Tampilkan postingan dengan label Depresi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Depresi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Oktober 2023

Strategi QIKI Agar Pikiran Jernih dan Tercegah dari Bunuh Diri



Oleh Tauhid Nur Azhar

Kerap dalam hidup kita terjebak dalam pusar keluh kesah yang menyedot kita ke dalam umbalan kekecewaan tak berujung.

Rasa tak puas, cemas, khawatir terhadap masa depan, berkelindan dengan kekesalan akan pengalaman yang telah dijalankan. Semua berkemuncak dalam sebait kemarahan yang dilisankan, ataupun meletup dalam letusan vulkanis yang masif dan emosional, hingga meninggalkan lubang kaldera yang teramat besar di hati dan jiwa kita.


Hati dan jiwa yang terluka, akan menjadi danau penampung air mata sebagaimana danau Toba menampung jutaan metrik ton air di bekas letusan kawah purbanya.

Dapat pula lelehan magma kecewa itu mengalir secara efusif dan keluar dalam bentuk tekanan solfatara. Merembes dan merasuki begitu banyak aspek kehidupan dan menggerus rasa syukur secara terstruktur, meski kita tak dapat mengidentifikasi dan mengukur dampak yang terjadi.


Tapi tentulah apapun jenis letusan dan letupan perasaan yang kita analogikan dengan erupsi gunung api; bisa meledak hebat seperti tipe letusan Plinian, ataupun yang mengeluarkan materi piroklastik seperti ada tipe Hawaiian, tetap saja rasa marah dan kecewa itu pada mulanya akan menghanguskan.

Meski pada tahap berikutnya jadilah ia pupuk yang menumbuhkan benih-benih pembelajaran yang akan berakar kokoh untuk menopang pokok-pokok pengetahuan agar mampu menghasilkan tajuk-tajuk makrifat kesadaran.

Dan apabila tajuk kesadaran itu merindang, maka kesejukan pikir pun akan datang. Berdendang riang, berbagi suara dengan lantun zikir yang membulir dalam sebentuk embun bening peradaban yang dibangun dari pemahaman akan hakikat keberadaan dan esensi kehadiran (presensi).

Dalam hening jiwa yang berkesadaran, kesiur lirih, tipis, dan subtil dari setiap helai kebahagiaan, telah mampu membangkitkan generator rasa syukur yang dikonstruksi oleh mekanisme tafakur dalam perjalanan hidup yang semangat bertadabbur.

Pada saat kita gagal menata hati dan terjerembab dalam jurang merutuki yang menggelincirkan kita dalam pusaran keluh kesah tadi, maka situasi hati akan terus terdistorsi, dan bahkan terdestruksi. Keluh kesah, kecewa, dan rasa kufur akan bersama mengubur rasa syukur dan menimbuninya dengan torehan kepedihan yang amat menyakitkan.

Hidup tak lagi indah, putus asa dan rasa lelah lahir bathin akan melanda, bahkan di penghujung hari kadang terbersit keinginan untuk bunuh diri. 

Bukankah hasrat dan syahwat untuk mengejar nikmat secara terkendali adalah fitrah bagi kita yang hidup untuk berkompetisi dan berprestasi? Fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam menimba kebajikan dari sumur pengalaman yang dipenuhi dengan air pelajaran, untuk menghasilkan bertangkup-tangkup kebaikan.

Ketika gairah hidup surut, dan segenap semangat untuk mengaktualisasi diri bermuara pada apatisme dan rasa sepi, maka dalam panduan diagnosis ICD-10, ada kemungkinan kita telah memasuki fase depresi. Adapun depresi itu sendiri terdiri dari beberapa kategori, sebagaimana penjelasan berikut ini;

1. Depresi Mayor

Depresi ini diartikan sebagai jenis depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa sepanjang waktu. Gejala bisa berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Terlepas dari berapa lama gejala berlangsung, depresi berat dapat mengganggu aktivitas dan kualitas hidup penderitanya. berikut ini gejala dari depresi mayor:

• Suasana hati yang murung dan suram
• Kehilangan minat terhadap hobi atau aktivitas lain yang sebelumnya disukai
• Perubahan berat badan
• Gangguan tidur
• Sering merasa lelah dan kurang berenergi
• Selalu merasa bersalah dan tidak berguna
• Sulit berkonsentrasi
• Kecenderungan untuk bunuh diri

2. Depresi Persisten

Depresi persisten atau distimia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi depresi yang bersifat kronis. Gejala yang ditimbulkan sama dengan depresi pada umumnya, namun depresi jenis ini berlangsung lama bahkan hingga bertahun-tahun. Seseorang dapat disebut menderita depresi persisten apabila ia merasakan gejala depresi yang menetap selama setidaknya 2 bulan secara terus menerus dan hilang timbul dalam waktu 2 tahun.

3. Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat drastis. Seseorang yang memiliki gangguan bipolar bisa merasa sangat senang dan berenergi di suatu waktu, namun tiba-tiba menjadi sedih dan depresi. Pada saat berada dalam fase senang dan berenergi (mania atau hipomania), penderita bipolar akan mengalami beberapa gejala berikut ini:

• Optimis dan tidak bisa diam
• Sangat berenergi dan lebih bersemangat
• Percaya diri yang berlebihan
• Susah tidur atau merasa tidak perlu tidur
• Nafsu makan meningkat
• Banyak pikiran

Setelah berada dalam fase mania atau hipomania untuk beberapa waktu, orang yang memiliki gangguan bipolar biasanya akan masuk ke fase mood yang normal, lalu kemudian masuk ke fase depresi. Perubahan mood ini bisa terjadi dalam waktu hitungan jam, hari, atau berminggu-minggu.

4. Depresi Psikotik

Depresi psikotik ditandai dengan gejala depresi berat yang disertai adanya halusinasi atau gangguan psikotik. Penderita depresi jenis ini akan mengalami gejala depresi dan halusinasi, yaitu melihat atau mendengar sesuatu yang sebetulnya tidak nyata.

Tipe depresi ini lebih banyak terjadi pada orang tua. Meski begitu, orang yang masih muda pun bisa saja mengalaminya. Selain usia lanjut, riwayat trauma psikologis yang berat di masa kecil juga dikatakan dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami depresi psikotik.

Pada wanita sebagai makhluk Tuhan yang hebat dan unik, kondisi overthinking yang terjadi menjadi lebih kompleks dengan kehadiran sistem hormonal yang spesial, hingga dikenal pula kasus-kasus depresi pasca persalinan atau postpartum depression dan premenstrual dysphoric disorder (PMDD) dimana keduanya maujud dalam berbagai bentuk perubahan perilaku temporer yang dapat berdampak signifikan pada yang bersangkutan.

Faktor pemantik terjadinya depresi sebenarnya cukup beragam, mulai dari adanya pengaruh dari aspek genetik, seperti adanya dinamika ekspresi dari gen MTHFR, pola pengasuhan, pajanan budaya, juga pengembangan kapasitas resiliensi yang amat banyak dipengaruhi oleh pola pendidikan dan model interaksi di keluarga dan masyarakat.

Tetapi intinya, depresi dapat terjadi pada siapa saja yang mendapat tekanan multi dimensi hingga mengalami kondisi kronis kejiwaan yang tak sepenuhnya tertangani. Kesadaran akan peran tempat bersandar yang melabuh segenap nalar memberikan kita peluang untuk merasakan aliran energi tak berkadar yang dapat menebar dan menyebar hingga menumbuhkan pondasi kekuatan iman yang berakar.

Maka primary skill untuk menata rasa syukur dan mengelola potensi kufur akan bermuara pada pembeda nikmat dan azab yang akan mewarnai perjalanan kita sebagai manusia (QS Ibrahim ayat 7)

Akankah kita terbenam semakin dalam di dunia yang perlahan mengelam? Ataukah kita akan menjelma menjadi si penyelam yang menyelami samudera masalah dengan menikmati, bahkan menemukan banyak mutiara hikmah yang kelak menjadi aset kekayaan jiwa dan hati di kemudian hari?

Barangkali secara teori, mereka yang selalu mengkomparasi diri dengan lian akan menghasilkan semangat berkompetisi untuk meningkatkan raihan prestasi yang berkorelasi dengan terjadinya peningkatan kompetensi. 

Di sisi lain, dapat terjadi disrupsi yang menghadirkan kegalauan dan kekecewaan berkepanjangan. Misal dengan menyesali bentuk tubuh yang telah dikaruniakan, keluarga yang telah diberikan, ataupun berbagai kondisi yang masuk dalam circle of concern-nya Stephen Covey, terjadi di luar kuasa diri untuk mengendali. 

Kita marah karena mampu mengidentifikasi hal yang tak semestinya terjadi, dan semakin marah atau kecewa karena tak mampu dan kuasa mengubahnya sesuai dengan keinginan diri. Kita seolah dipaksa untuk menerima kondisi karena keterbatasan daya kendali.

Maka mungkin formula QIKI dapat kita coba hayati, dan jika memungkinkan kita terapkan dalam keseharian. Adapun QIKI adalah Qana'ah, Ikhlas, Kanyaah, dan Istiqomah.

Qana'ah secara definisi adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana'ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang melekat pada dirinya adalah kehendak Allah SWT.

Jika dilambari dengan keikhlasan dan kanyaah yang dalam bahasa Sundanya memiliki makna yang amat mendalam; cinta yang merawat dan memelihara. Cinta yang menumbuhkan sebagaimana kasih sayang seorang Ibu pada anaknya. Cinta seperti matahari yang senantiasa sabar menyinari tanpa pernah berharap kembali. Cinta yang menautkan hati dalam getar frekuensi yang memudahkan kita untuk saling berbagi secara konsisten atau istiqomah, karena semua yang melekat hidup dan diri ini semata adalah amanah yang dititipkan Allah.

Maka layaknya sebuah pendakian menuju Puncak Indrapasta yang membutuhkan bekal perjalanan, QIKI merupakan sarana yang dapat dilatih oleh manusia dalam mengarungi kehidupan ini agar senantiasa sehat secara mental dan juga hati. Bukankah saat ini kesehatan mental adalah universal human right?

Sumber gambar:

Selasa, 15 November 2022

Mindful Lansia: Mindfulness dan Penyesuaian Diri pada Masa Purna Karya


Oleh M. Grace B. Marlessy 

Menua, bagi sebagian orang merupakan proses yang tidak begitu mudah dijalani. 

Di dunia kerja, mereka yang telah sampai pada usia purna karya seringkali perlu berjuang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang tak terhindari. Sebenarnya perubahan tersebut memang tidak sepenuhnya buruk. Ada pula hal-hal yang justru dirasakan lebih menyenangkan setelah mengalaminya. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa proses ini kerap dipandang dan disikapi sebagai sebuah pengalaman yang negatif, setidaknya pada masa-masa transisi awal.

Banyak aspek kehidupan yang terpengaruh ketika seseorang memasuki masa purna karya. Mulai dari berubahnya rutinitas sehari-hari, berkurangnya produktivitas, hilangnya status, kekuasaan, maupun lingkungan sosial yang semula dimiliki, penghasilan menurun, dan sebagainya. 

Perubahan tersebut bisa menimbulkan beragam perasaan dan suasana hati. Dapat pula berkontribusi pada munculnya kecemasan, depresi, masalah konsep diri, kesepian, bahkan memicu krisis eksistensial bila orang tersebut tidak berhasil menemukan strategi coping yang efektif.

Hal itu dapat terjadi pada siapa pun yang menjalaninya, tak terbatas pada kelompok lanjut usia saja. Tiap orang dapat mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri pada masa ini, tak peduli berapa pun usianya saat mulai memasuki purna karya. 

Setiap negara memang menetapkan batas usia berbeda untuk mengakhiri masa kerja. Ada yang menentukan mulai usia 49 tahun, 56 tahun, bahkan 65 tahun, bervariasi dari tahap perkembangan dewasa madya hingga lanjut usia. Di beberapa negara, jenis kelamin dan jenjang jabatan juga menjadi faktor penentu batas usia ini.

Meskipun demikian, pada dasarnya perubahan yang dialami dalam konteks purna karya adalah perubahan besar yang sama. Dalam konsep hirarki kebutuhan dari Maslow, maka masa ini dapat menjadi ancaman terhadap hampir semua kebutuhan seseorang (fisiologis, rasa aman, cinta/ belongingness, dan harga diri). Bisa pula berlanjut hingga akhir hidup seseorang.

Pada tulisan ini, batasan masa purna karya merujuk pada Retirement Phase menurut pembagian Robert Atchley. Fase ini terdiri dari 4 (empat) tahap, yakni:

1. Honeymoon, saat seseorang bersemangat menikmati kebebasan dari rutinitas kerjanya, karena ia tak lagi terikat dan dapat melakukan apapun yang diinginkan.

2. Kemudian menyusul tahap Disenchantment/ Disappointment, saat ia mulai ragu atau mempertanyakan keadaannya sekarang. Tahap ini sering ditandai dengan kekecewaan, kecemasan, depresi, dan berbagai pikiran serta perasaan negatif. Bila kemudian ia mampu melewatinya dengan baik, maka ia pun mencapai tahap ketiga.

3. Reorientation menjadi titik balik sewaktu seseorang dapat bangkit, menemukan arah dan makna hidup yang baru.

4. Setelah itu barulah hadir tahap berikutnya, yakni Retirement Routine/ Stability, saat ia menjalani hidup sesuai misi atau tujuan terakhirnya.

Sebagian orang, terutama yang telah mempersiapkan diri dengan baik, biasanya lebih mudah menerima dan menyelaraskan diri dengan realitas baru tersebut. Dengan demikian, jika pun mereka mengalami saat-saat yang cukup berat dalam prosesnya, maka hal itu dapat diatasi cukup cepat. 

Memang, menerima adalah jenis respon pertama dan yang paling sehat dalam menyikapi situasi ini.

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masa purna karya. Mereka menampilkan dua jenis respon yang berbeda, yaitu: terpaksa menerima, atau menolak (Biya & Suarya, 2016). Jumlah mereka tidak sedikit (Finansialku, 2016). 

Mereka inilah yang sering kali terjerumus cukup lama dalam berbagai masalah, seperti: kecemasan, ketidakbahagiaan, depresi, memburuknya relasi, bahkan pada mereka yang sebelumnya memiliki jabatan struktural cukup tinggi juga terlihat gejala post power syndrome (Biya & Suarya, 2016).

Pertanyaannya: Bila demikian, lalu apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan cepat pada realitas masa purna karya?

Ternyata, beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa menjalani terapi berbasis mindfulness dapat membantu mengoptimalkan proses penyesuaian diri tersebut. 

Intervensi psikologi berbasis mindfulness adalah berbagai terapi yang memadukan mindfulness dengan ragam teknik terapi lain.

Mindfulness sendiri secara sederhana dapat digambarkan sebagai kondisi ketika pikiran, perasaan, dan tubuh berada pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan (Fachrudin, 2017).

Salah satu penelitian di Denmark menunjukkan peningkatan resiliensi dan well-being yang signifikan pada para peserta pra purna karya yang telah mengikuti program MBSR atau Mindfulness-Based Stress Reduction selama 8 minggu (Diachenko et.al., 2021). Mereka mengalami kemajuan pesat dalam hal penerimaan dan kelenturan psikologis. Pun menjadi lebih menyadari pikiran atau perasaan tanpa menilai, dan lebih mampu menerima serta mengasihi diri sendiri.

Dalam bukunya Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.), Segal et. al. (2013) juga menyebutkan bahwa banyak dari mereka yang mengalami depresi lalu mengikuti MBCT, menjadi lebih mudah mengenali pemicu relapse serta menanganinya dengan pikiran dan aktivitas positif. Selain itu mereka pun mampu lebih berempati, meningkatkan relasi dengan orang lain, dan terampil mengamati pikiran atau perasaan apapun yang muncul tanpa terseret ke dalamnya.

Berdasarkan berbagai gambaran di atas, maka sebenarnya mempelajari dan mempraktikkan teknik-teknik mindfulness secara teratur dapat mempermudah penyesuaian diri dalam masa purna karya, karena akan melatih seseorang untuk hidup berkesadaran serta penuh penerimaan.

Referensi:
Biya, C. I. M. J., & Suarya, L. M. K. S., (2016). Hubungan Dukungan Sosial dan Penyesuaian Diri pada Masa Pensiun Pejabat Struktural di Pemerintahan Provinsi Bali.

Diachenko, Maria, et. al., (2021). Pre-retirement Employees Experience Lasting Improvements in Resilience and Well-Being After Mindfulness-Based Stress Reduction. doi.org/10.3389/fpsyg.2021.699088

Fachrudin, Duddy, (2017). Apa Itu Mindfulness? http://www.mindfulnesia.id/2017/03/apa-itu-mindfulness.html

Finansialku (2016). Mengapa Banyak Karyawan Cemas Menghadapi Masa Pensiun?

Segal, Zindel V., Williams, J. M. G., & Teasdale, John D. (2013). Mindfulness-Based Cognitive Therapy for Depression (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Sumber gambar:

Selasa, 24 Agustus 2021

Mindful Parenting: Warisan Terbaik Orang Tua Adalah...


Oleh Duddy Fachrudin 

Sebelum lebaran tahun ini saya kedatangan seorang wanita muda. Ia mengaku pernah didiagnosis depresi dan bipolar. Selama sebulan terakhir ia melakukan meditasi bersama temannya di Jakarta. Wanita itu bisa merasakan ketenangan saat meditasi, namun ketika berhadapan dengan sumber stresnya, yaitu ibunya sendiri, ketenangan itu menjauh darinya.

Ibunya. Ya, ibunya adalah stressor utama.

Menurut tantenya yang mengantar wanita muda ini menemui saya, bahwa ibunya menitipkan ia ke kakek-neneknya sejak usia 2 hingga 9 tahun. Sebelum itu ibunya banyak mengalami konflik dengan ayahnya. Perceraian dipilih sebagai jalan akhir. Sang ibu kemudian fokus melanjutkan studi dan karier dalam bidang kedokteran kecantikan. Singkatnya, pola asuh dinomorduakan.

Hubungan sang ibu dan anak disharmonis. Kurangnya pemahaman tentang pola pengasuhan dan ketidaktepatan dalam penerapannya memperburuk relasi antara mereka berdua. Saling menghakimi dan menang sendiri, serta menutup diri dari berbagai perspektif hanya meluaskan konflik yang tak kunjung usia.

Experiential avoidance dengan merokok dan meminum minuman beralkohol yang kemudian dilakukan wanita ini memang menghasilkan ketenangan. Namun, rasa itu hanya sesaat, palsu, dan pastinya tidak akan pernah menjadi solusi bagi penderitaannya. 

Ibunya juga pasti merasakan hal yang sama. Tapi bingung dan tidak tahu cara menyelesaikan permasalahan ini. 

Siklus berulang atau fraktal tentang disharmonis dan disfungsi keluarga mungkin terjadi selama nirdukungan dalam membenahi mental masing-masing. Padahal keluarga memainkan peran vital bagi pembentukan kesehatan mental individu di dalamnya. Maka warisan terbaik keluarga atau orangtua kepada anaknya bukanlah harta mereka, melainkan keindahan perilaku yang mereka pancarkan dalam setiap gerak pengasuhan.


Wanita ini berencana pergi ke Ubud, Bali dan melanjutkan meditasinya sambil mengerjakan skripsi. Sementara tantenya masih terheran-heran dengan rencananya tersebut. "Ke Bali, meditasi? Untuk apa? Meditasi kan ritual agama hindu?," tanya tantenya yang juga adik kandung dari ibu wanita muda ini. 

Saya hanya bilang, "good" kepada wanita muda ini, lalu bertanya mengenai skripsinya. 

She seemed pleased with my attention. Dan ketika saya mendengarkan penjelasannya, she felt good... she felt happy to be heard. Seolah-olah selama ini ia jarang didengarkan oleh keluarganya. 

Lantas saya bertanya kepada tantenya, "Pernahkah ia dipeluk selama ini?". Sang tante hanya diam. Maka biarkan wanita ini memeluk masa lalu dan dipeluk ketenangan melalui meditasi.   

Sumber gambar: 

Minggu, 03 November 2019

Kamu, Kesalahan yang Harus Aku Hapus (Cegah Depresi dengan STOP)


Oleh Duddy Fachrudin

Tidak dipungkiri setiap manusia pernah berbuat alpa. Kesalahan di masa lalu kerap kali menghantui dan menjadikan individu merasa bersalah berlebihan.

Akhirnya timbul penilaian-penilaian negatif yang menjerumuskannya ke dalam penjara pikiran.

Aku merasa tidak berguna.
Masa depanku suram.
Kehidupan ini adalah kesunyian tak berujung.

Depresi dicirikan oleh pandangan negatif terhadap diri, masa depan, dan juga dunia. Oleh Mbah Aaron T. Beck tiga perspektif itu disebut Negative Triad.

Maka saat salah satunya terlintas dalam pikiran kita, lakukanlah STOP:

S: Stop, lakukanlah pause atau jeda. Diam sejenak untuk tidak melakukan apa-apa. Hal ini meminimalisir dari berbuat reaktif.

T: Take a breath, tarik napas, amati dan sadari udara yang masuk dan keluar. Berikan perhatian penuh (mindful) pada napas.

O: Observe, amati pikiran yang muncul. Misal Negative Triad itu muncul kita berkata: "oh ada pikiran saya yang mengatakan bahwa saya tidak berguna". Mengijinkan pikiran itu hadir tanpa penilaian. Lama-lama pikiran itu akan menghilang dengan sendirinya.

P: Proceed, lanjutkan aktivitas, misal dengan membuat teh atau kopi, atau sejenak berjalan kaki, atau berbicara dengan seorang kawan.

Maka tak perlu melarikan diri dari masa lalu kan. Praktikkan STOP dan berfokus menghapus bayang-bayang kamu (baca: masa lalu yang kelam) dengan melakukan berbagai kebaikan di masa sekarang dan selanjutnya.

Wa aqimis sholaata torafayin-nahaari wa zulafam minal-laiil, innal hasanaati yudz-hibnas-sayyi'aat, dzalikaa dzikroo lidzaakiriin. (QS. Hud: 114)

Mari peduli dengan kesehatan mental kita dan kesehatan mental orang lain.

Sumber gambar:

Minggu, 08 September 2019

Bisakah Depresi Disembuhkan?


Oleh Duddy Fachrudin

Tiga hari ini berita meninggalnya mahasiswa ITB benar-benar menjadi perhatian dalam pikiran. Bukan hanya karena faktor lokasi meninggalnya yang merupakan daerah tempat kos saya dulu, tapi juga kesehatan mental di kalangan young people sudah harus menjadi prioritas utama kita semua.

Membaca blognya (alm) memang menyiratkan depresi, bahkan bisa dikatakan severe dengan disertai gejala psikotik berupa keyakinan-keyakinan delusional. OST Bioshock Infinite, "Will The Circle Be Unbroken" yang diputar saat ia gantung diri menegaskan hal itu.

Sungguh berat saat berada diposisinya. Pikiran ruminasi yang mendominasi tak kunjung berhenti. Depresi. Sendiri. Tidak ada yang memahami. Kesulitan dalam coping strategi. Ketiadaan cinta. Hampa. Tanpa makna. Untuk apa? Ya sudah.

Prevalensi depresi kian meningkat. Penelitian terbaru dari Peltzer & Pengpid (2018) sendiri mencapai 21,8%. Itu di Indonesia. Tinggi loh.

Lalu bagaimana menyembuhkan depresi?

Mari sedikit mengambil pelajaran dari Ruby Wax, seorang komedian yang depresi. Saat gejala itu muncul ia malah memutuskan mengambil studi S-2 di Oxford University. Ia tidak belajar bisnis, manajemen, seni, atau apapun yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai seorang artis. Ia belajar psikologi, ingin tahu tentang dirinya. Ruby Wax mengambil studi Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT).

Ia bukan hanya belajar, tapi tentu juga diterapi dengan MBCT. It works. Namun kata Ruby dalam bukunya Sane New World: Taming The Mind (2013), mungkin belum tentu MBCT berhasil bagi orang lain.

Suatu pendapat yang bijaksana. Karena MBCT didesain sesuai dengan kebutuhannya: ingin tahu tentang dirinya (tentang mengapa ia depresi). Dalam MBCT Ruby Wax belajar mekanisme pikiran, neurobiologi, bagian otak yang berpengaruh dalam depresi, neuroplastisitas, dan tentunya beberapa teknik mindfulness dan latihan-latihan kognitif-perilaku.

Depresi bisa dialami siapa saja. Maka yang paling penting, sudahkah kita siap untuk mengatasinya? Sudahkah kesehatan mental menjadi prioritas dalam hidup kita?

Maka bagi yang saat ini sedang mengalami permasalahan mental, please segera menghubungi psikolog atau psikiater terdekat.

Atau ingin mencoba strategi Ruby Wax dengan mempelajari MBCT?

Referensi:
Peltzer, K., & Pengpid, S. (2018). High prevalence of depressive symptoms in a national sample of adults in Indonesia: Childhood adversity, sociodemographic factor and health risk behavior. Asian Journal of Psychiatry, 33, 52-59, doi: 10.1016/j/ajp.2018.03.017.

Wax, R. (2013). Sane new world: Taming the mind. London: Hodder & Stoughton Ltd.

Sumber gambar: 
Dokumentasi Pribadi

Senin, 12 Agustus 2019

Cara Mencegah Kekambuhan Depresi (MBCT Workshop Batch #5)


Oleh Duddy Fachrudin

Penggunaan mindfulness sebagai pendekatan intervensi psikologi berkembang pesat selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari jumlah publikasi ilmiah yang terdata oleh American Mindfulness Research Association (AMRA) dari Web of Science (WoS) yang mencapai 5000 publikasi (1980-2018)[1]. Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) menjadi pelopor intervensi berbasis mindfulness yang dikembangkan sejak tahun 1979 di Klinik Reduksi Stres di Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts. Tujuan dari MBSR sendiri adalah membantu orang-orang yang mengalami stres, kecemasan, depresi, dan rasa nyeri[2].

Seiring dengan hasil yang signifikan, MBSR kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam intervensi berbasis mindfulness lainnya. Berawal dari konsep metacognitive awareness yang dikembangkan Barnard dan Teasdale[3], Segal dan Williams kemudian mengajukan Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) yang bertujuan mencegah kekambuhan depresi dan stres emosional lainnya[3][4][5]. Kolaborasi dan sinergi MBSR dan Cognitive Therapy ini juga suatu bentuk generasi kedua dari terapi berbasis penerimaan, Acceptance and Commitment Therapy.

World Health Organization (WHO) melaporkan jumlah penderita depresi mengalami kenaikan sebesar 18% sejak tahun 2005 hingga 2015. Setidaknya, ada 300 juta orang di dunia ini yang mengalami gangguan depresi[6]. Angka ini tentu mengkhawatirkan karena berpotensi semakin naik jika tidak ada upaya dan strategi baru, khususnya intervensi psikologi untuk menangani depresi. Intervensi MBCT bisa menjadi alternatif dari pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT) murni yang bisa digunakan oleh para profesional healthcare seperti psikolog dan dokter dalam menangani klien atau pasien-pasiennya.

Workshop MBCT mengakomodir dan memfasilitasi profesional healthcare yang tertarik mempelajari mindfulness sebagai bentuk intervensi psikologi yang dikolaborasikan dengan terapi kognitif. Total waktu pembelajaran tatap muka selama 13 jam (2 hari) menjadi bekal awal mengenal, memahami sesi dan cara kerja MBCT. Workshop ini juga memfasilitasi keterampilan mindfulness dan CBT, serta bagaimana memberikan MBCT kepada klien atau pasien.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>  

Referensi:
[1] https://goamra.org/resources/
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness-based_stress_reduction
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness-based_cognitive_therapy
[4] Teasdale, J., Williams, M., & Segal, Z. The Mindful Way Workbook: An 8-Week Program to Free Yourself from Depression and Emotional Distress. New York: The Guilford Press 2014.
[5] Sipe, WEB., & Eisendrath, SJ. Mindfulness-based cognitive therapy: Theory and practice. The Canadian Journal of Psychiatry 2012; 57(2): 63-69.
[6] https://www.who.int/news-room/detail/30-03-2017--depression-let-s-talk-says-who-as-depression-tops-list-of-causes-of-ill-health

Rabu, 31 Juli 2019

Obat Depresi: Menerima dan Membuatnya Merasa Berharga


Oleh Nita Fahri Fitria

Pernahkah kita merasa berada dalam keramaian tapi tetap terasa sepi? Bagi sebagian orang, hal ini mungkin saja sesuatu yang asing. Bagaimana bisa merasa sepi di tengah hiruk pikuk manusia?

Tapi, sejatinya kondisi ini banyak dialami oleh beberapa orang di sekitar kita. Mungkin dia adalah adik, kakak, teman, atau bahkan pasangan kita. Dan kita sering kali tidak menyadari kehadiran orang-orang yang kerap merasa kesepian ini meski saat kita ada di sisinya. Bagaiamana bisa?

Perasaan kesepian adalah bagian dari dimensi depresi. Dan orang-orang yang menghadapi depresi ini kerap tidak muncul di permukaan, sehingga mereka tetap tampil sebagai orang biasa yang seolah tak punya masalah.

Mereka bisa jadi sangat bersinar, digandrungi banyak orang, tapi mereka memiliki satu ruang hampa dalam dirinya. Sebuah ruang mirip sumur, dalam, gelap, sepi, dan tak ada yang tahu seberapa dalamnyanya. 

Ada di antara bingar, tapi hanya bisa berdialog dengan pikiran dan rasa yang jauh terkungkung dingin dan gelapnya sumur. 

Hendaknya kita lebih mahfum dengan berita-berita seputar selebriti papan atas yang secara mengejutkan mengakhiri hidupnya sendiri di tengah puncak popularitas. Yang tidak lain didorong oleh kondisi depresi yang dialami selama bertahun-tahun.

Penghujung tahun 2017, seorang idol kenamaan Korea menghembuskan nafas terakhirnya setelah menghirup karbon monoksida di sebuah kamar. Tentu publik tercengang, karena idol satu ini tengah bersinar. Sekali ia muncul dipublik, maka jutaan fans akan berjerit memanggil namanya, “Saranghaeo Oppa”. 

Rupanya, jutaan ungkapan cinta itu tidak cukup membuatnya merasa dicintai dan berharga. Ia tidak merasa cukup berharga untuk terus tampil di publik, begitu ujarnya pada sang sahabat. 

Sepeninggal sang idol, publik teringat pada salah satu lagu penyanyi bernama Lee Hi yang rupanya ditulis oleh sang Idol, berjudul “Breath”.

Liriknya begitu dalam, mengisahkan seseorang yang berjuang meregulasi berbagai rasa yang ada. Dalam lirik tersebut, penulis berkata pada dirinya sendiri untuk menarik nafas panjang saat merasa lelah, untuk mengucapkan "tidak apa-apa" saat melakukan kesalahan, dan kalimat pamungkasnya: you did a great job

Bayangkan, ia menulis itu untuk dirinya sendiri sebagai sebuah proyeksi atas kehampaan yang ia rasa atas segala pencapaian yang dipunya. Kondisi ini bisa jadi tidak disadari oleh orang-orang di sekelilingnya.

Maka mulai sekarang, mari kita lebih peka terhadap orang-orang terkasih di samping kita. Tunjukkan perhatian penuh ketulusan, dan menahan diri untuk mengomentari hal negatif di dalam dirinya. 

Memberikan saran ada adab dan ada waktunya. Jangan sampai komentar kita malah kemudian menjatuhkan percaya dirinya, karena itu disampaikan saat ia benar-benar dalam kondisi psikologis yang buruk, sehingga betul-betul ia hayati sebagai sebuah kehampaan. 

Tidak lupa, apresisasi sederhana atas apapun yang dilakukan oleh orang terkasih amatlah perlu kita biasakan. Memberikan apresiasi dan menerima kekurangannya akan membuat ia merasa berharga dan punya lebih dari cukup alasan untuk “tetap hidup”. 

Sumber gambar:

Minggu, 13 Mei 2018

Mindful Diet: Ketika Makanan Mempengaruhi Perilaku Kita (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dalam bukunya yang berjudul Gut and Psychology Syndrome (2004), Dr. Natasha Campbel-McBride menyatakan bahwa makanan yang mengandung kasein dan gluten dicurigai dapat mempengaruhi kesehatan usus pada orang-orang tertentu, terutama pada penderita autis.

Kasein adalah protein yang terkandung dalam susu dan produk makanan dan oats, misalnya tepung terigu, roti, oatmeal dan mie instant. Bagi penderita autis, gluten dan kasein dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna kedua jenis protein ini.

Akibatnya protein yang tercerna dengan baik akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid atau opiate. Opioid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin (racun) dan mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas.

Itulah mengapa, penderita gangguan perilaku yang terkait dengan gangguan pencernaan seperti autis disarankan untuk menjalani diet bebas gluten dan kasein atau diet GFCF (Gluten Free and Casein Free) selama 3-6 bulan. Ini merupakan contoh yang terjadi pada anak-anak, khususnya pengidap autisme.

Bagaimana dengan orang dewasa? Jawabnya adalah sama saja.

Makanan berpengaruh besar terhadap kondisi fisik dan psikologis seseorang. Pola makan yang buruk dan jenis makanan yang kurang bergizi lagi-lagi menjadi biang dari terganggungnya kinerja neurotransmitter di otak.

Kita ambil contoh makanan bergenre fast food yang tinggi kadar garamnya. Para ahli masak menemukan bahwa garam yang dihidangkan dalam kondisi panas bisa menambah rasa gurih makanan sebagaimana chinesse food yang menggunakan MSG.

Garam itu ada yang berbentuk kristal, setengah cair (semi liquid) dan cair (liquid). Garam yang berbentuk kristal akan menjadi semi liquid jika dipanaskan di atas suhu 100 derajat celcius. Saat dipanaskan, garam akan mengalami perubahan struktur molekul, sehingga cita rasanya tidak menempel di reseptor asin lidah, akan tetapi di reseptor umami yang mendeteksi rasa gurih serta kelezatan makanan.

Maka, jangan heran apabila yang namanya fast food selalu dihidangkan dalam kondisi panas. penyebabnya adalah karena rasa gurih dari makanan tersebut didapatkan dari garam semi liquid yang dipanaskan. Kalau dihidangkan dalam kondisi dingin, kelezatannya akan berkurang dan rasa asinnya akan sangat terasa.

Disadari atau tidak, dalam suasana kompetitif para produsen makanan, kadar garam yang dibubuhkan ke dalam masakan telah melebihi ambang batas. Alasannya adalah dengan semakin banyak garam yang dibubuhkan, semakin lezat pula cita rasa masakan yang dihidangkan.

Bayangkan kalau seseorang tiga kali dalam sehari makanannya fast food! Apa yang akan terjadi?

Kadar garam dalam tubuhnya akan terakumulasi melebihi batas normal. Kondisi ini pada akhirnya akan mendatangkan masalah serius bagi kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Masalah kesehatan tersebut antara lain: (1) obesitas alias kegemukan; (2) penyakit jantung, diabetes, serta darah tinggi; (3) depresi yang menyebabkan meningkatnya angka bunuh diri. Depresi ini akan menjadikan orang agresif dan mudah melakukan tindakan di luar kendali akal sehat, seperti membunuh atau bunuh diri.

<<< Halaman sebelumnya

Referensi:
Campbell-Mcbride, N. (2004). Gut and psychology syndrome: Natural treatment for autism, ADD/ADHD, dyslexia, dyspraxia, depression, schizophrenia. United Kingdom: Medinform Publishing.

Sumber gambar:
https://exploringyourmind.com/whats-the-relationship-between-emotions-and-obesity/

Jumat, 06 Oktober 2017

Bangkit dari Depresi Setelah Membaca Cerita Ini


Oleh Duddy Fachrudin

Depresi oh depresi. Gangguan ini diperkirakan menjadi penyakit yang mematikan setelah penyakit jantung di tahun 2020. Berita-berita saat ini menunjukkan penderita depresi yang memutuskan bunuh diri. Mulai dari artis hingga remaja biasa. Mulai Robin Williams, Chester Bennington, hingga saat ini yang menjadi trending yaitu seorang remaja putri yang bunuh diri di atas rel kereta kereta api di Cibinong, Bogor. “Aku merasa tidak ada artinya,” begitu salah satu statusnya di media sosial sebelum ia bunuh diri.

Menjelang Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober, kita perlu melakukan refleksi atau bahkan mendesain ulang kebutuhan hidup kita. Jika saat ini kebutuhan hidup kita berkisar pada kebutuhan dasar seperti makan, minum, lalu kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, Kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan belajar dan mengaktualisasikan diri, maka sudah sepatutnya kita menambahkan satu kebutuhan penting dalam hidup. Kebutuhan tersebut yakni kesehatan mental (mental health).

Maka cerita inspiratif dari dunia One Piece karangan sensei Oda yang diambil dari buku “10 Pesan Tersembunyi & 1 Wasiat Rahasia” ini dapat menjadi asupan dan nutrisi akan kebutuhan kesehatan mental. Khususnya terhindar dan terlepas dari jeratan depresi:

Cerita inspiratif dari Nico Robin, salah satu karakter dalam One Piece

Dengar baik-baik Robin... Mungkin sekarang kau sendirian. Tapi, kelak... Kau pasti akan bertemu teman! Laut sangat luas... Kelak kau pasti akan bertemu! Teman-teman yang akan melindungimu. TIDAK ADA SEORANG PUN DI DUNIA INI YANG DILAHIRKAN BENAR-BENAR SENDIRIAN!
(Haguar D. Sauro kepada Robin di Pulau Ohara)

Nico Robin dianggap wanita iblis yang dapat menghancurkan dunia oleh Angkatan Laut. Oleh karena itu ia berada dalam daftar buruan sejak umurnya 8 tahun sebesar 79 juta Berry. Untuk bisa mempertahankan hidupnya, ia harus masuk berbagai organisasi, namun setiap organisasi yang ia masuki hancur kecuali dirinya. Sejak kecil Robin dianggap pembawa sial dan monster oleh penduduk pulau Ohara, padahal ia hanya seorang bocah yang memiliki minat terhadap buku dan arkeologi. 

Robin memiliki impian untuk mengungkap poneglyph yang bisa menceritakan sejarah yang sebenarnya. Namun, gara-gara label “wanita iblis”, “pembawa sial”, dan “monster” yang ia terima sejak kecil, masyarakat dunia menjauhinya. Ia tidak memiliki teman yang bisa diajak berbagi dan berjuang bersama-sama mewujudkan impiannya. Satu-satunya yang bisa mengerti dirinya adalah ibunya dan para sarjana Arkeolog Ohara. Namun, setelah pemerintah dunia menghancurkan Pulau Ohara, ia benar-benar tidak memiliki siapapun. 

Robin menerima banyak penolakan atas eksistensinya. Keberadaan dirinya sudah seperti kejahatan bagi masyarakat dunia. Dan ketika di Enies Lobby, ia sudah pasrah dengan kehidupan, yang ia inginkan hanya kematian meskipun Luffy dan kawan-kawannya berusaha membebaskannya dari CP 9. Hal itu terjadi akibat penolakan-penolakan yang ia terima, sehingga ia merasa sebagai beban dan pembawa sial jika bergabung bersama Bajak Laut Topi Jerami. Meskipun begitu, dalam hatinya sangat bahagia bersama sahabat-sahabatnya yang bisa menerima dirinya. 

Saat Robin sudah pasrah akan kematian, Luffy berkata, “Robin!!! Aku belum mendengarnya langsung darimu. Katakan, AKU INGIN HIDUP!!!”. 

Robin tergetar hatinya, matanya memancarkan air mata. Di saat orang-orang mengatakan ia tidak pantas untuk hidup, Luffy mengatakan sebaliknya. Di saat penduduk dunia menolak keberadaannya, Luffy dan teman-temannya menerima dan mendukung impian-impiannya. Ia bahagia... ia sangat bahagia mendengarnya, namun ia dalam posisi yang sangat sulit. Jika ia bergabung dengan Bajak Laut Topi Jerami, keselamatan teman-temannya terancam. 

Keheningan melanda Enies Lobby. Luffy menunggu jawaban dari Robin. Akhirnya Robin berkata, “Kalau sekarang aku dijinkan untuk mengatakan harapanku... Aku... AKU INGIN HIDUP! Bawa aku ke laut bersama kalian!”

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:
Fachrudin, D. (2011). 10 pesan tersembunyi & 1 wasiat rahasia. Solo: Metagraf.

Sumber gambar:
https://imgflip.com/i/1fcowy

Senin, 11 September 2017

Inside Chester’s Mind


Oleh Duddy Fachrudin

“... And no matter how I’m feeling, I always find myself struggling with certain patterns of behavior... I find myself stuck in the same thing that keeps repeating over and over again, and I’m just, like, ‘How did I end up...? How am I in this?”

Lima bulan setelah ungkapannya pada sebuah wawancara di sebuah radio di Los Angeles, Chester Bennington gantung diri.


Vokalis Linkin Park (LP) itu sesungguhnya tidak meninggal karena anoksia anoksik dimana oksigen tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena jeratan tali yang mencekik jalan nafas. Ia meninggal akibat terperangkap dalam penjara pikiran yang menyiksanya. Pikiran ruminasi yang begitu berat dialaminya sejak lama. Dan hal itu sesuai judul lagu andalan di album terbaru LP, “Heavy”.

“I know that for me, when I’m inside myself, when I’m in my own head, it gets... This place right here, this skull between my ears, that is a bad neighborhood, and I should not be in there alone. I can’t be in there by myself. It’s insane! It’s crazy in here. This is a bad place for me to be by myself. And so when I’m in, my whole life gets thrown off. If I’m in there, I don’t say nice things to myself."

Begitu beratnya menjadi Chester yang hidup berada dalam alam pikirannya.

"There’s another Chester in there that wants to take me down. And I find that, it could be... whether it’s substances or whether it’s behavior or whether it’s depressive stuff, or whatever it is, if I’m not actively doing..."

Chester menyadari bagian dirinya yang lain yang ia sebut “another Chester”. Bagian diri—atau para pakar psikologi menyebutnya subkepribadian yang berkonflik dengan dirinya. “Another Chester” yang begitu tersiksa akibat akumulasi pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu yang bersinergi dengan efek dari penggunaan alkohol dan obat-obatan ini seolah berkata kepada dirinya (Chester), “sudahlah aku lelah, bagaimana jika diakhiri saja?”. Namun Chester masih bisa bertahan dengan berbagai peran yang ia lakoni di dunia, terutama perannya sebagai musisi.

“... getting out of myself and being with other people, like being a dad, being a husband, being a bandmate, being a friend, helping someone out... If I’m out myself, I’m great. If I’m inside all the time, I’m horrible—I’m a mess.”

Pada fase ini Chester telah mengamati, menyadari bahkan mengenal dirinya. Ia juga mengenal konfliknya. Namun Chester, masih memisahkan antara dirinya dengan “another Chester” yang ada di alam pikirannya. Dan ini terus berulang.

“I find myself stuck in the same thing that keeps repeating over and over again...”

Ruminasi-depresi-bunuh diri. Begitu polanya.

Pathway tersebut sebenarnya bisa diputus. Ya, tinggal satu tahap yang (mungkin) belum dilakukan Chester: menerima “another Chester” itu seutuhnya. Berdamai dengannya dan menjadikannya seorang teman akrab. Meskipun untuk proses menerima dan berdamai itu dengan “crawling”.

Sumber gambar:
https://www.youtube.com/watch?v=oiWsWG0v1Lw

Jumat, 28 Juli 2017

Depresi dan 300 Juta Penduduk Dunia (Bagian 2-Selesai)


Oleh Kadek Widya Gunawan




Terkait karakteristik gangguan, depresi memiliki variasi gejala tertentu yang salah satunya dapat terlihat dari gender individu. Menurut hasil kajian dari National Institute of Mental Health, Amerika Serikat (2016), perempuan lebih sering mengalami gangguan depresi daripada laki-laki. Hal ini terkait dengan siklus kehidupan dan pengaruh hormon pada perempuan. Perempuan yang mengalami depresi umumnya menunjukkan gejala kesedihan, perasaan tidak berharga, serta munculnya perasaan bersalah yang teramat sangat. Sedangkan pada laki-laki yang mengalami gangguan depresi, umumnya menunjukkan gejala sangat kelelahan, emosi tidak stabil yang terkadang termanifestasi dalam sikap mudah marah. Laki-laki dengan gangguan depresi juga mudah kehilangan ketertarikan dalam pekerjaan ataupun aktivitas yang disenanginanya, adanya masalah dalam siklus tidur, serta timbul berbagai perilaku negatif termasuk penyalahgunaan narkoba dan alkohol. Banyak laki-laki yang tidak mengenali gejala depresinya dan gagal dalam mencari pertolongan. Data dari National Institute of Mental Health di Amerika juga menunjukkan bahwa meskipun banyak perempuan yang berakhir dengan bunuh diri, namun jumlah pelaku bunuh diri dengan gender laki-laki ternyata lebih tinggi. Tingginya angka bunuh diri pada laki-laki disinyalir merupakan dampak dari ketidakmampuan laki-laki untuk mengenali gejala depresinya.

Selain dari segi gender, segi usia juga menjadi faktor pembeda terhadap pengaruh dari gangguan depresi pada individu. Orang yang berada pada usia paruh baya dan usia tua, biasanya menunjukkan gejala yang kurang jelas terkait depresi dan individu pada usia ini juga memiliki karakteristik penolakkan yang tinggi terhadap perasaan sedih. Namun, individu usia paruh baya biasanya memiliki kondisi medis tertentu, seperti darah tinggi ataupun sakit jantung, yang bisa saja disebabkan oleh /atau bahkan berkonstribusi terhadap tingkat depresi yang dialaminya. Lalu, anak-anak yang mengalami depresi menunjukkan sikap berpura-pura sakit, menolak untuk pergi ke sekolah, tidak mau jauh dari orangtuanya atau bahkan menunjukkan ketakutan yang mendalam akan kematian orangtuanya. Sedangkan, remaja dengan gangguan depresi biasanya terlibat masalah di sekolah, serta menjadi sangat sensitif secara emosional. Remaja dengan depresi juga biasanya menunjukkan gejala dari gangguan lain seperti kecemasan, gangguan makan, serta penyalahgunaan narkotika dan alkohol (National Institute of Mental Health, 2016).

Gangguan depresi memang merupakan gangguan kesehatan yang kompleks dan terkadang sulit untuk mengetahui apakah kita ataupun orang-orangg terdekat kita mengalaminya. Karena berbeda dengan gangguan kesehatan lain, orang-orang yang berjuang menghadapi depresi bisa saja terlihat sehat dalam kesehariannya. Namun dibalik senyum mereka, tersimpan jiwa pejuang yang sedang berusaha melawan suatu racun di dalam diri. Oleh karena itu dengan mengetahui gejala umum serta karakteristik gangguan depresi, diharapkan kita bisa lebih sadar dengan diri dan orang-orang terdekat sehingga, kita bisa mencari pertolongan atau memberikan support pada orang-orang terdekat yang kita kasihi.

Referensi:
Carne, K. (2017). Seven secrets of mindfulness: How to keep your everyday practice alive. London: Rider.

National Institute of Mental Health. (2016). Depression Basics. Bethesda: U.S. Department of Health and Human Services NIH Publication.

Hooton, C. (2017). Chester Bennington discusses his depression in 'final' interview: 'I can either just give up and f*cking die or I can fight'. http://www.independent.co.uk. 28 Juli 2017.

World Health Organization. (2017). Depression. http://www.who.int. 28 Juli 2017.

Sumber Gambar:
https://tinybuddha.com/blog/10-thinking-patterns-that-can-lead-to-depression/

Depresi dan 300 Juta Penduduk Dunia (Bagian 1)


Oleh Kadek Widya Gunawan




Akhir-akhir ini berita tentang bunuh diri dan depresi kembali terangkat ke permukaan. Salah satu yang mungkin membuat saya ‘shock’ adalah berita tentang Chester Bennington yang melakukan bunuh diri.

Saya merupakan salah satu penggemar Linkin Park, grup band rock alternative tempat Bennington dan rekan-rekannya berkarya mengekspresikan jiwa mereka.

Wawancara terakhir Bennington dengan The Mirror mengungkapkan tentang bagaimana ia melalui saat-saat sulit dalam kehidupannya, termasuk perasaan yang coba ia lawan seperti, rasa lelah yang membuatnya tidak ingin meninggalkan tempat tidur di pagi hari, karena dunia penuh dengan hal-hal yang negatif –“the world is full of shit” (Hooton, 2017).

Kemudian, setelah kepergian Bennington muncul fakta-fakta tentang peperangan batin yang ia lalui mulai dari perceraian orangtuanya di usia 11 tahun, pelecehan seksual ketika kanak-kanak, adiksi terhadap obat-obatan dan alkohol, serta trauma masa kecil.

Semua hal yang berusaha dihadapi oleh Bennington tertuang dalam lirik lagu bandnya hingga pada album terbaru yang berjudul “One More Light”. Pada video clip lagu “Heavy” terdapat adegan dimana Bennington bertarung melawan dirinya yang lain yang merupakan manifestasi dari perasaan trauma dan depresinya. Namun, seperti yang kita tahu, pertempuran panjang yang dilakukan Bennington harus berakhir pada 20 Juli 2017 ini.

Membayangkan betapa beratnya perjuangan yang dilakukan Bennington dan orang lain yang sedang memikul beban dalam kehidupan membuat saya berpikir bahwa depresi bukan hanya tentang perasaan sedih, down, ataupun kecewa.

Depresi lebih dari hanya sekedar emosi negatif. Depresi seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti semangat, kebahagiaan, harapan, dan masa depan seseorang hingga akhirnya tanpa disadari racun itu pun merenggut kehidupan dengan seketika dan dengan cara yang amat menyakitkan, baik bagi orang itu sendiri maupun orang terdekatnya.

Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan racun depresi ini?

Ada yang mengatakan bahwa depresi disebabkan oleh trauma masa lalu, perasaan kehilangan yang termat sangat, duka yang mendalam, konflik batin, serta adiksi narkotika maupun alkohol.

Namun, para ahli juga menyatakan bahwa depresi sebagai masalah kesehatan mental melibatkan kondisi medis seperti rendahnya kadar hormon serotonin dalam otak bahkan sampai adanya predisposisi genetik yang termanifestasikan menjadi gejala mental negatif seperti perasaan sedih ataupun ketidakberdayaan pada individu (Carne, 2016; National Institute of Mental Health, 2016).

Depresi sebagai suatu problem kesehatan memiliki gejala yang sangat bervariasi pada setiap individu dan jumlah individu yang mengalami depresi menurut data WHO (World Health Organization) pada Februari 2017 adalah sekitar 300 juta jiwa.

Bisa kita bayangkan, betapa kompleksnya sebuah gangguan kesehatan yang menyerang 300 juta populasi dunia dan memiliki gejala yang berbeda antara individu satu dengan yang lainnya.

Namun, dari beberapa kasus depresi yang berhasil terpetakan di masa lalu, para ahli pun menemukan beberapa gejala umum serta karakteristik dari gangguan ini.

Adapun beberapa gejala umum dari gangguan depresi adalah sebagai berikut:
  1. Perasaan sedih atau gelisah yang intens. 
  2. Perasaan tidak berdaya dan pesimis dalam menghadapi situasi dalam hidup. 
  3. Merasa kurang begitu tertarik dalam kegiatan harian. 
  4. Perasaan tidak berharga dan muncul rasa bersalah yang kuat. 
  5. Merasa sangat kelelahan atau energi yang begitu sedikit dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 
  6. Peningkatan ataupun penurunan nafsu makan, atau bisa juga termanifestasikan dalam penurunan ataupun peningkatan berat badan. 
  7. Kesulitan dalam berkonsentrasi, berpikir, ataupun membuat suatu keputusan. 
  8. Kesulitan untuk tidur di malam hari ataupun tidur berlebihan pada siang hari. 
  9. Perasaan sensitif atau moody
  10. Muncul keluhan fisik seperti sakit kepala, kram, ataupun gangguan pencernaan tanpa adanya penyebab fisik yang jelas dan/atau keluhan fisik tersebut tidak mereda setelah memperoleh pengobatan. 
  11. Muncul pikiran untuk bunuh diri. 

Individu dikatakan mengalami depresi jika memiliki 5 (lima) atau lebih gejala tersebut dan berlangsung minimal selama 2 (dua) minggu (Carne, 2016; National Institute of Mental Health, 2016).

Referensi:
Carne, K. (2017). Seven secrets of mindfulness: How to keep your everyday practice alive. London: Rider.

National Institute of Mental Health. (2016). Depression Basics. Bethesda: U.S. Department of Health and Human Services NIH Publication.

Hooton, C. (2017). Chester Bennington discusses his depression in 'final' interview: 'I can either just give up and f*cking die or I can fight'. http://www.independent.co.uk. 28 Juli 2017.

World Health Organization. (2017). Depression. http://www.who.int. 28 Juli 2017.

Sumber gambar:
https://welldoing.org/article/depressing-instead-depression.