Tampilkan postingan dengan label Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena mengalir itu mengikuti tanpa hilang kendali. Merasakan dan mensyukuri tanpa terbenam di dalamnya. Mengapung dan menghiliri kehidupan. Karena menghulu di ruang waktu adalah keyakinan semu.

Kita semua maju untuk bertemu dengan titik terdahulu. 

Kita berputar dan mengalir. Kita terhempas di banyak batu. Kita kadang terdampar diserap debu. 

Tapi bahagia itu tak pernah kering karena selalu akan ada cinta di setiap titik temu. Dan cinta itu temu, juga titik. Karena mencintai itu proyeksi, juga refleksi, dan iluminensi. Datang dari sumber kita, membersamai kita, dan membentuk bayang-bayang semu yang termaktub dalam harap dan rindu. 

Maka sumber cinta pastilah Cahaya. Dan kita adalah penghalang yang ada dan membuat bayang. 

Maka cinta kadang kelam, juga gelap bahkan pekat karena menjadi tanda bahwa adanya kita adalah niscaya. Dan niscaya adalah kunci percaya bahwa bayang yang membumi dan menubuh dalam eskalasi materi adalah bukti bahwa selalu ada Cahaya yang bukan sekedar hipotesa. 

Kita adalah makhluk tanah yang menerima Cahaya agar berada dan membayang dalam kelana cinta yang menubuh dalam sosok rubuh yang tak runtuh melainkan utuh saat bersetubuh dengan materi yang meluruh.

Maka maafkanlah saya yang malam ini tersandar lemas karena pesona Amartya... karena sejam bersamamu benar-benar telah menguras segenap tirta kamanungsan yang mengkristal menjadi roso kamanungsan. 

Mohon izin Mbak Marinta, kristal roso ini mau saya bawa pulang ya... mau saya bawa pas makan bakso, ngaso, atau juga pas cuma bisa melongo.

<<< Halaman Sebelumnya

Sumber gambar:

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Maka kita manusia adalah makhluk yang bahagia sekaligus menderita. Punya cinta sekaligus teraniaya. Tersandera dalam pilihan, terjebak dalam pusar keputusan. Terbudak oleh puser kenikmatan, dan terus berlari dari kenyataan, karena itu amat menyakitkan. 

Maka menjadi ksatria, kata Marinta si anak Matahari, adalah kehendak watak yang setia pada kejernihan hati dan kebeningan pikir. Bening yang hening dan hening yang bening. Boleh kalah tetapi merasa menang, khususnya pada saat yang dihadapi adalah pertempuran mengatasi pemberontakan dalam diri. 

Boleh juga menang dan merasa menang, karena pada hakikatnya manusia akan selalu berada di fase interstitia... makhluk dua dunia yang selalu dapat bermetamorfosa. Makhluk antara 0 dan 1, antara ada dan tiada. 

Lalu mengapa harus mengada? Apalagi mengada-ada? Padahal menjadi "ada" itu punya alasan sempurna. 

Yen tanana sira iku, Ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami. 

Karena kita adalah lukisan sempurna yang menggambarkan kehadiran-Nya tentu saja. Karena sifat tan keno kinoyo ngopo sudah semestinya terintegrasi ke dalam susunan sel-sel tubuh, darah, dan syaraf dan maujud dalam wadag yang berpikir dan mengonstruksi kesadaran soal takdir dan hadir. 

Maka menyelami kemanusiaan adalah mereguk Tirta Pawitra Mahening Suci yang sumbernya hanya bisa didapatkan jika kita jujur pada diri sendiri. Saat kita dapat melihat dengan jernih sosok "Dewa Ruci", homunculus, yang terproyeksi pada sekumpulan memori dan persepsi tentang siapa "aku" itu. 

"Aku" yang asli tanpa atribut syahwati karena sekedar takut mati dalam kondisi tak berarti. Karena pati jroning urip itu keniscyaan yang membuat hidup kita itu tak ubahnya bak sesosok zombie. Atau vampir penyedot energi hanya demi eksistensi. Menjadi Rara Kenyot yang menyedot segenap daya linuwih semesta hanya agar teraktualisasi selamanya. 

Selamanya yang maya dalam nyata. Semua terjadi karena manusia terpenjara dalam cinta yang terkomoditisasi, lalu melahirkan hasrat untuk dimiliki. Cinta yang tak lagi mengalir mengikuti takdir. Menepati janji pada ruang dan waktu untuk selalu maju dan berlalu. Cinta dan Berada itu mengalir...


Sumber gambar:

Kamis, 03 Oktober 2019

Mindful Leadership: Kualitas Pemimpin yang Mindful


Oleh Duddy Fachrudin

Hening, mengalir, mengamati, membaca tanda, di sini, saat ini.

Bendera itu berkibar.

Bukan bendera, melainkan angin yang bergerak.

Bukan bendera dan angin, sesungguhnya pikiran yang bergerak.

Setiap orang adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin perlu memimpin dirinya sendiri. Memimpin pikirannya. Dengan begitu memperbaiki dirinya.

Syahdan seorang pengembara bercerita, "Ketika aku masih muda, aku bersemangat.. aku berdoa kepada Tuhan agar memberiku kekuatan untuk mengubah dunia. Ketika sudah separuh baya, aku menyadari setengah dari hidupku sudah berlalu dan aku tak mengubah seorang pun. Maka aku berdoa untuk mengubah mereka yang dekat di sekitarku. Sekarang, aku sudah tua dan doaku lebih sederhana, memohon Tuhan memberikan kekuatan untuk mengubah diriku sendiri.

Lewat kesadaran, memperbaiki diri sendiri.

Pemimpin yang berkesadaran versi Rasmus Hougaard dicirikan 3 hal:

1. Mindfulness
Keterampilan dalam memberikan perhatian penuh terhadap apapun. Inilah kualitas awal yang membuat pemimpin berselancar dalam ombak (mengarungi kehidupan yang tidak pasti). Keputusannya matang dan bijaksana. Pikirannya tidak terperangkap dengan kepentingan tertentu.

2. Selflessness
Pemimpin bukan tentang dirinya, melainkan apa yang dipimpinnya. Mengutamakan orang lain, termasuk kebaikan lingkungan adalah prioritas utama. Leadership dalam konteks ini adalah friendship. Persahabatan yang terlepas dari keinginan untung rugi. Persahabatan yang jujur yang pada akhirnya mengembangkan rasa percaya (trust).

3. Compassionate
Menebarkan manfaat adalah esensi kehidupan. Pemimpin yang berkesadaran akan menghadirkan kenyamanan dan rasa tenang. Bukan karena dibentengi pasukan tentara, tapi karena adanya hati yang lembut yang memancarkan cahaya.

Semua kualitas ini muncul saat pemimpin secara berkesinambungan memperbaiki dan menjernihkan dirinya.

"Tuhan kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah, ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah, dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya."


Sumber gambar:

Kamis, 03 Mei 2018

Definisi Mindfulness: Mindfulness Adalah...


Oleh Duddy Fachrudin

Mindfulness itu apa?

Pertanyaan tersebut biasa saya tanyakan kepada para peserta yang sedang belajar mindfulness bersama saya. Loh, mereka datang-datang dan ingin belajar mindfulness malah ditanya balik. Uniknya dari pertanyaan itu beragam jawaban muncul:

"Mindfulness itu berkaitan dengan kesadaran"

"Menikmati"

"Merasakan"

"Menghayati"

"Fokus"

"Hadir sepenuhnya"

"Meditasi"

Dan jawaban-jawaban lainnya.

Menjelaskan mindfulness tidak semudah mengutip definisi yang ada pada buku teks lalu memaparkannya kepada orang lain. Hal ini karena mindfulness merupakan konsep yang integrated. Mindfulness ya kesadaran, sekaligus hadir sepenuhnya, menikmati, dan sebagainya. Namun dari semua itu mindfulness berawal dari kemampuan individu dalam memberikan atensi atau perhatian.

Lalu, perhatian yang seperti apa yang dikatakan mindful?

Apakah dengan kita memberi perhatian kepada laki-laki yang rupawan atau perempuan jelita bisa dikatakan itu adalah suatu aktivitas mindful?

Dan suasana pun menjadi hening.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://intergifted.com/mind-full-mindful-mindfulness-gifted-new-workshop-dr-kelly-pryde/

Selasa, 13 Maret 2018

Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 2, habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini.

Lalu kita (baca: saya dan anda) itu sesungguhnya apa? Dan semesta yang katanya tempat kita itu apa? Jika kita makhluk persepsi, dari apakah semesta kita ini dibangun?

Sekitar 2600 tahun yang lalu seorang bijak bernama Anaximandros merasa semesta adalah sebuah ruang, dimana benda-benda diletakkan dan berputar saling mengitari. Parmenides dan Phytagoras membayangkan bumi dan berbagai benda angkasa adalah benda bulat yang saling berinteraksi, terbang, dan punya hubungan ke semua arah. Peri Ouranou yang ditulis Aristoteles menjabarkan bahwa langit adalah rumah kita, dan kelak Dante mencari gubug derita tempat semua sengsara dunia bermuara, inferno.

Tetapi apa sesungguhnya semesta?

Albert Einstein, Faraday, Maxwell, Bohr, Heisenberg, Riemann, sampai Gell-Man pada akhirnya bersepakat dalam kurun waktu yang berbeda dan satu sama lain mungkin tak pernah jumpa. Bahwa semesta ini adalah medan. Medan gravitasi dan medan elektromagnetik, dimana mekanika deterministik Newton mendapat tempat untuk unjuk manfaat. Di mana gelombang radio dan elektromagnetik dapat berosilasi, bervibrasi, dan menggoda indera dengan menghasilkan rasa berupa citra atau suara yang dapat ditransmisikan ke mana saja. Albert jua lah yang bersabda bahwa semesta ini wajib memuai karena ia bukan bola. Ia materi yang terdorong oleh daya maha luar biasa yang meninggalkan tapak berupa cosmic microwave background dan juga bentuknya yang melengkung menyerupai kurvatura (Reimann Curvature).

Maka matahari, bumi, juga bulan adalah sekumpulan materi bulat yang dijatuhkan ke dalam selongsong lonjong yang membuatnya berputar secara revolusioner sembari terus berthawaf dalam rotasinya. Lalu dikenalah konsep kuanta dengan probabilitasnya yang tak mampu ditebak sempurna. Lalu Planck dan banyak ilmuwan sejenisnya mengenal konsep ada dan hadir jika suatu partikel atau elektron keluar dari kebiasaannya, melompat, bereksitasi dan melepas energi.

Itulah tanda. Hadir dan ada itu berbuat dan beraksi. Maka Abdussalam mengumpulkan semua gaya yang menjadi syarat hadir dan ada. Nuklir kuat dan lemah di inti, elektromagnetik, dan gravitasi.

Maka terangkailah partikel elementer, elemen dasar eksistensi yang terdiri dari quark-quark yang membentuk proton dan netron yang dilekatkan oleh gluon. Dan ruang terisi. Dan neutrino hadir dalam diam yang tak sunyi, dan Higg Bosson merajut elemen dasar menjadi sesuatu yang dilabeli fungsi. Lalu berturut-turut terciptalah termodinamika dengan entropinya, dan energi hadir, dikonversi dan melekat sebagai catu daya fungsi. Sebagaimana mekanika kuantum, maka perpindahan panas (kalor adalah energi) tak lepas dari "peluang" atau probabilitas.

Boltzman bersikukuh bahwa termodinamika berbeda dengan konsep kuanta, meski jawabnya sangatlah sederhana: ia dan juga kita tidak tahu dan tidak mampu.

Jeremy England pada akhirnya berpendapat bahwa sistem dan fungsi khususnya terbangun karena kebutuhan yang mengharuskan adanya interaksi sebagaimana foton dalam proses fotosintesa memerlukan fusi hidrogen dan juga sekumpulan unsur logam seperti magnesium dan besi dalam klorofila.

Maka semesta terbangun sebagaimana juga persepsi. Semua bagi saya dan anda adalah asumsi yang terverifikasi melalui konsistensi pencarian yang disepakati. Namanya riset dan penelitian. Tapi pertanyaan besarnya adalah, apakah semua yang dilihat, diukur, dan disepakati itu nyata ada? Atau hanya dinyatakan ada, atau bahkan di"ada-ada"kan nyata?

Jawabannya mungkin sebagaimana "relativitas khusus" Einstein yang kerap dianalogikan dalam kisah metafora tentang 2 bersaudara yang hidup di dimensi dengan kecepatan gerak yang berbeda.

Yang hidup dan bergerak secepat cahaya tak bisa dipenjara ruang dan waktu. Karena cahaya adalah "jeruji" dan tembok yang menghasilkan persepsi tentang ruang dan masa yang memenjara kita dalam makna. Maka kita yang berada dalam ruang yang dicipta konsensus cahaya akan menua, pudar, dan terurai berulang dan berulang hingga tak berhingga.

Lalu jika demikian apa yang tersisa? Sisa itulah sesungguhnya kita. Remah kecil yang tercipta, keping mungil yang mendamba. Bayangan yang hanya ingin kembali pada Sang Pemilik-Nya.

Sumber gambar:
Dokumen pribadi (Tauhid Nur Azhar)

Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Di keheningan atap dunia saya terhenyak. Selarik kesadaran merembes perlahan ke dalam benak. Dingin dan menyegarkan. Lalu seberkas cahaya yang terpantul dari kilau salju nan putih mengguncang mesin tanya dalam pikiran, apakah manusia itu? Di mana kita sesungguhnya berada? Dan mengapa?

Sejauh mata memandang hanya indah yang terhampar dalam sunyi seolah mengajak diri untuk larut merenungi. Perlahan air mata membulir, entah karena apa. Sontak semua kata kehilangan makna. Bahkan diri kecil yang tersuruk dan terpuruk di bentang ke Maha Akbaran Sang Pencipta ini tak kuasa menjawab tentang apa yang hendak dicarinya. 

Saya terduduk dan tertunduk lemas. Kesadaran yang meruyak merusak semua mimpi tentang nilai yang diyakini. Bahkan kini saya tidak yakin dengan diri saya sendiri. Benarkah saya ada di sini? 

Karena terbersit dalam otak saya bahwa saya dan disini, serta saat ini adalah sebentuk produk mental yang dihasilkan serangkaian mekanisme kognitif kompleks yang mengurai tanda dan data menjadi ada. Apakah saya ini sebentuk persepsi tentang saya yang dihasilkan oleh konspirasi indera dengan semesta? 

Lalu semesta itu apa? Mengapa saya ada? Lanjut saya bertanya, entah pada siapa. Bukankah saya "merasa" ada karena saya teraba, terlihat, terdengar, terhidu, tersakiti, terindui, ternikmati, terzhalimi, tersedihi, termarahi, dan tertawa-tawa sendiri semata karena sebuah pemahaman tentang proses interaksi dan pemahaman yang disepakati? 

Saya ini Maya karena menjadi Ada hanya karena merasa. Saya ini makhluk gagasan yang berkonsensus untuk merasa sebagai sebuah makhluk. Lalu apakah saya sebuah proyeksi lintas dimensi dari Sang Pemilik gagasan sejati? Apakah saya sekedar refleksi? Pantulan dari wujud yang Hakiki? Apakah saya bayangan tak berbatang tubuh yang hanya hadir bersyarat karena adanya wujud yang mewujudkan cahaya menjadi bayang bernama manusia? Saya meremas segenggam salju dan menamparkannya ke muka. Otak saya beku. Lidah saya kelu.

Ada listrik mengalir di sela sulkus sentralis yang memisahkan lobus parietalis dan frontalis di hemisferium otak saya. Nyetrum. Dan membuat kilau salju membutakan pandang dan membawa khayal berenang di lautan awan yang terbentang di depan sana. Raba, dengar, lihat, panas-dingin, gurih umami, juga pada gilirannya warna, renyah tawa, eksotika rupa, keseksian istri tercinta, serta duka dan air mata yang menyertai kecewa dan kehilangan adalah sebentuk kesepakatan belaka. Tentang makna dan yang dimaknai. 

Harapan adalah kesepakatan konspiratif antara memori yang berisi hasil belajar dan pengalaman dengan sensor nafsu yang menamainya kenikmatan. Maka bercinta secara fisik adalah bentuk prokreasi, proses regenerasi dan rekreasi. Anehnya pemenuhan harapan adalah hadiah yang didambakan (reward), bahkan menjadi motivasi kuat agar makhluk virtual ini manglih rupa menjadi robot pemuas diri (masturbating robot). 

Meski tak dapat dipungkiri bahwa segerombol sel-sel neuron haus dopamin yang berkumpul dalam nukleus akumben atau juga ventral tegmental area juga adalah motivator konstruktif yang tak kalah ciamik dengan motivator cantik sekelas Merry Riana dalam kehidupan nyata. Ingin bahagia adalah syarat bahagia, demikian kira-kira, dan itulah tugas mereka. Pemuas harapan. Pemupus kerinduan. Penuntas dahaga terhadap kenikmatan. 

Lalu makhluk virtual yang relatif dan terpolarisasi ini jatuh terpuruk dalam neraka dunia yang bernama konsep diametral. Dalam konsep yang menyiksa ini tersedia ruang untuk hadirnya sedih, marah, dan kecewa. Karena semua harapan akan punya pasangan antagonis yang dari seberang sisi terpolar seolah tersenyum bengis. Lalu saya dan anda mengenal tangis, juga mampu bertindak sadis bin bengis. Itulah kita, yang katanya manusia, dan sepakat meyakini kalau kita itu manusia.

Bersambung ke Manusia Di Ruang Semesta (Bagian 2, Habis)

Sumber gambar:
Dokumen pribadi (Tauhid Nur Azhar)

Selasa, 19 Desember 2017

Seandainya Kim Jong-hyun Suka Mendaki Gunung Seperti Gie...

Jong-hyun dalam video klip "Lonely"

Oleh Duddy Fachrudin

Mungkin bunuh diri itu tak akan terjadi. Dan fans K-Pop, khususnya Oppa Jong-hyun tetap menikmati karya-karyanya. Mungkin.. jika Kim Jong-hyun menjadi seorang Soe Hoek Gie, ia juga tidak akan kesepian seperti ungkapannya dalam lagunya:

Baby I’m so lonely so lonely
Baby I’m so lonely so lonely
Sayang aku sangat kesepian sangat kesepian
나도 혼자 있는 것만 같아요
Nado honja issneun geosman gatayo
Aku merasa seolah aku sendiri
그래도 너에게 티 내기 싫어
Geuraedo neoege ti naegi silheo
Aku tak ingin kau mengetahuinya
나는 혼자 참는 게 더 익숙해
Naneun honja chamneun ge deo iksukhae
Aku sudah terbiasa memendamnya



Pada masanya, Soe Hoek Gie boleh dibilang setenar Jong-hyun, namun dalam domain yang berbeda. Gie terkenal karena ia seorang aktivis yang vokal terhadap situasi politik dan sosial yang terjadi di Indonesia pada periode 1960-an serta seorang pecinta alam yang sering mendaki gunung. Sementara vokalis SHINee tersebut seorang bintang K-Pop di era milenial. Selain tenar, keduanya memiliki persamaan, yaitu sama-sama meninggal di bulan Desember karena menghisap gas. Gie meninggal pada 16 Desember 1969 karena terlambat turun dari puncak Mahameru dan menghisap gas beracun dari kawah Semeru, sementara Jong-hyun menghirup karbon monoksida hasil dari pembakaran briket batubara pada 18 Desember 2017 di apartemen yang disewanya.

Keputusan Jong-hyun untuk meninggal dengan bunuh diri tidak terlepas dari depresi yang dialaminya. Penyakit tak kasat mata ini ibarat monster pembunuh yang diam-diam mengintai penderitanya untuk akhirnya melakukan bunuh diri. Para artis lain seperti Chester Bennington dan Robin Williams pun menjadi korbannya. Maka tidak heran jika depresi, di masa ini hingga di masa depan menjadi salah satu dari 3 penyakit yang mematikan yang ada di dunia.

Namun, tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Artinya depresi pun dapat disembuhkan. Pada tahap awal penderita perlu mengenali gejala-gejala depresi seperti perasaan-perasaan tidak berharga, merasa bersalah yang berlebihan, pikiran-pikiran tidak layak hidup atau gagal dalam kehidupan, merasa sendiri, menjauh dari lingkungan sosial, sering kelelahan, sulit tidur/ insomnia, sedih dan murung berlarut-larut, hingga adanya percobaan bunuh diri. Psikolog atau dokter dapat membantu penderita untuk mengenali gejala-gejala tersebut.

Pada tahap berikutnya, penderita dapat belajar mengelola gejala-gejala tersebut agar tidak menjadi depresi. Banyak cara efektif yang bisa dilakukan, seperti halnya Dialectical Behavior Therapy (DBT), Cognitive Behavior Therapy (CBT), mindfulness, gabungan mindfulness dan CBT atau biasa disebut Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), terapi yang melibatkan movement yaitu tai chi dan yoga juga efektif menangani depresi. Bahkan berjalan kaki pun dapat mengurangi depresi. Dengan tubuh kita bergerak maka energi pun ikut mengalir. Itulah mengapa jika kita merasa tidak nyaman dengan pikiran maupun emosi tertentu, berpindahlah, bergeraklah.

Dari aspek psikofisiologi, gerak dapat dikaitkan dengan produksi dopamin dan teraktivasinya sistem saraf otonom. Basal ganglia yang di dalamnya terdapat globus palidus, nukleus kaudatus, dan putamen, serta arkhistriatum sebagai bagian otak yang mengontrol dan menata gerakan mendapat sinyal dari area motorik dan mengirimkannya ke talamus lalu dari talamus dihantarkan ke korteks otak dan serebrum. Gerakan yang tertata hasilkan koordinasi yang indah. Malah, meskipun pada akhirnya seseorang merasa lelah karena bergerak, namun dibalik kelelahan itu semburat cinta endorfin dan oksitosin menenangkan tubuh dan pikiran.

Maka dengan naik gunung atau treking sesungguhnya dapat mencegah atau mengobati depresi. Dalam setiap langkah kaki yang menghujam mengalirlah segala pilu yang selama ini terpaku dalam pikiran. Sementara keindahan alam menjadi penampakan yang meruntuhkan segala kesedihan maupun ketidakberhargaan diri. Karena takjub, syukur pun melantun memenuhi kalbu dan cahaya kelembutan-Nya menyentuh relung jiwa. Canda tawa teman-teman sependakian menghadirkan makna mengenai hidup yang perlu dinikmati meski kadang dalam perjalanannya terasa berat karena beban ransel di punggung menggoyahkan keseimbangan. Full catastrophe living, begitu kata John Kabat-Zinn, segala penderitaan pasti hadir, namun kita tidak menyerah, melainkan mengalir bersama penderitaan itu hingga akhirnya hidup ini terasa menakjubkan.

Maka jika kau merasa kesepian, jelajahi dunia ini, menyatulah dengan perjalananmu, dan nikmatilah hingga akhirnya kau menemukan laguna yang indah.

Selamat jalan Oppa Jong-hyun.

Sumber gambar:
https://twitter.com/forever_shinee/status/856444299788955648

Senin, 30 Oktober 2017

Atensi, Ihsan, dan Excellent Service

Sudahkan saya menerapkan pelayanan prima?

Oleh Duddy Fachrudin

Buku bagi saya sudah menjadi suatu kebutuhan utama. Meskipun saat ini sedang ngetrend digitalisasi buku, namun tetap buku versi cetak lebih nyaman untuk dibaca. Selain itu kita bisa merasakan tekstur kertas, termasuk baunya kertas itu sendiri. membaca buku versi cetak lebih membuat kita lebih hadir sepenuhnya atau mindful dibanding buku digital.

Karena kebutuhan itu pula saya sering berkunjung ke toko buku. Pada suatu kesempatan terlintas sebuah buku yang ingin dibaca. Akhirnya saya mengunjungi sebuah toko buku untuk mencari buku tersebut.

Saat di pintu masuk toko buku tersebut saya menjumpai pemandangan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh karyawan toko buku. Dua orang karyawan perempuan bagian kasir sedang asiknya bermain smartphone. Ketika saya menghampiri bagian penitipan barang pemandangan yang sama pun terlihat. Bahkan saat saya menaruh tas saya pandangan karyawan bagian penitipan barang tertuju hanya pada smarphone yang ia mainkan.

Saya hanya meng-oooo... dalam hati saya. Dunia digital mengalihkan dunia yang sesungguhnya.

Buku yang saya cari tidak ada. Dan saya hanya lima menit di toko buku tersebut. Ketika mengambil tas, karyawan penitipan barang lagi-lagi masih berkutat dengan gadget-nya. Tidak ada sapa, apalagi senyum.

Atensi di era digital ini begitu mahal. Padahal atensi merupakan kunci dari sebuah pelayanan. Tak ada pelayanan yang berkualitas tanpa atensi.

Maka wajar jika ada yang mengatakan, “Jika Anda tidak memberikan pelayanan yang berkualitas, maka orang lainlah yang akan melakukannya.”

Jika seorang istri atau suami tidak melayani pasangannya secara prima, maka mereka mungkin akan dilayani dengan baik oleh rekan kerjanya, sahabatnya, gadget-nya, atau robot pelayan. Begitu juga dengan pegawai Anda yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari manajemen, maka siap-siap mereka melayangkan surat pengunduran diri dan pindah ke organisasi yang lebih profesional terhadap sumber daya manusianya. Dan pelayanan menjadi elemen penting bagi seorang pelanggan untuk tetap setia terhadap produk Anda.

Kunci untuk meningkatkan kualitas pelayanan terletak pada karakter ihsan yang ada pada setiap individu. Ihsan berarti kebaikan. Seperti yang tersirat pada Al Qur’an surat Ar-Rahman ayat 60 yang berbunyi, “Tidak ada balasan dari ihsan (kebaikan) melainkan ihsan (kebaikan) pula.”

Melayani dengan empati, menyederhanakan (memudahkan) pelayanan, termasuk menyebut nama pelanggan Anda saat pelayanan dan mendoakan kebaikan terjadi dalam hidup mereka merupakan bentuk-bentuk ihsan. Bahkan ketika pelanggan Anda komplain dengan nada yang membuat kortisol dalam tubuh Anda naik, Anda tetap memperlakukan mereka dengan lemah lembut dan penuh cinta kasih (Qs. Al Furqan: 63).

Sumber gambar:
https://www.surveymonkey.com/mp/how-to-offer-excellent-customer-service/

Jumat, 06 Oktober 2017

Bangkit dari Depresi Setelah Membaca Cerita Ini


Oleh Duddy Fachrudin

Depresi oh depresi. Gangguan ini diperkirakan menjadi penyakit yang mematikan setelah penyakit jantung di tahun 2020. Berita-berita saat ini menunjukkan penderita depresi yang memutuskan bunuh diri. Mulai dari artis hingga remaja biasa. Mulai Robin Williams, Chester Bennington, hingga saat ini yang menjadi trending yaitu seorang remaja putri yang bunuh diri di atas rel kereta kereta api di Cibinong, Bogor. “Aku merasa tidak ada artinya,” begitu salah satu statusnya di media sosial sebelum ia bunuh diri.

Menjelang Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober, kita perlu melakukan refleksi atau bahkan mendesain ulang kebutuhan hidup kita. Jika saat ini kebutuhan hidup kita berkisar pada kebutuhan dasar seperti makan, minum, lalu kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, Kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan belajar dan mengaktualisasikan diri, maka sudah sepatutnya kita menambahkan satu kebutuhan penting dalam hidup. Kebutuhan tersebut yakni kesehatan mental (mental health).

Maka cerita inspiratif dari dunia One Piece karangan sensei Oda yang diambil dari buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” ini dapat menjadi asupan dan nutrisi akan kebutuhan kesehatan mental. Khususnya terhindar dan terlepas dari jeratan depresi:

Cerita inspiratif dari Nico Robin, salah satu karakter dalam One Piece

Dengar baik-baik Robin... Mungkin sekarang kau sendirian. Tapi, kelak... Kau pasti akan bertemu teman! Laut sangat luas... Kelak kau pasti akan bertemu! Teman-teman yang akan melindungimu. TIDAK ADA SEORANG PUN DI DUNIA INI YANG DILAHIRKAN BENAR-BENAR SENDIRIAN!
(Haguar D. Sauro kepada Robin di Pulau Ohara)

Nico Robin dianggap wanita iblis yang dapat menghancurkan dunia oleh Angkatan Laut. Oleh karena itu ia berada dalam daftar buruan sejak umurnya 8 tahun sebesar 79 juta Berry. Untuk bisa mempertahankan hidupnya, ia harus masuk berbagai organisasi, namun setiap organisasi yang ia masuki hancur kecuali dirinya. Sejak kecil Robin dianggap pembawa sial dan monster oleh penduduk pulau Ohara, padahal ia hanya seorang bocah yang memiliki minat terhadap buku dan arkeologi. 

Robin memiliki impian untuk mengungkap poneglyph yang bisa menceritakan sejarah yang sebenarnya. Namun, gara-gara label “wanita iblis”, “pembawa sial”, dan “monster” yang ia terima sejak kecil, masyarakat dunia menjauhinya. Ia tidak memiliki teman yang bisa diajak berbagi dan berjuang bersama-sama mewujudkan impiannya. Satu-satunya yang bisa mengerti dirinya adalah ibunya dan para sarjana Arkeolog Ohara. Namun, setelah pemerintah dunia menghancurkan Pulau Ohara, ia benar-benar tidak memiliki siapapun. 

Robin menerima banyak penolakan atas eksistensinya. Keberadaan dirinya sudah seperti kejahatan bagi masyarakat dunia. Dan ketika di Enies Lobby, ia sudah pasrah dengan kehidupan, yang ia inginkan hanya kematian meskipun Luffy dan kawan-kawannya berusaha membebaskannya dari CP 9. Hal itu terjadi akibat penolakan-penolakan yang ia terima, sehingga ia merasa sebagai beban dan pembawa sial jika bergabung bersama Bajak Laut Topi Jerami. Meskipun begitu, dalam hatinya sangat bahagia bersama sahabat-sahabatnya yang bisa menerima dirinya. 

Saat Robin sudah pasrah akan kematian, Luffy berkata, “Robin!!! Aku belum mendengarnya langsung darimu. Katakan, AKU INGIN HIDUP!!!”. 

Robin tergetar hatinya, matanya memancarkan air mata. Di saat orang-orang mengatakan ia tidak pantas untuk hidup, Luffy mengatakan sebaliknya. Di saat penduduk dunia menolak keberadaannya, Luffy dan teman-temannya menerima dan mendukung impian-impiannya. Ia bahagia... ia sangat bahagia mendengarnya, namun ia dalam posisi yang sangat sulit. Jika ia bergabung dengan Bajak Laut Topi Jerami, keselamatan teman-temannya terancam. 

Keheningan melanda Enies Lobby. Luffy menunggu jawaban dari Robin. Akhirnya Robin berkata, “Kalau sekarang aku dijinkan untuk mengatakan harapanku... Aku... AKU INGIN HIDUP! Bawa aku ke laut bersama kalian!”

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:
Fachrudin, D. (2011). 10 pesan tersembunyi & 1 wasiat rahasia. Solo: Metagraf.

Sumber gambar:
https://imgflip.com/i/1fcowy

Selasa, 23 Mei 2017

Melihat ke dalam Kebahagiaan [Bahagia itu Proses]


Oleh Kadek Widya Gunawan




Pembicaraan tentang kebahagiaan telah di mulai sejak begitu lama, kembali ke zaman Yunani kuno, dimulai oleh seorang filsuf ternama, yaitu Aristoteles, murid dari Plato dan guru dari “The Great Alexander.”

Pembicaraan awal tentang kebahagiaan oleh Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan terdiri dari 2 (dua) aspek yaitu hedonia dan eudaimonia.

Kedua aspek tersebut dalam psikologi kontemporel lebih dikenal sebagai pleasure atau kepuasan dan meaning atau makna.

Jadi mudahnya, hedonia adalah aspek kebahagiaan terkait dengan kepuasan, dan kepuasan bisa didapat melalui sesuatu di luar diri manusia seperti benda-benda material, hiburan, jabatan, karier, status sosial, dan sebagainya.

Sedangkan eudaimonia adalah aspek kebahagiaan terkait dengan pandangan tentang kehidupan yang bermakna serta bagaimana menjalani hidup dengan baik.

Aspek eudaimonia juga terkait dengan menggali kebahagiaan yang ada di dalam diri manusia melalui kegiatan kerohanian, spiritual, ataupun berbagai kegiatan sosial dengan tujuan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Mungkin, dari hal yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang hedonia dan eudaimonia, akan muncul pertanyaan seperti, “Diantara hedonia dan eudaimonia, jika ingin bahagia, maka sebaiknya kita memilih aspek yang mana?”

Pertanyaan tersebut pun pernah muncul di benak Daniel Kahneman, seorang psikolog yang menerima pengghargaan nobel di bidang ekonomi. Kahneman berusaha mengivestigasi hedonia dan eudaimonia dalam studinya tentang objective happiness (1999).

Hasil dari studi yang dilakukan oleh Kahneman (1999) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok pada konsep kebahagiaan baik itu dilihat dari aspek kepuasan (hedonia) ataupun makna dalam hidup (eudaimonia).

Kedua aspek tersebut ditemukan konsisten pada orang yang bahagia. Dengan kata lain seseorang akan bahagia jika mampu memaknai setiap hal yang dicapainya dalam hidup, entah itu karier, status sosial, ataupun tujuan lain yang ingin dicapai dalam kehidupan.

Lalu, beralih ke periode perkembangan selanjutnya dari pembahasan tentang kebahagiaan yaitu ketika aliran psikologi positif mulai berkembang dengan pesat.

Konstribusi psikologi positif dalam kajian tentang kebahagiaan adalah memunculkan sudut pandang modern tentang kebahagiaan dengan menambahkan aspek ketiga, yaitu engagement.

Engagement dalam konteks kebahagiaan bisa diartikan sebagai komitmen dan partisipasi aktif individu dalam menjalani kehidupannya (Seligman et al, 2005).

Konsep engagement ini dalam kajian mindfulness mengarah pada konsep living in the moment (fokus pada hal yang ada/ hal yang dilakukan sekarang dan saat ini-meskipun konsep ini masih dalam perdebatan).

Sedangkan dalam dunia industri dan organisasi konsep engagement berhubungan erat dengan konsep autonomy atau kebebasan yang dimiliki individu dalam mengembangkan diri terkait pekerjaannya.

Saat ini pun, sudah muncul banyak kajian tentang menemukan kebahagiaan melalui mindfulness maupun studi tentang konsep autonomy untuk meningkatkan kebahagiaan di tempat kerja.

Kembali ke pembahasan awal tentang kebahagiaan. Masih tersisa satu pertanyaan mendasar, “Sebenarnya apakah kebahagiaan itu?”

Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa kebahagiaan bukanlah suatu kondisi, melainkan kebahagiaan adalah sebuah aktivitas.

Hal ini dipertegas oleh Rubin Khoddam (2015) yang juga menyebutkan bahwa Aristoteles telah memberikan sudut pandang yang krusial tentang definisi kebahagiaan, yaitu untuk bahagia, manusia harus tetap beraktivitas atau dengan kata lain 'berproses'.

Lebih jauh lagi, Khoddam juga menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan kemampuan manusia untuk mampu menerima situasi yang dialami dalam hidupnya, baik itu situasi yang amat tidak biasa sekali pun (situasi depresi atau kesedihan yang sangat mendalam) sebagai bagian alami dari kehidupan.

Berdasarkan hal yang disampaikan oleh Aristoteles maupun Khoddam, maka dapat kita pahami bahwa sejatinya kebahagiaan merupakan suatu tindakan, proses untuk mampu menerima dan menjalani kehidupan apa adanya, yang oleh seorang senior saya di lobimesen.com disebut sebagai suatu keikhlasan dalam menerima segala takdir yang diberikan oleh Yang Maha Pencipta.

# Terinspirasi dari 'Mas Burhan' dalam artikel “Kamu Bahagia?” dari http://www.lobimesen.com/2017/05/kamu-bahagia.html

Referensi:
Kahneman, D. (1999). Objective happiness. Well-Being: The Foundation of Hedonic Psychology. Eds. D. Kahneman, E. Diener, and N. Schwartz. Russell Sage Foundation, 3-25.

Khodam, R. (2015). What’s your definition of happiness? Didapat dari https://www.psychologytoday.com/blog/the-addiction-connection/201506/whats-your-definition-happiness.

Kringelbach, M. L. & Berridge, K. C. (2010). The neuroscience of happiness and pleasure. Social Research, 77(2), 659-678.

Seligman, M. E., et al. (2005). Positive psychology progress: Empirical validation of interventions. American Psychologist, 60(5), 410-21.

Sumber Gambar:
http://womaura.com/where-is-happiness/