Tampilkan postingan dengan label Proklamasi Kemerdekaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proklamasi Kemerdekaan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Agustus 2018

Merdeka dari Penjara Pikiran Melalui Puisi


Oleh Duddy Fachrudin

Puisi sudah menjadi suatu hal yang wajib ada dalam kelas atau sesi intervensi mindfulness. Ia adalah bahasa metafora yang membuat kita menjelajah ke dalam samudera untuk merajut makna. Puisi pula yang melunakkan jiwa-jiwa yang keras, yang belum merdeka dari belenggu rasa dan penjara pikiran.

Maka, karena itu pula Mark Williams, seorang psikolog klinis dan salah satu penulis buku "Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression" melantunkan Hokusai Says karya Roger Keys dengan indahnya di sebuah channel youtube.

Hokusai says Look carefully.
He says pay attention, notice.
He says keep looking, stay curious.
He says there is no end to seeing.
He says Look Forward to getting old.
He says keep changing, you just get more who you really are.
He says get stuck, accept it, repeat yourself as long as it’s interesting.
He says keep doing what you love.
He says keep praying.

He says every one of us is a child, every one of us is ancient, every one of us has a body.
He says every one of us is frightened.
He says every one of us has to find a way to live with fear.
He says everything is alive –shells, buildings, people, fish, mountains, trees.

Wood is alive.
Water is alive.

Everything has its own life.
Everything lives inside us.

He says live with the world inside you.
He says it doesn’t matter if you draw, or write books.

It doesn’t matter if you saw wood, or catch fish.
It doesn’t matter if you sit at home and stare at the ants on your veranda
or the shadows of the trees and grasses in your garden.

It matters that you care.
It matters that you feel.
It matters that you notice.
It matters that life lives through you.

Contentment is life living through you.
Joy is life living through you.
Satisfaction and strength is life living through you.
Peace is life living through you.

He says don’t be afraid.
Don’t be afraid.

Look, feel, let life take you by the hand.
Let life live through you.

Puisi menyembuhkan sekaligus menumbuhkan hati yang telah larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Ia mengikis kecemasan serta kekhawatiran. Dan meneduhkan jiwa yang sedang gundah tak tentu arah.


Maka, kami merayakan diri melalui puisi.

Sebuah kedai kopi menjadi saksi, bahwa kami telah melepaskan diri dari penjara pikiran. Memproklamirkan kemerdekaan untuk kembali menjadi manusia sesuai fitrahnya. Dimana kejernihan hati dan pikiran diutamakan untuk bertualang di jalan kehidupan.

Kesabaran dan kebersyukuran, serta cinta kasih sebagai landasan bertindak dengan kesadaran. Dan tentu ikhlas menerima apapun yang terjadi dan menghadapi yang akan terjadi.

Kami ikhlas menjalani saat ini, di sini.

Sumber gambar:
Kak Oka Ivan dan 372 Dago Pakar

Selasa, 15 Agustus 2017

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 6, habis)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesimpulan

17 Agustus 1945 dipilih Soekarno sebagai hari pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dengan penuh pertimbangan dan ketenangan. Pelaksanaannya yang meski dilakukan dengan tempo singkat dan sederhana, namun tak ada kericuhan maupun pemberontakan dari tentara Jepang. Semuanya berjalan tertib dan tenteram. Merdeka dan kemudian sejahtera (baca: terbebas dari penjajahan)

Beginilah hidup seharusnya dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hidup yang sangat singkat ini (60-70 tahun) perlu diisi dengan ketenangan yang tercermin dari pikiran dan emosi yang tertata sehingga melahirkan kata-kata santun dan bijaksana dan perilaku yang berakhlak mulia seperti sabar, syukur, merasa cukup, dan ikhlas serta ridha atas ketentuan-Nya. Untuk itu kita perlu mengembangkan hidup mindful, dengan cara menelisik gerak-gerik hati, niat serta pikiran yang terlintas. Mengecek nafsu-nafsu duniawi yang ingin dituruti segera yang berpotensi destruktif mengacaukan tatanan ketenangan. Kemudian menyadari hal itu sepenuhnya lalu berfokus pada kehidupan akhirat yang pastinya juga tertuju pada Allah Swt. Memberi perhatian penuh pada Allah Swt. berarti menginternalisasi sifat-sifatnya, khususnya cinta kasih. Karena sifat itu pula yang akhirnya menjadikan kita khalifah di muka bumi. Menjadi pribadi-pribadi yang menebarkan kebermanfaatan positif

Ketenangan batin akan menciptakan ketenangan pada dunia luar kita. Disaat itulah kesejahteraan tercipta. Inilah kesejahteraan yang utama. Semoga rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri serta para pemimpinnya mengoptimalkan potensi ini.

1 2 3 4 5 < Sebelumnya

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 5)


Oleh Duddy Fachrudin




Mindfulness dan Ketenangan: Merdeka dari Jeruji Pikiran

Ketidaktenangan hidup bersumber dari pikiran yang terlalu mengembara dan terlalu banyak tuntutan serta keinginan yang harus dipenuhi dengan sesegera mungkin. Keinginan-keinginan ini biasanya bersumber dari kebutuhan dasar manusia. Abraham Maslow, salah satu tokoh psikologi terkenal menciptakan teori tentang kebutuhan manusia (motivasi) berdasarkan jenjang, dari yang paling dasar hingga yang paling atas dengan model piramida.



Kebutuhan manusia yang paling dasar (basic needs) adalah kebutuhan fisiologis, seperti makan, minum, dan seks. Kebutuhan ini lebih mirip dengan kebutuhan instingtif dan bertahan hidup. Jika kebutuhan ini tercapai maka manusia membutuhkan rasa aman. Manusia membutuhkan keamanan sehingga perlu melindungi dirinya. Oleh karenanya manusia memiliki keinginan akan kepastian. Hal ini juga mirip dengan kebutuhan bertahan hidup. Kemudian kebutuhan diatasnya adalah kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki sebagai manusia yang berjiwa sosial. Manusia butuh bersosialisasi, berbaur dan mendapatkan kasih sayang.

Manusia juga ingin dianggap ada keberadaannya oleh kelompoknya. Jika kebutuhan ini tercapai, maka manusia membutuhkan penghargaan diri dengan kata lain ingin dihargai oleh orang lain. Kebutuhan yang kelima adalah kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi jika empat kebutuhan dibawahnya tercapai. Maslow kemudian menyempurnakan teorinya dengan menambahkan kebutuhan terakhir pada puncak piramida yaitu kebutuhan spiritual (meta need), yaitu tentang kebutuhan keterhubungan dengan suatu Dzat Yang Maha Segalanya.

Jika kita melihat kenyataan pada kehidupan manusia memang seperti Piramida Maslow. Kita melakukan sesuatu termotivasi karena untuk mengenyangkan perut. Jika dapur sudah mengepul, kita butuh rumah yang membuat kita aman dari hujan, kalau perlu rumah pun ditembok tinggi hingga sulit bagi pencuri memasuki rumah kita. Kita pun mengasuransikan kesehatan kita agar jika terjadi sesuatu pada diri kita, maka perusahaan asuransi yang membayarnya. Setelahnya kita bergaul, bersosialisasi, mencintai dan ingin dicintai. Lalu kita ingin dihargai, atau bahkan dipuji atas hasil kerja keras kita. Dan selanjutnya kita mengkreasikan segala potensi dalam wujud aktualisasi diri, menghasilkan karya di dunia ini. Setelah semuanya terpenuhi... namun ternyata hati ini masih hampa dan tidak tenteram. Di masa tua kita mendekat kepada-Nya.

Mazhab kelima dalam psikologi adalah transpersonal, yang lahir dari kebutuhan spiritual dimana mindfulness termasuk di dalamnya. Salah satu tokohnya yang mempelopori ternyata Maslow. Konon kabarnya di akhir hayatnya Maslow kecewa dengan teori yang sudah dibuatnya. Piramida kebutuhan itu bukan berdiri seperti mengerucut ke atas membentuk segitiga, namun piramida itu harusnya dibalik.




Dengan kondisi piramida terbalik ini maka kebutuhan pertama dan utama adalah berhubungan dan berinteraksi dengan Tuhan, yaitu Allah Swt. bukan kebutuhan fisiologis. Segala aktivitas termotivasi karena Allah, untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk mengenal-Nya, dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Berfokus dan mendekatkan diri kepada Allah menghadirkan ketenangan.

Muhammad Rasulullah Saw., orang nomor satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia menurut Michael Hart, bersabda:

“Barangsiapa bangun pagi dan dunia ini menjadi perhatian utamanya, maka Allah Swt. akan membuat dia berserakan dan terpecah; dia akan merasakan perasaan panik dan rugi; serta dia hanya akan mendapatkan dunia ini sesuai dengan apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Akan tetapi, barangsiapa bangun pagi dan perhatian utamanya adalah akhirat, maka Allah Swt. akan membuat dia merasa fokus dan utuh; Allah Swt. akan memberinya suatu perasaan sebagai pribadi mandiri; serta hasil-hasil duniawi sudah pasti mendatanginya.”

Dengan pikiran dan hati terfokus pada Allah, maka ego (keakuan) yang berisi keinginan dan nafsu duniawi pada diri kita perlahan luntur. Kita dapat mengelola rasa dari berbagai keinginan dan perasaan termasuk ketidakpuasan terhadap kehidupan yang membelenggu. Kita pun melangkah dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Tak ada kekhawatiran maupun ketakutan.

Inilah kondisi yang merdeka sesungguhnya. Hidup mindful (memberi perhatian penuh) pada Allah Swt. membuat kita terbebas dari jeruji pikiran yang menjerat. Fokus dan tujuan kita hanya tertuju pada-Nya, sehingga pada akhirnya kita manusia berhasil memposisikan diri sebagai hamba yang tidak memiliki apa-apa namun begitu memiliki tugas mulia menjadi wakil-Nya di dunia. Kesadaran dan penerimaan sebagai khalifah menghadirkan potensi cinta yang tiada lain menjadi manusia-manusia yang rahmatan lil ‘alaamiin.

Selanjutnya, kebijaksanaan menaungi setiap gerak geriknya. Ucapannya penuh hikmah. Hidupnya untuk memberi, berbagai, dan melayani. Hatinya selalu teringat akan kematian. Dan ia begitu rindu akan perjumpaan dengan-Nya.

Kesejahteraan berawal dari hadirnya suatu ketenangan. Itulah kekayaan dan keberlimpahan. Hati kita kaya karena kita dekat dengan Sang Maha Kaya. Sehingga kita tidak perlu khawatir tidak diberi rizki (harta, sehat, keamanan, dan sebagainya). Semua sudah diperhitungkan oleh-Nya. Jadi cukup berikhtiar sebaiknya, berdo’a dengan merendahkan diri, dan mendekat kepada-Nya.


1 2 3 4 Sebelumnya <> Berikutnya 6

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 4)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesejahteraan dan Neurofisiologi Mindfulness

Kesejahteraan (well-being) identik dengan kebahagiaan yang biasanya diperoleh dari kepemilikan harta, menjadi sehat, status sosial yang meningkat, jabatan yang tinggi, interaksi sosial yang hangat serta kenyamanan dan keamanan tinggal di lingkungan rumah. Kebahagiaan ini umumnya bersifat subjektif sehingga para pakar menyebutnya sebagai subjective well-being. Hal tersebut tidak terlepas dari penilaian individu terhadap perasaan yang sedang dialaminya maupun kepuasan hidup yang sedang dijalani.

Harta, menjadi sehat, status sosial, dan sebagainya sebenarnya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan bukan kesejahteraan itu sendiri. Selain faktor-faktor tersebut, faktor kepribadian ternyata sangat mempengaruhi kesejahteraan individu.

Berkaitan dengan faktor kepribadian ini, ternyata individu dengan kepribadian neuroticism memiliki hubungan langsung dengan kondisi bahagia atau tidak bahagia (Diener, 2009). Neuroticism merupakan salah satu dimensi kepribadian yang mencerminkan tingkat sejauh mana seseorang memiliki kestabilan emosi dan mampu mengatasi situasi yang menekan. Individu yang memiliki skor tinggi pada neuroticism mudah merasa gelisah dan menderita secara emosional, termasuk kesedihan, permusuhan, dan iri dengki. Sebaliknya, yang memiliki skor rendah tergolong individu yang stabil secara emosi, tenang, dan ulet dalam menghadapi kegagalan (Wiseman, 2014). Individu yang berlatih mindfulness dapat mengembangkan kepribadian yang matang secara emosi sehingga mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (kontak sosial) sehingga lebih puas dan memiliki emosi yang lebih positif. Mengapa hal itu dapat terjadi?

Pribadi-pribadi yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal (Greeson & Brantley, 2009). Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati atau kasih sayang (Amen, 2011).

Mekanisme respon terhadap suatu situasi secara mindful akan melibatkan bagian otak korteks prefrontal tersebut. Sebagai contoh orang yang memiliki kecemasan atau emosi yang berlebihan. Stimulus yang diterima panca indera melalui saraf kranial dan batang otak akan diteruskan ke sistem limbik. Thalamus, suatu bagian dalam sistem limbik yang berfungsi sebagai stasiun relay akan mengirimkan pesan kepada korteks otak. Korteks prefrontal yang aktif akan bekerja sesuai fungsinya, mengolah data, mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana sebagai respon dari stimulus yang diterima. Respon tersebut kemudian dikirimkan kembali pada sistem limbik, batang otak melalui medula spinalis, sistem saraf otonom dan endokrin, lalu sistem parasimpatik, bagian-bagian tubuh, hingga akhirnya keluar sebagai sebuah perilaku yang bijaksana.

Respon yang tidak mindful, termasuk respon takut, khawatir, atau kecemasan lainnya tidak melibatkan bagian korteks prefrontal. Bagian sistem limbik yang bernama amigdala yang berisi memori negatif akan lebih banyak berperan dalam memberikan respon terhadap suatu stimulus yang masuk ke dalam otak. Respon tersebut dikirimkan ke batang otak, lalu dikirimkan ke sistem saraf simpatik yang bekerja sama dengan berbagai hormon kecemasan. Respon kemudian dilanjutkan ke bagian organ yang menghasilkan simtom-simtom kecemasan dan akhirnya dalam bentuk perilaku cemas, menghindar, khawatir, panik, atau tidak bijaksana.

Berlatih mindfulness memungkinkan terjadi perubahan aktivitas pada bagian otak tertentu. Hal ini karena otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input dari lingkungan (Setiabudhi, 2015).

Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok orang yang berlatih mindfulness dengan meditasi (meditator) dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Sementara non-meditator merupakan kelompok yang tidak berlatih meditasi sama sekali.

Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Seperti yang telah dipaparkan, korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) (Baime, 2011).

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara (2015) mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah.

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan (Nishihara, 2015). Penelitian Bhasin, dkk. (2013) menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria.

Pengaruh mindfulness juga berlaku pada kualitas panjang pendeknya telomer. Pikiran yang tidak mindful atau mengembara identik dengan melamun, tidak fokus, dan pikiran itu tidak berada pada saat ini. Pikiran tersebut kembali pada masa lalu atau melayang jauh ke masa depan. Seseorang yang pikirannya mengembara menjadi tidak mindful terhadap apa yang sedang dikerjakannya. Seringkali pikiran yang “melompat-lompat” itu membuat pemiliknya mengembangkan kekhawatiran, kecemasan, atau kekecewaan. Hal ini yang dapat menganggu kehidupan individu itu sendiri, karena hidup yang dipenuhi dengan perasaan-perasaan itu menjadi tidak berkualitas.

Pikiran yang suka berkelana dan mengembara di sini bukan suatu pemikiran ide-ide kreatif atau visi masa depan yang kemudian dieksekusi dalam suatu produk yang berkualitas atau aksi yang positif yang bermanfaat bagi banyak orang. Pikiran mengembara ibarat suatu pikiran yang terjebak dalam suatu perangkap. Pikiran tersebut melibatkan ego individu, yang artinya ego atau aku sangat mendominasi dalam pikiran. Sebagai contoh seorang wanita yang sebentar lagi menikah merasa cemas dan khawatir pernikahannya tidak berlangsung baik. Ia memiliki pikiran “aku tidak cukup baik sebagai seorang istri”. Pikiran tersebut muncul karena ia melihat berita-berita perceraian di televisi.

Pikiran yang mengembara tidak hanya membuat gelisah dan gundah gulana hingga berujung nestapa serta tidak bahagia. Pikiran tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan fisik yang menjadi semakin buruk. Sebuah penelitian dari Epel, dkk. (2012) menyebutkan pikiran yang mengembara memiliki hubungan dengan penuaan sel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan orang yang pikirannya sering mengembara memiliki telomer yang lebih pendek pada sel darah putih. Telomer merupakan bagian dari kromosom dari suatu sel dan berfungsi sebagai pelindung pada ujung kromosom. Semakin telomer cepat rusak, maka kromosom dan juga sel juga akan cepat rusak. Pola tersebut akan mempercepat penuaan.

Pikiran yang mindful merupakan antitesis dari pikiran yang mengembara. Jika pikiran yang mengembara dapat mempercepat penuaan, maka semakin sering berlatih mindfulness dan mengembangkan pikiran yang mindful maka dapat menghambat penuaan.

1 2 3 Sebelumnya <> Berikutnya 5 6

Referensi:
Amen, D. G. (2011). Change your brain change your life. (Nukman, E.Y., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 1998)

Baime, M. (2011, Juli). This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf diakses pada tanggal 2 Februari 2015.

Bhasin, M. K., Dusek, J. A., Chang, B. H., Joseph, M. G., Denninger, J. W., Fricchione, G. L. Benson, H., & Libermann, T. A. (2013). Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE, 8(5), e62817, doi: 10.1371/journal.pone.0062817.

Epel, E. S., Puterman, E., Lin, J., Blackburn, E., Lazaro, A., & Berry Mendes, W. (2012). Wandering minds and aging cells. Clinical Psychological Science, XX(X), 1-9, doi: 10.1177/2167702612460234.

Diener, E. (Ed.). (2009). The science of well being: The collected works of Ed Diener. New York: Springer Science & Business Media.

Greeson, J., & Brantley, J. (2009). Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media.

Nishihara, K. (2015). Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (Wardani, D.K., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 2013)

Wiseman, R. (2014). 59 detik yang membuat anda menjadi lebih kreatif, lebih meyakinkan, lebih menarik, dan lebih bahagia. (Wulansari, D., terj). Tangerang: Kelompok Pustaka Alvabet (Karya asli terbit 2009)

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 3)


Oleh Duddy Fachrudin




Konflik Bagian Diri

Jika kita bercermin atau melihat ke dalam diri kita sendiri, adakah karakter-karakter diri atau subkepribadian (bagian-bagian diri) kita yang mirip dengan karakter Golongan Muda atau Golongan Tua yang tergambar dalam perdebatan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan? Jawabannya pasti ada. Bahkan karakter Golongan Muda maupun Golongan Tua ada di dalam diri kita. Dan tak ayal perdebatan atau konflik pun sering terjadi.

Permasalahan psikologis utama yang terjadi pada diri manusia adalah konflik dalam diri. Dan hampir setiap hari manusia mengalami konflik. Saat bangun pagi, sebagian besar dari kita menengok jam lalu setelah mengetahui pukul berapa kita bangun, bagian diri kita berkata, “Oh masih jam 3 pagi”, lalu dengan refleksnya kita menarik selimut dan bersiap tidur kembali. Tiba-tiba sebelum kita terlelap lagi, terdengar sesuatu di dalam hati, “Hei... kenapa kau tidur lagi. Ayo bangun dan sholat tahajud.” Itulah konflik antar bagian diri, dan dapat kita temui dalam kehidupan sejak bangun hingga bersiap untuk tidur kembali.

Konflik lainnya dapat dijumpai saat seorang kepala keluarga yang ingin menyelenggarakan resepsi pernikahan sesuai budaya di daerahnya anaknya namun terkendala dana. Di satu sisi perlu ada resepsi karena hal itu sudah menjadi budaya bagi masyarakat sekitar, namun hatinya berkata sebenarnya ia tidak memiliki uang yang cukup dan ingin resepsi sederhana saja. Akhirnya dalam forum keluarga, acara resepsi sesuai budaya daerah diputuskan untuk dilaksanakan meskipun harus berhutang. Pada hari-H satu keluarga berbahagia, namun setelah acara itu selesai, sang kepala keluarga sering terpikir hutang tersebut. Hati dan pikirannya gelisah dan tidak tenang.

Contoh lainnya, seorang kolega penulis menceritakan dirinya memiliki klien seorang pengusaha yang ketika datang ke kliniknya membawa mobil bagus dan berpakaian rapih. Namun ketika ditanya mengenai masalahnya, klien tersebut menuturkan, “Saya takut miskin.” Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang penghasilan dari bisnisnya sangat berlimpah lalu mengatakan, “Saya takut miskin”?

Faktanya memang mungkin. Dan sesungguhnya, terjadinya konflik tersebut karena munculnya keinginan-keinginan yang ingin segera dipenuhi. Maka konflik itu terus terjadi jika orang itu tidak mengenali keinginan-keinginannya secara sadar, atau dalam perspektif lebih luas tidak memahami dirinya sendiri.

Mindfulness

Konflik dalam diri terjadi karena pertentangan antara dua atau lebih bagian diri dalam diri kita. Saat terjadi konflik antar bagian diri, kita perlu menyadari kehadiran bagian-bagian diri tersebut. Lalu memahami apa tujuan yang diinginkan bagian-bagian diri tersebut. Dan terakhir diri kitalah yang mendamaikan mereka dengan kebijaksanaan tertinggi.

Kata kunci yang tepat dalam hal ini adalah awareness atau kesadaran. Dalam disiplin ilmu psikologi terdapat berbagai pendekatan atau metode yang tepat dalam mengelola konflik berbasis kesadaran. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah mindfulness. Berbagai jenis latihan dalam mindfulness meliputi meditasi, melakukan satu aktivitas pada satu waktu (contoh makan hanya makan saja tidak disertai aktivitas lain), berlatih mendengarkan, berdoa, bertualang di alam, merenungkan penciptaan lagit dan bumi, melakukan suatu hal positif untuk pertama kalinya, mengembangkan sikap pemula (beginners mind) atau vuja de (melihat suatu hal yang pernah dilihat sebelumnya namun dengan perspektif yang berbeda), serta tai chi atau menari dengan harmonis.

Mindfulness berorientasi pada kesadaran, perhatian, dan penerimaan. Menjadi sadar dan memahami sepenuhnya serta menerima diri termasuk bagian-bagian diri perlu dilatih dan diupayakan. Mengapa? Agar kita tidak terpeleset dalam mengambil keputusan saat terjadi konflik internal. Maka untuk itu kita perlu memberi perhatian atau mengecek pikiran, emosi, maupun niat-niat yang muncul dalam keseharian.

Pikiran yang muncul biasanya bersifat otomatis karena hasil dari tautan-tautan memori sejak masa awal kehidupan yang kemudian berkolaborasi dengan stimulus yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Pikiran otomatis berpotensi menghasilkan perilaku yang reaktif, terburu-buru atau tergesa-gesa, dan cenderung tanpa pertimbangan.

Menerapkan mindfulness berarti meingijinkan jeda sesaat sebelum bertindak. Kita mulai mengamati pikiran atau apapun yang muncul lalu mengenalinya, menerimanya, menimbang berbagai konsekuensi yang mungkin muncul atas keputusan yang kita ambil, dan pada akhirnya merespon secara bijaksana (Carmody, Baer, Lykins, & Olendzki, 2009; Shapiro, Carlson, Astin, & Freedman, 2006). Respon tersebut merdeka atau terbebas dari segala belenggu kekecewaan atau kemarahan di masa lalu maupun kekhawatiran atau ketakutan di masa depan.

1 2 Sebelumnya <> Berikutnya 4 5 6

Referensi:
Carmody, J., Baer, R. A., Lykins, E. L. B., & Olendzki, N. (2009). An empirical study of the mechanisms of mindfulness in a mindfulness-based stress reduction program. Journal of Clinical Psychology, 65(6), 613-626, doi: 10.1002/jclp.20579.

Shapiro, S. L., Carlson, L. E., Astin, J. A., & Freedman, B. (2006). Mechanisms of mindfulness. Journal of Clinical Psychology, 62, 373–386.

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 2)


Oleh Duddy Fachrudin




Kemerdekaan, Kesejahteraan, dan Ketenangan

Meskipun muncul rasa was-was dan gelisah akan munculnya tentara Jepang, rakyat yang berkumpul dengan setia menanti momen proklamasi itu. Setelah menunggu kedatangan partnernya, yaitu Bung Hatta, Soekarno menuju mimbar dan mikrofon yang telah disiapkan. Bendera merah putih telah siap untuk dikibarkan. Seorang petugas Pembela Tanah Air (PETA) mengatur barisan. Dan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dilakukan sesuai dengan isinya yaitu dalam tempo sesingkat-singkatnya, bahkan dilakukan secara sederhana tanpa protokol resmi.

Hari itu menjadi hari yang paling penting dalam sejarah Indonesia. Sebuah momen yang telah mengubah status bangsa, yang sebelumnya adalah negara jajahan menjadi negara yang sepenuhnya merdeka. Inilah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang telah lama dan ditunggu-tunggu karena ratusan tahun Indonesia dijajah oleh berbagai bangsa seperti Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Kesejahteraan yang diperoleh dari hasil perjuangan para pahlawan bangsa yang terus menerus. Kesejahteraan itu bernama kemerdekaan.

Jika menilik kembali bagaimana detik-detik proklamasi yang secara singkat telah diceritakan pada awal tulisan ini, bahwa terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat antara Golongan Muda dan Golongan Tua. Golongan Muda ingin sesegera mungkin proklamasi dilakukan dengan tanpa pertimbangan yang matang. Namun ternyata Golongan Tua sebaliknya, semuanya perlu diperhitungkan dan tidak perlu terburu-buru.

Ketenangan pada akhirnya memainkan peran penting dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Golongan Tua yang dipimpin Soekarno. Keputusan maupun saran-saran yang muncul merupakan hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang holistik, konstruktif, dan futuristik yang merujuk fokus bukan hanya saat ini tapi juga masa depan. Maka sesungguhnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan dalam tempo singkat itu merupakan buah dari ketenangan pikiran dan emosi dari pemimpin-pemimpin revolusi tersebut.

1 Sebelumnya <> Berikutnya 3 4 5 6

Senin, 14 Agustus 2017

Edisi Kemerdekaan: Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin




Menyusul pernyataan kekalahan Jepang dari Sekutu di Kapal USS Missouri sehari sebelumnya, Rabu, 15 Agustus 1945 Pukul 22.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur 56, Golongan Muda yang dipimpin Chaerul Saleh berusaha meyakinkan Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan dengan sesegera mungkin. Sukarni yang juga termasuk Golongan Muda mendukung rencana Saleh. “Kita harus merebut kekuasaan!”, begitu ucapnya dengan lantang di depan para tokoh yang hadir malam itu (Soebardjo, 1978). Mereka menolak pemberiaan kemerdekaan dari Jepang yang seyogyanya direncanakan pada tanggal 24 Agustus 1945. Para tokoh yang termasuk Golongan Tua mendengarkan aspirasi mereka.

Malam semakin larut dan Golongan Muda terus menuntut Soekarno dan Hatta untuk secepatnya menyatakan kemerdekaan dengan cara mereka. Namun, Soekarno-Hatta yang mewakili Golongan Tua tidak sepakat dengan cara tersebut yang terkesan terburu-buru dan tidak terorganisir. Terlebih jika revolusi dilakukan secara tergesa-gesa dapat menimbulkan pertumpahan darah di kalangan rakyat sipil. Apalagi Soekarno berpendapat kekuatan mereka termasuk tentara Indonesia yang tidak banyak itu akan mudah dikalahkan tentara Jepang. Maka Golongan Tua memilih jalan kerjasama dengan pemerintah Jepang mengenai Proklamasi Kemerdekaan melalui PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Jiwa-jiwa yang bergejolak pada Golongan Muda tidak menerima hal itu. Mereka menganggap Soekarno dan Golongan Tua telah terbawa pengaruh Jepang dan mereka tidak menginginkan kompromi dengan PPKI karena jelas-jelas forum tersebut dibuat oleh Jepang. Golongan Muda mengambil tindakan nekat dengan “menculik” Soekarno dan Hatta pada pagi harinya ke Rengasdengklok.

Dibawanya Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok yang merupakan kota kecil dekat Karawang itu dengan maksud mengamankan dan meminta kedua tokoh itu dengan segera menyatakan kemerdekaan secara resmi tanpa pengaruh Jepang. Namun, Soekarno dengan didampingi Hatta tetap dengan rencananya. Siang itu kembali terjadi perdebatan sengit. Golongan Muda kembali menekan Soekarno. Mereka menginginkan revolusi dilaksanakan malam harinya. Soekarno sempat marah, namun beberapa detik kemudian mereda. Dengan tenang ia menjelaskan rencana Proklamasi Kemerdekaan yang telah dibuatnya di Saigon.

Semua orang mendengarkan rencana Soekarno. Pemimpin Revolusi itu merencanakan Proklamasi akan dinyatakan pada tanggal 17. Tentu, dipilihnya tanggal 17 bukan tanpa alasan. Tanggal tersebut jatuh pada hari Jum’at yang merupakan hari yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan di dalamnya. Angka 17 juga merujuk pada tanggal diturunkannya Al-Qur’an. Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam menunaikan sholat wajib lima waktu yang total rakaatnya berjumlah 17. Pada saat itu merupakan bulan Ramadhan yang melengkapi keistimewaan jika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Golongan Muda dan Tua lantas bersatu. Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Dan seorang Perwira Angkatan Laut Jepang bernama Laksamana Maeda pun turut membantu dengan “menyediakan” rumahnya sebagai tempat penyusunan teks proklamasi. Dengan segera, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo, trio perumus teks proklamasi itu menyusun untaian kalimat demi kalimat bersejarah dalam secarik kertas.

Menjelang subuh, tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi yang telah disusun dibacakan kepada para tokoh lainnya yang menunggu dengan antusias. Sajuti Melik lalu mengetiknya disaat yang lain menyantap sahur yang disediakan empunya rumah. Lantas kemudian terjadi diskusi mengenai siapa yang menandatangani teks tersebut. Dan akhirnya diputuskan bahwa Soekarno dan Hatta sebagai wakil bangsa yang menorehkan tandatangan pada naskah agung itu (Soebardjo, 1978).

Sinergi dan kolaborasi para tokoh dari dua Golongan dalam waktu yang terus memburu, memacu adrenalin memunculkan ide-ide, termasuk ide dari Sukarni yang memberi masukan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan di lapangan IKADA. Namun, sekali lagi dengan pertimbangan yang sehat, Soekarno menolaknya dengan alasan bahwa lapangan tersebut merupakan tempat umum yang memiliki potensi munculnya benturan antara rakyat dengan tentara Jepang. Soekarno mengusulkan pembacaan proklamasi dilakukan di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56 pada pukul 10.00 WIB.

> Berikutnya 2 3 4 5 6

Refensi:
Soebardjo, A. (1978). Lahirnya republik Indonesia. Jakarta: Kinta.