Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Acceptance and Commitment Therapy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Acceptance and Commitment Therapy. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Januari 2025

Menyelami Sejenak Ruang Bernama Kehidupan #bagian 1

Oleh Duddy Fachrudin 

Di akhir tahun saya mendapat tawaran mengajar psikologi untuk korporasi di empat daerah negeri ini. Dua diantaranya di luar pulau Jawa. Alhamdulillah, dari keempatnya terealisasi satu saja.

Jika keempatnya terlaksana tentu sangat senang sekali. Apalagi psikologi sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan ini diperlukan setiap orang di jaman yang serba tak pasti. Namun karena ketidakpastian pula, ketiganya urung terjadi.

Dalam kondisi seperti ini yang bisa dilakukan hanya menerima, bahwa segalanya tidak sesuai rencana, sambil kemudian terus menata, memperbaiki diri dari ke hari sehingga siap untuk menyambut mentari.

Meski, setiap hari bisa saja yang datang tak hanya mentari. Mungkin ia yang hadir adalah kecewa dan rasa frustasi. Atau cemas serta depresi. Kata Rumi, mereka semua merupakan tamu yang perlu disambut dengan hangat dan riang gembira. Memeluk derita sama halnya merangkul bahagia.

Namun, bagaimana mungkin orang biasa seperti Judin paham mengenai konsep itu. Laki-laki yang hanya berpenghasilan 30 ribu per harinya itu harus menghadapi kenyataan yang menyayat sendinya. Hutang yang menumpuk diwariskan oleh orangtuanya. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil alih nahkoda rumah tangga yang oleng bagaikan Titanic setelah menabrak gunung es di lautan luas itu.

Sore itu ditemani Juwita, Judin mengungkapkan gelisahnya. “Sebenarnya kalau mau kita bertiga, ya kakak dan adikku berjuang bersama melunasi hutang-hutang itu.”

“Mbok sendiri bagaimana?” tanya Juwita.

Dalam duduknya Judin mengehela nafas teringat keinginan kuliahnya dicegah oleh ibunya sendiri. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang ringkih. “Andai saja aku kuliah Wit! Setidaknya aku bisa memperbaiki keadaan sekarang.”

Berkali-kali Judin menilai dirinya bodoh dan tak bisa apa-apa. Namun dibalik itu ia yang menanggung segalanya.

Kehidupan itu… sebenarnya apa? Tanya Judin dalam relung hatinya. Sementara senja mulai menyapa dirinya serta Juwita.

Pun tanya itu pula yang kemudian direnungkan oleh para pembelajar dari berbagai generasi di sebuah korporasi, suatu hari akhir tahun itu.

“Perjalanan!” seru seorang anak muda. Di satu sisi, seorang laki-laki berusia 50an, berkata bahwa hidup ialah kebersyukuran.

“Hidup itu stres ya Wit,” Judin kembali mengungkapkan keluhnya.

Bersambung…

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 17 November 2022

Strategi Self-Care dengan Acceptance and Commitment Therapy



Oleh Susan Rahmayani 

Bahagia. Sebagian besar orang mencarinya, menemukannya. Lalu selamanya manusia ingin dalam kondisi tersebut. 

Namun sayangnya, perjalanan kehidupan menyadarkan dan mengajarkan bahwa kenyataanya kita tidak selalu bahagia. Ada beragam rasa lain yang menghampiri seperti sakit dan kecewa, kehilangan, kematian, kegagalan, maupun kesedihan.

Seperti pagi ini yang mendapati kenyataan bahwa saya dinyatakan tidak lulus dalam ujian akhir sebuah pelatihan.

Sedih, kesal, malu menyatu... padahal beberapa menit sebelumnya merasa bersyukur karena bangun pagi lalu melaksanakan sholat dan rutinitas lainnya seperti menyiapkan sarapan untuk keluarga, dan sebagainya.

Berat rasanya menjalani hari. 

Akhirnya saya memilih menepi sejenak, mengijinkan dan menerima semua kerumunan rasa dan pikiran untuk diamati dan disadari. Setelah kondisi jiwa lebih tenang, berbagai respon terbaik siap dipilih. 

Daripada terus terjerat (hooked) dalam kecamuk rasa, saya memilih untuk menuliskan ini. Ya, tulisan ini, yang tidak sekedar untuk mengalirkan emosi, tapi juga sebagai pengganti ketidaklulusan ujian akhir pelatihan tersebut.

Itulah salah satu contoh dari merawat diri (self-care) dengan Acceptance and Commitment Therapy (ACT).

Penerimaan itu bukan asal pasrah nrimo begitu saja tapi merangkul merima apa yang ditawarkan kehidupan. Mengizinkan dan membuka diri sepenuhnya terhadap realita yang ada kemudian dikuti dengan komitmen melakukan tindak lanjut berdasarkan nilai yang dipilih secara konsisten. 

Sederhananya ACT adalah berikut ini:

Acceptance: menerima pikiran, ingatan dan emosi hal yang tidak diinginkan, seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa kesal dan lainnya. Tidak menolak pikiran dan rasa yang tidak diinginkan melainkan berlatih mindfulness atau berkesadaran mengobservasi pikiran dan perasaan apa adanya.

Choose a valued direction: memilih nilai / value yang akan diikuti. Menyadari mempunyai pilihan arah hidup diawali dengan identifikasi dan fokus pada value yang diinginkan. Berlatih menerima inner world, menerima apa yang datang dan apa yang menemani dalam perjalanan.

Take action: mengambil langkah tindakan yang telah dipilih. Berlatih melaksanakan komitmen pada apa yang telah dipilih sehingga dapat menjalani sesuai dengan value-nya.

Terdapat enam core dalam ACT yang perlu terus-menerus dilatih. Empat elemen terkait mindfulness (acceptance, cognitive defusion, flexible attention, dan self as context), sementara dua lagi, yaitu perilaku (value dan committed action). Berikut penjelasannya:

1) Acceptance, berlatih menerima pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan/ buruk tanpa berusaha untuk mengubahnya. Agar terbangun kemampuan ‘rela’ menerima, menghadapi pikiran, perasaan dan pengalaman yang sebelumnya dihindari.

2) Cognitive Defusion, dengan berpikir cara baru agar saat menghadapi masalah berdampak lebih sedikit pada diri. Berlatih meredakan pikiran tanpa berusaha menghilangkannya dengan menjaga jarak dari pikiran tersebut sehingga tidak termelekati.

3) Flexible attention, berlatih menjalani kehidupan di saat ini dan di sini apa adanya agar dapat lebih fleksibel dan konsisten pada value yang dimiliki. Dengan mengembangkan kesadaran saat ini artinya memberi ruang untuk perasaan negatif alih-alih mencoba menekan atau mendorongnya.

4) Self as context, berlatih melihat atau mengobservasi diri apa adanya tanpa menghakimi atau menilai benar/ salah dengan mindful pada diri apa adanya. Bahwa manusia bukanlah isi pikiran atau perasaannya, melainkan kesadaran yang mengalami pikiran dan perasaan tersebut.

5) Value, mengidentifikasi nilai-nilai penting sebagai panduan agar dapat diterapkan saat mengambil keputusan atau tindakan. 

6) Committed Action, berlatih komitmen melalui tindakan berdasarkan value yang ada dan mengarahkannya pada tujuan-tujuan hidup yang bermakna. Berkomitmen melakukan tindakan dengan sepenuh hati dan tanggung jawab diri.

Pendekatan ini membantu membebaskan diri dari rasa pikiran yang membelenggu dan sekaligus menuntun untuk menerima dan mengobservasi dengan penuh kesadaran pikiran tersebut tanpa larut ke dalamnya. 

Mari peduli pada kesehatan mental kita dengan mengupayakan merawat diri (self-care) dengan baik, memberinya pupuk cinta melalui Acceptance and Commitment Therapy.

Sumber gambar:

Senin, 13 September 2021

Pelatihan Intervensi Psikologi Berbasis Mindfulness: Acceptance and Commitment Therapy


Oleh Duddy Fachrudin 

Lasse Rouhiainen dalam bukunya yang sangat fresh yang terbit di tahun 2019 yang berjudul Artificial Intelligence: 101 Things You Must Know Today About Our Future menuliskan 11 skills yang dibutuhkan di masa depan. 

Salah satu keterampilan tersebut ialah mindfulness, suatu kemampuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap suatu hal.

Jauh sebelum Rouhiainen mencantumkan mindfulness sebagai keterampilan penting di era masa kini dan mendatang, 15 tahun sebelumnya, mindfulness menjadi komponen utama bersama acceptance, metakognitif, personal values, dan spiritual dalam terapi “third wave cognitive behavioral”[2,3]. 

Salah satu terapi berbasis third wave, yaitu Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mengakomodasi mindfulness sebagai tools untuk mencapai psychological flexibility dan terlepas dari penderitaan psikologis[3].

Penderitaan psikologis (psychological suffering) dalam ACT bermula ketika individu kaku secara psikologi[3]. Sebagai contoh penderita depresi yang mengembangkan experiential avoidance melalui alkohol sebagai pelarian sekaligus solusi semu atas permasalahan psikologisnya. 

Pada titik ini yang diperlukan adalah mengetahui akar masalah dengan berhenti sejenak mengamati dan menyadari (mindful) pikiran, menerimanya, tapi juga tidak terjerat dengannya, lalu mengembangkan tujuan dan nilai-nilai penting penuh makna serta mengarahkan perilaku sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan. 

Itulah ACT yang mengajarkan individu untuk berpindah dari kekakuan psikologi menuju fleksibilitas psikologi.

Pada era yang serba tidak pasti saat ini dan isu mengenai kesehatan mental yang semakin menjadi perhatian, keterampilan-keterampilan dalam ACT perlu dikembangkan individu. 

Pelatihan ACT memfasilitasi siapapun para pembelajar untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang menunjang fleksibilitas psikologi, yaitu mindfulness, acceptance, cognitive defusion, self as context, dan living with values, serta committed action yang dapat diaplikasikan kepada diri sendiri maupun orang lain.

Terdapat tiga capaian pembelajaran yang dapat dicapai peserta pelatihan ACT: 1) peserta dapat memahami konsep dan cara kerja ACT; 2) peserta dapat membuat desain modul ACT; dan 3) peserta dapat menggunakan dan mempraktikkan elemen-elemen keterampilan dalam ACT dalam permasalahan psikologi sederhana.


Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:

[1]   Fachrudin D. #2019HidupLebihMindful (internet). Mindfulnesia. 2019 (dikutip 8 September 2021). http://www.mindfulnesia.id/2019/01/2019hiduplebihmindful.html

[2]   Hayes SC, & Hoffman SG. Third wave of cognitive behavioral therapy and the rise of process-based care. World Psychiatry. 2017; 16(3): 245-246. DOI:1 0.1002/w ps.20442

[3]   Luoma JB, Hayes SC, & Walser RD. Learning ACT: An acceptance and commitment therapy skills training manual for therapists. Oakland: New Harbinger, 2017.


Sumber gambar: