Oleh Duddy Fachrudin
Maria: Kamu percaya jodoh Fahri?
Fahri : Ya... Setiap orang...
Maria: Punya jodohnya masing-masing. Itu yang selalu kamu bilang. Aku rasa Sungai Nil dan Mesir itu jodoh. Senang ya kalo kita bisa bertemu dengan jodoh... yang diberikan Tuhan dari langit...
Fahri : Bukan dari langit Maria, tapi dari hati... dekat sekali
Jodoh. Satu kata yang membuat orang yang masih melajang namun sudah berkeinginan untuk menikah selalu bertanya pada dirinya:
Jodoh. Satu kata yang membuat orang yang masih melajang namun sudah berkeinginan untuk menikah selalu bertanya pada dirinya:
Kapan aku menikah?
Atau benarkah dia jodohku yang tepat?
Ada sebuah kekhawatiran yang melanda aspek psikologis seseorang ketika ia berada pada situasi tersebut. Situasi dimana ia akan berhadapan dengan dunia baru bersama pasangan hidupnya, yaitu membina hubungan berlandaskan sebuah ikatan yang sakral—mitsaqan ghaliza.
Maka memilih jodoh tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Perlu hati-hati dan mindful, dilihat dan diamati bobot-bibit-bebet kalau kata orang Jawa. Bobot berkaitan dengan kualitas fisik dan mental serta keilmuan. Bibit berbicara tentang asal usul keturunan. Dan bebet hubungannya dengan status sosial.
Selain bobot-bibit-bebet, sebenarnya ada satu aspek lagi yang jarang diperhatikan, namun justru ini adalah tolok ukur yang sangat penting diantara ketiganya.
Jika bobot-bibit-bebet merupakan tolok ukur eksternal, maka yang satu ini bersifat internal.
Jika bobot-bibit-bebet merupakan tolok ukur eksternal, maka yang satu ini bersifat internal.
Aspek itu adalah yakin bahwa dia jodoh kita.
Bagaimana kita bisa yakin bahwa dia adalah teman hidup yang akan selalu menyertai perjalanan hidup kita?
Seorang guru bijak berpesan agar kita senantiasa menangkap pertanda semesta yang hadir lalu lalang di depan mata.
Maka selaras dengan semesta adalah syarat kita memakna isyarat.
"Bagaimana?", tanya seorang murid. "Bagaimana saya bisa selaras dengan semesta ini wahai guru?"
Hening.
Seperti Fahri berujar, "Bukan dari langit Maria, tapi dari hati... dekat sekali".
Selaras.
Bagaimana kita bisa yakin bahwa dia adalah teman hidup yang akan selalu menyertai perjalanan hidup kita?
Seorang guru bijak berpesan agar kita senantiasa menangkap pertanda semesta yang hadir lalu lalang di depan mata.
Maka selaras dengan semesta adalah syarat kita memakna isyarat.
"Bagaimana?", tanya seorang murid. "Bagaimana saya bisa selaras dengan semesta ini wahai guru?"
Hening.
Seperti Fahri berujar, "Bukan dari langit Maria, tapi dari hati... dekat sekali".
Selaras.
Sumber gambar:
https://izzahbaridah.wordpress.com/inspiration/my-dream/mesir/
https://izzahbaridah.wordpress.com/inspiration/my-dream/mesir/
0 komentar:
Posting Komentar