Kamis, 24 Oktober 2019

Mbah Moen dan Metafora Perjalanan Akbar


Oleh Duddy Fachrudin

Wafatnya Mbah Moen di waktu subuh di Tanah Suci Selasa yang lalu mengingatkan pada sebuah film mindfulness bertema road movie berjudul Le Grand Voyage (Perjalanan Akbar).

Sebuah kisah perjalanan haji menggunakan mobil dari Prancis ke Makkah al-Mukarramah yang berjarak 5000 kilometer. 

Berbagai cerita sekaligus konflik mewarnai ayah dan anak yang memiliki karakter yang bertolak belakang selama perjalanan tersebut. Namun dari konflik tersebut masing-masing berusaha mengenal dan memahami. Menerima dan juga memaafkan.

Hingga suatu ketika sang anak bertanya, "Kenapa papa tidak naik pesawat saja ke Mekkah? Bukankah lebih praktis?"

Ayahnya menjawab melalui metafora yang cantik: 

"Air laut baru kehilangan rasa asin setelah ia menguap ke langit. Dengan begitu ia menemui kemurniannya... Inilah mengapa lebih baik naik haji dengan berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal. Lebih baik naik kapal daripada naik pesawat."

Perjalanan haji ibarat perjalanan air laut menuju langit yang kemudian menjadi murni, tidak lagi tercampur butiran garam.

Maka proses "menjadi murni" bisa dicek melalui pengamatan ke dalam jiwa mengenai tujuan akhir perjalanan hidup manusia. Melepas segala hal yang selama ini melekat. Hanya tersisa sekuntum rindu untuk bertemu.

Di akhir film, sang ayah melepas raga saat melaksanakan puncak ibadah tersebut. Anaknya yang begitu berlebihan dalam kehidupan duniawi dan alpa mengingat Tuhan menangis meringis. Pedih. Ia yang selama ini berkonflik dengan ayahnya dan tidak menunjukkan birrul walidaini itu perlahan menyadari segala kebodohan perilakunya. 

Air mata yang jatuh menjadi tanda bahwa ia sedang berproses menuju suatu kebaikan (al-birr). 

Dan al-birr tersebut bertransformasi menjadi mabrur. 

Kemurnian jiwa. Menuju cinta. Menuju cahaya.

Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar