Tampilkan postingan dengan label Manusia Masa Depan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manusia Masa Depan. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Mei 2020

Ketidakpastian dan Makhluk Qubit Bernama Manusia



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Dalam mengarungi masa-masa pandemi corona ini, mari sejenak merenung mengenai konsep "ketidakpastian" atau bahasa londonya uncertainty. Hal ini dikaji dalam ilmu fisika secara khusus dalam prinsip Heisenberg. 

{∆x.∆p> h/2} (bisa dilihat di gambar di bawah ya). 

Dimana "ketidakpastian" ini maujud dalam pernyataan terkait posibilitas dan probabilitas. 

Seberapa besar kemungkinan sesuatu itu terjadi ? 

Keterangan gambar (searah jarum jam): 
Prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam gelombang, dapat disimak pula pola double slit dari Thomas Young. Anotasi Dirac yang dapat diaplikasikan dalam konsep super posisi dan quantum states. Bloch Sphere dengan konsep qubit dan formulasi quantum states

Jika mendapat pertanyaan seperti itu biasanya kita akan memutar otak lalu mulai mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah gerangan yang turut menentukan tingkat posibilitas suatu keadaan.

Dan mungkin saja faktor-faktor yang teman-teman identifikasi sama dengan yang teridentifikasi oleh saya, yaitu: adanya pengetahuan, pengalaman, kemampuan (terlatih), derajat niat dan usaha, kondisi yang mendukung, serta mungkin ada yang memasukkan faktor "keberuntungan" (opportunity) atau nasib.

Semua benar tentu saja, sekaligus semua juga belum tentu benar dalam memastikan kemungkinan untuk menjadi 100% mungkin. 

Mengapa? Karena masih ada faktor probabilitas tentu saja. 

Bukankah jika semua syarat untuk mencapai keberhasilan terpenuhi maka probabilitasnya juga mendekati 100%?

Contoh jika kita sudah mengikuti dan menjalankan safety procedure, maka hampir dapat dipastikan kita akan selamat dalam perjalanan atau penerbangan misalnya. 

Apakah anda yakin? Kan dalam kalimat itu saja masih ada kata "hampir". Artinya tidak ada sesuatu hal pun di semesta ini yang bersifat deterministik alias pasti selama terkait dengan konsep probabilitas alias kemungkinan. 

Sementara bagi manusia hal yang telah dapat dipastikan sebagai konsekuensi rasional dari kelahiran adalah kematian. Kepastian ini pun dijamin dengan perubahan waktu ∆t (delta t) yang tak dapat diubah dengan perubahan posisi dan kecepatan (∆s dan ∆v). 

Maka saya sering menyampaikan premis (premis: kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dalam logika) tentang perjalanan adalah bukan persoalan menempuhi jarak, melainkan waktu. 

Sehingga dalam premis minornya, ruang adalah konsekuensi dari kehadiran waktu.

Kembali ke probabilitas. Maka pada hakikatnya manusia sebagai makhluk unik yang dikaruniai kemampuan analitik yang mampu melahirkan gagasan, imajinasi, dan kreasi punya keterikatan secara probabilistik justru di rasio yang deterministik, 50%. 

Semua kemampuan super kognitif manusia yang tercipta karena adanya pengintegrasian fungsi-fungsi seperti memori, asosiasi, korelasi, interpretasi, dan kemampuan sintesis, akan bermuara pada limit probabilitas 50%.

Kepastian di ketidakpastian 50% membawa kita pada irisan dengan pendekatan di domain quantum

Manusia dengan pilihan algoritmik yang melekat padanya dan ketidak kuasaannya untuk mengendalikan hasil akhir dari setiap tahapan proses/ reaksi, dapat digambarkan berada di posisi quantum state (QS).

Dimana QS menurut definisi GK Tong adalah an entangled quantum state is made of two or more particles held in a multitude of undecided outcomes.

Kondisi dan posisi "undecided" ini mengikuti konsep binari dengan tingkatan fasenya (lihat gambar di atas). Sehingga setiap pilihan selalu menyediakan pasangan kemungkinan. 

Dalam filosofi akidah ini dapat menggambarkan posisi makhluk yg selalu berada dalam status relatif, karena yang absolut, satu, dan tidak berpasangan adalah Allah (Qur'an Surat Al-Ikhlas).

Sehingga dalam perjalanan hidup ini kita juga dapat digambarkan tengah berada dalam kondisi "super posisi". 

Dimana menurut Delfosse, super posisi, entanglement, dan tunneling adalah "dunia qubit" yang membuat kita saat ini sudah berada dalam berbagai posisi secara paralel, sekaligus belum berada di sana.

The qubit is the basis of quantum computing due to their quantum mechanical properties: superposition, entanglement, and quantum tunneling. Qubits can be in a state of a 0, 1, and also in a state where they are 0 and 1 at the same time — this is called superposition. 

(Silahkan simak di anotasi Dirac yang ada di gambar ya).

Bahkan jika kita mempelajari cara kerja otak kita dalam membangun kesadaran, beberapa teori yang sepertinya baru sampai pada tingkatan analogi, ternyata sudah mulai banyak diteliti lebih mendalam. 

Sebagai contoh pendekatan Quantum Brain Dynamics yang digagas Harald Atmanspacher. Framework otak yang bersifat spektral saat membangun kesadaran dari komposisi berbagai fungsi di otak hanya akan ideal jika didekati dengan teori quantum field, dan akan sulit diurai jika menggunakan pendekatan biokimiawi linier yang bertumpu pada fungsi neurotransmiter. 

Bahkan Roger Penrose dan Stuart Hameroff sudah lebih detil berfokus pada mikrotubul yang terlibat dalam proses sinaptik dan neurotransmisi sebagai salah satu elemen dari mekanisme quantum yang bekerja di otak. 

Penrose dan Hameroff menggulirkan gagasan dalam bentuk postulasi Orchestrated Objective Reduction (OOR). Konsep ini jika boleh saya tambahkan, hanya akan dapat bekerja jika prinsip-prinsip dasar quantum state dengan dunia qubitnya bisa diterapkan. 

Hubungan antara aspek biologi dan karakter fisikanya sebenarnya sudah terepresentasi dalam level quasi partikel yang terdiri dari phonon yang berasal dari eksitasi atom padat yang mengalami vibrasi, dan plasmon yang berasal dari osilasi plasma. 

Dalam hal ini kita dapat asumsikan bahwa seluruh sel-sel otak, bahkan mungkin tubuh dan juga semesta, semuanya berada dalam fase quantum state atau super posisi yang memiliki semua potensi probabilitas. 

Kondisi entanglement yang akan menghasilkan spektrum fungsi karena dapat menjalankan program "meta" dalam ranah kognisi hingga muncul pola interaksi real time yang membangun konstruksi qualia, atau bangunan kesadaran lintas dimensi.

Maka jika kita cermati berbagai premis di atas, tampak ada suatu korelasi yang kuat antara berbagai fenomena di setiap lapis dan dimensi kehidupan, yang menyiratkan adanya suatu kompleksitas terencana. 

Menghablurnya aspek filosofis dalam dimensi materi di level quantum menghantarkan kita pada kesadaran baru tentang esensi dari eksistensi yang terintegrasi dalam distribusi fungsi. 

Sumber gambar:
WAG Rumah Peradaban

Jumat, 28 Juni 2019

Kedai Kopi & Menjadi Manusia (Bagian 1)


Oleh Hamzah Abdurahman & Duddy Fachrudin

"Pernah ada yang suka ngopi di sini, trus ajak keluarganya. Mereka bawa mobil dan dandanannya rapih. Sampai sini, ibunya terheran-heran dengan kedai kopi ini, dan ketika duduk pun terasa tidak nyaman. Mungkin ya terbiasa di kedai kopi mewah & ber-AC, mas."

Duo barista unik dan nyentrik itu senyum-senyum menceritakan kedai kopi tanpa nama di jalan Pekalipan yang saya kunjungi sambil menunggu spoor yang menjemput pukul 2 pagi.

Terkekeh kekehlah kami semua dengan lepas sementara Hp salah satu barista itu mendendangkan Iksan Skuter, "Sepertinya menjadi manusia adalah masalah buat manusia... "

Obrolan tengah malam itu berkutat pada persoalan manusia yang semakin ke sini semakin aneh. Semakin membeda-bedakan, semakin menilai, semakin menghakimi, dan semakin berada pada polaritas mencari kenikmatan dan menghindari penderitaan.

Padahal di kedai kopi itu justru saya merasakan kopi ternikmat selama ini. Harganya 1/2 dari yang biasa ada di kedai kopi ber-AC, ber-wifi, dan tentunya memiliki interior yang elegan.

Kedai kopi itu tanpa nama. Tersempil di balik gerobak nasi goreng dan makanan lainnya. Ruangannya apa adanya, namun segala jenis kopi mereka punya. Dan harganya? Hmm... level bumi dengan citarasa langit karena dibuat dengan penuh keikhlasan dan penuh cinta.

Lalu apa sebenarnya manusia? Siapa manusia? Sebuah pertanyaan dari jaman dahulu yang kerap kali ditanyakan oleh manusia itu sendiri. Bahkan semakin canggih peradaban manusia semakin mempertanyakan dirinya.

Manusia sejatinya mahluk yang lemah dan tak berdaya. Ketika ia lahir ke dunia hanya tangis yang dibawa. Sungguh manusia tak bisa apa-apa, tergeletak begitu saja dan membutuhkan orang lain untuk bisa bertahan dari ganasnya kehidupan.

Berbeda dengan binatang. Pitik (anak ayam) yang baru menetas dari cangkang telur tidak membutuhkan waktu lama untuk mengeksplor dunia sekitarnya. Dengan gembira ia menikmati dunia berlari ke sana ke sini mengikuti ibunya. Dengan mudahnya juga ia beradaptasi dengan beragam cuaca. Bahkan beberapa hari kemudian ia dapat bertahan dari derasnya hujan, tanpa perlu memakai jaket ataupun pakaian.

Setelah beberapa bulan, Pitik yang telah tumbuh remaja memberi kebermanfaatan bagi manusia. Ia dengan ikhlas disembelih dan dijadikan ayam geprek lalu disantap secara mantap. Sementara dalam rentang usia yang sama manusia masih merengek dan menangis meminta ASI kepada ibunya.

Namun, dibalik ketidakberdayaan manusia, Tuhan memberikan rahasia berupa penglihatan pendengaran, dan hati. Tentu, binatang pun diberikan potensi yang sama, namun manusia memiliki sistem yang lebih canggih, kompleks, dan kapasitas yang lebih besar. Ini yang kemudian membedakan manusia dengan hewan. Sebutan Homo Sapiens pun disematkan. Mahluk yang cerdas karena akal sekaligus budinya.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar

Rabu, 12 Desember 2018

Dunia Masa Depan


Oleh Duddy Fachrudin

Dalam suatu perjalanan cinta Bandung-Sukabumi 6 tahun lalu, Kang Tauhid Nur Azhar memaparkan kepada saya, Kang Emsoe, dan Kang Rizal mengenai berbagai perubahan yang akan terjadi di masa depan.

What’s next in future?

Ketika sebagian besar aktivitas kehidupan manusia digantikan oleh mesin dan dilakukan secara digital. Ketiadaan sentuhan dan interaksi manusia secara langsung semakin minim. Bahkan untuk berkonsultasi ke dokter atau psikolog pun tidak perlu bertatap muka.

What’s next in future?

Selain pertumbuhan penduduk semakin meningkat, angka stres, depresi, dan bunuh diri pun seirama melonjak. Terjadi ketidakseimbangan aktivitas otak pada bagian basal ganglia, korteks prefrontal, dan lobus temporal kiri.

What’s next in future?

Semuanya serba instan, dan teknologi dapat menjadi bumerang bagi manusia sendiri jika kurangnya kesadaran (mindful) dan iman serta kecintaan manusia untuk menebar manfaat di muka bumi ini.

Sumber gambar:
https://www.sciencefocus.com/future-technology/future-technology-22-ideas-about-to-change-our-world/

Rabu, 15 Agustus 2018

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Alam saiber yang sesungguhnya tanpa ruang ini juga melucuti dan menanggalkan segenap identitas dan karakter yang kita sematkan pada peran yang kita jalani dalam proses interaksi di dimensi materi. Anonimitas menjadi ciri pribadi virtual. Transparan sekaligus getas. Fleksibel sekaligus dapat mengeras.

Makhluk-makhluk di dunia daring bersifat invisible, alias tidak terlihat yang berkorelasi dengan hilangnya ketakutan untuk bertanggungjawab. Kejahatan lintas dimensi menjadi kehilangan aturan dan alat bukti. Semua ini pada gilirannya akan diikuti oleh terjadinya banjir bit yang terangkai sebagai informasi. Di tengah banjir informasi yang menyebabkan cognitive exhausted ini, ada beberapa informasi yang dapat "singgah" bahkan menetap di benak kita.

Priming. Tim dari Stanford memberi contoh kongkrit betapa otak manusia bekerja berdasarkan asumsi yang berbasis dari pengalaman dan informasi yang diterima sebelumnya.

Tim ini meminta kita untuk menatap sebuah gambar berupa bercak-bercak tinta di bidang putih dan entah apa yang terlintas di sistem asosiasi visual kita tentang bentuk apa yang tergambar di sana. Tapi sebuah petunjuk kecil yang menunjukkan adanya seekor anjing Dalmatian sedang merunduk dan minum akan membuat kita takkan pernah lagi lupa gambar apa itu sesungguhnya setiap kali gambar itu ditunjukkan pada kita.

Daerah visual primer yang telah mendapat asupan data dari beberapa area fungsi luhur (higher function) dan sistem memori akan selalu menampilkan interpretasi terhadap citra berdasar pengetahuan yang telah diinstalkan. Selain itu hasil riset menunjukkan bahwa karakter info yang bersifat trailer vision atau info yang bersifat suspense/ drama serta penuh kejutan disukai oleh otak kita.

Mengapa? Karena kita lelah dengan banjir data yang tak "menarik" untuk dianalisa. Kita perlu drama, kita perlu misteri, kita perlu kondisi "uncertainty". Karena kita berharap bahwa kejutan dapat menjadikan lini masa kehidupan kita akan dipenuhi letupan-letupan kecil kebahagiaan yang menjanjikan serangkaian kenikmatan.

Maka kita pun mengenal konsep loss aversion, rasa kehilangan pada "sesuatu" yang menurut kita "semestinya" menjadi milik kita. Maka sebagian dari kita menisbatkan ritual agama dan pengalaman spiritualitas adalah fragmen-fragmen kenikmatan yang dapat terus memberikan harapan dan menumbuhkan motivasi untuk terus dapat merasakan sensasinya.

Terdengar seperti seks dan judi ya? Atau kuliner dan petualangan ekstrem? Demikianlah kira-kira.

Penelitian di School of Medicine-nya University of Utah menunjukkan bahwa pengalaman spiritual terkait dengan simbol dan prosesi keagamaan pada probandus di sana mengaktivasi pusat reward yang bernama nukleus akumben dan daerah ventro medial prefrontal cortex (vmPFC) yang berfungsi sebagai pusat pemilahan, pembobotan, dan penilaian berkonotasi moral. Serta menyita perhatian karena teraktivasinya area focused attention yang secara anatomi dikenal sebagai inferior frontal junction. Konstruksi persepsi dari sensasi ini terbentuk antara lain karena konstruksi simbol (semiotika).

Menurut Edelman (1964) dalam proses transmisi pesan melalui simbol semiotika, dikenal dua kategori simbol yaitu referential dan condensation symbol. Ada peristiwa atau fenomena yang menjadi rujukan dan jika terjadi secara serial maupun paralel akan terkonsentrasi sebagai suatu kebenaran, kita menyebutnya sebagai fakta.

Apakah semua fakta selalu benar? Kembali pada konsep referensi dan kondensasi serta priming. Sebuah fakta akan melahirkan banyak kebenaran. Dan kebenaran akan selalu memerlukan alasan.

Tibalah kita di abad alasannya Sartre, hingga jika ada fakta yang ingin kita benarkan, kita pun akan membuat alasannya. Sekaligus kita terjebak dalam jejaring pemaknaan (signifikansi), apakah kebenaran itu penting untuk kita carikan alasan?

Maka ujung pencarian sebenarnya sederhana saja, menemukan sebuah kebenaran yang tak lagi memerlukan alasan dan sederet teori tentang kebermaknaan. Kebenaran di seberang alasan dan makna.

Halaman Sebelumnya <<<

Referensi:
Edelman, M. J. (1964). The symbolic uses of politics. Urbana: University of Illinois Press.

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x

Ruang Antara The Age of Reason dan The Web of Significance (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Kita hidup di sebuah dunia yang terbukti semakin paralel meski belum lintas dimensi. Alam virtual yang semula hanya tersedia sebagai peluang dan potensi, kini maujud nyata melalui perkembangan teknologi dan sistem komputasi. Ada ruang hidup baru yang berwujud semesta sebagaimana bagian barat Amerika sebelum datangnya para petualang Eropa.

Maka judul di atas adalah diskursus antara Sartre dan Clifford Geertz yang lebih dikenal dengan idiom santri-abangannya.

Abad kecerdasan ditandai dengan terelaborasinya data menjadi pengetahuan dan terkonvergensinya pengetahuan menjadi sains yang memerlukan metodologi dan alasan. Perspektif berikutnya tentulah iman dan kebijaksanaan (wisdom). Alam daring dengan ciri kemudahan komunikasi akan melahirkan peradaban saling mengunci dan terkoneksi (connected). Untuk selanjutnya tentulah akan lahir kerjasama dan kolaborasi yang menghadirkan produk serta tatanan.

Pro kreasi.

Inilah keistimewaan manusia yang punya daya cipta dan sistematika berpikir adi daya. Kita membangun, menciptakan, dan disadari ataupun tidak, juga menghancurkan. Bahkan bukan cuma menghancurkan, melainkan meluluhlantakkan. Katastropik.

Bukankah dengan logika sederhana dan premis-premis bersahaja saja sudah langsung terlihat kasat mata, bahwa manusia mengkreasikan bencana dan berperan sebagai korban di dalamnya.

Alam hanya menjalankan peran dan ketetapannya, tapi manusia punya kesempatan. Punya pilihan. Punya daya nalar. Punya daya kreasi dan kemampuan untuk menyelaraskan antara gagasan dan aksi. 

Lalu alam baru yang dinamai dunia saiber mulai menggeser batasan ruang dan waktu. Bahkan manusia telah menciptakan mesin-mesin peradabannya yang mengadopsi nyaris sempurna kemampuan istimewa otak manusia.

Big data, data mining, AI, DL dan knowledge growing system-nya Mas Arwin Sumari telah melahirkan dunia autonomous dimana manusia perlahan tapi pasti mulai kehilangan kendali terhadap nilai-nilai kemanusiaannya.

Mari kita simak lahir dan bergulirnya mesin pencari dan berbagai aplikasi perpanjangan inderawi; peta, layanan daring multiguna, sampai habitat baru yang dibangun lewat media sosial. Mesin yang semakin cerdas mulai membangun lapis perasaan dan kesadaran. 

Sadarkah kita jika setiap jejak digital kita dapat memberikan engine gambaran tentang siapa kita?

Preferensi kita, dinamika emosi kita, psikografik, bahkan prediksi jalan hidup kita yang bahkan kita sendiri belum yakin akannya.

Ada konsep filter bubble yg menghasilkan algorithmic enclave (Lim, 2017) di mana pola dan kebiasaan yang tercermin dalam aktivitas di alam saiber akan memerangkap kita dalam jebakan infrastruktur manufaktur jiwa.

Apa itu manufaktur jiwa? Kita akan masuk ke dalam balon-balon preferensi yang mengepung kita dengan data dan fakta yang dipakaikan sesuai dengan pola yang kita tampilkan. Dengan kata lain, kita menciptakan posibilitas lahirnya dunia kita sendiri, dan itu dirancang dengan cerdasnya oleh mesin dan sistem yang kita buat sendiri. 

Kita terkepung dengan data yang kita sukai dan kita rasa sesuai dengan kebutuhan kita. Mesin menawarkan efek psikadelik halusinogenik yang tak kalah trengginas dengan Meskalin dan senyawa sejenisnya seperti Psylocibin dari jamur tahi sapi.

Lalu bukan hanya preferensi suka dan kegembiraan saja yang direkonstruksi oleh engine yang dibangun oleh para engineer yang ahli dalam perkara engineering. Perkara reka dan merekayasa. 

Maka kebencian, kemarahan, dan variabel penderitaan juga direkayasa hingga kita terekadaya. Sebagaimana yang oleh Daniel Keats Citron (2014) lebih ditekankan pada proses pelabelan negatif yang destruktif pada seseorang atau sesuatu hal hingga patut untuk dibenci dan disakiti. 

>>> Halaman Berikutnya

Referensi:
Citron, DK. (2014). Hate crimes in cyberspace. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. 

Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3): 411-427

Sumber gambar:
https://www.videoblocks.com/video/digital-cyber-world-04-rwmwkbfugiypv2q8x