutane? Nu normal? Kalo ndak gitu, ya bukan namanya canggih atau modern, tapi kembali primitif. " Dhawuh Simbah padaku malam kemarin. 

Maka kembali pada persoalan: 
"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Corona yang bertamu mengetuk hati manusia ini bukan berarti jahat ataupun baik. Saatnya manusia belajar untuk tidak menilai dan menghakimi (non-judgement). 

Cukup memperhatikan tanda ataupun pesan yang dibawanya. Yang mengajak manusia membaca dan berpikir, lalu membangun peradaban "New Normal" sesuai yang dikehendaki-Nya.  

Iqra' bismi rabbilladzii khalaq 
Khalaqal in-saana min 'alaq 
Iqra' wa rabbukal-akram 
Alladzii 'allama bil-qalam 
'Allamal-insaana maa lam ya'lam 
  
Sumber gambar: 

Selasa, 05 Mei 2020

Masa Pandemi adalah Hari Raya



Oleh Duddy Fachrudin 

Dalam satu dekade ini banyak diskusi, penelitian, pelatihan, seminar, kajian online seputar mindfulness. Tak ketinggalan buku-buku hingga film-film terkait mindfulness berserakan. 

Mindfulness itu bikin bahagia. Membuat kita tenang dan terbebas dari stres serta kecemasan. Melepaskan jerat trauma dan depresi berkepanjangan.

Moso... hati ini tak percaya. 

Apalagi mindfulness dapat mengatasi panik di saat pandemi corona ini. Benarkah? 

Mindfulness itu hadir sepenuhnya, di sini, saat ini. 

"Tapi ketika saya hadir sepenuhnya, justru saya cemas dan panik. Pikiranku tidak kemana-mana, ada di sini, menyaksikan berita corona bertubi-tubi," aku mengatakan hal yang persis dikatakan orang-orang pada Simbahku. 

"Mindfulness iku opo sih Le?", takon Simbah. 

Dengan perut yang kenyang, malam itu akhirnya kami berdiskusi tentang mindfulness

"Intinya kesadaran Mbah," ujarku. 

Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Oh ilmu eling toh." 

Dalam kondisi mindful sejatinya pikiran dan perasaan membelenggu itu sirna. 

Simbah lalu bertanya, "Mereka ini, maksudnya orang-orang ini sadar tidak bahwa memang dunia itu tempatnya penderitaan?" 

"Waduh, aku ora weruh Mbah," balasku. 

Dalam tradisi psikologi berbasis spiritual, mindfulness memang memiliki korelasi dengan luka dan duka. Karena isi dunia bukan hanya cita, kesenangan, dan bahagia. 

Simbah lalu mengambil sebuah buku lalu membuka halaman demi halaman. 

"Nah ini..." wajah Simbah terlihat sumringah mendapatkan apa yang dicarinya. 

Laki-laki tua yang gemar kutangan ini lalu berkata, "Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid." 

Manusia itulah murid. Seperti Nabi Adam yang diajarkan nama-nama. Kita semua manusia senantiasa terus membaca (iqra) dan belajar, mencari dan bertanya. Lalu apakah hari raya? Apakah ia adalah hari kemenangan? Namun bagaimana ada kesukaran di saat kebahagiaan? 

Seperti saat ini. Begitu banyak derita akibat wabah corona. Kegelisahan, resesi, PHK dimana-mana, kelaparan, dan tentunya ketakutan. Bagaimana mungkin dibalik penderitaan itu adalah hari raya? Dongkol hatiku.

Simbah melihat raut wajahku yang bingung. "Kamu harus paham kata-kata itu. Yang bilang Ibnu Atha'illah." 

"Sang Arif Bijaksana?", tetiba suasana hatipun berubah menjadi lebih ceria. 

Petuah-petuahnya tidak diragukan lagi. 

Simbah lalu bilang, "Hari raya itu artinya saat kamu mendekat pada Gusti Allah. Orang yang mendapatkan kesukaran lebih mudah mengemis dan menangis sekaligus bermesraan sama Tuhannya." 

Jadi masa pandemi corona ini hari raya? 

Tarik napas sejenak... napas masuk... napas keluar...

Masih ora mudeng aku. 

Sumber gambar: 
Dokumentasi pribadi 

Minggu, 03 Mei 2020

Dialektika Dalgona Corona



Oleh Duddy Fachrudin 

Andaikan corona itu senikmat kopi dalgona, akankah engkau akan mereguknya dan membagi-bagikannya? 

Sayangnya corona bukanlah kopi dalgona. Ia penebar rasa takut akan keberlangsungan eksistensi manusia. 

Berita tentang corona disebarluaskan agar manusia memperhatikan dan waspada terhadap ancaman nyata di depan mata. 

Manusia lebih awas dan was-was:
-yang batuk, corona 
-yang bersin, corona 
-yang demam, corona 
-yang tiba-tiba tergeletak pingsan, corona 
-yang blablabla, corona 

Berstatus sebagai pembawa kepanikan, penyebab kematian, dalangnya PHK, aktor dari resesi ekonomi, popularitas corona saat ini nomor satu di dunia. Corona menjadi perbincangan setiap hari. 

Corona dimusuhi dan disumpahserapahi. 

Corona diteliti, ditelusuri secara ilmu bumi. 

Corona juga dikagumi karena berhasil membuat langit bersih dari polusi. 

Corona benar-benar menjadi selebriti. Apalagi pemerintah menyiarkannya saban hari. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan terkini. 

Tapi... 

Bagaimana jika corona itu adalah sesuatu yang baik, nikmat, dan bikin selamat dunia akhirat. Apakah orang-oarang akan mendatanginya dan menyiarkannya? Apakah kemudian pimpinan negara dan bangsa akan mewartakannya setiap 24 jam kepada rakyatnya? 

"Opo sing enak karo gawe slamet Mbah, " tanyaku pada Simbah sore itu. 

Simbah menimpai, "Lalalah, kamu itu manusia berpendidikan. Kuliah sampai es es es san takon sama Simbahmu yang cuma kutangan." 

Simbah cengar cengir menatap wajahku yang kebingungan. Tapi senyum itu setidaknya bukan cengengesannya para manusia takabur saat awal corona menyapa negeri manusia. 

Sejurus kemudian Simbah bilang lagi, "Kurang ajar betul kalau setelah corona pulang manusia-manusia ini tidak berubah. Kapitalisme yang memuja eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas saat ini ketar ketir dihantam corona. Tobat... tobat. Globalisasi materialisme sudah tak berarti lagi. Corona telah menelanjangi kebobrokan ahlak dan gaya hidup manusia." 

Sejenak Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Artinya kapitalisme dan materialisme sekaligus hedonisme iku ojo dijadikan peganganmu urip nang dunyo iki, anakku... Tak perlu bermegah-megahan, apalagi sikut-sikutan meraih pucuk kepemimpinan. Coba ndelok corona, tak kasat mata. Ora perlu eksistensi untuk menjadi hebat." 

Simbahku menatap wajahku yang dungu dengan teguh. 

"Le, hidup nikmat lan slamet iku ya sumeleh... Meleleh dalam tresno Gusti Allah. Ndak penting kamu jadi apa, pake baju keren atau kutangan gini. Sing penting kamu rela, ridho, ikhlas menjalani semuanya. Untuk bisa ke arah sana gunakan ilmumu untuk mencinta Tuhanmu, mencinta Muhammad Nabimu... 

Kalau kamu cinta, itu seperti meleburnya susu putih sama kopi kentel di dalgonamu itu. Gimana rasakne?" 

Aku cuma bisa mengangguk. "Nggeh Mbah." 

Lagi-lagi Simbah nyerocos kayak sepur malam, "Kamu itu mandat-Nya, diciptakan dengan tujuan mulia, menanam benih manfaat buat generasi selanjutnya. Nandur. Iku sing arane menungso." 

Aku lagi-lagi mengangguk kayak wayang yang sedang dimainkan dalang. 

Dalam diam aku termangu, lalu kuberanikan menyampaikan seuntai tanya kepadanya. 

"Kalau corona itu baik dan membaikkan, nikmat bin membuat selamat dan itu bernama sumeleh, mencintai-Nya dan utusan-Nya, tidak bermegah-megahan, tidak materialis dan tidak kapitalis... Apakah pemimpin akan memberitakan sekaligus mengingatkan warganya untuk berlaku demikian?" 

Senja sore itu mulai tenggelam.

"Pemimpin itu kan ndak harus presiden dan menteri toh. Pemimpin itu ya semua orang. Ketoke kamu sudah mulai waras dadi menungso... 

Jadilah bergerak tanpa terlihat, lalu membelah diri hingga dua, empat, delapan hingga tak berhingga... Jadilah cinta, jadilah dalgona. Tapi untuk itu kamu akan melewati fase kepahitan seperti kopi yang diminum olehku... Sampai kamu merdeka dan memiliki kedaulatan. Dan tetaplah setia dengannya. 

Berjalanlah... berjalanlah." 

Simbah menyeruput sisa terakhir kopi pahitnya. 

Senja akhirnya benar-benar tenggelam. 

Dalam hati aku bergumam, "Membelah diri?" 

Sumber gambar: 

Kamis, 30 April 2020

Mengemis Meringis di Tengah Pandemi



Oleh Duddy Fachrudin 

Ternyata corona memang benar-benar tamu agung bagi penduduk bumi. Ia bukan mahluk kecil dan tengil yang menjadi bahan cengengesan manusia tempo hari. 

Kamu ikut tertawa angkuh kan? 

Kini, kamu, manusia, menangis meringis dan mengemis tak berdaya serta putus asa. 

Aku mengemis kepada-Nya bukan untuk memohon agar corona tak mendatangiku. 

Aku putus asa dan tak berdaya melihat tingkah manusia yang sok berkuasa atas tanahnya; memangnya itu tanahmu? Sehingga kamu berhak mengusir jenazah saudaramu. 

Bahkan tubuhmu bukanlah milikmu. Rambut hingga ujung kuku kakimu bukanlah milikmu. 

Tanah, air, udara, bumi, dan semesta raya bukan milikmu. 

Manusia tak pernah memiliki apa-apa. 

Namun, manusia ya manusia. Berusaha menjadi akbar dengan berkoar-koar. Negara adidaya dan besar itu saja kini lumpuh dan jatuh. 

### 

Siapakah kita manusia? 

Langit, bumi, dan gunung saja menolak untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Manusia dhalim dan dungu yang kemudian menerimanya. 

Sampai dungunya keterusan hingga akhir jaman. 

Siapakah kita manusia? 

Telah datang utusan-utusan-Nya sebagai teladan. Membawa kebutuhan pokok bagi umat manusia. Mereka nyangoni generasi selanjutnya dengan hikmah. 

Tapi kemudian manusia membuat kebutuhan-kebutuhan primer lain yang sejatinya bukan yang utama. 

Sejak revolusi industri, peradaban manusia memang lebih canggih. Tapi kerakusan dalam pemenuhan kebutuhan pun semakin obsesif dan menjadi-jadi. 

Siapakah kita manusia? 

Setelah usai pandemi, manusia berandai-andai apa yang ingin dikerjakannya. Seolah selama ini tersiksa dan tertawan dalam penjara yang melelahkan. 

Kamu mau melakukan apa?
-jalan-jalan sambil kulineran 
-nongkrong bersama teman semalaman 
-cari uang sebanyak-banyaknya dan berpesta pora 

Sementara jawaban Simbah, 
"Le, aku tetep nang omah... Omah Tuhan, " dhawuh-nya sambil mengarahkan telapak tangan kanannya pada bagian dada kirinya. 

Siapakah kita manusia? 

Di sini baru aku benar-benar menangis, tak berdaya mendengar jawaban jujur apa adanya. 

Jawaban Simbah yang sekaligus menempeleng hatiku yang tak memahami kebutuhan utama sebagai prioritas hidup. 

Asyhadu an-laa ilaaha illallaah 
Wa asyhadu anna Muhammadan-rasuulullah 

Inilah aku, manusia dungu yang alpa bahwa syahadat adalah puncak segala ilmu. 

Sumber gambar: 
   

Sabtu, 25 April 2020

Corona dan Kesadaran untuk Kembali



Oleh Duddy Fachrudin 

Salah satu praktik hidup berkesadaran atau mindful living adalah dengan menerapkan gaya hidup minimalis. 

Sayangnya hidup minimalis yang tidak materialis dan nirkapitalis ini tidak mudah dan penuh tantangan. 

Serbuan keinginan dari alam pikiran dalam pemenuhan kebutuhan tak bisa direm, dipuasai, dan dikendalikan. 

Akhirnya manusia cenderung berlebihan dalam menjalani kehidupan. 

Perut menjadi buncit, lingkungan tercemari sampah serta polusi, dan perilaku konsumtif yang destruktif adalah contoh nyata dari degradasi akhlak manusia. 

Eksplorasi dan eksploitasi pemenuhan kebutuhan menggerus tatanan keseimbangan.  

Saat di-KO corona, manusia kelimpungan.

Maka jangan sok latah dengan hashtag "lawan corona". Dalam menghadapi tamu agung yang diperjalankan Tuhan ini, justru manusia perlu melawan dirinya sendiri.

Karena kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berlalu. 

Meski bisa diprediksi dengan logika matematika, akhir dari pandemi ini masih menjadi misteri. 

Bukan lagi bulanan, tapi satu dua hingga lima tahun sejak awal mula kasus ditemukan. Itupun jika manusia mampu mengalahkan dirinya. 

Dan ini adalah peringatan akhir jaman di peradaban yang begitu sarat konflik dengan Tuhan. 

Semakin teknologi maju, manusia justru semakin angkuh. 

Dengan berbagai cara dan upaya, manusia ingin hidup abadi. "Hidup 1000 tahun lagi," kata Chairil Anwar. 

Simbah berpesan, "Elingo sangkan paranmu." 

Sementara Sabda Nabi, "Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian." 

Ihdinas shirootol mustaqiim. 

Sumber gambar: 

Rabu, 15 April 2020

Saat Bala Melahirkan Waskita (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Belum lama ini sehubungan dengan perkembangan wabah atau pageblug yang diperantarai virus SarsCoV-2, Sultan HB X menyampaikan petuah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang sangat relevan dalam memaknai kondisi yang terjadi saat ini; Mangasah Mangising Budi, Memasuh Malaking Bumi

Maknanya adalah; mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi. Ini sejalan dengan dalil: 

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Ruum: 41) 

Pageblug ini adalah sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif yang menempatkan manusia di posisi untuk melakukan proses kontemplasi dan secara paralel "dipaksa" untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. 

Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi dalam rangka mengakomodir pemenuhan kebutuhan akan rasa aman yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil manfaat di semesta sebagaimana yang telah dijanjikan. 

Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah Swt., tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah. 

Kajian tafsir, baik tafsir bil ma'sur maupun tafsir birra'yi dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. 

Tetapi sekali lagi, jika saya boleh menyitir nasehat Sultan HB X, masalah kita terkait naluri impulsi serakah tak terlepas dari karakter 3G berikut: golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), dan golek benere dewe (mencari benarnya sendiri). 

Karena teknologi teleko sudah berkembang, izin saya menambahi menjadi 5G ya: golek senenge dewe, dan golek slamete dewe

Egosentrisme yang lahir dari kinerja survival tools di otak manusia. Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan yang berenergi reduksi yang condong mengeliminasi. 


Kamis, 09 April 2020

Gembel Mudik di Tengah Corona


Oleh Duddy Fachrudin 

Kita itu butuh mudik 

Kita? 

Kita: manusia yang terdidik 
Manusia yang menjadi manusia 

### 

Terdidik itu mengalami pendidikan 
Jiwa dan akalnya ditempa oleh kehidupan 
Jiwa dan akalnya tak mau menjadi budak penjajahan pikiran 

Sampai manusia sadar bahwa dirinya tak perlu embel-embel 
Sadar kalau dirinya gembel 

### 

Itulah mengapa manusia puasa 
Puasa dari mengembel-embeli dirinya 

Yang berhasil maujud menjadi fitri 
Sesuai hakikat ruhnya yang suci 

### 

Itulah mudik sejati

Mudik yang lebih penting dari mudik kultural yang selama ini kamu jalani 

### 

Corona bertamu,
tok tok tok...

Ben kamu mudik sejati 

### 

Ben kamu dadi sebenere menungso 

### 

Karena globalisasi yang menuhankan materi ini manusia lupa jati dirinya 

Lupa untuk mengisolasi dirinya 

### 

Manusia asyik menjadi follower 
Mencari sesuatu di luar dirinya hingga muter-muter 

Mubeng-mubeng kluwer-kluwer 

Akhirnya keder 

### 

Setiap hari adalah hari raya 
Setiap hari menjadi sejatinya manusia 

### 

Menjalani simulasi di surga
Tak ada kejahatan, korupsi, dan segala kepalsuan 

Yang ada hanyalah suap-menyuap kasih sayang 

### 

Sekiranya itu hasil dari mudik sejati

Menebarkan cinta dan kebermanfaatan,
sebagai gembel tanpa embel-embel:
ingin dihormati, ingin dikenali, ingin dicintai 
 
Sumber gambar:

Rabu, 01 April 2020

Teater Corona, Aku, dan Afalaa Ta'qiluun


Oleh Duddy Fachrudin 

Teater corona terus berlanjut 
Akankah manusia kembali benjut

Aku siap benjut hingga hanya memakai cangcut 
Toh hidup ini hanya ketelingsut 

Mau melawan juga pakai apa? 
Wong aku ora duwe apa-apa 

Cuma bisa puasa tanpa sahur dan berbuka seadanya 
Kalau perlu mutih 40 hari 100 hari sekaligus bertapa dari segalanya 

### 

Aku hanya ingin Tuhan tidak murka 
Ini kehendak-Nya, 
bukan kehendakku 

Aku bukanlah aku 
Aku sudah tiada sejak dulu 

Meski yang dulu-dulu suka menyapa dalam mimpi 
Meminta untuk dikasihani 

### 

Aku hanyalah atom berongga 
Ruang hampa, gelap, dan tak bercahaya 

Hologram membisu, juga merindu 

### 

Aku cuma lempung kampung yang bebas ditelikung maupun diserimpung 
Aku fana fatamorgana yang sudah sejak dulu kala menderita 

### 

Aku materi berfrekuensi yang siap meluruh menjadi energi 
Terbebas dari labirin yang menghimpit penuh ilusi halusinasi 

### 

Corona akan terus bertamu 

Tak ingin menyuruh-nyuruh: 
"Tuhan, lenyapkan corona itu" 

Malu nyuruh-nyuruh Al-Hayyu Al Mumiitu 
Siapa aku nyuruh-nyuruh 

### 

Aku kulit yang mengelupas terkena panas 
Melepuh dan melepas 

Berduyun-duyun sel-sel mengayun tunduk memohon agar bisa ilaihi roji'uun 

### 

Aku, 
si dungu letih ringkih yang hanya bisa bersembunyi dalam kelambu 

Kelambu kasih sayang tempatku bersembahyang 
Menyanyikan stanza cinta bergelombang 

### 

Tak ikut-ikut lagi menanam buah khuldi 
Seperti yang mereka lakukan setiap hari 

Memanen, menikmati, menanam lagi dan lagi 
Terus berulang-ulang kali 

Tak pernah puas dan tak menyadari, 
misi penciptaan diri 

### 

Biarlah aku di sini, 
mati, 
membunuh diri 

Tak terbuai lagi dengan khuldi khuldi 

### 

Corona terus bergentayangan 
Yang ini datang berbulan-bulan 

Yang lain (mungkin) bertahun-tahun 
Menggembalakan racun agar manusia kembali membaca afalaa ta'qiluun 

### 

Bagi para pecinta, 
racun tha'un itu adalah kritik mesra dan pesona kasih-Nya tak terkira 

Sumber gambar: 

Selasa, 24 Maret 2020

Covid, Hafidh, Lockdown, dan Vektor Hati


Oleh Duddy Fachrudin

Manusia diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Virus diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Dalam kegelapan malam, Nabi diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Semua diperjalankan
Tuhan memperjalankan

###

Semua diberhentikan
Tuhan memberhentikan

Ikhlas menerima apapun yang datang
Ikhlas menerima apapun yang pergi

Datang untuk pergi
Pulang untuk kembali

###

Diperjalankan dengan aneka tanya yang berkelindan
Jawaban-jawaban hanya ada saat melalui jalur pendakian

Seperti Nabi yang mendaki
Seperti Mereka yang senantiasa bersuci

Atau Mereka yang berdiam diri
Menembus samudera cinta hakiki

Melepaskan diri dari jerat eksistensi materi,
untuk menghirup cahaya esensi

###

Ada covid
Ada pula hafidh

Kamu covid atau hafidh?

Hafidh pemelihara
Covid pembawa bencana dengan tingkah lakunya

###

Tak pernah bertanya akar dari masalah
Hanya mencoba mengobati dan berupaya mencegah

Mata sembab melihat jasad tergeletak di bumi tak berpetak

Lalu pernahkah bertanya sebab dari semua ini?

###

Hafidh diperjalankan
Covid diperjalankan

Ada hafidh tetap hafidh
Ada hafidh menjadi covid
Ada covid selalu covid
Ada covid berubah wujud menjadi hafidh
Ada pula hafidh berwajah covid

###

Kenapa mesti berawal di Cina?
Kenapa mesti tak kasat mata?
Kenapa mesti menjelang puasa?
Kenapa mesti melalui peringatan hari dimana Nabi mengalami perjalanan luar biasa?

Pernahkah pemimpin dunia bertanya?

###

Ada shiyam
Ada shoum

Lockdown itu shiyam sekaligus shoum

Shiyam puasa makan minum dalam sehari
Shoum lebih luas lagi, menahan diri

Shiyam dan shoum meningkatkan iman dan imun

Masa kamu tidak mau melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kelangsungan hidupmu?

###

Tapi nanti depresi
Resesi ekonomi
Dapur tak mengepul lagi

Dengan bilang seperti ini, kamu sudah menjadi orang yang merugi

Manusia kufur yang tak bersyukur

Hidup ini hak guna, sejak kapan hidup menjadi hak milik?

###

Sejak materi mendominasi

Akhirnya jadilah penganut materialisme
Jadilah menuhankan kapitalisme

Semua dilihat dari untung rugi duniawi

###

Maka, beruntunglah mereka yang tak menikahi dunia

Seperti Nabi,
yang perlu diteladani dan diikuti

Makan dibatasi
Stok pakaiannya hanya untuk 2 hari
Rumahnya sangat kecil dan sempit sekali
Semua kekayaannya dibagi-bagi

###

Derita umatnya saat ini tak ada apa-apanya dibanding deritanya

Semua anak cucunya mati
Pernah diracun, disantet, diludahi, dan dicaci maki
Dilempar kotoran, dikucilkan, dan diusir dari kampung halaman

Yang tak menyukainya menyeru, "Tangkap... hidup atau mati!"

###

Tapi Nabi yang paling sering menangis dan mengemis dalam sujudnya

Cinta dan takut beriringan mengisi ruang hati
Tertuju satu hanya pada Ilahi

###

Dan salah satu do'a favorit Nabi:

"Ya Tuhan, hidupkan aku keadaan miskin dan bangkitkan aku kelak bersama orang-orang miskin."

Kamu pernah berdo'a seperti itu?

###

Sehat itu tak hanya fisik
Sehat itu holistik

Sehat mental, sosial, dan spiritual

Juga sehat finansial

Tapi kalau melihat Nabi, ia begitu sangat tidak sehat finansial

Namun begitu, riwayat sakitnya hanya 2 kali

###

Andai Nabi melihat bencana ini ia sangat bersedih

Sedih bukan karena jumlah yang mati

Sedih karena melihat kepongahan manusia
Meringis karena banyak yang mengaku mencintainya, namun nyatanya tipu-tipu belaka

###

Ini bukan lagi soal lockdown atau herd immunity

Ini masalah vektor hati

###

Hati yang perlu isra' dan mi'raj,
melintasi berbagai dimensi

Referensi:
Bagian shiyam, shoum dan Nabi terinspirasi dari buku dr. Ade Hashman yang berjudul, "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib", penerbit Bentang

Sumber gambar:
https://emphaticallynomadic.com/how-to-find-yourself-through-a-spiritual-journey/