Tampilkan postingan dengan label Virus Corona. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Virus Corona. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Juni 2020

Virus Berdamai dengan Manusia



Oleh Duddy Fachrudin 

Melawan atau berdamai? 

Kemarin-kemarin manusia berperang #melawancorona. Saat ini beralih menyatakan damai saja. 

Manusia sudah kalah? Mungkin. 

Kalah karena belum bisa mengelola diri, sementara corona masih bergentayangan untuk menyambangi. 

Ia akan selalu ada di antara kehidupan manusia. Menjadi entitas penyeimbang dari keserakahan dan kerusakan yang dibuat manusia. 

Dengan adanya corona, harusnya terjadi akselerasi akhlak manusia dalam tatanan kehidupan "new normal". Karena corona menghentak kesadaran jiwa-jiwa yang selama ini terpedaya dan tepenjara dalam ilusi serta delusi berkepanjangan. 

Kehadiran corona yang terus bermutasi sekaligus beradaptasi pada kondisi tubuh inangnya ini tanda bahwa ia mahluk yang amat cerdas. 

Namun bukankah mutasinya melemah? Dan akhirnya virus tak lagi ganas menginfeksi tubuh manusia. 

Itu artinya memang virus tak ingin buru-buru mati. Kalau inangnya wafat bukankah ia juga game over lebih cepat? 

Corona ingin terus membersamai manusia selama hidupnya. 

"Aku hanya ingin hidup  lebih lama, seperti halnya manusia dengan segala upayanya saat ini menginginkan hal itu juga." 

Corona seolah berkata, "Silahkan manusia membuat vaksinnya..." 

Virus berdamai dengan manusia. 

Simbah bilang, "Virus, bakteri, mahluk yang kecil-kecil itu kakak kandungnya manusia. Ora usah berantem, apalagi musuhan sama kakak sendiri." 

Benahi saja dirimu. Ojo adigang adigung adiguna. 

Wasi'a kursiyyuhus-samaawati wal-ard. 

Simbah melanjutkan meditasinya. Aku mengikutinya. 

Sumber gambar: 

Senin, 01 Juni 2020

Meditasi Hijau: Fase Belajar dan Bertumbuh di Kala Pandemi



Oleh Prinska Damara Sastri 

Gimana jadinya kalau kita yang sehari-harinya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah lalu berubah harus tetap #dirumahaja. Ya, khususnya selama pandemi corona ini.

Sebagian besar orang mungkin mengalami kebosanan. Aku dan kamu bisa termasuk ke dalam golongan sebagian besar itu.

Dengan kondisi seperti ini, sebisa mungkin melakukan kegiatan positif agar cerita #dirumahaja ini tidak hanya menjadi ajang untuk mengeluh. Karena keluh hanya memproduksi stres berkepanjangan dan tidak membuat pribadi untuk belajar utuh serta bertumbuh.

Kalau dipikir-pikir, stay at home bisa jadi satu ajang yang baik bagi kita untuk mengenal diri, memahami keluarga kita lebih dekat, serta mengetahui kondisi lingkungan di rumah dan di sekitarnya dengan lebih baik. 

Masa pandemi adalah saat yang tepat untuk rehat.

Meditasi dan berolahraga menjadi opsi utama aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Selain itu, berkebun menjadi suatu hal baru yang menarik untuk dicoba.

Mengapa berkebun?

Hal ini diawali dengan kebiasaan saya membuat pupuk kompos sendiri dari sampah rumah tangga. Sebuah hobi yang iseng dilakukan akibat jenuh dari tugas akhir yang tak kunjung beres sejak dua tahun lalu. 

Mengkompos... ternyata setelah dijalani menyenangkan juga. Dan pada akhirnya aktivitas ini menjadi sebuah hobi yang sifatnya berkelanjutan.

Setelah mulai terbiasa membuat pupuk kompos, terpikir untuk menekuni aktivitas berkebun. 

Kita semua percaya bahwa dengan memulai hobi seperti ini, secara langsung menyumbangkan banyak oksigen untuk bumi. Hal ini akan berdampak pada keadaan bumi yang semakin sehat yang pada akhirnya ia memberikan energi baik pada penghuninya.

Maka, sejak awal Covid-19 memasuki negeri ini, saya mencoba mengulik sendiri tentang berkebun, diawali dengan membeli beberapa benih dan juga bibit untuk ditanam.

Saat berkebun saya melihat betul bagaimana proses tanaman-tanaman ini tumbuh. Mulai dari benih sampai mereka bertransformasi menjadi tumbuhan.

Banyak hikmah yang saya pelajari dari berkebun. Ada suka, juga duka.

Dibanding sukanya, diawal-awal berkebun banyak dukanya juga. Seperti harus merelakan benih yang tidak tumbuh, lalu kebingungan saat tanamannya tumbuh dengan tidak sehat, dan sebagainya.

Mulai muncul pikiran otomatis: benar ya, kegiatan berkebun adalah kegiatan menjenuhkan dan juga kuno. 

Rasanya seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Ingin menyerah saja, karena seperti menambah beban baru. 

Tapi...

Dibalik semua itu ternyata saya belajar untuk lebih bersabar, kemudian mengobservasi kesalahan dan belajar untuk lebih berusaha lagi. Hikmah ini bisa diterapkan ketika harus menghadapi Covid-19 yang tak tahu kapan usainya.

Rehat dengan meditasi hijau alias berkebun menyadarkan bahwa semuanya membutuhkan proses. 

Ada kegagalan, lalu pembelajaran, kesabaran, pemaknaan yang dalam, keikhlasan, hingga tumbuh kecintaan untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi bumi ini.

Di sinilah kita berpindah dari fase. Dari yang awalnya mengeluh ke tahapan belajar serta bertumbuh. 

Sumber gambar: 

Kamis, 28 Mei 2020

Drama Korea & Menolak Corona



Oleh Nita Fahri Fitria

Benang merah dari kisah Drama Korea Hi Bye, Mama! yang berhasil menyentuh hati pemirsa, yang juga menjadi momen comeback dramatis Kim Tae Hee, adalah penyesalan.

Sebelumnya banyak juga drama Korea yang mengangkat tema penyesalan orang yang sudah meninggal sehingga menjadi arwah yang tidak tenang dan terjebak di dunia. Sebut saja Hotel del Luna yang bercerita tentang seorang wanita yang terjebak selama 1000 tahun di dunia karena menyimpan amarah yang tak tuntas. Juga Oh My Ghost yang membuat sang arwah kebingungan sendiri kenapa ia tak bisa “naik ke atas” karena ternyata mengalami kematian yang tidak wajar sementara ia punya urusan yang belum selesai di dunia.

Hi Bye, Mama! sendiri berkisah tentang seorang wanita bernama Cha Yu Ri yang meninggal karena kecelakaan. Yang membuatnya tertahan di dunia adalah karena ia belum sempat memeluk anak yang terlahir dari rahimnya bertepatan dengan datangnya ajal.

Uniknya, secara ajaib Cha Yu Ri mendapatkan kesempatan untuk hidup kembali selama 49 hari karena ibunya yang memohon kepada Dewa agar diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan putrinya meski hanya satu kali saja. Begitulah, Cha Yu Ri berada dalam lingkaran ketidakrelaan atas perpisahan yang mendadak.

Rupanya kesempatan hidup kembali selama 49 hari bukan sepenuhnya hadiah yang membahagiakan. Ada banyak sekali masalah pelik yang terjadi selama 49 hari tersebut. Puncaknya adalah saat Cha Yu Ri haru memilih, apakah ia akan tetap hidup dunia dengan konsekuensi anaknya yang selamanya akan memiliki kemampuan melihat hantu, atau “naik” ke alam baka dan mengikhlaskan kehidupan yang memang sudah ia tinggalkan sebelumnya.

Sebagai seorang ibu, Cha Yu Ri tentu saja dengan mantap memilih untuk menyelamatkan anaknya dan pergi untuk selamanya. Ia dan orang-orang di sekelilingnya kemudian tersadarkan tentang apa itu melepas yang sesungguhnya. Tentang menjalani hari tanpa penyesalan dan rasa bersalah.

Kita saat ini berada dalam masa krisis sebagai konsekuensi dari hadirnya wabah penyakit yang menimpa seluruh penjuru dunia. Dan kita akhirnya terjebak pada sebuah sikap yang mirip dengan Cha Yu Ri dan keluarganya, yakni menolak keadaan yang hadir saat ini.

Mungkin pada awalnya kita tidak sadar, sama seperti halnya Cha Yu Ri yang bersikap sangat spontan saat pertama kali memilih menjadi arwah yang bergentayangan. Kita juga seolah tidak sadar membiarkan ketidak relaan bergentayangan dan serba penasaran dengan apa yang terjadi.

Ketidak relaannya beragam, dari yang masuk akal hingga memperumit diri sendiri. Tak rela dilarang mudik, lalu pura-pura jadi barang angkutan dan bersembunyi dibalik kontainer sayur. Karena penasaran dan tak bisa membayangkan lebaran tanpa mudik, akhirnya membiarkan dirinya gentayangan dalam batas realitas.

Padahal memilih untuk ridha terhadap kenyataan yang ada, meski berat, tapi justru memudahkan diri sendiri. Masalahmu makin rumit ketika kamu melawan. Bahkan meski kamu dikasih kesempatan kedua seperti Cha Yu Ri, tetap saja keadaannya super rumit dan pada akhirnya harus memilih di antara dua bilah pisau yang sama-sama tajam. Rumit bukan main.

Ridha terhadap ketentuan yang Allah gariskan, seberat apapun wujudnya, tetaplah berbuah ridha-Nya Allah. Maka saatnya kembali menjadi hamba yang ridha terhadap takdir Rabbnya. Karena bahagia itu terletak pada hati yang ikhlas. 

Sumber gambar: 

Rabu, 20 Mei 2020

Menggapai Keseimbangan: Dari Spanish Flu Hingga Covid-19



Oleh Hamzah Abdurrahman

100 tahun sejak Spannish Flu yang menginfeksi 1/3 populasi dunia dan menelan lebih dari 50 juta korban jiwa[1], manusia kembali mendapat sebuah pandemi yang sangat menghebohkan masyarakat dunia: Covid-19.

Jika kita melihat sejarah terjadinya pandemi di muka bumi, mereka selalu menyisakan perubahan drastis bagi kehidupan manusia.

Seperti Spannish Flu pada tahun 1918 yang tepat sekali dengan berakhirnya Perang Dunia (PD) pertama. Dimana berakhirnya wabah tersebut merubah pemikiran manusia terutama dari sisi teknologi industri kesehatan.

Pasca wabah Spannish Flu, banyak sekali perusahaan kesehatan yang bermunculan baik itu dalam produk obat obatan, alat kesehatan, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya, wabah tersebut hanya berlangsung selama 2 tahun hinnga berakhir di tahun 1920.

Berbeda dengan coronavirus yang terjadi tahun ini. Dimana virus tersebut datang ketika populasi manusia berjumlah 7,7 miliyar[2] dengan segudang masalah yang berdampak pada perubahan iklim.

Maka tak heran, sebelum terjadinya wabah ini, isu climate change dan lingkungan hidup menjadi pusat perhatian.

Meledaknya populasi manusia dalam 100 tahun terakhir, menuntut kebutuhan akan sumber daya alam dan lahan tempat tinggal menjadi semakin tinggi. Ditambah dengan meningkatnya populasi manusia di kota kota besar, menjadikan manusia terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu atau biasa kita sebut dengan urbanisasi.

Pertambahan populasi manusia menjadi kesempatan orang-orang atau kelompok untuk menyediakan kebutuhan manusia seperti pangan, tempat tinggal, pakaian, mobilitas, dan berbagai jenis kebutuhan lainnya.

Bahkan bukan hanya menyediakan kebutuhan manusia, akan tetapi membentuk sebuah tren gaya hidup baik dalam bentuk fashion, kendaraan, properti, dan berbagai tren gaya hidup.

Demi memenuhi permintaan manusia akan kebutuhan dasar dan gaya hidup terjadi banyak eksploitasi alam dan perusakan lingkungan secara masif yang berlangsung selama puluhan tahun. Maka tak heran, dengan meningkatnya gaya hidup manusia, seringkali membentuk perilaku hedonisme.

Perilaku ini menjelma bak “virus” yang penyebarannya semakin cepat melalui perantara teknologi informasi. Tak heran jika barang barang branded, rumah dan kendaraan mewah mejadi cita-cita baru bagi manusia.

Bahkan beberapa kelompok manusia, rela mengurangi kebutuhan primernya seperti asupan makanan, hanya untuk membeli sebuah gadget Apple terbaru. Tentu hal ini menjadi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, dimana manusia menggeser prioritas akan kebutuhan hidup menjadi gaya hidup.

Hedonisme, perilaku berlebih-lebihan yang menggerus keseimbangan disadari oleh mereka yang peduli akan kesederhanaan.

Beberapa kelompok manusia, membuat sebuah inovasi untuk membantu merubah mindset manusia agar dapat mengendalikan diri dari berkembangnya moderenisasi.

Inovasi gaya hidup tersebut adalah hidup minimalis. 

Apa itu tren hidup minimalis? Pada dasarnya, tren ini mencoba mengembalikan fungsi atau skala prioritas manusia dimana kebutuhan hidup jangan sampai tergeser oleh gaya hidup.

Lalu apakah kita tidak boleh memiliki gaya hidup? Tentu saja boleh, namun kita harus bisa mengontrol keinginan gaya hidup dengan memperhatikan kemampuan diri sendiri.

Bahkan gaya hidup tersebut jika dimanfaatkan dapat meningkatkan produktivitas manusia. Sehingga kita hanya akan membeli barang jika memang barang tersebut diperlukan.

Tren minimalis kini bukan hanya sekedar tentang membeli barang yang perlu dan tidak diperlukan. Tren ini kini berkembang pada kepedulian akan lingkungan hidup bahkan pada arsitektur bangunan.

Tren minimalis kini memikirkan apakah aspek kehidupan kita mengganggu kesehatan dan kelestarian lingkungan, seperti mengurangi penggunaan plastik, pakaian untuk jangka waktu panjang, kendaraan berbasis motor listrik, hingga masuk pada tren untuk menggunakan kendaraan umum sebagai alat mobilitas utama.

Dari segi arsitektur atau kebutuhan akan tempat tinggal, tren minimalis menghadirkan solusi bagi masyarakat urban yang tinggal di daerah pemukiman padat. Tren ini mencoba memanfaatkan ruangan yang tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan manusia, yaitu dengan mengoptimalkan ruangan rumah menjadi lebih efektif untuk digunakan.

Seorang arsitek Indonesia bernama Yu Sing memiliki semangat menghadirkan desain rumah ramah lingkungan bagi semua kalangan masyarakat. Konsep hunian yang dihadirkan Yu Sing memang sangat unik. Ia menghadirkan konsep hunian yang berkolaborasi antara alam dan manusia, agar memenuhi kebutuhan satu sama lainnya.

Bahan dasar rumah memanfaatkan material alam dan kearifan lokal seperti bambu, kayu, pelepah, dan sebagainya. Selain itu, Yu Sing memiliki konsep untuk memanfaatkan luas tanah yang bagi kebanyakan orang dianggap sempit, menjadi hunian yang layak, nyaman dan ramah lingkungan. Tentu sangat sejalan dengan tren minimalis diberbagai penjuru dunia.

Maka pandemi ini menjadi momentum perubahan perilaku umat manusia. Agar manusia lebih memperhatikan kepentingan bersama, mencegah diri dari melakukan kerusakan, meninggalkan hedonisme, dan belajar untuk mengembangkan hidup minimalis. Sehingga bumi ini dapat merasakan kembali keseimbangan alam yang telah lama ia rindukan.

Wa laa tufsidu fil-ardi ba’da islaahihaa wad’uhu khaufaw wa tama’aa, inna rahmatallahi qariibum minal-muhsinin. (QS. Al-A’raf: 56)

Referensi:
[1] https://www.cdc.gov/flu/pandemic-resources/1918-pandemic-h1n1.html
[2] https://www.worldometers.info/world-population/world-population-by-year/

Sumber gambar: 
Dokumentasi Pribadi 

Jumat, 08 Mei 2020

Pendidikan, Bajak Laut, dan Peradaban "New Normal"



Oleh Duddy Fachrudin 

"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Dokter senior dan terhormat di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta yang bilang begitu dalam pengantar di buku "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib" yang ditulis dr. Ade Hashman. 

Dulu ada buku yang berjudul "Jangan ke Dokter Lagi". Yang nulisnya padahal dokter. 

Mungkin suatu saat ada buku beredar dengan judul di sampul depannya bertuliskan "Jangan ke Psikolog Lagi". Yang nulisnya seorang psikolog. 

Mbah Jon Kabat-Zinn bercerita: 
Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan "Dr. Kabat-Zinn/ Departement of Medicine". Semuanya tergantung di balik pintu ruangan saya selama 15 tahun, tanpa terpakai. 

Baginya, memakai jas putih/ malaikat itu bukanlah esensi dari eksistensi. Yang sejati ialah saat mampu berinteraksi dengan perhatian penuh (mindful) dengan siapapun yang ada di hadapannya. Wherever you go, there you are

Di dunia yang serba mengagungkan materi, manusia acapkali mengejar eksistensi. 

Manusia berlomba-lomba dalam penampilan, citra diri (melalui pencitraan), kekayaan, dan kekuasaan. 

"Le, segala yang nampak itu palsu," Simbah memulai wejangannya. 

"Ojo gampang ditipu," katanya lagi. 

### 

UU Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara gamblang menegaskan bahwa fungsi Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: 

1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
2. berakhlak mulia; 
3. sehat; 
4. berilmu; 
5. cakap; 
6. kreatif; 
7. mandiri; 
8. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Kata kunci dalam pendidikan adalah ilmu. Dalam Al Qur'an kata tersebut dan kata jadiannya disebutkan hingga 780 kali. Prinsip dalam berilmu dan mencari ilmu sendiri tidak lain adalah aktivitas berpikir (afalaa ta'qilun, afalaa yatadabbarun, afalaa tatafakkaruun). 

Jika kita mengoptimalkan fungsi nalar sebaik mungkin dalam proses pendidikan atau mencari ilmu, maka karakter, watak, hingga akhlak mulia dapat maujud dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang mendapat amanat sebagai mandat-Nya di bumi. 

Namun distraksi kemelekatan materialis dan pola pikir kapitalis, serta kesombongan manusia telah mengikis serta mengkhianati potensi agung yang telah dianugerahkan Tuhan padanya. 

Al-Ghazali berpesan, "Ketahuilah wahai kekasih, manusia tidaklah diciptakan dengan main-main, ataupun secara serampangan, namun diciptakan secara mengagumkan untuk sebuah tujuan yang mulia." 

Kehidupan "New Normal" setelah pandemi bukan hanya terkait cara-cara baru dalam berinteraksi, bekerja, bepergian, dan menjalani aktivitas sehari-hari. 

Era baru ini adalah masa bajak laut sepeninggal Gold D. Roger. Yaitu jaman bajak laut yang humanis dan menjalani pelayaran dengan penuh kesadaran.  Bajak laut tanpa eksploitasi dan eksplorasi pemenuhan kebutuhan alias nirketamakan. Perompak yang justru tidak memfokuskan diri pada untung rugi serta dunia materi. 

Seperti halnya Luffy berkata, "Aku tak peduli di mana harta itu berada! Aku juga tak peduli apa One Piece benar ada atau tidak. Semua orang mempertaruhkan nyawa demi mencari jawabannya. Kalau semua rahasia itu dibuka sekarang... aku sebaiknya berhenti jadi bajak laut! Aku tidak suka melakukan petualangan yang membosankan!" 

Monkey D. Luffy, karakter yang diciptakan Sensei Oda dalam serial One Piece adalah representasi dari manusia "New Normal". 

Bertualang menikmati hidup dengan penuh kebersyukuran adalah esensi dibandingkan pencarian harta karun. Dalam pelayarannya ia merajut silaturahmi pada kawan maupun lawan. Penampilan dan gayanya yang sederhana (minimalis) justru menjadi sumber kekuatannya. Kalau dalam filosofi Jawa, "Sugih tanpo bondo". Kaya tanpa benda atau materi. 

Luffy memperjuangkan keadilan sosial berbasis gotong royong, meskipun tidak jarang ia mengalami banyak luka derita. Sebagai pemimpin Bajak Laut Topi Jerami ia menerapkan unboss dengan menghilangkan hirarki dan nirpencitraan sama sekali. 

###

Jepang bangkit pasca peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki. Jerman menjadi salah satu negara yang disegani di Eropa dan Dunia setelah robohnya sekat Berlin pada 9 November 1989. 

Bagaimana dengan Indonesia? 

Peradaban "SDM Maju Indonesia Unggul" harus diawali dengan tercapainya tujuan pendidikan, terciptanya manusia-manusia yang senantiasa berpikir berdzikir menggunakan nalar dan menjalani hidup sesuai kadar. Manusia kadar yang tahu batas, yang bisa "puasa" dalam gempita dan gemerlap dunia.

"Dan sing paling penting jadi manusia yang bisa sadar darimana dirinya, siapa dirinya, dan mau kemana dirinya. Itulah peradaban manusia modern, opo iku sebutane? Nu normal? Kalo ndak gitu, ya bukan namanya canggih atau modern, tapi kembali primitif. " Dhawuh Simbah padaku malam kemarin. 

Maka kembali pada persoalan: 
"Tidak semua dukun itu jahat. Tidak semua dokter itu baik." 

Corona yang bertamu mengetuk hati manusia ini bukan berarti jahat ataupun baik. Saatnya manusia belajar untuk tidak menilai dan menghakimi (non-judgement). 

Cukup memperhatikan tanda ataupun pesan yang dibawanya. Yang mengajak manusia membaca dan berpikir, lalu membangun peradaban "New Normal" sesuai yang dikehendaki-Nya.  

Iqra' bismi rabbilladzii khalaq 
Khalaqal in-saana min 'alaq 
Iqra' wa rabbukal-akram 
Alladzii 'allama bil-qalam 
'Allamal-insaana maa lam ya'lam 
  
Sumber gambar: 

Selasa, 05 Mei 2020

Masa Pandemi adalah Hari Raya



Oleh Duddy Fachrudin 

Dalam satu dekade ini banyak diskusi, penelitian, pelatihan, seminar, kajian online seputar mindfulness. Tak ketinggalan buku-buku hingga film-film terkait mindfulness berserakan. 

Mindfulness itu bikin bahagia. Membuat kita tenang dan terbebas dari stres serta kecemasan. Melepaskan jerat trauma dan depresi berkepanjangan.

Moso... hati ini tak percaya. 

Apalagi mindfulness dapat mengatasi panik di saat pandemi corona ini. Benarkah? 

Mindfulness itu hadir sepenuhnya, di sini, saat ini. 

"Tapi ketika saya hadir sepenuhnya, justru saya cemas dan panik. Pikiranku tidak kemana-mana, ada di sini, menyaksikan berita corona bertubi-tubi," aku mengatakan hal yang persis dikatakan orang-orang pada Simbahku. 

"Mindfulness iku opo sih Le?", takon Simbah. 

Dengan perut yang kenyang, malam itu akhirnya kami berdiskusi tentang mindfulness

"Intinya kesadaran Mbah," ujarku. 

Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Oh ilmu eling toh." 

Dalam kondisi mindful sejatinya pikiran dan perasaan membelenggu itu sirna. 

Simbah lalu bertanya, "Mereka ini, maksudnya orang-orang ini sadar tidak bahwa memang dunia itu tempatnya penderitaan?" 

"Waduh, aku ora weruh Mbah," balasku. 

Dalam tradisi psikologi berbasis spiritual, mindfulness memang memiliki korelasi dengan luka dan duka. Karena isi dunia bukan hanya cita, kesenangan, dan bahagia. 

Simbah lalu mengambil sebuah buku lalu membuka halaman demi halaman. 

"Nah ini..." wajah Simbah terlihat sumringah mendapatkan apa yang dicarinya. 

Laki-laki tua yang gemar kutangan ini lalu berkata, "Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi murid." 

Manusia itulah murid. Seperti Nabi Adam yang diajarkan nama-nama. Kita semua manusia senantiasa terus membaca (iqra) dan belajar, mencari dan bertanya. Lalu apakah hari raya? Apakah ia adalah hari kemenangan? Namun bagaimana ada kesukaran di saat kebahagiaan? 

Seperti saat ini. Begitu banyak derita akibat wabah corona. Kegelisahan, resesi, PHK dimana-mana, kelaparan, dan tentunya ketakutan. Bagaimana mungkin dibalik penderitaan itu adalah hari raya? Dongkol hatiku.

Simbah melihat raut wajahku yang bingung. "Kamu harus paham kata-kata itu. Yang bilang Ibnu Atha'illah." 

"Sang Arif Bijaksana?", tetiba suasana hatipun berubah menjadi lebih ceria. 

Petuah-petuahnya tidak diragukan lagi. 

Simbah lalu bilang, "Hari raya itu artinya saat kamu mendekat pada Gusti Allah. Orang yang mendapatkan kesukaran lebih mudah mengemis dan menangis sekaligus bermesraan sama Tuhannya." 

Jadi masa pandemi corona ini hari raya? 

Tarik napas sejenak... napas masuk... napas keluar...

Masih ora mudeng aku. 

Sumber gambar: 
Dokumentasi pribadi 

Minggu, 03 Mei 2020

Dialektika Dalgona Corona



Oleh Duddy Fachrudin 

Andaikan corona itu senikmat kopi dalgona, akankah engkau akan mereguknya dan membagi-bagikannya? 

Sayangnya corona bukanlah kopi dalgona. Ia penebar rasa takut akan keberlangsungan eksistensi manusia. 

Berita tentang corona disebarluaskan agar manusia memperhatikan dan waspada terhadap ancaman nyata di depan mata. 

Manusia lebih awas dan was-was:
-yang batuk, corona 
-yang bersin, corona 
-yang demam, corona 
-yang tiba-tiba tergeletak pingsan, corona 
-yang blablabla, corona 

Berstatus sebagai pembawa kepanikan, penyebab kematian, dalangnya PHK, aktor dari resesi ekonomi, popularitas corona saat ini nomor satu di dunia. Corona menjadi perbincangan setiap hari. 

Corona dimusuhi dan disumpahserapahi. 

Corona diteliti, ditelusuri secara ilmu bumi. 

Corona juga dikagumi karena berhasil membuat langit bersih dari polusi. 

Corona benar-benar menjadi selebriti. Apalagi pemerintah menyiarkannya saban hari. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan terkini. 

Tapi... 

Bagaimana jika corona itu adalah sesuatu yang baik, nikmat, dan bikin selamat dunia akhirat. Apakah orang-oarang akan mendatanginya dan menyiarkannya? Apakah kemudian pimpinan negara dan bangsa akan mewartakannya setiap 24 jam kepada rakyatnya? 

"Opo sing enak karo gawe slamet Mbah, " tanyaku pada Simbah sore itu. 

Simbah menimpai, "Lalalah, kamu itu manusia berpendidikan. Kuliah sampai es es es san takon sama Simbahmu yang cuma kutangan." 

Simbah cengar cengir menatap wajahku yang kebingungan. Tapi senyum itu setidaknya bukan cengengesannya para manusia takabur saat awal corona menyapa negeri manusia. 

Sejurus kemudian Simbah bilang lagi, "Kurang ajar betul kalau setelah corona pulang manusia-manusia ini tidak berubah. Kapitalisme yang memuja eksplorasi dan eksploitasi tanpa batas saat ini ketar ketir dihantam corona. Tobat... tobat. Globalisasi materialisme sudah tak berarti lagi. Corona telah menelanjangi kebobrokan ahlak dan gaya hidup manusia." 

Sejenak Simbah menyeruput kopi pahitnya, "Artinya kapitalisme dan materialisme sekaligus hedonisme iku ojo dijadikan peganganmu urip nang dunyo iki, anakku... Tak perlu bermegah-megahan, apalagi sikut-sikutan meraih pucuk kepemimpinan. Coba ndelok corona, tak kasat mata. Ora perlu eksistensi untuk menjadi hebat." 

Simbahku menatap wajahku yang dungu dengan teguh. 

"Le, hidup nikmat lan slamet iku ya sumeleh... Meleleh dalam tresno Gusti Allah. Ndak penting kamu jadi apa, pake baju keren atau kutangan gini. Sing penting kamu rela, ridho, ikhlas menjalani semuanya. Untuk bisa ke arah sana gunakan ilmumu untuk mencinta Tuhanmu, mencinta Muhammad Nabimu... 

Kalau kamu cinta, itu seperti meleburnya susu putih sama kopi kentel di dalgonamu itu. Gimana rasakne?" 

Aku cuma bisa mengangguk. "Nggeh Mbah." 

Lagi-lagi Simbah nyerocos kayak sepur malam, "Kamu itu mandat-Nya, diciptakan dengan tujuan mulia, menanam benih manfaat buat generasi selanjutnya. Nandur. Iku sing arane menungso." 

Aku lagi-lagi mengangguk kayak wayang yang sedang dimainkan dalang. 

Dalam diam aku termangu, lalu kuberanikan menyampaikan seuntai tanya kepadanya. 

"Kalau corona itu baik dan membaikkan, nikmat bin membuat selamat dan itu bernama sumeleh, mencintai-Nya dan utusan-Nya, tidak bermegah-megahan, tidak materialis dan tidak kapitalis... Apakah pemimpin akan memberitakan sekaligus mengingatkan warganya untuk berlaku demikian?" 

Senja sore itu mulai tenggelam.

"Pemimpin itu kan ndak harus presiden dan menteri toh. Pemimpin itu ya semua orang. Ketoke kamu sudah mulai waras dadi menungso... 

Jadilah bergerak tanpa terlihat, lalu membelah diri hingga dua, empat, delapan hingga tak berhingga... Jadilah cinta, jadilah dalgona. Tapi untuk itu kamu akan melewati fase kepahitan seperti kopi yang diminum olehku... Sampai kamu merdeka dan memiliki kedaulatan. Dan tetaplah setia dengannya. 

Berjalanlah... berjalanlah." 

Simbah menyeruput sisa terakhir kopi pahitnya. 

Senja akhirnya benar-benar tenggelam. 

Dalam hati aku bergumam, "Membelah diri?" 

Sumber gambar: 

Kamis, 30 April 2020

Mengemis Meringis di Tengah Pandemi



Oleh Duddy Fachrudin 

Ternyata corona memang benar-benar tamu agung bagi penduduk bumi. Ia bukan mahluk kecil dan tengil yang menjadi bahan cengengesan manusia tempo hari. 

Kamu ikut tertawa angkuh kan? 

Kini, kamu, manusia, menangis meringis dan mengemis tak berdaya serta putus asa. 

Aku mengemis kepada-Nya bukan untuk memohon agar corona tak mendatangiku. 

Aku putus asa dan tak berdaya melihat tingkah manusia yang sok berkuasa atas tanahnya; memangnya itu tanahmu? Sehingga kamu berhak mengusir jenazah saudaramu. 

Bahkan tubuhmu bukanlah milikmu. Rambut hingga ujung kuku kakimu bukanlah milikmu. 

Tanah, air, udara, bumi, dan semesta raya bukan milikmu. 

Manusia tak pernah memiliki apa-apa. 

Namun, manusia ya manusia. Berusaha menjadi akbar dengan berkoar-koar. Negara adidaya dan besar itu saja kini lumpuh dan jatuh. 

### 

Siapakah kita manusia? 

Langit, bumi, dan gunung saja menolak untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Manusia dhalim dan dungu yang kemudian menerimanya. 

Sampai dungunya keterusan hingga akhir jaman. 

Siapakah kita manusia? 

Telah datang utusan-utusan-Nya sebagai teladan. Membawa kebutuhan pokok bagi umat manusia. Mereka nyangoni generasi selanjutnya dengan hikmah. 

Tapi kemudian manusia membuat kebutuhan-kebutuhan primer lain yang sejatinya bukan yang utama. 

Sejak revolusi industri, peradaban manusia memang lebih canggih. Tapi kerakusan dalam pemenuhan kebutuhan pun semakin obsesif dan menjadi-jadi. 

Siapakah kita manusia? 

Setelah usai pandemi, manusia berandai-andai apa yang ingin dikerjakannya. Seolah selama ini tersiksa dan tertawan dalam penjara yang melelahkan. 

Kamu mau melakukan apa?
-jalan-jalan sambil kulineran 
-nongkrong bersama teman semalaman 
-cari uang sebanyak-banyaknya dan berpesta pora 

Sementara jawaban Simbah, 
"Le, aku tetep nang omah... Omah Tuhan, " dhawuh-nya sambil mengarahkan telapak tangan kanannya pada bagian dada kirinya. 

Siapakah kita manusia? 

Di sini baru aku benar-benar menangis, tak berdaya mendengar jawaban jujur apa adanya. 

Jawaban Simbah yang sekaligus menempeleng hatiku yang tak memahami kebutuhan utama sebagai prioritas hidup. 

Asyhadu an-laa ilaaha illallaah 
Wa asyhadu anna Muhammadan-rasuulullah 

Inilah aku, manusia dungu yang alpa bahwa syahadat adalah puncak segala ilmu. 

Sumber gambar: 
   

Sabtu, 25 April 2020

Corona dan Kesadaran untuk Kembali



Oleh Duddy Fachrudin 

Salah satu praktik hidup berkesadaran atau mindful living adalah dengan menerapkan gaya hidup minimalis. 

Sayangnya hidup minimalis yang tidak materialis dan nirkapitalis ini tidak mudah dan penuh tantangan. 

Serbuan keinginan dari alam pikiran dalam pemenuhan kebutuhan tak bisa direm, dipuasai, dan dikendalikan. 

Akhirnya manusia cenderung berlebihan dalam menjalani kehidupan. 

Perut menjadi buncit, lingkungan tercemari sampah serta polusi, dan perilaku konsumtif yang destruktif adalah contoh nyata dari degradasi akhlak manusia. 

Eksplorasi dan eksploitasi pemenuhan kebutuhan menggerus tatanan keseimbangan.  

Saat di-KO corona, manusia kelimpungan.

Maka jangan sok latah dengan hashtag "lawan corona". Dalam menghadapi tamu agung yang diperjalankan Tuhan ini, justru manusia perlu melawan dirinya sendiri.

Karena kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berlalu. 

Meski bisa diprediksi dengan logika matematika, akhir dari pandemi ini masih menjadi misteri. 

Bukan lagi bulanan, tapi satu dua hingga lima tahun sejak awal mula kasus ditemukan. Itupun jika manusia mampu mengalahkan dirinya. 

Dan ini adalah peringatan akhir jaman di peradaban yang begitu sarat konflik dengan Tuhan. 

Semakin teknologi maju, manusia justru semakin angkuh. 

Dengan berbagai cara dan upaya, manusia ingin hidup abadi. "Hidup 1000 tahun lagi," kata Chairil Anwar. 

Simbah berpesan, "Elingo sangkan paranmu." 

Sementara Sabda Nabi, "Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian." 

Ihdinas shirootol mustaqiim. 

Sumber gambar: 

Kamis, 23 April 2020

Hidup Minimalis di Tengah Pandemi




Oleh Duddy Fachrudin 

Di dunia, sudah 5 bulan corona bertamu, 
sementara di negeri ini, virus itu sudah diperjalankan Tuhan sejak awal maret lalu. 

Kita tidak tahu sampai kapan ini berlalu, 
maka... 

Bagi yang terbiasa puasa atau makan seadanya, kemampuan atau potensi ini sangat dibutuhkan di masa pandemi.  

Puasa itu kemampuan untuk hidup minimalis, 
yang tidak materialis dan tidak kapitalis.

Contohnya dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, 
berapa sesungguhnya pengeluaran untuk mengisi sistem pencernaan?  

Hidup minimalis itu hemat pengeluaran, dan menahan diri dari hal yang tidak berkepentingan. 

Simbahku yang terbiasa makan gaplek dan tempe mayit berpesan kepadaku tempo hari, 

"Urip iku dudu urusane weteng, kowe ndelok uripe Kanjeng Nabi, mangane sitik..." 

Gara-garanya aku mencoba hidup apa adanya: 100 ribu untuk makan satu minggu! 

Kata orang ndak mungkin makan cuma 100 ribu, sekali makan aja 20 ribu. 

Bener juga kata mereka, tapi itu berlaku di kota besar, lah wong aku urip di kota yang UMK nya cuma 2 juta. 

Belanja mingguan 100 ribu: 
-dada ayam sekilo: 30.000 
-ikan kembung atau telur setengah kilo: 12.500 
-tahu dan tempe: 10.000 
-sayuran (bayam, kangkung, sawi putih, toge, dan daun singkong): 12.500 
-rempah-rempah (bawang merah & putih, cabe, kunyit, jahe, ketumbar, dan merica): 20.000 
-buah-buahan: 10.000 
-masih bisa belikerupuk mentah buat cemilan: 5000 

dari bahan-bahan ini bisa dikelola untuk kebutuhan makan 2 hingga 4 orang selama satu minggu. 

Belanja bulanan 250 ribu:
-beras 3kg: 35.000 
-minyak goreng 6 liter: 70.000 
-garam, penyedap rasa, dan gula: 25.000
-gas 3 kg: 22.000 
-air mineral 4 galon: 60.000 
-masih bonus belanja lain-lain: 38.000 

Total satu bulan pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan satu keluarga sekitar 650 ribu. 

Jika penghasilan seseorang 2 juta selama sebulan, maka pola ini sesuai aturan pengaturan keuangan 1/3, 
yang bersumber dari hadis Nabi.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. menceritakan seorang petani yang diberkahi usaha dan hartanya, dan beliau bersabda:

"... maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku
1) bersedekah dengannya sepertiganya,
2) makan bersama keluargaku sepertiganya lagi,
3) mengembalikan (untuk menanam lagi) sepertiganya."

Inilah konsep hidup minimalis, zuhud, dan belajar untuk tidak materialis. 

Dengan pendapatan 2 juta saja, masih bisa menabung (poin 3) dan bersedekah (poin 1). 

Selain itu, terdapat 2 keuntungan lainnya dengan menerapkan pola hidup ini:

1. Sehat, dengan berat badan terjaga dan imunitas kuat, terhindar dari penyakit seperti diabetes, hipertensi, dan jantung yang diakibatkan gaya hidup tidak sehat (khususnya dalam pemenuhan makanan), karena imun kuat juga bisa melawan coronavirus yang menyerang tubuh 

2. Karena dapat mengelola perut, maka mudah mengelola keinginan sehingga tidak berlebihan dalam menjalani kehidupan 

Bagaimana jika pendapatanmu lebih dari 2 juta, 3 juta, 5 juta, 10 juta... 

Tetaplah minimalis.

Sumber gambar: 

Kamis, 09 April 2020

Gembel Mudik di Tengah Corona


Oleh Duddy Fachrudin 

Kita itu butuh mudik 

Kita? 

Kita: manusia yang terdidik 
Manusia yang menjadi manusia 

### 

Terdidik itu mengalami pendidikan 
Jiwa dan akalnya ditempa oleh kehidupan 
Jiwa dan akalnya tak mau menjadi budak penjajahan pikiran 

Sampai manusia sadar bahwa dirinya tak perlu embel-embel 
Sadar kalau dirinya gembel 

### 

Itulah mengapa manusia puasa 
Puasa dari mengembel-embeli dirinya 

Yang berhasil maujud menjadi fitri 
Sesuai hakikat ruhnya yang suci 

### 

Itulah mudik sejati

Mudik yang lebih penting dari mudik kultural yang selama ini kamu jalani 

### 

Corona bertamu,
tok tok tok...

Ben kamu mudik sejati 

### 

Ben kamu dadi sebenere menungso 

### 

Karena globalisasi yang menuhankan materi ini manusia lupa jati dirinya 

Lupa untuk mengisolasi dirinya 

### 

Manusia asyik menjadi follower 
Mencari sesuatu di luar dirinya hingga muter-muter 

Mubeng-mubeng kluwer-kluwer 

Akhirnya keder 

### 

Setiap hari adalah hari raya 
Setiap hari menjadi sejatinya manusia 

### 

Menjalani simulasi di surga
Tak ada kejahatan, korupsi, dan segala kepalsuan 

Yang ada hanyalah suap-menyuap kasih sayang 

### 

Sekiranya itu hasil dari mudik sejati

Menebarkan cinta dan kebermanfaatan,
sebagai gembel tanpa embel-embel:
ingin dihormati, ingin dikenali, ingin dicintai 
 
Sumber gambar:

Selasa, 24 Maret 2020

Covid, Hafidh, Lockdown, dan Vektor Hati


Oleh Duddy Fachrudin

Manusia diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Virus diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Dalam kegelapan malam, Nabi diperjalankan
Tuhan memperjalankan

Semua diperjalankan
Tuhan memperjalankan

###

Semua diberhentikan
Tuhan memberhentikan

Ikhlas menerima apapun yang datang
Ikhlas menerima apapun yang pergi

Datang untuk pergi
Pulang untuk kembali

###

Diperjalankan dengan aneka tanya yang berkelindan
Jawaban-jawaban hanya ada saat melalui jalur pendakian

Seperti Nabi yang mendaki
Seperti Mereka yang senantiasa bersuci

Atau Mereka yang berdiam diri
Menembus samudera cinta hakiki

Melepaskan diri dari jerat eksistensi materi,
untuk menghirup cahaya esensi

###

Ada covid
Ada pula hafidh

Kamu covid atau hafidh?

Hafidh pemelihara
Covid pembawa bencana dengan tingkah lakunya

###

Tak pernah bertanya akar dari masalah
Hanya mencoba mengobati dan berupaya mencegah

Mata sembab melihat jasad tergeletak di bumi tak berpetak

Lalu pernahkah bertanya sebab dari semua ini?

###

Hafidh diperjalankan
Covid diperjalankan

Ada hafidh tetap hafidh
Ada hafidh menjadi covid
Ada covid selalu covid
Ada covid berubah wujud menjadi hafidh
Ada pula hafidh berwajah covid

###

Kenapa mesti berawal di Cina?
Kenapa mesti tak kasat mata?
Kenapa mesti menjelang puasa?
Kenapa mesti melalui peringatan hari dimana Nabi mengalami perjalanan luar biasa?

Pernahkah pemimpin dunia bertanya?

###

Ada shiyam
Ada shoum

Lockdown itu shiyam sekaligus shoum

Shiyam puasa makan minum dalam sehari
Shoum lebih luas lagi, menahan diri

Shiyam dan shoum meningkatkan iman dan imun

Masa kamu tidak mau melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kelangsungan hidupmu?

###

Tapi nanti depresi
Resesi ekonomi
Dapur tak mengepul lagi

Dengan bilang seperti ini, kamu sudah menjadi orang yang merugi

Manusia kufur yang tak bersyukur

Hidup ini hak guna, sejak kapan hidup menjadi hak milik?

###

Sejak materi mendominasi

Akhirnya jadilah penganut materialisme
Jadilah menuhankan kapitalisme

Semua dilihat dari untung rugi duniawi

###

Maka, beruntunglah mereka yang tak menikahi dunia

Seperti Nabi,
yang perlu diteladani dan diikuti

Makan dibatasi
Stok pakaiannya hanya untuk 2 hari
Rumahnya sangat kecil dan sempit sekali
Semua kekayaannya dibagi-bagi

###

Derita umatnya saat ini tak ada apa-apanya dibanding deritanya

Semua anak cucunya mati
Pernah diracun, disantet, diludahi, dan dicaci maki
Dilempar kotoran, dikucilkan, dan diusir dari kampung halaman

Yang tak menyukainya menyeru, "Tangkap... hidup atau mati!"

###

Tapi Nabi yang paling sering menangis dan mengemis dalam sujudnya

Cinta dan takut beriringan mengisi ruang hati
Tertuju satu hanya pada Ilahi

###

Dan salah satu do'a favorit Nabi:

"Ya Tuhan, hidupkan aku keadaan miskin dan bangkitkan aku kelak bersama orang-orang miskin."

Kamu pernah berdo'a seperti itu?

###

Sehat itu tak hanya fisik
Sehat itu holistik

Sehat mental, sosial, dan spiritual

Juga sehat finansial

Tapi kalau melihat Nabi, ia begitu sangat tidak sehat finansial

Namun begitu, riwayat sakitnya hanya 2 kali

###

Andai Nabi melihat bencana ini ia sangat bersedih

Sedih bukan karena jumlah yang mati

Sedih karena melihat kepongahan manusia
Meringis karena banyak yang mengaku mencintainya, namun nyatanya tipu-tipu belaka

###

Ini bukan lagi soal lockdown atau herd immunity

Ini masalah vektor hati

###

Hati yang perlu isra' dan mi'raj,
melintasi berbagai dimensi

Referensi:
Bagian shiyam, shoum dan Nabi terinspirasi dari buku dr. Ade Hashman yang berjudul, "Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib", penerbit Bentang

Sumber gambar:
https://emphaticallynomadic.com/how-to-find-yourself-through-a-spiritual-journey/

Selasa, 17 Maret 2020

Jeda Corona: #WelcomeToSelf


Oleh Tauhid Nur Azhar

Ini saat-saat paling tepat untuk mengenal diri, manusia dan kemanusiaan serta maksud kehadiran.

Ternyata kita rapuh dan sementara. Tak abadi dan bukan esensi. Ada yang hakiki yang senantiasa memberi dan menjadi tempat kembali. 

Kalau kita introspeksi, acapkali kita kerap saling manyakiti, menzalimi, demi sekedar mengamankan kepentingan pribadi. 

Peduli pada diri sendiri jauh melebihi dari peran diri dalam porsi semesti. Proporsi secara multi dimensi masih jauh panggang dari api

Ketakutan dan kecemasan membuka kedok kesejatian. Saat ini jika kita bercermin tampaklah sosok ringkih itu...

Yang menjerit penuh ketakutan, dicekam dengan berjuta kekhawatiran, lalu berteriak marah pada setiap orang yang sebenarnya juga ringkih dan ketakutan. 

Karena marah, kecewa, dan sedih berlebihan kita kehilangan arah hingga mengerut dalam pusar carut marut lalu perlahan larut dalam emulsi homogen berbau kentut. 

Ya... kita menjadi ampas tanpa esensi, yang hanya berbau tanpa tahu apa yang kita mau. 

Panduan arah memudar, kadar nalar turun hingga tak tertakar lalu perlahan bersama semua sikap kontra produksi mengubur sadar jauh di bawah serabut akar peradaban yang melahirkan pohon kemanusiaan. 

Maka menyelami tafakur, berpikir melipir dan terpekur dalam dengkur semesta yang saat ini seperti mendapat rehat sesaat dan bisa tidur mendengkur. Sekedar mengukur betapa tua dirinya yang telah melayani kerakusan manusia dan berbagai drama yang tercipta di dalamnya. 

Saya tidak lagi hendak bicara dalam wacana angka ataupun logika. Banyak narasi positif tentang hidup, banyak narasi destruktif soal kepastian. 

Virus bukan lagi soal tekno hayati, ia telah berubah menjadi pandemi hati. Hati yang kini inflamasi, meradang dalam cahaya terang yang sedemikian benderang hingga membuat benak panas dan serasa akan meledak. 

Berpikir dan berzikir lalu menjalani takdir, demikian idealnya. Meski ternyata banyak dari kita tenggelam dalam doa sementara di sela-selanya tak henti pula mencaci dan menyesali semua yang telah terjadi. 

Sekali lagi, yang telah terjadi itu dicari inti lalu dibuat sari. Yang tengah dijalani itu dinikmati dan disyukuri. Juga jika itu masalah mari dicari solusi. 

Bisa jadi inovasi dan warisan indah untuk generasi yang mengikuti. Lalu nanti? Ya diterawang dulu dalam bentuk bayang yang sudah mulai mengambang karena ada cahaya pengetahuan yang membuatnya membentuk tanda sebagai bagian dari cakrawala perjalanan di media hidup yang telah terbentang. 

Jadilah manusia jujur yang ringkih dan rapuh, karena sejujurnya itulah kita... hingga kita menipu diri sendiri dan bermain dalam proyeksi palsu yang pasti semu dan tak lekang oleh kepentingan dan waktu. 

Dengan jujur bahwa kita ringkih dan rapuh kita akan butuh dan merasa tak utuh.

Sumber gambar:

Sabtu, 14 Maret 2020

Kesehatan, Corona, dan Puasa


Oleh Duddy Fachrudin

Setelah menderita ALS di usianya yang ke-21, Stephen Hawking diprediksi tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 tahun. Nyatanya ia kemudian bisa terus melanjutkan hidupnya selama 55 tahun, meninggal di usia 76 tahun.

Kesehatan, meski dapat diukur secara empiris melalui berbagai variabel fisik, masih menyimpan sejuta misteri. Bahkan, kesehatan bisa menjadi rahasia dan urusan Tuhan. 

Para centenarian yang diteliliti oleh Dan Buettner di lima wilayah dunia menghasilkan kesimpulan bahwa kualitas kesehatan manusia yang berusia 100 tahun itu dipengaruhi oleh jamak faktor. Bukan melulu soal makanan dan aktivitas gerak, melainkan kehidupan sosial, kualitas mental, hingga terkait ritual atau kepercayaan tertentu yang mereka anut. 

Maka, kesehatan sesungguhnya berkah. Hadiah dari Allah Swt. yang perlu dirawat dan dijaga dengan penuh cinta dengan menjadi dokter bagi diri sendiri. 

Hal ini lebih penting lagi dan mendesak di kala situasi pandemi virus corona di berbagai belahan dunia. Individu yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah, para lansia, mereka yang memiliki kadar gula tinggi, hipertensi, penyakit jantung, dan permasalahan pada paru-paru lebih rentan terpapar Covid-19.

Jeda dan karantina adalah suatu yang niscaya. Bukan hanya bertujuan menghentikan transimisi virus, tapi juga sebagai ajang puasa diri dari perhelatan dunia.

Bukankah Le Chatelier pernah bilang bahwa saat sistem kesetimbangan mengalami perubahan, maka ia berusaha menyesuaikan dirinya untuk kembali pada kondisi kesetimbangan baru? 

Mungkinkah dunia ini sudah berada dalam "ketidaksetimbangan" akibat perilaku manusianya? Jika iya, maka puasa adalah salah satu bentuk mengembalikan kesetimbangan individu dan juga tatanan sosial.

Puasa dari makan minum berlebihan dapat menormalkan kadar gula darah dan tekanan darah, meningkatkan imunitas, serta pastinya menyehatkan organ tubuh.

Kemudian puasa dari perbuatan, perkataan, pikiran, dan perasaan negatif.

Puasa dari memperlakukan alam seenaknya.

Puasa dari gaya hidup kotor yang tidak memperhatikan kebersihan.

Dan tentu saja puasa dari materialisme dan kapitalisme.

Kebijakan "karantina" di berbagai negara atau daerah adalah hikmah sekaligus momentum perbaikan. Apalagi 11 hari dari sekarang adalah Hari Raya Nyepi dan 40 hari lagi adalah awal Bulan Ramadhan.

Selamat jeda. Selamat berpuasa.

Sumber gambar:
https://publichealthmatters.blog.gov.uk/2020/01/23/wuhan-novel-coronavirus-what-you-need-to-know/