Selasa, 15 Agustus 2017

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 4)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesejahteraan dan Neurofisiologi Mindfulness

Kesejahteraan (well-being) identik dengan kebahagiaan yang biasanya diperoleh dari kepemilikan harta, menjadi sehat, status sosial yang meningkat, jabatan yang tinggi, interaksi sosial yang hangat serta kenyamanan dan keamanan tinggal di lingkungan rumah. Kebahagiaan ini umumnya bersifat subjektif sehingga para pakar menyebutnya sebagai subjective well-being. Hal tersebut tidak terlepas dari penilaian individu terhadap perasaan yang sedang dialaminya maupun kepuasan hidup yang sedang dijalani.

Harta, menjadi sehat, status sosial, dan sebagainya sebenarnya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan bukan kesejahteraan itu sendiri. Selain faktor-faktor tersebut, faktor kepribadian ternyata sangat mempengaruhi kesejahteraan individu.

Berkaitan dengan faktor kepribadian ini, ternyata individu dengan kepribadian neuroticism memiliki hubungan langsung dengan kondisi bahagia atau tidak bahagia (Diener, 2009). Neuroticism merupakan salah satu dimensi kepribadian yang mencerminkan tingkat sejauh mana seseorang memiliki kestabilan emosi dan mampu mengatasi situasi yang menekan. Individu yang memiliki skor tinggi pada neuroticism mudah merasa gelisah dan menderita secara emosional, termasuk kesedihan, permusuhan, dan iri dengki. Sebaliknya, yang memiliki skor rendah tergolong individu yang stabil secara emosi, tenang, dan ulet dalam menghadapi kegagalan (Wiseman, 2014). Individu yang berlatih mindfulness dapat mengembangkan kepribadian yang matang secara emosi sehingga mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (kontak sosial) sehingga lebih puas dan memiliki emosi yang lebih positif. Mengapa hal itu dapat terjadi?

Pribadi-pribadi yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal (Greeson & Brantley, 2009). Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati atau kasih sayang (Amen, 2011).

Mekanisme respon terhadap suatu situasi secara mindful akan melibatkan bagian otak korteks prefrontal tersebut. Sebagai contoh orang yang memiliki kecemasan atau emosi yang berlebihan. Stimulus yang diterima panca indera melalui saraf kranial dan batang otak akan diteruskan ke sistem limbik. Thalamus, suatu bagian dalam sistem limbik yang berfungsi sebagai stasiun relay akan mengirimkan pesan kepada korteks otak. Korteks prefrontal yang aktif akan bekerja sesuai fungsinya, mengolah data, mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana sebagai respon dari stimulus yang diterima. Respon tersebut kemudian dikirimkan kembali pada sistem limbik, batang otak melalui medula spinalis, sistem saraf otonom dan endokrin, lalu sistem parasimpatik, bagian-bagian tubuh, hingga akhirnya keluar sebagai sebuah perilaku yang bijaksana.

Respon yang tidak mindful, termasuk respon takut, khawatir, atau kecemasan lainnya tidak melibatkan bagian korteks prefrontal. Bagian sistem limbik yang bernama amigdala yang berisi memori negatif akan lebih banyak berperan dalam memberikan respon terhadap suatu stimulus yang masuk ke dalam otak. Respon tersebut dikirimkan ke batang otak, lalu dikirimkan ke sistem saraf simpatik yang bekerja sama dengan berbagai hormon kecemasan. Respon kemudian dilanjutkan ke bagian organ yang menghasilkan simtom-simtom kecemasan dan akhirnya dalam bentuk perilaku cemas, menghindar, khawatir, panik, atau tidak bijaksana.

Berlatih mindfulness memungkinkan terjadi perubahan aktivitas pada bagian otak tertentu. Hal ini karena otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input dari lingkungan (Setiabudhi, 2015).

Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok orang yang berlatih mindfulness dengan meditasi (meditator) dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Sementara non-meditator merupakan kelompok yang tidak berlatih meditasi sama sekali.

Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Seperti yang telah dipaparkan, korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) (Baime, 2011).

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara (2015) mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah.

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan (Nishihara, 2015). Penelitian Bhasin, dkk. (2013) menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria.

Pengaruh mindfulness juga berlaku pada kualitas panjang pendeknya telomer. Pikiran yang tidak mindful atau mengembara identik dengan melamun, tidak fokus, dan pikiran itu tidak berada pada saat ini. Pikiran tersebut kembali pada masa lalu atau melayang jauh ke masa depan. Seseorang yang pikirannya mengembara menjadi tidak mindful terhadap apa yang sedang dikerjakannya. Seringkali pikiran yang “melompat-lompat” itu membuat pemiliknya mengembangkan kekhawatiran, kecemasan, atau kekecewaan. Hal ini yang dapat menganggu kehidupan individu itu sendiri, karena hidup yang dipenuhi dengan perasaan-perasaan itu menjadi tidak berkualitas.

Pikiran yang suka berkelana dan mengembara di sini bukan suatu pemikiran ide-ide kreatif atau visi masa depan yang kemudian dieksekusi dalam suatu produk yang berkualitas atau aksi yang positif yang bermanfaat bagi banyak orang. Pikiran mengembara ibarat suatu pikiran yang terjebak dalam suatu perangkap. Pikiran tersebut melibatkan ego individu, yang artinya ego atau aku sangat mendominasi dalam pikiran. Sebagai contoh seorang wanita yang sebentar lagi menikah merasa cemas dan khawatir pernikahannya tidak berlangsung baik. Ia memiliki pikiran “aku tidak cukup baik sebagai seorang istri”. Pikiran tersebut muncul karena ia melihat berita-berita perceraian di televisi.

Pikiran yang mengembara tidak hanya membuat gelisah dan gundah gulana hingga berujung nestapa serta tidak bahagia. Pikiran tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan fisik yang menjadi semakin buruk. Sebuah penelitian dari Epel, dkk. (2012) menyebutkan pikiran yang mengembara memiliki hubungan dengan penuaan sel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan orang yang pikirannya sering mengembara memiliki telomer yang lebih pendek pada sel darah putih. Telomer merupakan bagian dari kromosom dari suatu sel dan berfungsi sebagai pelindung pada ujung kromosom. Semakin telomer cepat rusak, maka kromosom dan juga sel juga akan cepat rusak. Pola tersebut akan mempercepat penuaan.

Pikiran yang mindful merupakan antitesis dari pikiran yang mengembara. Jika pikiran yang mengembara dapat mempercepat penuaan, maka semakin sering berlatih mindfulness dan mengembangkan pikiran yang mindful maka dapat menghambat penuaan.

1 2 3 Sebelumnya <> Berikutnya 5 6

Referensi:
Amen, D. G. (2011). Change your brain change your life. (Nukman, E.Y., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 1998)

Baime, M. (2011, Juli). This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf diakses pada tanggal 2 Februari 2015.

Bhasin, M. K., Dusek, J. A., Chang, B. H., Joseph, M. G., Denninger, J. W., Fricchione, G. L. Benson, H., & Libermann, T. A. (2013). Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE, 8(5), e62817, doi: 10.1371/journal.pone.0062817.

Epel, E. S., Puterman, E., Lin, J., Blackburn, E., Lazaro, A., & Berry Mendes, W. (2012). Wandering minds and aging cells. Clinical Psychological Science, XX(X), 1-9, doi: 10.1177/2167702612460234.

Diener, E. (Ed.). (2009). The science of well being: The collected works of Ed Diener. New York: Springer Science & Business Media.

Greeson, J., & Brantley, J. (2009). Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media.

Nishihara, K. (2015). Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (Wardani, D.K., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 2013)

Wiseman, R. (2014). 59 detik yang membuat anda menjadi lebih kreatif, lebih meyakinkan, lebih menarik, dan lebih bahagia. (Wulansari, D., terj). Tangerang: Kelompok Pustaka Alvabet (Karya asli terbit 2009)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar