Minggu, 20 September 2020

Sikap Mindfulness: Non-Striving, Berhenti Berharap dan Melepaskan Tujuan




Oleh Duddy Fachrudin 

Suatu ketika saya menjadi fasilitator bagi siswa-siswa SMA/SMK yang dianggap memiliki perilaku yang kurang baik, seperti tawuran dan vandalisme. Mendampingi mereka dalam sebuah pelatihan yang berdurasi lima hari tentunya berbeda dengan mendampingi peserta pelatihan yang benar-benar ingin mengikuti pelatihan. 

Sebagian besar dari mereka tidak tahu mengapa mereka dikirim sekolahnya untuk mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Pendidikan itu. Sebagian lagi sadar bahwa karena perilaku mereka di sekolah yang menyebabkan mereka perlu diberi pendidikan karakter.

Pelatihan bagi mereka sangat membosankan. Banyak yang tidur-tiduran selama pelatihan, meminta ijin untuk ke toilet padahal merokok, bermain smartphone, dan mengobrol dengan temannya. 

Para siswa juga enggan membaur dengan peserta yang berasal dari sekolah lain. Hal ini berlangsung selama tiga hari pertama.

Selain fasilitator, dalam pelatihan itu terdapat panitia dan juga trainer utama yang bertanggung jawab atas kelancaran acara, serta mewujudkan tujuan dari pelatihan. 

Pada hari keempat, kelelahan memuncak pada diri kami. Mungkin ini yang dinamakan compassion fatigue. Panitia dan trainer utama yang paling merasakannya karena selain harus bertugas saat acara, mereka ikut menginap bersama peserta di mess pelatihan, dan harus membangunkan mereka serta “menggiring” mereka ke ruang pelatihan. 

Pada hari itu kami briefing, setelah peserta tidak mau mengikuti permainan yang kami berikan. 

Melihat kondisi yang begitu lelah dan emosi negatif berhamburan yang terjadi pada panitia dan trainer utama, maka ada wacana pelatihan akan ditutup hari itu juga. Masing-masing dari kami memberikan solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. 

Tibalah saya memberikan usulan. Saya mengatakan bahwa sudah saatnya melepas tujuan, harapan, dan keinginan untuk mengubah mereka. Tugas kita di sini adalah menyampaikan, dan tidak ada kewajiban bagi kita agar mereka berbaur dengan peserta sekolah lain (blending), berhenti tawuran, atau melakukan vandalisme. 

Trainer utama menolak dirinya lelah, meskipun sangat terlihat dari raut wajahnya, serta pola nafasnya yang tak beraturan. Ia juga ingin pelatihan terus dijalankan sesuai rundown dan mencapai tujuan pelatihan, yaitu bagaimana membuat peserta berbaur satu sama lain.

Ada beberapa yang setuju dengan usul saya, termasuk seorang yang menjadi penghubung antara kami dengan Dinas Pendidikan. Maka akhirnya kami memutuskan melanjutkan pelatihan tersebut tanpa ada harapan sama sekali.

Pada sesi pelatihan berikutnya adalah kontes drama. Para peserta dibagi ke dalam empat kelompok, dan masing-masing kelompok harus menampilkan drama dengan tema yang sudah kami tentukan. 

Setiap kelompok didampingi oleh dua orang fasilitator. Saya dan teman saya tidak banyak melakukan intervensi kepada kelompok yang kami dampingi. Mereka berdiskusi secara alami, dan sesekali bertanya pada kami mengenai konsep drama yang akan mereka bawakan. 

Akhirnya tibalah saatnya setiap kelompok menampilkan dramanya masing-masing. 

Hasilnya begitu ajaib! Suasana ruangan pelatihan dipenuhi dengan senyuman, gelak tawa, dan emosi yang positif. Para peserta dapat membaur dengan yang lainnya, menampilkan diri mereka secara kocak, dan jarang ada yang keluar ruangan atau bermain HP. 

Kami sangat senang dengan perubahan yang terjadi. Rasa kelah dan emosi negatif yang masih menaungi kami lenyap begitu saja. 

Saya pun tidak menyangka dengan apa yang saya lihat, bahkan saya takjub ketika kelompok kami diumumkan menjadi pemenang dalam kontes drama tersebut. Awesome!

Maka salah satu sikap mindfulness yang dapat kita kembangkan adalah non-striving atau tidak berambisi dengan melepaskan harapan atau tujuan. 

Bukankah tugas kita adalah ikhtiar sebaik-baiknya tanpa ambisi atau kendali secara berlebihan, dan menyerahkan hasilnya pada Allah Swt.?

Sumber gambar:

Share:

0 komentar:

Posting Komentar