Tampilkan postingan dengan label Belajar Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Belajar Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Januari 2025

Menyelami Sejenak Ruang Bernama Kehidupan #bagian 1

Oleh Duddy Fachrudin 

Di akhir tahun saya mendapat tawaran mengajar psikologi untuk korporasi di empat daerah negeri ini. Dua diantaranya di luar pulau Jawa. Alhamdulillah, dari keempatnya terealisasi satu saja.

Jika keempatnya terlaksana tentu sangat senang sekali. Apalagi psikologi sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan ini diperlukan setiap orang di jaman yang serba tak pasti. Namun karena ketidakpastian pula, ketiganya urung terjadi.

Dalam kondisi seperti ini yang bisa dilakukan hanya menerima, bahwa segalanya tidak sesuai rencana, sambil kemudian terus menata, memperbaiki diri dari ke hari sehingga siap untuk menyambut mentari.

Meski, setiap hari bisa saja yang datang tak hanya mentari. Mungkin ia yang hadir adalah kecewa dan rasa frustasi. Atau cemas serta depresi. Kata Rumi, mereka semua merupakan tamu yang perlu disambut dengan hangat dan riang gembira. Memeluk derita sama halnya merangkul bahagia.

Namun, bagaimana mungkin orang biasa seperti Judin paham mengenai konsep itu. Laki-laki yang hanya berpenghasilan 30 ribu per harinya itu harus menghadapi kenyataan yang menyayat sendinya. Hutang yang menumpuk diwariskan oleh orangtuanya. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil alih nahkoda rumah tangga yang oleng bagaikan Titanic setelah menabrak gunung es di lautan luas itu.

Sore itu ditemani Juwita, Judin mengungkapkan gelisahnya. “Sebenarnya kalau mau kita bertiga, ya kakak dan adikku berjuang bersama melunasi hutang-hutang itu.”

“Mbok sendiri bagaimana?” tanya Juwita.

Dalam duduknya Judin mengehela nafas teringat keinginan kuliahnya dicegah oleh ibunya sendiri. Kedua tangannya menyangga tubuhnya yang ringkih. “Andai saja aku kuliah Wit! Setidaknya aku bisa memperbaiki keadaan sekarang.”

Berkali-kali Judin menilai dirinya bodoh dan tak bisa apa-apa. Namun dibalik itu ia yang menanggung segalanya.

Kehidupan itu… sebenarnya apa? Tanya Judin dalam relung hatinya. Sementara senja mulai menyapa dirinya serta Juwita.

Pun tanya itu pula yang kemudian direnungkan oleh para pembelajar dari berbagai generasi di sebuah korporasi, suatu hari akhir tahun itu.

“Perjalanan!” seru seorang anak muda. Di satu sisi, seorang laki-laki berusia 50an, berkata bahwa hidup ialah kebersyukuran.

“Hidup itu stres ya Wit,” Judin kembali mengungkapkan keluhnya.

Bersambung…

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 25 November 2024

Forest Therapy: Inovasi Kesehatan dari RSUD dr. Soeselo Slawi



Oleh Duddy Fachrudin & Andry Dahlan 

Covid-19 telah memporak-porandakan kehidupan manusia. Pandemi yang berlangsung tiga tahun lebih itu memberikan pelajaran bahwa manusia sangat tidak berdaya oleh mahluk tak kasat mata. Berbagai bidang, seperti kesehatan, perekonomian, pendidikan, pariwisata, dan kehidupan sosial terkena dampaknya.

Khusus dalam kesehatan, kematian akibat virus SARS-Cov-2 mencapai 7 juta lebih di seluruh dunia[1]. Namun jumlah aslinya bisa 4 kali lipat dari data yang dilaporkan[2]. Sementara jumlah yang terinfeksi 1/11 dari total penduduk bumi[1]. Bagi yang terinfeksi kemudian dinyatakan sembuh, ternyata gejala Covid-19 masih memungkinkan untuk tetap ada atau menetap, khususnya terkait kelelahan dan fibromialgia[3].

Melihat fakta tersebut, manusia kemudian berupaya menata kembali diri dan kesadarannya akan kesehatan. Manusia ingin mengubah gaya hidupnya untuk menjadi lebih sehat. Upaya promosi dan prevensi lebih diutamakan dibanding pengobatan secara kuratif serta rehabilitatif. Program-program wellness menjadi perhatian khusus dan digemari saat ini. Bahkan mereka yang melakukan perjalanan untuk berlibur memiliki tujuan untuk mengembangkan kesehatannya, alih-alih hanya sekedar wisata yang bersifat hiburan dan kesenangan. Salah satu pendekatan dari aktivitas wellness tersebut ialah forest therapy berbasis mindfulness.

Mindfulness sendiri merupakan keterampilan dalam memberikan perhatian secara murni terhadap realita yang ada, baik internal maupun eksternal. Dunia internal meliputi batin manusia itu sendiri, seperti pikiran dan perasaan, serta sensasi tubuh yang acapkali tidak disadari benar sehingga menimbulkan konsekuensi perilaku yang kemrungsung, reaktif, impulsif, hingga kompulsif. Sementara dunia eksternal, yaitu segala sensasi dan informasi yang masuk melalui Indera yang juga seringkali mudah dihakimi saat manusia itu sendiri tidak benar-benar hadir sepenuhnya. Efeknya stres yang jika tidak dikelola hingga kronis dengan tepat menimbulkan gawat pada imunitas tubuh yang menjadi lemah.

Maka kehidupan pasca Covid-19 ialah penataan diri (baca sistem imun) agar siap menghadapi pelbagai kemungkinan dari serangan patogen berbentuk fisik serta psikologis, yaitu virus dan stres psikologis itu sendiri. Virus kian hari pandai bermutasi, sementara paparan kehidupan modern dan dunia digital penuh dengan stresor.

Banjirnya informasi melalui sosial media, eksposur polusi perkotaan, kebisingan, kepadatan, hiruk pikuk, dan kehidupan yang terus memburu membuat pikiran keruh dan hati kisruh. Jiwa merindu hening untuk kemudian terkoneksi dengan alam, Tuhan, dan kemanusiaan. Dibalik ketidakseimbangan hidup yang dijalani, forest therapy hadir sebagai solusi.

Adalah RSUD Slawi yang mengawali. Dokter Guntur M. Taqwin sebagai direktur menginisiasi inovasi suatu layanan terapi dengan pendekatan “mandi” di hutan. Simulasi dilakukan di hutan Guci yang tidak jauh dari rumah sakit. Bersama rekan-rekan dokter alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Angkatan 80an, kami menjelajahi manfaat dari hutan untuk kesehatan bersama.

Menemani dokter Andry Dahlan yang sudah lebih dahulu mempelopori medical wellness tourism dan hospital without wall, kami berbagi seputar forest therapy selama dua hari. Hari pertama sharing mengenai forest therapy secara singkat. Kemudian di hari kedua melakukan aktivitas sederhana forest therapy berbasis mindfulness atau forest bathing.

Ragam aktivitas bisa dilakukan selama melakukan “ritual” mandi di hutan. Dokter Qing Li, direktur Forest Therapy Society di Jepang menguraikan beberapa diantaranya, forest walking, yoga, eating in the forest, hot spring therapy, tai chi, meditasi, breathing exercise, aromatherapy, dan art therapy[4]. Selama 1 jam 30 menit, kami letakkan sejenak handphone lalu mempraktikkan yoga, berjalan kaki dengan kesadaran, meditasi, dan praktik tui shou, salah satu latihan dari tai chi. Kegiatan tak melulu hening, karena interaksi antara kita menghasilkan harmoni cerita dan tawa. Pakde Edy Raharjo, yang juga seorang dokter spesialis saraf tak segan untuk memberikan hikmah dari aktivitas forest therapy, yaitu agar kita senantiasa adaptif dalam menjalani kehidupan.

Kembali kepada sistem imun tubuh manusia, aktivitas forest bathing menghasilkan peningkatan dalam sel Natural Killer (NK). Tiga protein dalam sel NK, yaitu GRN, perforin, dan GrA/B meningkat, yang berarti sel NK lebih sehat dan kerjanya lebih siap serta lebih baik dalam melawan sel-sel jahat[5]. Saat di alam dan terpapar fitonsida, mikrobiota usus kita juga mengalami perubahan yang lebih positif[6]. Hippocrates bilang, “All disease begins in the gut”, dengan kata lain kesehatan dan sistem imun yang baik bermula dari usus. Kuncinya ada pada komposisi mikrobiota usus, begitu kata Giulia Enders, seorang ahli gastroenterologi di Jerman.

By the way… berbicara tentang gastroenterologi, jadi ingat obrolan dengan Om Janu Dewandaru di stasiun kereta mengenai tiga penyakit yang sering dialami para pegawai. Nomor 1 dan 2 berhubungan dengan sistem pencernaan atau gastrointestinal. Kemudian yang ketiga ialah back pain. Urusan weteng (perut) memang perlu dijaga, karena Nabi Saw. berkata, “Sumber dari penyakit adalah perut”. Kata-katanya sama persis dengan Hippocrates.

Pendekatan “sumber penyakit” atau akar penyakit dalam konteks kedokteran mengacu pada functional medicine. Berbeda dengan conventional medicine yang banyak diajarkan di fakultas kedokteran, functional medicine menekankan pada kebutuhan pasien yang merujuk pada sumber penyakitnya, bukan alih-alih hanya sekedar diberikan obat untuk mengatasi gejala. Dengan kata lain functional medicine lebih integratif, memandang semua sistem dalam tubuh berhubungan yang orientasinya pada kesehatan, bukan penyakitnya.

Bukankah setiap orang menginginkan dirinya sehat? Angka harapan hidup yang semakin tinggi perlu ditunjang pula dengan kesehatan yang prima, agar kelak manusia dapat menjadi manfaat, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain. Bahasa dr. Andry Dahlan, yaitu “Inspiring before expiring”.

Semoga inovasi forest therapy berbasis mindfulness kelak dikembangkan dan diaplikasikan RSUD dr. Soeselo Slawi. Semoga semuanya sehat. Semoga semuanya bahagia.

Referensi:
[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-cases/
[2] https://news.detik.com/abc-australia/d-5973584/angka-kematian-covid-tembus-6-juta-orang-jumlah-sebenarnya-bisa-4-kali-lipat-lebih-tinggi
[3] https://www.apta.org/article/2023/01/27/long-covid-cfs-fms-comparison
[4] Li, Q. Into the Forest: How Trees Can Help You Find Health and Happiness. London: Penguin Books 2019.
[5] Garcia, H., & Miralles, F. Forest Bathing: The Rejuvenating Practice of Shinrin Yoku. North Clarendon: Tuttle 2020.
[6] Santhiravel, S., Bekhit, AEA., Mendis, E., Jacobs, JL., Dunshea, FR., Rajapakse, N., & Ponnampalam, EN. The impact of plant phytochemicals on the gut microbiota of humans for a balanced life. Int J Mol Sci 2022; 23(15):8124. doi: 10.3390/ijms23158124. PMID: 35897699; PMCID: PMC9332059.


Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/11/diskusi-forest-therapy-di-stasiun-kopi.html

Rabu, 06 November 2024

Inilah Keterampilan Psikologis yang Perlu Diasah Gen-Z untuk Sukses di Tempat Kerja



Oleh Duddy Fachrudin 

Sore hari, setelah kuliah berakhir, Ainu, mahasiswa dari Bumiayu itu sejenak mampir di sebuah kafe bernama Kopi Mangkir. Setelah memesan manual brew kesukannnya, ia duduk dan mengambil ponselnya. Dibukanya untuk mencari inspirasi dan mendapatkan edukasi terkini. Ainu yang seorang Gen-Z merasa perlu banyak belajar. Bukan hanya di perkuliahan, tapi juga di ruang-ruang digital.

“Pesanan Mas Ainu, manual brew arabika gayo ya?” seorang waitress berwajah ayu menghampiri Ainu dan meletakkan kopi itu.

Ainu mengangguk, lalu berucap, “Terima kasih,”. Diambilnya kopi itu lalu didekatkan ke hidungnya. Matanya sedikit terpejam. Seluruh tubuh dan pikirannya hadir bersama kopi arabika gayo yang ada di depan hidungnya.

Setelah melakukan ritual tersebut, Ainu kembali kepada gawainya. Pikirannya terfokus pada isu-isu terkini mengenai Gen-Z. Sampailah ia pada berita mengenai sulitnya Gen-Z mencari kerja. Dengan sigap, ia mencari literatur ilmiah yang mendukung serta diskusi podcast terkait dengannya.

“Ah, ini dia…” ujar Ainu kemudian mengambil kopi dan menikmatinya. Secara perlahan pemuda yang terbilang pendiam itu menyimak informasi dan berusaha mengelaborasikannya dengan materi kuliah tentang soft skills yang baru didapatnya tadi.

Sekilas Gen-Z

Generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1997 (ada juga yang mengatakan 1995) hingga 2012 bisa dikatakan generasi yang paling terbuka dengan beragam persoalan. Mengapa? Karena mereka sudah terbiasa terpapar dengan jamak informasi dan “kemudahan hidup” yang diterima serta diakses dari gawainya. Semuanya sudah tersedia, mau mendengarkan lagu, menonton film, menikmati makanan, dan memesan “supir pribadi” untuk diantar ke tempat yang dituju.

Perkembangan internet yang canggih dan cepat membuat Gen-Z memiliki identitas “komunitas digital” yang kreatif, inovatif, dan pastinya rasa ingin tahu yang tinggi. Di dunia maya Gen-Z bebas mengemukakan pendapat dan sangat menjunjung keberagaman. Berbeda itu hal yang wajar bagi Gen-Z, termasuk dalam bekerja dan berkomunikasi dengan rekan kerjannya.

Dibalik kemudahan hidup serta kebebasan dalam beropini, terdapat sisi negatif jika keduanya tidak dikelola dengan baik. Ibarat mengendarai mobil, ngegas terus akan berakibat fatal tanpa dibarengi ngerem.

Tantangan Gen-Z di Dunia Kerja

Pertama gaya hidup serba instan dan selalu ingin terpenuhi kebutuhannya menjadi masalah yang menjangkiti Gen-Z. Hal ini dimediasi oelh perilaku impulsif serta kompulsif karena mudah terdistraksi dari beragam informasi yang masuk ke dalam diri. Ya, Gen-Z memiliki ciri khas kesulitan untuk berada pada fokus yang lama. Maka, di lingkungan kerja, problem utama Gen-Z, yaitu terlihat tidak engage dengan pekerjaannya. Apa yang ada di pikirannya saat bekerja? Healing akhir pekan? Hobi yang ingin dijalani? Atau masalah kesehatan mental karena lingkungan kerja yang menurutnya toxic?

Work engagement yang rendah merupakan ciri tidak hadirnya individu pada pekerjaan tersebut, atau bahasa kerennya ngga mindful. Tentu bukan hanya karena diri individunya itu sendiri, melainkan bisa akibat dari lingkungan kerja dan dinamika di dalamnya. Pekerjaan yang tidak bermakna, kultur organisasi yang buruk, serta atasan yang tidak menghargai merupakan variabel eksternal yang mempengaruhi.

Kedua, kebebasan beropini di ruang maya dapat terbawa ke ruang kerja yang pada akhirnya membuat Gen-Z dinilai niretika. Bebas tanpa batas berujung pada bablas. Padahal mungkin maksudnya baik, namun dipersepsi berbeda oleh rekan kerja atau atasan. Keterampilan sosial menjadi kunci bagi Gen-Z agar bisa berproses dan bertumbuh di tempat kerja. Perusahaan pun perlu memiliki figur seorang leader yang dapat memberikan contoh dalam berkomunikasi kepada Gen-Z. Karena Gen-Z sangat menyunjung kesetaraan maka hilangkan sekat serta hirarki saat berdiskusi dengannya.

Penutup

Tak terasa satu jam Ainu menghabiskan sore itu dengan pembelajaran baru. Ia menuliskan hal-hal penting, khususnya keterampilan psikologis yang perlu diasah dan dikembangkannya sebagai seorang Gen-Z, agar nanti saat bekerja bisa beradaptasi dengan pekerjaan dan menujukkan performansi yang bagus sesuai indikator. Ainu meminum tegukan kopi terakhirnya lalu melangkah keluar kafe untuk hadir bersama senja yang cantik itu.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 25 Agustus 2024

Forest Therapy: Forever Young dan Nir Adigung



Oleh Duddy Fachrudin 

Di jaman penuh eksposur, jiwa perlahan berkeping hancur. Pikiran berkonflik saling membentur. Oh… diri yang lacur! Tidak eling dengan wasiat leluhur. Untuk membaur dalam tadabur serta tafakur. Maka sejenak hati terhubung kembali dengan nature. Sebagai wujud cinta dan tanda syukur.

Berlebihnya eksposur informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan untuk mengelola atensi menghadirkan permasalahan psikologi. Mulai dari fokus yang makin berkurang hingga adiksi. Rasmus Hougaard, pakar mindful leadership menamakannya PAID atau Pressure - Always on - Information overload - Distraction. Stres karena distraksi akibat banjirnya informasi.

Meski otak manusia sangat canggih dan diberkahi kemampuan switch atensi, namun PAID nyatanya membuat individu semakin mindless, tidak hadir sepenuhnya pada saat ini. Pikiran larut dan kemudian meloncat tak menentu secara otomatis mengikuti arah stimulus. Keseimbangan energi tergerus, waktu habis untuk mengembara di langit dopamin yang amat membius.

Memang fenomena ini tidak sama persis terjadi pada semua orang. Sebagian individu mampu membuat jarak dengan PAID dan sumber stres lain yang memburu dengan mengembangkan keterampilan mindfulness. Latihan meditasi serta menumbuhkan sikap mindfulness seperti tidak tergesa, menerima, dan terbuka menjadi menu harian yang sayang untuk dilewatkan.

Ada yang berlatih menyadari napas. Ada pula yang tak melekatkan diri dengan identitas. Dan juga ada yang menjadikan hutan sebagai ruang beraktivitas. Ragam latihan mindfulness dengan tujuan yang sama, yaitu eling lan awas.

Beraktivitas di hutan tidak sekedar bermain, seperti halnya outbond yang mengasyikkan. Berada di hutan sengaja diniatkan, untuk hadir di antara rimbunnya pepohonan, sejuknya udara, serta komorebi yang memancar begitu indahnya. Terapi ini mengembangkan keterampilan mindfulness dengan grounding berjalan tanpa alas kaki, lalu meditasi, serta menggerakkan tubuh melalui yoga atau tai chi, kemudian ditutup dengan hug tree disertai afirmasi yang menentramkan hati.

Kondo wa kondo. Ima wa ima. Sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Menyadari sepenuhnya di sini. Menikmati saat ini tanpa menghakimi, tanpa tergesa untuk pergi. Seperti maknanya, forest berarti for rest. Untuk beristirahat, melepas penat. Semakin manusia mampu meletakkan stres, semakin ia dapat menahan laju karies tubuhnya.

Bagaimana bisa Yura?

Sejenak mari berkelana pada fondasi yang membangun kesehatan manusia. Ada tiga poin yang jika dijaga serta dikelola dapat membuat manusia awet muda.

Pertama, pencegahan dari stres oksidatif. Tubuh manusia sejatinya akan rusak karena oksidasi radikal bebas. Stres oksidatif ditandai dengan ketidakseimbangan pada ion positif dan negatif. Melalui barefoot atau nyeker di hutan, tubuh akan menyerap ion negatif yang kemudian dapat mencegah timbulnya kerusakan pada sel. Paparan ion negatif yang berasal dari hutan juga dapat mengurangi gejala depresi, mengaktifkan sistem pada tubuh, dan berperan sebagai antioksidan dan antiinflamasi.

Kedua, peningkatan sistem imun. Bayangkan tubuh sebagai suatu negara, sementara sistem imun adalah penjaganya yang bertugas sebagai pertahanan dari kemungkinan serangan musuh berupa organisme patogenik. Tentara sistem imun perlu melakukan latihan sehingga kualitasnya baik. Dan kuncinya terletak pada keseimbangan mikrobiota dalam usus manusia. Itulah mengapa 70% sistem imun terletak di usus manusia.

Flora baik dalam usus merupakan sparing partner sistem imun—seperti sel Natural Killer (NK), yang aktivitasnya meningkat dan menjaga tubuh dari serangan sel kanker. Hal tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh inisiator pengobatan melalui media hutan di Jepang, dr. Qing Li, dimana shinrin-yoku atau forest bathing secara signifikan meningkatkan jumlah sel NK dan juga granulysin (GRN), perforin, granzyme (Gr) A/B-expressing cells.

Ketiga optimalisasi dan keseimbangan hormon. Stres yang kronis dapat menyebabkan disregulasi Hipothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis, jalur neuroendocrine system yang bertugas dalam pengaturan respon stres. Kerja HPA Axis pun menjadi terganggu yang menyebabkan ketidakseimbangan pada hormon, misalnya saja kortisol yang disekresikan secara berlebihan. Stres yang tidak tertangani menyebabkan inflamasi lalu menghadirkan pelbagai penyakit fisik dan mental. Melalui paparan senyawa terpen atau minyak atsiri saat melakukan hug tree timbul efek relaksasi sehingga terjadi penurunan stres.

Maka, hutan yang kaya cahaya matahari, air, mineral tanah, serta molekul penyembuh yang ada di pepohonan merupakan nutrisi bagi jiwa dan fisik manusia. Hutan sejatinya teman hidup terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai ecotherapist bagi manusia. Deforestasi akibat eksploitasi industri sama dengan membunuh manusia itu sendiri.

Globalisasi serta modernitas memiliki konsekuensi migrasi masyarakat dari pedesaan ke perkotaan. Urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih mapan secara finansial dan pekerjaan. Namun paparan stres di perkotaan juga jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan yang dekat dengan hutan.

Pada akhirnya manusia memiliki kecenderungan lahiriah untuk terkoneksi dengan alam. Kembali berinteraksi dengan hadir sepenuhnya adalah ciri manusia biophilia, yang mencari kesehatan dan ketenangan. Saat paparan stres minim, telomer yang ada di dalam DNA tidak mudah rusak. Hal ini berimplikasi pada penundaan terhadap penuaan. Marian Gold, vokalis Alphaville bilang, “Forever young… I wanna be forever young…”

Selain itu, hutan yang juga lekat dengan gunung merupakan guru terbaik bagi kualitas batin manusia. Tidak heran jika ada sebuah idiom “Dididik di gunung, sangkan teu adigung”. Diajar oleh gunung supaya tidak sombong sebagai manusia. Tidak semena-mena memiliki kuasa dan merasa dirinya mahluk yang lebih dari segalanya.

Saat manusia terkoneksi dengan alam atau hutan, ia terkoneksi dengan Tuhan.

Sumber gambar:
https://www.mindfulnesia.id/2024/07/forest-therapy-sebuah-ikhtiar-untuk.html

Sabtu, 17 Agustus 2024

Bula Buli dan Teori Imitasi



Oleh Duddy Fachrudin 

“Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…” begitu kata seorang Internis, merespon berita dan fenomena mengenai bullying dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Komentar di story instagramnya itu pun viral dan kalau dipikir-pikir kalimat tersebut termasuk bullying kategori verbal… Mungkin, ya. Atau mungkin, bukan.

Ingatan saya melintas ke masa lalu. Saat masih duduk (dan juga pastinya berdiri) di bangku Sekolah Dasar. Kami saling bersaut memanggil nama satu sama lain dengan nama orangtua kami. Tidak setiap kali, tapi ya kadang-kadang… apakah itu juga termasuk bully?

Jadi apa sebenarnya bullying atau dalam bahasa Indonesia disebut perundungan?

Kamus Cambridge menyatakan perundungan adalah the behavior of person who hurts or frightens someone smaller or less powerful, often forcing that person to do something they do not want to do. Sementara American Psychological Association Association menyatakan perundungan sebagai a form of aggressive behavior in which someone intentionally and repeatedly causes another person injury or discomfort

Dari dua definisi ini setidaknya ada beberapa kata kunci mengenai bullying, yaitu perilaku yang menyakiti/ mengancam atau agresif, ditujukan kepada orang orang yang “less powerful” atau bahasa lain kurang memiliki kuasa/junior/lemah atau dilakukan oleh orang yang punya “power”, dan menghasilkan cedera atau ketidaknyamanan pada orang yang dilakukan perundungan. Perundungan sendiri bentuknya bisa berupa kekerasan fisik, emosional, seksual, verbal, dan pengabaian.

Maka kembali lagi pada kalimat “Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…”, apakah itu termasuk:

Perilaku menyakiti atau agresif: ya. Karena kalimat tersebut diungkapkan di saat momen seorang residen PPDS meninggal dikarenakan faktor (salah satunya) tekanan dan perundungan saat menjalani program pendidikan.

Ditujukan kepada orang yang “less powerful”: secara umum ditujukan kepada netizen, dimana dilakukan oleh seorang yang memiliki gelar tinggi. Bisa ya.

Menghasilkan ketidaknyamanan: ya bagi sebagian besar netizen yang membacanya.

Kesimpulannya, kalimat “Bula buli bula buli… muak kali aku dengernya… nggak kuat sekolah ya nggak usah daftar…” termasuk perilaku perundungan. Bentuknya verbal.

Bagaimana kalimat “Bula buli bula buli…” bisa muncul. Mari kita sedikit belajar pada seorang jenius yang mengembangkan Social Learning Theory (SLT). Orang tersebut bernama Albert Bandura.

Pada SLT, perilaku individu tidak semena-mena hadir begitu saja, melainkan dipelajari dari orang lain. Teori ini berkembang dari eksperimen “Bobo Doll”, dimana seorang anak diberikan tayangan mengenai orang dewasa yang sedang memukul “bobo doll”. Setelah melihat video itu, sang anak diminta masuk ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya terdapat boneka bobo. Apa yang kemudian terjadi? Sang anak melakukan aktivitas persis yang dilakukan orang dewasa, yaitu memukul “bobo doll”.

Social Learning Theory disebut juga teori Modeling atau Imitating, karena orang lebih mudah belajar dengan meniru atau mengamati orang lain. Konsep ini dinamakan vicarious learning. Terdapat interaksi antara individu, perilaku, dan lingkungan, membentuk resiprokal triadik dalam sistem sosial. Manusia yang menciptakan sistem tersebut sekaligus produk darinya. Dan itu semua terjadi karena adanya model atau subjek yang ditiru.

Perundungan sistemik yang kronis, misal dalam suatu program pendidikan sulit dihilangkan karena hal itu berhubungan dengan kultur atau budaya pada sistem pendidikan tersebut. Maka narasi “harus kuat” dan “tahan banting” karena pekerjaanya nanti berat dan penuh tekanan seolah menjadi suatu kewajaran. Belum lagi bumbu-bumbu melakukan “pekerjaan ekstra” yang dianggap latihan supaya menjadi pribadi yang lebih kuat. Padahal mungkin pekerjaan "ekstra" itu tidak ada sangkut pautnya dengan perkuliahan yang sedang ditempuh. Dan semua ini diulang-ulang, berpuluh-puluh tahun. Ingat dalam SLT, manusia pencipta sekaligus produk dari sistem sosial.

Maka, Solusi dari masalah ini jika dikembalikan menurut konsep Bandura, ialah menciptakan sistem sosial baru. Diawali dengan seorang figur yang memberikan keteladanan, bagaimana mendidik secara humanis, mengembangkan kompetensi komunikasi yang empatis, dan menjalani profesi mulia seperti halnya dokter dengan tulus ikhlas layaknya filantropis. Para residen yang belajar kepadanya melalui observational learning kelak akan memproses pengalaman serta interaksi selama pembelajaran dalam aspek kognitifnya.

Bahkan mereka yang mencontoh model tersebut tidak hanya dapat mempelajari dan mengembangkan perilaku persis seperti figur yang dicontoh, melainkan pula menyelesaikan beragam masalah psikologis yang sebelumnya sudah dimilikinya, seperti kecemasan, kebingungan (krisis) akan kehidupan, dan ketidakmatangan dalam berpikir serta bertindak.

Pada akhirnya tulisan bula buli ini menghantarkan pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā. (Al-Ahzab: 21)

Dan tentu saja: Iqra` (bacalah, simaklah, lihatlah, perhatikanlah, pelajarilah) bismi rabbikallażī khalaq. (Al-‘Alaq)

Sumber gambar: https://dads4kids.org.au/imitating-dad/

Kamis, 15 Agustus 2024

Hidup Senang Mati Tenang: Merdeka dari Penderitaan Psikologis



Oleh Duddy Fachrudin 

Berita hari ini berseliweran di lini masa. Tentang seorang residen Program Profesi Dokter Spesialis (PPDS) yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak biasa. Asumsi bermunculan mengembara berusaha mencari sebabnya? Depresi, perundungan, ataukah karena faktor sakit yang dideritanya?

Tentu kita tidak perlu terlalu jauh untuk memikirkannya, karena beragam faktor berkontribusi atas hadirnya suatu masalah atau perilaku tertentu. Tidak ada faktor tunggal, bisa jadi karena ketiganya, bahkan mungkin pada saat investigasi ditemukan variabel lain yang menentukan. 

Di titik ini, yang perlu dilakukan oleh kita ialah mengambil jeda dan mempelajari jiwa ini, karena mungkin kita juga memiliki keinginan untuk bunuh diri?

Ramainya pemberitaan mengenai bunuh diri memang semakin menjadi-jadi. Isu kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini menyadarkan kepada setiap individu untuk merawat serta menata jiwanya. Di satu sisi, kita juga tidak menoleransi segala bentuk kekerasan yang dapat memicu ketidaknyamanan dan menggerus keseimbangan mental kita. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh kita, manusia yang acapkali rapuh saat mengarungi kehidupan ini?

Pertama, kita perlu kembali mengenali diri ini. Apa saja lintasan-lintasan rasa dan pikiran yang sering menghampiri? Apakah ia mengganggu dan membuat kita tidak berdaya?

Kedua, jika memang hal itu mengganggu kita akui dan terima. Tidak perlu menolaknya atau menghindarinya (experiential avoidance). Karena semakin menghindarinya justru lintasan rasa dan pikiran yang mengganggu itu semakin kuat muncul. Penderitaan psikologis bermula saat kita menolak dan menghindari ketidaknyamanan rasa dan pikiran tersebut.

Ketiga, setelah diterima dan dihadapi hal yang mengganggu tersebut, maka kita perlu membuat jarak. Ya, menerima bukan berarti melekatkan pikiran dan perasaan yang mengganggu tersebut pada diri kita. Justru di sinilah kita mengembangkan cognitive defusion, menanggalkan atau melepaskan kemelekatan itu. Caranya bisa dengan melatih diri kita dengan mindful breathing, sitting, body scanning, walking, dan mengembangkan sikap mindfulness, seperti sabar, tidak menilai, menerima, melepaskan, terbuka, dan sebagainya.

Keempat, mengembangkan value atau nilai, yaitu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Nilai itu yang akan menjadi guide kita menuju kehidupan yang bermakna. Nilai hidup dapat berhubungan dengan kehidupan personal, interpersonal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Misalnya value yang kita kembangkan berkaitan dengan pekerjaan adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, mendengarkan mereka di saat mereka kesusahan.

Kelima, melangkah bersama value. Ciptakan tujuan-tujuan kecil, dimana bahan bakar dari goal tersebut adalah value. Sebagai contoh, nilainya adalah menjadi pribadi yang dapat menolong orang lain, kemudian kita tentukan goal, yaitu menciptakan suatu konten edukatif yang bermakna dan bermanfaat untuk orang yang menyimaknya.

Keenam, fokus pada kehidupan berbasis value yang bermakna yang sudah kita ciptakan.

Ketujuh, teruslah berlatih untuk mengembangkan hidup yang berkesadaran, karena dalam menjalani hidup itu sendiri, niscaya akan berjumpa dengan pelbagai stimulus, baik dari dunia internal, yang berisi pikiran, perasaan, kenangan atau memori yang berkelindan, dorongan-dorongan, dan lain-lain, serta dari luar diri individu (eksternal) yang berpotensi memicu hadirnya stres yang kemudian membuat larut (kembali) ke dalam masalah di masa lalu yang sebenarnya sudah berusaha kita lepaskan.

Berlatih mindfulness

Terakhir, jika memang kita berada pada suatu sistem yang membuat diri kita semakin terpapar stres yang berlebihan, maka berhenti dan memilih opsi untuk keluar dari lingkungan yang semakin menjerat pada permasalahan psikologis adalah tindakan yang bijaksana. Menerima bukan hanya bertahan, tapi juga mengambil keputusan yang tepat untuk keberlanjutan hidup kita.  

Pada akhirnya, merdeka dari penderitaan psikologis ini adalah ikhtiar dan belajar secara sadar, dan fondasinya tiada lain adalah kemampuan menggunakan nalar sehingga pelayaran kehidupan menjadi berbinar karena pendar-pendar cahaya yang menuntun pada sebuah reservoar indah dimana kapal yang kita tumpangi akhirnya menurunkan dan menautkan jangkar.

Sumber gambar:

Selasa, 04 April 2023

Kuliah Kerja Nyata, Desa Wangunharja, dan Hidup Damai Bersajahaja



Oleh Duddy Fachrudin 

Saya masih ingat ketika 1 dekade lalu ditawari untuk tinggal di sebuah desa nun jauh di selatan Kota Yogyakarta oleh ayah sahabat saya setelah saya diterima melanjutkan sekolah S-2 di Program Profesi Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM). Jarak antara rumah dengan kampus sekitar 45 menit. Suatu variabel yang dipertimbangkan untuk menolak tawaran tersebut. Namun setelah mengambil jeda sejenak, saya menerimanya.

Alasannya sederhana, ingin merasakan sensasi yang berbeda sekaligus menjalani "Kuliah Kerja Nyata" (KKN) yang ketika kuliah S-1 tidak ada mata kuliahnya. Thus, saya akhirnya tinggal di sebuah rumah di desa bernama Wukirsari yang tepat di sebelahnya terdapat Masjid yang dibangun sejak abad 17 dan Komplek Pemakaman Giriloyo. Di dalam komplek tersebut terdapat makam keluarga Sultan Agung dan Sultan Cirebon, Syekh Abdul Karim.

Kehidupan desa tentunya berbeda dengan kota. Kota yang megah dan menawarkan pernak-pernik materi memikat mata, namun nampak manusianya begitu terburu-buru memburu sesuatu. Di desa, seolah waktu melambat mengajak untuk duduk bersama-sama dengan segala kehangatan dan kedamaian yang ada di dalamnya.

Selama 4 tahun "KKN" di Desa Wukirsari justru bukan saya yang memberi, tapi kehidupan desa itulah yang berbagi. Orang-orang begitu ramah dan saling bergotong royong, kesederhanaan, dan cinta. Ada makna berbekas yang tersimpan erat dalam kenangan mengingatkan tentang damainya kehidupan.

Kuliah Kerja Nyata sejatinya berbaur dengan masyarakat. Menyatu dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Dalam era yang semakin mekanik dan robotik, KKN merupakan literasi menjadi manusia yang sangat dibutuhkan dimana individu saling belajar dalam interaksi kolektif serta kolaboratif.

Maka dalam KKN ada semangat membangun yang anggun dalam upaya mewujudkan cita-cita yang tiada lain raharja atau sejahtera. Dua kata, yaitu membangun kesejahteraan dapat disingkat menjadi bangunharja atau wangunharja. Dan kata Wangunharja sendiri digunakan sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Tempat kami menjalani KKN, sebagai mahasiswa Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.

Wangunharja tidak seterkenal saudaranya, Bakung yang identik dengan es tape ketannya. Atau juga dengan Sitiwinangun dengan kerajinan gerabahnya. Namun begitu, Wangunharja tetap spesial karena kebersahajaannya.

Permasalahan yang muncul di masyarakat disikapi tanpa kepanikan dan berlebihan. Seperti halnya stunting yang tidak terkecuali menjadi bagian masalah kesehatan di desa ini. Perangkat desa, posyandu, dan posbindu turun rembuk mengatasi masalah ini. Kami ikut membantu sesuai daya dan kapasitas sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu dan keterampilan melalui edukasi stunting dan simulasi hidup sehat di Sekolah Dasar (SD).

Edukasi, simulasi, ditambah dengan Jumsi (Jumat Bersih), dan PoPi (Posko Pintar) adalah rangkaian kecil pengabdian yang semoga menjadi manfaat. Justru sebagai individu yang haus akan ilmu, kami justru mendapatkan sesuatu yang tidak ternilai harganya selama KKN ini. Dan hal itu bernama kebersamaan, kesederhanaan, dan kebersahajaan, yang akhirnya maujud pada kedamaian.

Sumber gambar: 
Dokumentasi KKN

Rabu, 30 November 2022

Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus




Oleh Duddy Fachrudin

“Saya kecewa pada orangtua saya… karena mereka melahirkan saya.”

Bayangkan jika anak Anda berkata seperti itu, bagaimana reaksi Anda sebagai orangtua? Kesal, kecewa, marah, bingung, atau merasa bersalah?

Tapi nyatanya, kata-kata tersebut diucapkan seorang anak dengan kesungguhan hati dan kemantapan rasa.

Ialah Zain yang bertutur dengan jujur bagaimana kecewanya dirinya memiliki orangtua yang jauh dari cinta dan kasih sayang. Yang didapatkan dari orangtuanya adalah realita bahwa adiknya dijual oleh orangtuanya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Pikiran dan perasaanya berkecamuk. Mengamuk tiada henti menuntut tanggung jawab ayah ibunya yang semestinya hadir secara sadar sebagai orangtua yang ringan peluk.

Dengan usia masih 12 tahun, Zain meninggalkan rumah, kedua orangtuanya dan juga saudara-saudaranya, lalu menyambung hidup di jalanan.

Kisah Zain dalam Film Capernaum yang memenangkan berbagai ajang festival film internasional dan menjadi nominasi OSCAR tersebut suatu bentuk ketidaksiapan, kelalaian, hingga kekerasan orangtua terhadap anak.

World Health Organization (WHO) sendiri memaparkan bentuk kekerasan pada anak tidak hanya fisik, tapi juga seksual, emosional, eksploitasi, serta penelantaran. Sementara pelaku kekerasan paling banyak justru dilakukan oleh orangtua atau pengasuh anak (caregiver).

Kekerasan berdampak pada cedera fisik, trauma psikologis, kerusakan sistem saraf, kemampuan individu dalam mengatasi sebuah masalah, munculnya perilaku-perilaku yang tidak sehat, hingga tentu saja kematian.

Masih terngiang peristiwa pembacokan seorang anak SD di Depok oleh ayahnya di suatu pagi. Berawal dari cekcok dengan istrinya terkait pelunasan hutang dan keinginan sang istri untuk bercerai, kekerasan itu terjadi. Bukan hanya kepada istrinya, tapi juga anaknya yang mengakibatkan meninggalnya sang anak. Pagi yang semestinya ceria berubah menjadi kelabu.

Kekerasan, disfungsi keluarga, perceraian, dan perselingkuhan merupakan permasalahan yang kerapkali hadir pada individu dan kelompok dalam suatu naungan bernama keluarga atau pasangan yang telah menikah.

Kok bisa? Bukankah pernikahan adalah jalan menuju sakinah? Bahkan setiap ada yang menikah, orang-orang berdoa:

“Semoga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.”

Nyatanya, tidak semua pernikahan maujud sesuai harapan yang telah dihaturkan.

Maka di sinilah kita perlu tafakkur sekaligus tadabbur mengenai Ar-Rum ayat 21:

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk mu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (warahmah). Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.

Mawaddah dan Warahmah sebenarnya bekal yang sudah Allah siapkan menuju Sakinah. Artinya, Sakinah, ketenangan atau ketenteraman perlu diupayakan oleh manusianya sendiri melalui Mawaddah dan Warrahmah yang sudah ada dan disadari oleh manusia.

Maka doa semestinya:

“Melalui Mawaddah dan Warahmah, semoga engkau berdua menjadi dan istiqomah mewujudkan Sakinah.”

Sayangnya, acapkali manusila lupa atau alpa tidak menyadari hadirnya kasih sayang dan cinta yang senantiasa dihadirkan Allah Swt. Sehingga yang memenuhi ruang hatinya adalah rasa kecewa, kesal, dan amarah dalam menjalani biduk keluarga.

“Agar Layangan Tak Jadi Putus” mengajak agar setiap individu yang ada dalam keluarga, khususnya ayah dan bunda atau siapapun yang akan menikah untuk kembali ke “rumah” menyadari dan menerima Mawaddah dan Warahmah.

Saat kita menyadari keberadannya (cinta), maka berikutnya adalah mengelola dan menghadirkannya (kembali) dalam bentuk niat, pikiran, perasaan, hingga perilaku. Pada akhirnya, dengan rahmat, keberadaan kita dalam keluarga menjadi manfaat. Khoirunnas anfauhum linnas.

Melalui cinta pula, kita ikhlas menanam atau menandur untuk hari esok, Wal tandhur nafsum maa qaddamat ligad.

Suatu saat orangtua yang “menandur” kebaikan-kebaikan dan cinta melalui interaksi dan pengasuhan di dalam keluarga akan memanen hasilnya. Kapan? Entah. Tapi kelak, itu akan terjadi, seizin Allah Swt. tentunya.

Buku sederhana ini tidak membahas teori-teori. Buku ini hanyalah kumpulan hikmah-hikmah dari mindful couple dan mindful parenting yang mungkin genting untuk dipraktikkan sedikit demi sedikit agar pelayaran kehidupan pernikahan dan keluarga menjadi tidak mudah terombang-ambing apalagi terpelanting akan ganasnya badai. Dan yang juga tak kalah penting, supaya kita semua dapat berlabuh di Laguna Sakinah.

Ar-rahmaan, ‘allamal qur’aan. 

Download Buku Mindfulness: Agar Layangan Tak Jadi Putus di sini 



Minggu, 30 Oktober 2022

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aja mung dadi wong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya wong sing ugi bisa lan pinter rumangsa.

Peka terhadap kondisi, sadar berkenyataan, bersikap dan berbuat dengan olahan kejernihan pikiran yang menghasilkan kesejukan dalam kebersamaan.

Karena pada dasarnya manusia itu hanya memanen apa yang telah dikerjakan, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Segenap peristiwa dalam kehidupan sesungguhnya adalah pelajaran yang mau kita terima dan kerjakan PR nya, atau mau kita abaikan. 

Lucunya rangkaian dari peristiwa yang merupakan kurikulum pendidikan kemanusiaan itu, konten dan objektifnya kita tentukan sendiri. Karena hidup ini adalah Learning Management System atau LMS dengan Personal and Community Learning Objective yang turut kita kembangkan berdasarkan pilihan sikap dan kedalaman cara berpikir, juga sekhusyu' apa kita berzikir.

Bukankah menungsa mung ngunduh wohing pakarti?

Pakarti dalam kinerja, karya, dan olah rasa, teutama dalam hubungan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan di semesta. Tidak eksploitatif manipulatif secara abusif, juga pandai menata dan mengelola titipan yang telah diamanahkan sebagai khalifah yang wajib menghadirkan rahmah.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli.

Presensi yang menghadirkan kehangatan, dan bukan ancaman. Kehadiran yang membahagiakan, bukan yang membahayakan.

Untuk menyelami dan menghirup atmosfer ilmu itu, bisa singgah di Papringan.

Sahabat saya bersama kroninya yang ahli dalam soal konservasi berbagai warisan budaya arsitektur heritage, sedang melakukan tour de central Java yang berpusar di sekitar pegunungan sakral bangsa Medang. Ungaran, Telomoyo, Sindoro, Sumbing, minus Merapi dan Merbabu.

Mereka berkelana dan memanja indera dengan sajian romansa eklektika yang dipenuhi dengan berbagai kisah nostalgia tentang masa jaya sebuah peradaban yang pernah hadir di Nusa Jawa.

Nusa silang budaya kata Denys Lombard, sejarawan yang bukunya tentang sejarah Nusantara laris manis tanjung kimpul. Bahkan melebihi karya-karya ilmiah populer cendekiawan kita sendiri. Tak apa tentunya, karena ilmu kan bersifat egaliter, universal, dan bebas kepemilikan. 

Tersedia banyak tanda bagi mereka yang punya niat belajar dan berkenan membaca dan menyimak isinya tanpa terjebak sebatas menghafal jenama dan pariwaranya saja.

Dalam parikan Jawa sifat bangga akan bungkus dan kosong saat ditanya soal isi kerap disampaikan sebagai pengingat bagi para generasi penerus, wa bil khusus, generasi yang sudah teramat banyak difasilitasi teknologi.

Kecepatan dan intensitas informasi yang ditandai dengan tingginya volume transmisi, seperti rumus Claude Shannon ya, membuat prosesor analitik kita tak sempat mengendapkan data, apalagi mengurainya menjadi ekstrak ilmu yang dapat dipertautkan secara silogisme untuk merajut makna yang sebenarnya terwakili dalam berbagai bentukan pesan semiotika.

Budaya kulit atau lapis superfisial yang terwakili oleh status ataupun feed serta mikro blog yang hanya berkisar sekitar 160 karakter, telah membuat kita mengukur setiap fenomena melalui "baju" yang dikenakannya saja.

Kembali kepada duo Hasti dan Hesti yang berasal dari dunia yang berbeda, Holland (yang bukan bakery) dan Tahura Bandung, rupanya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Yang satu punya ilmu terkait konservasi dan pemuliaan situs atau artefak bersejarah, satunya lagi punya jejaring di berbagai kalangan untuk bisa memberi akses petualangan time traveling mereka.


Sumber gambar:

Jumat, 03 Juni 2022

Cara Mudah Menjadi Bahagia dalam 5 Menit



Oleh Nita Fahri Fitria

Pernahkah kamu merasa hidupmu begitu melelahkan dan seolah buntu? 

Rasanya setiap hari kita seolah diseret untuk tetap melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Makan hanya karena waktunya telah tiba, mau tidak mau tetap bekerja karena tidak mungkin diam saja di rumah, dan kembali tidur karena semua orang tidur. 

Semua bergulir sesuai arus, dan kita terbawa oleh arus itu tanpa tahu akan ke mana dan harus melakukan apa.

Itulah yang dialami oleh Yeom Mi-jeong di drama Korea My Liberation Notes yang baru saja merampungkan episode terakhirnya. 

Sebagai seorang gadis yang pendiam, Mi-jeong terbiasa memendam perasaannya dan memikirkan banyak hal secara berulang. 

Dalam diamnya Mi-jeong kerap membayangkan hal-hal yang tidak perlu. Mi-jeong semakin merasa buntu karena ibu, ayah, dan kakak-kakaknya bukanlah orang yang bisa diajak bicara. 

Hari-harinya di tempat kerja juga hanya membuat Mi-jeong semakin lelah dan nyaris kehilangan jati diri.

Suatu hari Mi-jeong dan dua rekan di kantornya terpaksa membuat sebuah komunitas karyawan karena hanya mereka bertiga yang tidak bergabung dengan komunitas manapun di kantor tersebut. Padahal komunitas karyawan tersebut adalah fasilitas perusahaan agar mereka bisa memiliki aktivitas menyenangkan di luar pekerjaan. Mi-jeong dan kedua rekannya tadi akhirnya membuat kegiatan komunitas yang mereka namai sebagai “Haebang Club” atau Klub Pembebasan.

Setiap anggota klub wajib menuliskan isi hati dan pikiran yang dianggap menjadi tirani bagi dirinya sendiri, lalu tulisan tersebut akan diceritakan kepada satu sama lain. Uniknya mereka sepakat untuk hanya saling mendengarkan cerita saja, sehingga tidak boleh saling berkomentar atas cerita yang dibacakan. 

Tujuan pembebasan setiap anggota klub juga beragam. Mi-jeong sendiri ingin bebas dari perasaan terjerat oleh hidup yang memuakkan. Ia mengaku ingin bisa merasakan senang dan lepas seperti orang lain.

Uniknya, semakin Mi-jeong jujur dengan dirinya, ia pun semakin bersinar. Mi-jeong mulai berani mengambil langkah besar dalam hidupnya dan mulai menemukan makna dari “bebas” yang selama ini diidamkan. 

Pada salah satu adegan, Mi-Jeong berkata pada kekasihnya bahwa ia cukup mendapatkan rasa bahagia selama lima menit saja dalam sehari. Ya, lima menit yang dapat mengubah harinya. 

“Aku merasa senang dalam tujuh detik saat membukakan pintu toserba untuk seorang pelajar dan dia mengatakan ‘terima kasih’. Saat aku membuka mata di pagi hari dan menyadari bahwa ini adalah hari Sabtu, aku merasa senang selama sepuluh detik. Isilah lima menit dalam sehari dengan hal-hal seperti itu.”

Dialog lain yang tak kalah menarik adalah saat seorang rekan di Haebang Club berkata, “Aku hanya berhasil menemukan alasan mengapa aku merasa tersiksa”, lalu Mi-jeong menjawab, “Kurasa itulah hal yang penting, (yaitu) mengetahui masalah kita sendiri.”

Oh rupanya inilah kunci bebas dari penjara pikiran ala Yeom Mi-jeong. Iya, jujur dan menemukan apa yang sebetulnya kita pikirkan dan rasakan. Karena dari sanalah kita bisa menemukan cara untuk bebas. 

Kadang, kita bergelut dengan harapan ingin bahagia tanpa tahu apa yang sebetulnya membuat kita merasa tidak bahagia. Bagaimana bisa kita sampai pada suatu tujuan tanpa tahu cara untuk mencapainya?

Yeom Mi-jeong yang awalnya menulis catatan pembebasan untuk mengisi kegiatan di Haebang Club pada akhirnya menemukan cara untuk jujur pada diri sendiri sehingga akhirnya menemukan strategi untuk mendapatkan vitamin Bahagia selama lima menit yang ia ceritakan pada kekasihnya. 

Ia menemukan bahwa kebahagiaan kadang terletak pada hal-hal kecil yang bisa menghangatkan hati.

Lalu apakah setelah ini Mi-jeong menjadi bebas sepenuhnya? 

Sepertinya tidak. Karena hidup terus berjalan dan masalah akan tetap datang silih berganti. Akhir dari drama ini sendiri pun termasuk kategori open ending yang menggambarkan kondisi terkini setiap karakter yang sudah menemukan titik bebas dan tetap akan berjalan selangkah demi selangkah untuk terus melanjutkan hidup.

Pada akhirnya, kisah Yeom Mi-jeong dan karakter lain di My Liberation Notes ini terangkum dalam sebuah kesimpulan…

“Meski hidup sesekali akan menjebak kita pada jeratan yang lain, setidaknya kita tidak sepenuhnya terjebak karena kita sudah tahu bagaimana cara untuk bebas. Kita bisa merasakan bebas dan kadang bisa juga kembali merasa terjebak. Tapi yang terpenting adalah kita bisa merasakan kemajuan.”

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 12 April 2022

Mindful Journey: Ketika Anak Jaksel Naik Gunung (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Air bergemericik, dan beburung pagi yang morning person banget seolah hadir menjadi healing process untuk mereka-mereka yang burn out karena overwhelmed dalam mengelola trust dan mental health issue.

Maklumlah dinamika kehidupan itu kadang lempeng tapi lebih sering mengejutkan, reality bites, dan itu bisa sangat stressful dan painful.

Kadang support system kita juga tidak benar-benar care dengan kita. Bahkan orang yang kita anggap bestie saja, dan kita harap bisa at least memberi sepatah dua patah word of affirmation, eh malah suka guilt tripping dan yang lain malah clingy.

Masih mending kalo enggak emotional abuse atau melakukan silent treatment yang menyakitkan. Toxic relationship itu literally ga sehat banget guys.

Kalau sudah begini memang healing dan self love perlu jadi consideration deh. Perlu positive vibes dan personal space yang proper. Somehow kita memang harus menghindari environment atau circle yang terlalu banyak diisi mereka yang kerap verbally abuse atau bersifat judgemental dan oversharing yang gak penting. Jangan juga terlalu memaksa diri menjadi social butterfly agar bisa masuk banyak circle, ga guna.


Mending cari hidden gem kayak di gunung ini, dan ga terlalu sering staycation yang sebenarnya di sana-sana juga. Beri kesempatan jiwa kita self healing dengan socmed detox, dan ga ada salahnya kalau sekali-sekali kita jadi gate keeping yang nggak spill out yang kita tahu.

Saatnya menikmati me time dan beri diri kita bonus self reward, hindari timeline yang salty dan destruktif. IMO, pergi nyepi ke secret place kayak remote area yang masih nature banget gitu tuh sesuatu.

Ga usah FOMO, dan dicap social awkward, figuratively ini ibarat Robinson Crusoe yang bertualang untuk mengexplore kapasitas dirinya sendiri sih. Semacam self journey untuk mengenal inner soul sebenernya.

Ok, in a fact gemericik air dan kicau burung itu stimulan neurofisiologi banget. Lalu tetiba rasa sejuk melanda qolbu saat awan mendung mulai merintikkan gerimis. Alam gunung seolah sedang tersenyum manis.

Kabut, gemericik sungai dan rintik gerimis berpadu dengan kicau burung, kini menyatu dengan aroma tanah yang menguar.

Petrichor melanda pusat hidu di otak kita. Petra itu batu dan ichor itu cairan para dewa. Sementara sains modern menjelaskan bahwa petrichor adalah bau tanah pertama saat hujan menyapa dan melepas geosmin yang merupakan produk metabolit dari milyaran bakteri aktinobakter dari spesies Streptomyces.

Dan anehnya aroma itu compatible dengan kinerja otak kita. Aroma itu menghanyutkan kita dalam rindu tanpa lagu, tapi lewat orkestrasi bau.

Aroma itu membawa pesan cinta nan sarat makna, dengan pesan nyata bahwa rindu adalah hak semua penghuni semesta.

Lalu bagaimana aroma itu dapat menstimulasi pusat asosiasi di otak kita? Sampai ada rasa, sampai muncul cinta.

Halaman Berikutnya >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 05 April 2022

Mindful Journey: Merbabu, Sebuah Pejalanan yang Dirindu (Bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin

Beruntungnya Marto bisa wisuda dan menjadi psikolog. Pengujinya dulu melihat pemuda cengengesan itu tak layak mengobati permasalahan kesehatan mental orang lain. Metodenya tidak berdasar keilmuan psikologi, campur sari, oplosan teknik sana sini. Namun kegigihan dan keikhlasan membantu orang lain membantunya berada di gedung wisuda nan megah. Bapak ibunya yang tak mengerti apa-apa tentang kuliah anaknya itu senyum-senyum bahagia.

Ia berencana merayakan keberhasilannya dengan naik gunung seminggu kemudian. Diajaknya Dayat yang baru saja kehilangan ibunya. Awalnya Dayat menolak, hatinya masih bersedih dan tersayat. Bagaimana mungkin ia jalan-jalan bahagia sementara masih berselimut duka.

"Wis percoyo karo aku..." kata Marto berusaha menentramkan kegelisahannya.

Mengembara berputar-putar pikiran Dayat. Teringat dirinya saat kecil diajak ibunda tercinta mengalas ke hutan mencari kayu bakar di sebuah gunung. Wajahnya sumringah dan mulutnya tak pernah berhenti berkelakar. Mbah Jan yang menemani sering menimpali dengan ayat-ayat Qur'an, Wal-jibāla arsāhā. Matā'al lakum wa li`an'āmikum. (An-Nazi'at: 32-33)

Padang Sabana di Gunung Merbabu

Dayat memandangi Marto, lalu menangguk setuju. Kedua pemuda itu lantas menyiapkan perbekalan dan barang-barang untuk mendaki Merbabu. 

Gunung Merbabu terletak di tiga kabupaten, Magelang, Boyolali, dan Semarang. Puncak Merbabu tidak hanya satu. Setidaknya ada tiga puncak yang terkenal, yaitu Kenteng Songo, Triangulasi, dan Syarif. Ada lima jalur yang bisa ditempuh pendaki menuju puncak tersebut, yaitu Thekelan, Wekas, Cunthel, Suwanting, dan Selo. 

Marto dan Dayat memutuskan untuk mendaki Merbabu melalui Selo. Hujan gerimis selama pendakian sejak basecamp hingga pos 3 menemani langkah manis mereka. Meski puncak sebagai tujuan, menikmati perjalanan merupakan esensi pendakian. Itulah yang diajarkan Mbah Jan, Huwallażī ja'ala lakumul-arḍa żalụlan famsyụ fī manākibihā wa kulụ mir rizqih, wa ilaihin-nusyụr. (Al Mulk: 15)

Bersambung...

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Rabu, 30 Maret 2022

Menjadi Master Oogway




Oleh Tauhid Nur Azhar 

Menjadi Master Oogway adalah mengendalikan tanpa mengendalikan dan melarut dalam keselarasan. Menerima sekaligus mengolah. Tanpa daya sekaligus bertenaga.

Master Oogway mengajarkan kita tentang mengalir dan merasa tanpa keinginan memiliki dan memanipulasi. Semua berjalan sesuai dengan orkestrasi agung yang telah menyediakan banyak partitur untuk dimainkan.

Sementara kita dengan hasrat yang condong mendorong pemenuhan secara instan akan sulit memahami makna kosong adalah ada dan ada adalah kosong.

Saat hati dan jiwa masih terluka karena dunia tak berjalan sesuai dengan harapan kita, maka kita masih ada dalam penjara yang membuat kita sempit dan terbatas serta bahkan kehilangan daya hanya untuk sekedar mencicipi bahagia.

Sepasang suami istri saja punya pikiran tidak sama, bagaimana bisa ikhlas jika masing-masing merasa bahwa pasangannya semestinya seideal harapannya? Istri minta perhatian dengan dicium mesra setiap pagi. Sementara suami berpikir bahwa kebutuhan materi adalah hal realistis yang lebih penting dari sekedar drama.

Kita tak sadar bahwa sesungguhnya setiap entitas punya persepsi terhadap dirinya sendiri dan persepsi itu berkonjugasi dengan persepsi orang di sekitarnya.

Maka dalam filosofi Master Oogway, memiliki itu berarti kehilangan. Kehilangan kebebasan dari rasa takut kehilangan. Melepas bukan berarti tak peduli, tapi metoda belajar ikhlas untuk membersihkan berbagai distorsi yang merancui entitas dan juga identitas

Karena apa yang tak bisa lepas dari kita? Tidak ada.

Karena apa yang kita genggam adalah apa yang luput dalam perjalanan, dan yang tidak kita genggam akan selalu ada dalam bentuk dan tempatnya sendiri.

Satu hal yang menjadi sifat unik manusia adalah penyesalan. Kita semua tahu penyesalan itu idealnya adalah pelajaran, tapi dalam prakteknya penyesalan adalah siksaan.

Menyakitkan karena kita tahu dan sudah merasakan tapi tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.

Algoritma kehidupan juga menawarkan banyak alternatif sebagai cabang pilihan, ini menambah potensi penyesalan karena kemungkinan asumtif pilihan dapat berkembang secara eksponensial.

Sumber gambar:
https://www.kolpaper.com/85923/master-oogway-background-2/

Senin, 14 Maret 2022

Mindful Couple: Tulus Berpisah dengan Penuh Cinta ala Lagu-Lagu Tulus



Oleh Nita Fahri Fitria 

Di tengah cuaca Praha yang dingin, dengan wajah yang nyaris membeku, Tulus menggambarkan sepi dan dinginnya kondisi perpisahan sepasang insan yang dulunya saling mencinta. 

Ini adalah lagu ballad pertamanya yang berhasil menghipnotis puluhan juta pasang telinga pada 2016 lalu. Uniknya, lirik lagu “Pamit” milik Tulus ini terangkai dengan makna implisit: kesadaran penuh soal kondisi yang ada dan kesediaan untuk melepas demi kebaikan bersama.

Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saat ku menanti fajar

Sudah coba berbagai cara
Agar kita tetap bersama
Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut kuhilang

Dua bait lirik di atas menggambarkan pengamatan yang objektif terhadap tokoh “aku” dalam lagu dengan pasangannya. Tubuhnya saling bersandar, tapi arah pandangnya sudah berbeda, dan kita menginginkan hal yang tak lagi sama. Bersama, tapi sudah tak lagi saling terhubung, sudah berusaha, tapi ternyata tak membuahkan hasil. Pilihan kata yang diambil menggambarkan kedewasaan seseorang yang mengambil keputusan setelah melewati proses pengamatan dan proses usaha untuk memperbaiki keadaan.

Perdebatan apapun menuju kata pisah
Jangan paksakan genggamanmu

Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu

Jangan paksakan genggamanmu, sebuah pinta demi kebaikan si cinta agar tak memaksakan sesuatu yang memang tak lagi bisa menyatu. Izinkan aku pergi, kutetap teman baikmu, cara pamit yang dewasa dengan sebuah penekanan: perpisahan ini tak akan membuatku membencimu. Sebuah jaminan agar perpisahan ini tak menyisakan masalah berkepanjangan.

Maret 2022, Tulus kembali menyajikan lagu perpisahan dengan irama yang lebih manis dan santai. Kali ini liriknya tak kalah mindful dan penuh kebijaksanaan. Judulnya “Hati-Hati di Jalan”, jadi biar berpisah tetap mendo’akan yang baik-baik. Do’a baik untuk dia yang mengarah pada tuju yang berbeda, karena “aku” dalam lagu ini sadar penuh bahwa hidup mereka harus terus berjalan.

Kau melanjutkan perjalananmu
Ku melanjutkan perjalananku


Tidak hanya soal hati-hati di jalan. Meski temanya perpisahan, tapi lagu ini punya sisi optimisme yang terselip apik pada lirik,

Semoga rindu ini menghilang
Konon katanya waktu sembuhkan


Si “aku” di sini begitu memahami perasaannya yang merindu kasih sayang yang membekas, tapi di saat yang bersamaan juga optimis bahwa ada jalan keluar usai lorong panjang yang gelap akibat pijar yang tlah redam. Inilah lagu patah hati yang mengajarkan resiliensi.

Tulus mengajarkan kita bahwa manusia sejatinya punya sumber daya untuk tetap berdiri tegak dan tak putus harap meski dalam kondisi berduka. 

Bahwa keterampilan mengamati situasi, melihat segala sesuatu sesuai apa adanya ia, bukan sesuai dengan penilaian yang kita mau, sangat bisa membuat manusia pada akhirnya menimbang dengan jernih dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Sadar akan ada luka, tapi juga sadar bahwa setiap luka ada penawarnya. 

Memahami ini sebagai situasi yang tak mudah dan menyakitkan, tapi juga sadar bahwa tak ada alasan untuk menyalahkan apalagi membenci. Itulah mengapa, meski sakit, tapi tetap mendo’akan yang terbaik.

Dan Tulus telah mengajarkan perpisahan yang tulus dengan penuh cinta kasih.

Sumber gambar:

Rabu, 19 Januari 2022

Filosofi Tahu Bulat



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di Nusantara serta pernah berkesempatan ngumbara ke berbagai sudut mancanagara, saya tuh paling senang melihat dan memperhatikan manusia. Juga hewan, tumbuhan, serta alam sekitar tentu saja.

Sementara sebagai bagian dari alam semesta rasanya bahagia sekali jika dapat mengetahui sekelumit pengetahuan terkait berbagai hal, misal sebab akibat ataupun sekedar definisi dari suatu benda atau fenomena. Ada yang rumit dan ada yang dapat dipahami secara tidak sulit.

Ada yang perlu diungkit, ada yang dinamis seperti jungkat-jungkit, dan ada pula yang pengertiannya berpusar melilit.

Tapi TAHU adalah sesuatu. Mungkin Mang Rene, yang bernama lengkap Rene Descartes (kalau di Jawa mungkin namanya Rene Yo Le) atau dalam bahasa Latin sebagaimana banyak manuskrip di masanya ditulis, dikenal sebagai Renatus Cartesius, paham benar soal TAHU ini, maka ia pun bersabda: COGITO ERGO SUM. Aku berpikir maka aku ada. Aku ada karena aku berpikir. Berpikir berarti meNAHU. Pikir adalah pabrik TAHU.

Mang Rene ini unik, pemikir tapi pernah daftar tentara, 1617 jadi tentara Belanda dan pada masa perang 30 tahun menjadi tentara Bavaria. Justru saat jadi tentara itulah Mang Rene punya privilege untuk berpikir dan menulis.

Karya-karya besarnya antara lain Discours de la méthode dan Meditationes de prima Philosophia. Tapi mungkin banyak yang belum TAHU bahwa sang filsuf TAHU ini adalah bapak matematika modern yang sumbangan pemikirannya antara lain maujud dalam sistem koordinat Cartesius yang banyak digunakan dalam aplikasi kalkulus.

Mang Rene juga seorang neuroscientist, karena pernah menghasilkan karya besar tentang proses berpikir dalam naskah yang diberi judul Rules for the Direction of the Mind.

Tapi pada prinsipnya sih Mang Rene banyak bicara soal TAHU dan bagaimana untuk menjadi TAHU. Bumbu ikutannya mah banyak, ada diskursus logika sampai fallacy. Tapi bahasan kita hari ini adalah soal TAHU, meNAHU, dan dikeTAHUi.

Kalau dipikir-pikir seluruh siklus kehidupan manusia itu berpusar di pabrik TAHU bukan? Indera dikaruniakan dan dihadirkan untuk menghimpun data sebagai bahan baku perTAHUAN atau pengeTAHUan sebagai kata benda yang bisa menjadi adjektiva, mencerminkan sifat. Dengan kata kerja atau keterangan mengeTAHUi dan proses nya: mencari TAHU.

Kan kita tidak TAHU-TAHU paham, mengerti, dan bisa? Jadi semua proses adalah belajar, dan belajar adalah perancah untuk mengonstruksi TAHU. Setelah TAHU kita jadi MAU. Mau apa? MAU TAHU.

Demikian bukan?

Maka lahirlah motif, lahirlah ingin, lahirlah reward alias imbalan, lahirlah desire atau hasrat syahwat yang membuat jantung berdetak lebih cepat.

Imbalan dari proses adalah harapan yang terbumikan. TAHU adalah syarat lahirnya MAU yang berkorelasi kausalistik dengan imbalan atau penghargaan akan capaian yang merupakan apresiasi terhadap upaya untuk menubuhkan bayangan keinginan menjadi sebuah kenyataan. Aktualisasi diri yang menjadi bagian dari proses dan capaian.

Maka TAHU menjadi kata kunci eksistensi. TAHU juga menjadi platform esensi kesadaran, keberadaan, dan peran. TAHU menjadi nilai inti dari interaksi dan komunikasi.

Dari kacamata neurosains TAHU diawali dari indera yang memberi stimuli berupa aneka data dalam berbagai bentuk biofisika. Lalu ada perhatian yang diarahkan sehingga materi yang diterima akan diperhatikan. 

Salience network yang terdiri dari anterior singulata dan korteks insula akan memilah dan memilih data dan mengklasifikannya seperti Dewey mengklasifikasi buku sebagai sumber pustaka di perpustakaan. Dan selanjutnya data akan diolah menjadi memori dan serangkai cerita yang akan mewarnai otak kita.

Dalam diam yang tak hening, kadang kita larut dalam lamunan yang bahasa Jakselnya adalah self referential processing (Ekhtiari et al, 2016), dan memikirkan serta merancang masa depan, imagining future.

Pada saat itulah korteks singulata posterior, prekuneus, dan medial prefrontal korteks, serta korteks parietal inferior bahu membahu mengolah data menjadi pabrik TAHU masa depan. Kita jadi TAHU apa yang kita MAU, dan TAHU apa yang harus kita lakukan agar TAHU dan MAU bisa ADA dan mengADA. Kita menamainya CARA, atau boleh juga sih biar keren, disebut Metoda.

Untuk bisa punya CARA kita perlu ILMU yang didapatkan dari meracik TAHU dan bumbu-bumbu.

Maka kata orang-orang penganut Stoic, Stoicism, atau kita Indonesiakan saja menjadi Stoika, kebahagiaan itu bersumber dari hal-hal yang dapat kita kendalikan. Maka mengendalikan itu perlu metoda, perlu cara bukan? Iya kan Kang Zeno? Kang Epitectus, Boss Marcus Aurelius, dan Om Seneca sependapat kah? Jika sependapat, aman berarti ya?

Metodanya ya bisa melalui retorika, dialektika, sampai mengkaji secara fisika (nalar) dan etika serta estetika (rasa). Tapi intinya tetap TAHU apa yang kita TAHU, TAHU apa yang kita tidak TAHU, dan kadang ya yang sering sih tidak TAHU apa yang kita tidak TAHU. Memang ada juga sih yang tidak TAHU kalau kita TAHU.

Saya mungkin yang sering sok TAHU padahal tidak TAHU juga kadang saya pura-pura tidak TAHU kalau saya tuh TAHU. Banyak alasan untuk itu secara fisika dan etika bukan?

Maka TAHU yang mana yang semestinya menjadi TAHU ideal? Buat kita, baca manusia, ya tidak ada. Karena semua TAHU, pengeTAHUan, TAHU MAU dan MAU TAHU itu subjektif. Meski ada pengeTAHUan komunal yang dibangun melalui jejaring interaksi personal, tetapi TAHU tetaplah AKU, karena AKU tak TAHU kamu dan KAMU takkan pernah TAHU AKU. Karena kita sama-sama TAHU, oleh karena itu kita sama-sama tidak TAHU.

Bukankah segenap makhluk itu diciptakan berpasangan? Temasuk TAHU tentunya bukan? 

Seriously, TAHU adalah esensi. Nilai inti dari eksistensi. Bahkan sumber dari segenap proses kreasi. Kehadiran kita dan alam semesta kan bagian dari proses TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi bukan?

Survivalitas saja kan lahir karena kita TAHU apa yang kita butuhkan untuk mempertahankan kehidupan bukan? Komunikasi dan bisnis hadir karena kita TAHU bagaimana cara kita menjalin simbiosis dalam sebentuk interaksi sarat kepentingan yang bersifat mutualis bukan?

Lalu pada gilirannya kita akan menyadari bahwa esensi dari TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi itu adalah kehidupan dan keberadaan itu sendiri bukan? TAHU adalah kesadaran.

TAHU apakah yang paling lezat? TAHU BULAT tentu saja.

TAHU yang BULAT adalah sebentuk kesadaran yang dibangun oleh konstruksi pengeTAHUan yang sudah tak lagi bersudut dan berbidang. Tak ada garis dan nodus yang tak terpusat. Fokus. AHAD.

Digoreng dadakan. Spontan dan selalu segar. Tumbuh dan berkembang. Melaju seiring jaman. Adaptif terhadap dinamika kebutuhan, lapar goreng banyak, kenyang tak digoreng.

500 an, murah, mudah, terjangkau. Bisa didapatkan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Demikian tulisan hari ini yang diendorse TAHU BULAT. Mohon jangan ditelan bulat-bulat, periksa dulu siapa tahu ada ulat, atau ada bagian yang disunat. Sudah ya, TAMAT. 

Sumber gambar:
https://www.kompas.com/food/read/2021/06/17/151100275/3-tips-goreng-tahu-bulat-kopong-agar-renyah-dan-mengembang

Senin, 17 Januari 2022

Metafora Sikap Mindfulness: Non-Striving



Oleh Duddy Fachrudin 

Seorang nelayan sedang duduk santai di pinggir pantai dengan berbaring di dekat perahu miliknya. Tiba-tiba datanglah seorang pengusaha mendekati nelayan tersebut.

“Kenapa kau tidak pergi menangkap ikan?” tanya pengusaha tersebut kepada si nelayan yang sedang duduk.

“Karena aku sudah menangkap ikan, yang hasilnya dapat aku jual menghasilkan uang yang bisa mencukupi kebutuhanku dan keluargaku hari ini dan tiga hari berikutnya,” jawab si nelayan.

Lalu pengusaha berkata, “Mengapa kau tidak menangkap ikan yang lebih banyak lagi?” 

Dengan santai si nelayan menjawab, "Untuk apa?"

Pengusaha berkata lagi, “Kau akan mendapat uang yang lebih banyak, dan kau bisa menggunakan uangmu untuk membeli jala baru, atau kau bisa memperbaiki perahu mu agar kau bisa menangkap ikan lebih banyak lagi.”

“Lalu?” tanya nelayan.

“Uangmu akan semakin banyak dan kau bisa pergunakan untuk keperluan lain yang lebih besar, seperti membeli perahu baru agar kau bisa menjadi nelayan sukses,” ujar si pengusaha.

“Lalu, selanjutnya aku harus berbuat apa?” tanya si nelayan.

Pengusaha itu meyakinkan nelayan, “Dengan begitu kau bisa beristirahat dengan tenang menikmati hasil tangkapanmu.”

Si nelayan memandang pengusaha dengan tenang lalu berkata, “Menurutmu aku sekarang sedang apa? Bukankah aku sedang beristirahat?”

Referensi:

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Minggu, 26 Desember 2021

Metafora: Kebahagiaan yang Paling Hakiki



Oleh DPP Yudha dan Duddy Fachrudin 

Seorang laki-laki merasa hidupnya sangat kacau. Faktanya, hidupnya memang benar-benar berantakan. Beberapa hari ini ia konflik dengan istrinya, terancam di-PHK oleh perusahaan tempat ia bekerja, dan rumahnya baru saja dimasuki rampok sehingga beberapa barang berharga miliknya hilang.

Ia begitu tidak bahagia dengan hidupnya. Lantas ia bertanya-tanya tentang apa itu bahagia kepada dirinya sendiri. Ia mencari-cari jawaban tentang makna bahagia namun dari sekian jawaban yang ditemukan tidak membuatnya puas. 

Sampai suatu ketika ia mendengar dari nun jauh dari rumahnya, sekitar 40 km dari pusat kota ke arah selatan dekat pantai hiduplah seorang tua yang bijaksana. Laki-laki ini kemudian memutuskan untuk menemuinya dan berharap mendapatkan jawaban dari pertanyaan tentang makna kebahagiaan.

Setelah bertanya ke beberapa warga, ia kini tepat berada di depan rumah Pak Tua yang bijaksana itu. Lantas ia mengetuk pintu rumahnya, “Tok.. tok.. tok..”

“Selamat siang,” ujar si laki-laki yang hidupnya kacau itu.

Tampak kemudian seorang laki-laki dengan wajah agak berkeriput, namun badannya masih tegar dan kuat membuka pintu serta menghampirinya. Ia tiada lain adalah Pak Tua yang bijaksana yang kemudian mempersilahkan tamunya untuk masuk dan duduk di ruang tamu rumah itu.

Setelah menghidangkan teh manis dan makanan ringan kepada tamunya, Pak Tua yang bijaksana bertanya mengenai maksud kedatangan laki-laki yang kini ada di hadapannya. 

Tanpa panjang lebar, laki-laki itu berkata, “Wahai Pak Tua, menurut orang-orang kau adalah orang yang cerdas dan berwibawa. Aku ingin bertanya apakah kebahagiaan yang paling hakiki di dunia ini?”

Pak tua kemudian tersenyum lembut, dan berkata, “Saya melihat banyak masalah yang menimpa hidupmu. Baiklah, tidak perlu terburu-buru, mari nikmati hidangan ini terlebih dahulu.”

Mereka berdua lalu mengobrol dengan topik yang lain sambil menikmati makanan dan minuman yang ada di atas meja. Setelah itu Pak Tua mengajak laki-laki yang sedang memiliki banyak masalah itu keluar dari rumahnya, “Mari kita berjalan-jalan menikmati sore.”

Laki-laki itu bertanya, “Mau ke mana kita?”

“Ke pantai dan menunjukkan kebahagiaan hakiki kepada Anda,” ujar Pak Tua dengan santainya.

Sesampainya di pantai, Pak Tua membawa tamunya berjalan menuju bibir pantai, lalu mengajaknya hingga air laut menggenangi lututnya... pinggangnya, hingga dadanya. Air laut sore itu sangat tenang, sehingga pak tua tidak khawatir mereka berdua akan terseret ombak.

Tiba-tiba tangan Pak Tua mendorong kepala laki-laki yang menjadi tamunya sehingga kepalanya terendam di bawah permukaan air laut. Byuusssh... Laki-laki itu meronta-ronta, dan berusaha melepaskan tangan Pak Tua dari kepalanya. Namun begitu, pegangan tangan Pak Tua begitu kuat.

Beberapa detik pun berlalu, dan Pak Tua melepaskan pegangan tangannya. Blassshhh. .. laki-laki itu mendongakkan kepalanya ke atas. Napasnya begitu memburu dengan cepat... hossh... hossh... hossh...

Ketika napas si laki-laki mulai tenang, Pak Tua bertanya kepadanya, “Apa kebahagiaan yang paling hakiki di dunia ini?”

Laki-laki itu menjawab, “Ketika aku masih bernapas.”

Referensi:

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 13 September 2021

Pelatihan Intervensi Psikologi Berbasis Mindfulness: Acceptance and Commitment Therapy


Oleh Duddy Fachrudin 

Lasse Rouhiainen dalam bukunya yang sangat fresh yang terbit di tahun 2019 yang berjudul Artificial Intelligence: 101 Things You Must Know Today About Our Future menuliskan 11 skills yang dibutuhkan di masa depan. 

Salah satu keterampilan tersebut ialah mindfulness, suatu kemampuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap suatu hal.

Jauh sebelum Rouhiainen mencantumkan mindfulness sebagai keterampilan penting di era masa kini dan mendatang, 15 tahun sebelumnya, mindfulness menjadi komponen utama bersama acceptance, metakognitif, personal values, dan spiritual dalam terapi “third wave cognitive behavioral”[2,3]. 

Salah satu terapi berbasis third wave, yaitu Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mengakomodasi mindfulness sebagai tools untuk mencapai psychological flexibility dan terlepas dari penderitaan psikologis[3].

Penderitaan psikologis (psychological suffering) dalam ACT bermula ketika individu kaku secara psikologi[3]. Sebagai contoh penderita depresi yang mengembangkan experiential avoidance melalui alkohol sebagai pelarian sekaligus solusi semu atas permasalahan psikologisnya. 

Pada titik ini yang diperlukan adalah mengetahui akar masalah dengan berhenti sejenak mengamati dan menyadari (mindful) pikiran, menerimanya, tapi juga tidak terjerat dengannya, lalu mengembangkan tujuan dan nilai-nilai penting penuh makna serta mengarahkan perilaku sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan. 

Itulah ACT yang mengajarkan individu untuk berpindah dari kekakuan psikologi menuju fleksibilitas psikologi.

Pada era yang serba tidak pasti saat ini dan isu mengenai kesehatan mental yang semakin menjadi perhatian, keterampilan-keterampilan dalam ACT perlu dikembangkan individu. 

Pelatihan ACT memfasilitasi siapapun para pembelajar untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang menunjang fleksibilitas psikologi, yaitu mindfulness, acceptance, cognitive defusion, self as context, dan living with values, serta committed action yang dapat diaplikasikan kepada diri sendiri maupun orang lain.

Terdapat tiga capaian pembelajaran yang dapat dicapai peserta pelatihan ACT: 1) peserta dapat memahami konsep dan cara kerja ACT; 2) peserta dapat membuat desain modul ACT; dan 3) peserta dapat menggunakan dan mempraktikkan elemen-elemen keterampilan dalam ACT dalam permasalahan psikologi sederhana.


Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:

[1]   Fachrudin D. #2019HidupLebihMindful (internet). Mindfulnesia. 2019 (dikutip 8 September 2021). http://www.mindfulnesia.id/2019/01/2019hiduplebihmindful.html

[2]   Hayes SC, & Hoffman SG. Third wave of cognitive behavioral therapy and the rise of process-based care. World Psychiatry. 2017; 16(3): 245-246. DOI:1 0.1002/w ps.20442

[3]   Luoma JB, Hayes SC, & Walser RD. Learning ACT: An acceptance and commitment therapy skills training manual for therapists. Oakland: New Harbinger, 2017.


Sumber gambar:

Kamis, 02 September 2021

Mindful Couple: Hal Terpenting yang Wajib Dilakukan Sebelum Mengenal Pasangan



Oleh Duddy Fachrudin

Perceraian (lagi). 

Mengelola sebuah pernikahan tak semudah jatuh cinta lalu mengatakan i lup yu semata. Dan juga bukan karena aku kamu (baca: kita) terdapat kesamaan lalu membuat janji suci dalam sebuah ikatan. Karena... pernikahan sejatinya adalah manajemen ketidakcocokan. 

Maka belajar saling mengenal pasangan adalah suatu keniscayaan: 

Yaa ayyuhan naasu inna khalaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'ubaw wa qabaa 'ila lita'aarafu, inna akramakum 'indallahi 'atqaakum, innallaaha 'aliimun khabir. (Al-Hujurat)

Namun, mengenal pun bukan hanya tertuju pada pasangan. Mengenali diri seringkali dilupakan dan dinomorduakan.  

Blind self, saat buta tentang diri artinya di saat itu tidak menyadari sepenuhnya diri. Karena jarangnya memberi perhatian, kita tidak mengetahui dan mengenali pikiran, dorongan-dorongan, kebiasaan-kebiasaan, dan keinginan-keinginan, yang pada akhirnya kita "seolah" tidak memiliki pilihan dalam mengambil keputusan. Reaktif berdasarkan pikiran yang melintas dengan super cepat dalam kepala.


Dialektika kesadaran semestinya dibangun menembus lapis-lapis ego. Tapi... seringnya membangun mekanisme pertahanan akhirnya luput dari kewaskitaan. 

Tanpa disadari, waktu terus berlalu  menjadi bom waktu yang meledak tanpa ampun menyisakan rasa malu. Bukannya refleksi diri, tapi saling menghakimi penuh caci maki. 

Awalnya cinta berujung benci. 

Begitulah cerita sang jiwa berliku luka antara rasa dan logika. 

Sumber gambar: