Tampilkan postingan dengan label Letting Go. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Letting Go. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 April 2022

Sikap Mindfulness: Mencintai Tanpa Menghakimi


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sabda Kanjeng Nabi: irhamu man fil ardl, yarhamkum man fis samaa. Sungguh dalam artinya. Bernas diksinya. Mengena sekali pesannya. 

Cintailah (Sayangilah) mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu...

Hadist ini sejalan dengan dalil wa ma arsalnaka ila rahmatan lil alamin, bahwa pada hakikatnya kehadiran manusia ditujukan sebagai "agen" rahmat bagi segenap semesta sekalian alam. 

Kontribusi manfaatnya tidak semata hanya dapat dirasa di lingkungan terbatas, melainkan juga bersifat luas dan mampu melintas ruang yang semula kita anggap takkan mungkin teretas.

Lapis-lapis batas pengamatan memberikan perspektif baru tentang adanya cakrawala di balik setiap cakrawala. Mega kluster Laniakea adalah wadah bagai super kluster Virgo yang bahkan hari ini baru bisa kita cermati sampai The OPIK, awan materi batas Bima Sakti.

Dan di tengah itu semua bergaung sejuta tanda tanya tentang makna mencinta. Tentang siapakah gerangan hamba? Lalu apa yang menjadi keniscayaan yang sesungguhnya?

Wujil dalam Suluk Wujil Sunan Bonang bertanya pada Sunan Wahdat,

Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.

"Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini."

Jika mengacu pada suluk tersebut, menyembah itu harus tahu siapa yang disembah bukan? Harus sadar sepenuhnya tentang peran dan kehadiran. Tentang esensi dan jati diri.

Demikian sekelumit nilai yang dapat dipetik dari penggalan suluk Wujil karya putra Bong Swi Hoo dan cucu Maulana Maliq Ibrahim As Samarqandi.

Pertanyaan yang muncul dalam suluk itu sangat fundamental dan cenderung retorik. Dimana jawabannya harus dicari jauh ke dalam diri sendiri.

Sebagaimana perjalanan Werkudara ke dalam samudera makna sebagaimana dikisahkan dalam Dewa Ruci. Kisah yang berupaya menggambarkan konsep manunggaling kawula Gusti dengan cara membangun dialog antara entitas (Werkudara) dengan representasi consciousness-nya, Dewa Ruci. Tentu dialog yang terjadi sebenarnya adalah dialog retoris yang berkutat tentang proses pencarian jati diri.

Kisah Dewa Ruci ini sebenarnya adalah kisah adaptif yang tidak dapat ditemukan di naskah asli Mahabaratha yang ditulis Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.

Sementara Kisah Dewa Ruci yang menjadi bagian dari script para dalang Jawa merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).

Kembali pada Suluk Wujil Sunan Bonang, peran dan esensi personal tercermin dari kegelisahan Wujil untuk segera mendapat ilmu makrifat karena sudah jenuh belajar syariat.

Padahal proses menuju makrifat itu perlu melalui penyucian jiwa atau nafs, lalu pemurnian qalbu, diikuti pengosongan pikiran dan ruh dari selain Allah. 

Istilah lain untuk metoda ini adalah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengelola hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia. Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.

Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu (Ahad), sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati.

Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. (Hadi Susanto, 2018).

Maka Wujil pun berkisah pada gurunya tentang "kenekatan"nya mencari makna hidup, karena sudah tidak sabar terus disuruh mengaji "Alif".

Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal // sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan // reming neta kalawan suruping pati // wekasing ana-ora.


"Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia daripada kesatuan, mencari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan yang tiada."


Demikian Wujil menyampaikan pada gurunya, Sunan Wahdat. Meski pada hakikatnya Wujil pasti sadar sepenuhnya jika manusia itu sesuai dalil adalah wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun.

Tugasnya adalah beribadah. Ibadah seperti apa? Ibadah yang kaffah yang melibatkan segenap potensi manusia dan jin yang telah dianugerahkan sebagai amanah.

Maka ikhlas menerima, melepas, atau ngekepi juga bagian dari ibadah, asal kita menjalaninya dengan tanpa menghakimi atau membutuhkan alasan yang kadang justru tidak diperlukan.

Sumber gambar:

Rabu, 17 Maret 2021

Metafora: Si Belalang dan Lompatannya


Oleh Mira Seba

Seekor belalang lama terkurung dalam satu kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya, dengan gembira dia melompat-lompat menikmati kebebasannya.

Di perjalanan dia bertemu dengan belalang lain, namun dia heran mengapa belalang itu bisa lompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran dia bertanya,

“Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh dariku, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia maupun ukuran tubuh?”

Belalang itu menjawabnya dengan pertanyaan,

“Dimanakah kau tinggal selama ini? Semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan.”

Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang telah membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

Sering kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang tersebut. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan beruntun, perkataan teman, tradisi, dan semua itu membuat kita terpenjara dalam kotak semu yang mementahkan potensi kita.

Sering kita mempercayai mentah-mentah apa yang mereka voniskan kepada kita tanpa berpikir lebih dalam apakah hal itu benar adanya atau benarkah kita selemah itu? Lebih parah lagi, kita acapkali lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tahukah bahwa gajah yang sangat kuat bisa diikat hanya dengan tali yang terikat pada pancang kecil? Gajah sudah merasa dirinya tidak bisa bebas jika ada “sesuatu” yang mengikat kakinya, padahal “sesuatu” itu bisa jadi hanya seutas tali kecil…

Sebagai manusia kita mampu untuk berjuang, tidak menyerah begitu saja kepada apa yang kita alami. Karena itu, teruslah berusaha mencapai segala impian positif yang ingin kita capai. Sakit memang, lelah memang, tapi jika kita sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar.

Sumber gambar:

Minggu, 28 Februari 2021

Keterampilan Baru Ini Perlu Dimiliki Di Era Saat Ini



Oleh Duddy Fachrudin 

Ada satu skill atau keterampilan yang perlu dimiliki tapi tidak semua orang ingin memilikinya. 

Apa itu? 

Sebelum membahasnya, mari sejenak mengambil jeda untuk DuDi (duduk diam) dan merenungi kehidupan ini, lalu bertanya: apa yang paling diinginkan manusia? 

... 

... 

... 

Sebagian besar orang menjawab: kepastian. 

Pasti sukses,
pasti bahagia,
pasti terjamin hidupnya,
pasti masa depan,
pasti sampai... 

Karena menginginkan kepastian, maka dilakunlah berbagai ikhtiar, cara, atau strategi untuk mencapainya. Manusia memfokuskan arah dan konsisten dalam menjalaninya. 

Tak lupa, lingkungan pun ikut dikendalikan. 

Karena kepastian, manusia tidak segan untuk kerja keras, menabung, ikut asuransi, hingga "menyekolahkan" SK Pegawai ke bank untuk mendapatkan pinjaman dalam memenuhi kebutuhan hidup. 

Karena berfokus ingin terus pasti (ada jaminan) dalam hidup ini, akhirnya lupa untuk mempelajari keterampilan yang sangat-sangat dibutuhkan selama hidup manusia. 

Skill tersebut adalah mampu berjalan dalam ketidakpastian. 

Pertanyaannya: siapakah yang mau, bersedia, dan sukarela ikhlas menjalani ketidakpastian? 

Kamu mau? Jawabannya sebagian besar sekali tidak. 

Hanya orang-orang "aneh" yang menginginkan atau setidaknya belajar mengarungi ketidakpastian. 

Coba saja untuk berjalan spontan tanpa tujuan, ke suatu wilayah sendirian, bepergian hanya berbekal 5 ribu rupiah, kemudian lebih lanjut lagi tidak ikut-ikutan asuransi, tidak ikut menggadaikan SK, dan sebagainya. 

Sayangnya... latihan-latihan itu tidak pernah diajarkan di sekolah atau kampus. 

Dan orangtua jaman sekarang pun tidak membiarkan anaknya hidup dalam ketidakpastian, bukan? 

Maka... jika tidak terbiasa melatih keterampilan tersebut, suatu saat nanti, ketika rencanamu tidak berjalan lancar dan tidak memenuhi ekspektasi, yang muncul dapat berupa penghakiman. 

Sumber gambar:

Kamis, 17 September 2020

Cara Melepaskan Trauma Masa Lalu




Oleh Duddy Fachrudin 

Trauma masa lalu seringkali membuat hidup seseorang menjadi tidak nyaman. Apalagi jika ia sering terbayang dan bertemu dengan objek atau subjek trauma.

“Bagaimana caranya agar perasaan dendam kepada ayah saya berhenti?”

Dalam sebuah forum kecil yang saya bawakan, tiba-tiba saja seorang residen narkoba mengangkat tangannya dan bertanya kepada saya. 

Ia terlihat masih sangat muda dan usianya mungkin masih 20 tahun. Nafasnya terasa berat, meski wajahnya mencoba untuk tegar. 

Seketika saya menanggapi pertanyaannya dengan senyuman agar ia lebih tenang.

Tanpa diminta oleh saya, ia bercerita mengenai pengalaman traumatisnya. Hal itu terjadi saat ia kelas 4 SD. Kepala bagian kanan dipukul dengan sebongkah kayu oleh ayahnya. 

Pemuda ini mengakui bahwa sebenarnya ia dipukul karena kesalahannya, yaitu membolos sekolah. Namun, kejadian tersebut selalu membekas dan membuatnya marah serta dendam kepada ayahnya.

Saya merasakan hal yang telah terjadi padanya. 

Tentu pengalaman tersebut sangat menyakitkan, dan yang lebih menyakitkan adalah ingatan tentang pengalaman itu terus tertanam dalam pikirannya. 

Namun, meskipun ia sadar bahwa ia marah dan dendam terhadap ayahnya, ia berusaha untuk mencari solusi. 

Ini adalah suatu hal yang sangat positif, karena suatu hal yang sia-sia jika terus menerus mengutuk kegelapan. Lebih baik mulai menyalakan lilin kehidupan, bukan? 

###

Banyak orang mengalami peristiwa-peristiwa negatif dalam hidupnya, termasuk orang-orang sukses. Salah satu orang tersebut adalah Oprah Winfrey yang bukan hanya sukses sebagai seorang host, pengusaha, filantropis, dan masuk dalam jajaran orang terkaya di dunia. 

Namun yang paling penting ia telah sukses melepas pengalaman traumatiknya. Oprah kecil sering mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh sepupunya sendiri. Dan ketika ia berusia 14 tahun, ia hamil dan bayinya meninggal.

Dengan tekad dan kecerdasannya, Oprah perlahan mulai bangkit dan melepaskan pengalaman pahitnya, serta berusaha fokus pada pekerjaannya sebagai penyiar berita di sebuah stasiun radio lokal. 

Dua tahun berikutnya ia direkrut oleh stasiun televisi dan dipekerjakan bukan hanya sebagai pembawa berita, tapi juga sebagai host acara talkshow “People Are Talking”. Karirnya terus menanjak hingga ia memandu program acaranya sendiri, yaitu “The Oprah Winfrey Show” sejak tahun 1986.

Melepas pengalaman traumatik dapat dilakukan dapat dengan berfokus pada apa yang kita ingin capai. Bagi sebagian orang hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Namun bagi yang lain terasa sangat sulit, karena ketika fokus pada pekerjaan, misalnya, ingatan-ingatan menyakitkan itu muncul kembali dan mengganggu fokus. 

Maka pada titik ini, kita perlu kembali kepada pengalaman tersebut, melihatnya, mendengarnya, merasakannya, dan berdamai dengannya.

Berdamai dengan memaafkan orang yang pernah menyakiti kita atau bahkan memaafkan diri kita sendiri yang telah berbuat salah di masa lalu. 

Karena bukankah memaafkan adalah memberi ruang kecil dari kebencian yang ada dalam hatimu?

Memeluk pengalaman traumatis dengan penuh penerimaan, memaafkan, dan cinta membuat hati lebih tenang. Bukan hanya itu, kita tidak lagi terpenjara dalam jeruji pikiran. 

Sumber gambar:
  

Kamis, 27 Agustus 2020

Sikap Mindfulness: Melepas Jubah Malaikat




Oleh Duddy Fachrudin 

Manusia selalu senang dengan ciri atau atributnya. Ciri tersebut dapat berupa gelar dan profesi yang disematkan, pakaian yang dikenakan, harta yang dimiliki, tahta yang diduduki, dan pernak-pernik lainnya. Karena senang tersebut tidak jarang ciri tersebut akhirnya melekat pada diri seseorang dan dibawa kemanapun ia pergi.

Jon Kabat-Zinn, pengembang Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) bercerita dalam bukunya Wherever You Go There You Are bahwa ia tidak pernah menggunakan jubah malaikatnya selama berpraktek menjadi seorang dokter.

“Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan ‘Dr. Kabat-Zinn/ Departemen of Medicine’. Semuanya tergantung di balik pintu saya selama lima belas tahun, tanpa terpakai.”

Apa yang dilakukan Jon Kabat-Zinn tentu memiliki alasan tertentu. Baginya jas putih adalah simbol yang tidak diperlukan dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter.

Seorang dokter akan disebut dokter karena pelayanannya yang tulus, bukan karena jas malaikat tersebut. Bahkan siapapun orang yang memberikan bantuan secara ikhlas layak disebut dokter, begitu kata Patch Adams, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute.

Kebahagiaan dapat dimulai dengan melepaskan atribut yang ada pada diri kita. Dan kemudian kita menjadi manusia yang lebih berfokus pada misi hidup menebar kebermanfaatan sebaik-baiknya kepada sesama dan semesta. 

Sumber gambar: 

Rabu, 29 Juli 2020

Gandhi, Tolstoy, dan Wukuf di Padang Arafah



Oleh Duddy Fachrudin 

Kian hari semakin banyak yang mempelajari mindfulness. Malam ini baru saja selesai mengkaji dan berdiskusi terkait ilmu ini. Yang hadir tidak main-main, para profesional, akademisi, dan juga praktisi.

Lalu apa yang sebenarnya kita cari? Segenap tanya meminta jawaban yang sesuai logika hingga rasa.

Begitulah manusia. Semestinya. Senantiasa ingin bertumbuh dan berkembang seperti Gandhi dan Tolstoy yang kadang pemikirannya tak kita mengerti. Gandhi yang senang jalan kaki dan puasa, sementara Tolstoy, bangsawan dan pujangga besar itu bercita-cita menjadi orang biasa-biasa saja.

Keduanya tak pernah bertatap muka, namun disatukan oleh kata-kata.

Dalam surat terakhirnya kepada Gandhi, Tolstoy menulis:

The longer I live-especially now when I clearly feel the approach of death-the more I feel moved to express what I feel more strongly than anything else, and what in my opinion is of immense importance, namely, what we call the renunciation of all opposition by force, which really simply means the doctrine of the law of love unperverted by sophistries. 

Love, or in other words the striving of men's souls towards unity and the submissive behaviour to one another that results therefrom, represents the highest and indeed the only law of life, as every man knows and feels in the depths of his heart (and as we see most clearly in children), and knows until he becomes involved in the lying net of worldly thoughts. This law was announced by all the philosophies- Indian as well as Chinese, and Jewish, Greek and Roman.

Cinta melahirkan persatuan dan kesatuan. Tak ada lagi membeda-bedakan, penilaian, serta penghakiman. Semua sama berkat cinta. Karena cinta pula lahir ahimsa. 

Keduanya menempuh jalan sunyi. Jalan transformasi. Bukan untuk mengubah dunia. Melainkan menanam untuk diri sendiri. Agar memahami dan mengenali diri.

###

Siapa kita ini? Semburat tanya kembali menggeliat. 

Bersama mereka dari berbagai negara, bangsa, berbeda suku, ras, dan kulit warna melakukan waqafa (berhenti sejenak), di padang arafah (hamparan pengetahuan) di waktu siang dan malam hari, di puncak haji.

Wukuf, berdiam diri untuk mengenal, dan memahami, serta menyadari diri.

Begitulah haji mengajarkan. Haji adalah arafah. Begitu sabda Nabi.

Haji adalah retreat akbar yang mengajak manusia untuk menilai dirinya agar tak lagi memvaluasi untung rugi. Tak lagi termelekati rupa-rupa kemolekan sensasi yang diindera oleh penglihatan, pendengaran, juga hati.

Arafah adalah upaya untuk menjadi murni. Cara agar kita manusia melepaskan diri dari jerat ilusi dan halusinasi. Strategi dalam mengolah batin untuk tak lagi menjadi hakim selama hidupnya. 

Maka arafah adalah hikmah bagi mereka yang berserah menjalani kehidupan dengan ilmu dan cinta.

Sumber gambar:

Jumat, 17 Juli 2020

Mindfulness Tidak Hebat-Hebat Amat



Oleh Duddy Fachrudin 

Jika ada satu intervensi psikologi yang gitu-gitu aja, cenderung membosankan, dan mungkin malah membuat stres, maka itu adalah mindfulness

Mungkin saja hasil-hasil penelitian yang membesarkan nama mindfulness itu penuh dengan bias dan konflik kepentingan. 

Mindfulness sebagai prediktor kebahagiaan, kesejahteraan psikologis, ataupun kesehatan fisik mungkin juga perlu dipertanyakan keabsahannya. 

Bukankah berlatih mindfulness dan mengembangkan kehidupan yang mindful, aslinya tidak mengharapkan apa-apa? 

Maka jangan terlena rayuan orang-orang yang mengatakan mindfulness adalah jurus jitu dalam menyelesaikan kecemasan, depresi, atau permasalahan psikologis lainnya. 


Mindfulness mengajak individu untuk tidak menilai. Namun, manusia tidak bisa tidak melakukan penilaian atau evaluasi. Termasuk tulisan ini yang penuh dengan penilaian. 

Masih banyak alternatif tritmen atau intervensi lain yang bisa digunakan, yang lebih mudah, instan, dan berdampak ketimbang mindfulness

Mindfulness bukan apa-apa. Bukan strategi keramat. 

Mindfulness tidak hebat-hebat amat. 

Sumber gambar:

Selasa, 14 Juli 2020

Non-Judgement: Apa Salahnya Menjadi Janda?



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Ada stigma dan penilaian yang acapkali disematkan pada sekelompok orang atau komunitas. Misalnya saja terjadi pada wanita yang menjadi janda, khususnya mereka yang mendapatkan status tersebut karena perceraian. 

Tentu hal ini perlu dikaji secara holistik dan multiaspek agar tidak terjadi stigma kurang produktif pada kelompok tertebut. Perjalanan hidup manusia kan dinamis. Stigma ini juga mendera para penderita Covid, pelaku poligami, pengidap HIV, dan banyak lagi pada mereka yang kita anggap berbeda. 

Padahal kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka alami dan apa yang melatarbelakangi pilihan hidup mereka tersebut. Kita terlalu nyaman dalam zona "menilai" dan berasumsi dengan persepsi kita sendiri secara sesuka hati. Maka berbeda menjadi masalah besar di negeri ini.

Sayangnya konteks kebersamaan yang dibangun tidak dalam kontribusi konstruktif. Padahal keberagaman justru potensi besar untuk saling mensubstitusi dan mengomplementasi. Membantu dan saling melengkapi, kalau bisa memperkaya wawasan dengan memberi ruang untuk saling belajar dan memetik hikmah dari interaksi serta pertukaran pengalaman.

Jadi tema besarnya bukan lagi #savejanda, tapi semestinya lebih ke arah #savekemanusiaan. Karena rasa kemanusiaanlah yang telah luntur dalam tradisi kita bermasyarakat. Otak kita terkapitalisasi dan pada akhirnya profit menjadi motivasi dan transaksi menjadi satu-satunya mekanisme yang diketahui.

Lihat pohon ditebang, lihat burung ditangkap, lihat apapun yang dapat menjadi sumber kenyamanan langsung diterkam. Tidak salah memang, tapi itu semua perlu niat suci untuk saling memberdayakan, bukan saling memperdayakan. Kan tugas kita adalah menjadi Khalifah. Misinya membumikan Rahmah. Karakternya harus amanah. Sikap mentalnya haruslah kaffah, Istiqomah, dan tak mengenal lelah dalam Lillah.

Wejangan bagi jiwa-jiwa yang lelah, juga yang jengah dengan kondisi yang terjajah oleh pragmatisme, pesimisme, dan melahirkan oportunisme yang mengerdilkan nilai dan makna hidup menjadi sekedar deretan angka-angka yang dianggap dapat membeli cinta serta menebus waktu agar mau sejenak membeku.

Padahal fitrahnya hanyalah satu. Terus maju. Dan kita yang tersandera dalam detik dan detak seolah tak menyadari bahwa yang berlalu itu akan hadir selalu, dan yang saat ini adalah konstruksi dari mimpi yang perlahan mulai menyetubuhi bumi dan mencumbui tubir memori. Dan masa depan adalah cakrawala harapan dengan berbagai jalan yang tersedia sebagai pilihan.

Dan kita ditakdirkan untuk menjadi makhluk persimpangan. Dimana setiap detik waktu dan setiap detak jantung memerlukan keberanian untuk memutuskan. Dan hidup dapat dipremiskan sebagai sekumpulan keputusan. Juga setumpuk penyesalan yang kerap menimbuni rasa syukur yang lantas terlupakan.

Tapi syukur itu "benih". Meski ditimbuni "tahi sapi" ia tak pernah menyesali. Karena ia tahu, tahi sapi kaya nutrisi. Maka diserapnya sajalah kepedihan dan kekecewaan yang telah menjadi "tahi" dan kerap kita emohi. Kita sembunyikan dan tutup rapat-rapat dalam septic tank lalu kita menipu diri dengan semprotan parfum wangi bebungaan.

Kentut dan tahi fitrahnya berbau busuk. Tentu untuk mengingatkan bahwa pahit dan getir adalah syarat untuk manis dan lezat. Maka yang bisa menerima tahi sebagai kompos atau biogas akan dapat tahu dan berbagai hal yang dia mau. Tapi jangan tolak dulu tahinya. Syukuri semuanya. Jangan hanya mau mengunyah yang kita suka lalu melepehkan semua yang tak kita kehendaki.

Siapa tahu dari tahi yang tidak kita kehendaki itulah benih bahagia akan tumbuh dan bertunas... 

Kamis, 23 April 2020

Hidup Minimalis di Tengah Pandemi




Oleh Duddy Fachrudin 

Di dunia, sudah 5 bulan corona bertamu, 
sementara di negeri ini, virus itu sudah diperjalankan Tuhan sejak awal maret lalu. 

Kita tidak tahu sampai kapan ini berlalu, 
maka... 

Bagi yang terbiasa puasa atau makan seadanya, kemampuan atau potensi ini sangat dibutuhkan di masa pandemi.  

Puasa itu kemampuan untuk hidup minimalis, 
yang tidak materialis dan tidak kapitalis.

Contohnya dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, 
berapa sesungguhnya pengeluaran untuk mengisi sistem pencernaan?  

Hidup minimalis itu hemat pengeluaran, dan menahan diri dari hal yang tidak berkepentingan. 

Simbahku yang terbiasa makan gaplek dan tempe mayit berpesan kepadaku tempo hari, 

"Urip iku dudu urusane weteng, kowe ndelok uripe Kanjeng Nabi, mangane sitik..." 

Gara-garanya aku mencoba hidup apa adanya: 100 ribu untuk makan satu minggu! 

Kata orang ndak mungkin makan cuma 100 ribu, sekali makan aja 20 ribu. 

Bener juga kata mereka, tapi itu berlaku di kota besar, lah wong aku urip di kota yang UMK nya cuma 2 juta. 

Belanja mingguan 100 ribu: 
-dada ayam sekilo: 30.000 
-ikan kembung atau telur setengah kilo: 12.500 
-tahu dan tempe: 10.000 
-sayuran (bayam, kangkung, sawi putih, toge, dan daun singkong): 12.500 
-rempah-rempah (bawang merah & putih, cabe, kunyit, jahe, ketumbar, dan merica): 20.000 
-buah-buahan: 10.000 
-masih bisa belikerupuk mentah buat cemilan: 5000 

dari bahan-bahan ini bisa dikelola untuk kebutuhan makan 2 hingga 4 orang selama satu minggu. 

Belanja bulanan 250 ribu:
-beras 3kg: 35.000 
-minyak goreng 6 liter: 70.000 
-garam, penyedap rasa, dan gula: 25.000
-gas 3 kg: 22.000 
-air mineral 4 galon: 60.000 
-masih bonus belanja lain-lain: 38.000 

Total satu bulan pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan satu keluarga sekitar 650 ribu. 

Jika penghasilan seseorang 2 juta selama sebulan, maka pola ini sesuai aturan pengaturan keuangan 1/3, 
yang bersumber dari hadis Nabi.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. menceritakan seorang petani yang diberkahi usaha dan hartanya, dan beliau bersabda:

"... maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku
1) bersedekah dengannya sepertiganya,
2) makan bersama keluargaku sepertiganya lagi,
3) mengembalikan (untuk menanam lagi) sepertiganya."

Inilah konsep hidup minimalis, zuhud, dan belajar untuk tidak materialis. 

Dengan pendapatan 2 juta saja, masih bisa menabung (poin 3) dan bersedekah (poin 1). 

Selain itu, terdapat 2 keuntungan lainnya dengan menerapkan pola hidup ini:

1. Sehat, dengan berat badan terjaga dan imunitas kuat, terhindar dari penyakit seperti diabetes, hipertensi, dan jantung yang diakibatkan gaya hidup tidak sehat (khususnya dalam pemenuhan makanan), karena imun kuat juga bisa melawan coronavirus yang menyerang tubuh 

2. Karena dapat mengelola perut, maka mudah mengelola keinginan sehingga tidak berlebihan dalam menjalani kehidupan 

Bagaimana jika pendapatanmu lebih dari 2 juta, 3 juta, 5 juta, 10 juta... 

Tetaplah minimalis.

Sumber gambar: 

Selasa, 12 Februari 2019

Ikhlas Melepas: Selamat Jalan Orang-Orang Tercinta


Oleh Tauhid Nur Azhar

Selamat jalan mereka yang terkasih. Sungguh hidup pada hakikatnya hanyalah sebuah persinggahan singkat tapi sangat indah dan penuh makna yang terangkum dalam kenangan...

Kadang kita bertanya mengapa Allah mengaruniakan kita ingatan? Memori dan kenangan yang merajai hipokampus dan amigdala kita. Lalu karenanya kita merindu pada mereka yang terpisah jarak dan waktu. Orang-orang yang kita cintai, mereka yang memberi arti dalam hidup kita, mereka yang tidak sekedar singgah tapi juga memberikan banyak hal indah yang mengkristal menjadi kenangan. 

Meski kadang cinta dan rindu itu seolah mampu menaklukkan waktu, pada nyatanya tak ada yang abadi di dunia yang memang fana ini. Semua akan pergi dan kita harus belajar ikhlas untuk melepas. 

Usia akan melaju dan kita pun akan kehilangan sekurangnya 5 perkara: muda, sehat, kaya, sempat, saudara dan sahabat , dan pada gilirannya kita akan sendiri meski tak sepi untuk mempertanggungjawabkan secara mandiri apa yang telah kita rencanakan, lakukan, dan lalui dalam kehidupan. 


كُلُّ نَفۡسٍ۬ ذَآٮِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِ‌ۖ ثُمَّ إِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. (QS. Al Ankabut: 57)


كُلُّ نَفۡسٍ۬ ذَآٮِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِ‌ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَڪُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَ‌ۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. 
(QS Ali Imran : 185)

Rasulullah Saw. memberikan kita panduan yang bernas tapi sangat cerdas, mengingat manusia pada dasarnya eksploitatif, egois, serakah, dan tak mau susah dalam ibadah dan riyadah. Maka indikator keberhasilan hidup kita dibuat sederhana: seberapa bermanfaat kita bagi semesta dan sesama? Khoirunnas anfauhum linnas. 

Karena kita cerdas dan manipulatif maka kita kerap menimbulkan kerusakan di muka bumi. Sifat tamak yang eksploitatif tak terarah sering mendestruksi keseimbangan dalam kehidupan. Akibatnya dunia lambat laun rusak dan mengalami pelapukan katastropik yang analog dengan kondisi patologis degeneratif pada tubuh manusia. 

Maka sekedar seulas senyum yang dapat hangatkan suasana sudah teramat sangat berdayaguna bagi sesama. Di dunia yang lelah ini nasehat Ayah dan kasih sayang Ibu yang senantiasa mendoakan dengan cucuran air mata di sepertiga malam adalah telaga berkah: Danau Kautsar yang penuh dengan linangan kenangan dan banjir peluh tanpa keluh. 

Semua terseduh dalam doa yg hadirkan teduh... itulah makna dari hadirnya orang-orang yang kita kasihi yang mungkin hari ini sudah terlebih dahulu kembali ke hadirat Illahi. 

Kenanglah mereka dengan senyum, dengan zikir, dan dengan pikir... bahwa kebaikan, kehangatan, dan cinta mereka yang tuluslah yang telah menghantar kita menjadi pribadi yang mampu memaknai arti hadir dan indahnya hidup di karunia usia yang tengah kita jalani ini.

Al Fatihah untuk mereka semua yang telah ikhlas mencintai kita apa adanya...

Sumber gambar:
https://picgra.com/user/duddyfahri/10148958272

Rabu, 10 Oktober 2018

Bunuh Dirilah Sehingga Kau Bercahaya


Oleh Duddy Fachrudin

"Terserah, apakah ini dosa, heroisme, atau justru pengecut. Bahwa saya mau bunuh diri! Karena saya tidak mau membunuh orang lain, seberapa sakitpun hati saya oleh pengkhianatan dan penghinaan manusia. Tapi yang saya bolehkan untuk dibunuh hanyalah diri saya sendiri. 

Saya bersyukur perjalanan saya untuk bunuh diri sudah selesai dan tuntas.

Beberapa lama saya mencampakkan om-om dan mas-mas semua ke dalam kegelapan. Karena saya memang gelap. Hati saya gelap, pikiran saya gelap.., kehidupan saya di sini dan di belakang saya juga gelap.

Dan puncak kegelapan saya adalah semua orang seantero negeri ini menyebarkan fitnah bahwa Rayya adalah bintang yang gemerlap dan bercahaya..."

Monolog sunyi nan inspiratif menghentak kesadaran ini di ucapkan dengan lembut oleh Rayya, seorang bintang, artis terkenal yang kemudian mengalami transformasi jiwa.

Ia, dengan segala kemegahannya tak terima ketika dicampakkan oleh seorang laki-laki yang nyatanya telah beristri. Egonya tersakiti, berontak menolak kalah dari derita.

Egonya yang tinggi termelekati dengan rupa-rupa duniawi. Maka sakitlah ia, saat pikiran dan rasa tak kunjung menerima. 

Aku seorang artis besar, bahkan aku dapat membeli laki-laki yang diinginkanku.. Begitulah Rayya.

Untungnya, Arya, seorang biasa nan bijaksana datang menjadi cermin baginya.

Rayya yang mengalami gejolak jiwa ingin bunuh diri. Dan Arya membantunya... menolongnya untuk benar-benar membunuh dirinya--menghancurkan egonya.

Film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya bukan hanya menyuguhkan keindahan alam di sepanjang perjalanan mereka berdua, bertukar kata dari ujung barat Jawa hingga Bali.

Film ini mengajak kita untuk melakukan perjalanan jiwa, mencari jati diri, dan kemudian menemukan mutiara terindah yang bersemayam dalam diri manusia.

Kelak, mereka yang telah menemukannya, hatinya bercahaya.

Arya, bersama orang-orang sederhana telah memantulkan cahaya kepada Rayya, sehingga "dirinya" telah hancur berkeping-keping.

Kemudian Rayya melanjutkan monolognya:

"Budhe pengasuh anak-anak Salam. Tua, tuli, mengabdi kepada pendidikan kemanusiaan di pelosok kesunyian. Di hadapan beliau, Rayya hanya perawan kencur yang kolokan.

Ibu-ibu yang berjualan di pasar. Dengan ringan meletakkan dunia ini di telapak tangannya dan menertawakan Rayya yang menyangka bahwa menjadi bintang adalah segala-galanya.

Si Slamet di perempatan jalan. Menari-nari gembira, menjogetkan rasa syukur yang tanpa batas dan tanpa syarat.

Nenek penjual karak. Aku pikir yang ia junjung di atas kepalanya itu adalah wadah makanan jualannya. Ternyata yang ia junjung adalah martabat.

Ibu-ibu dan anak-anak pekerja pemecah batu. Yang berkantor di gedung terik matahari. Telah menipu saya mentah-mentah. Karena di balik tangan dan jari jemari mereka yang lemah tersembunyi jiwa yang agung dan mental yang tangguh.

Merekalah cahaya yang sesungguhnya. Merekalah cahaya di atas cahaya. Sekarang, sejalan kita berjuang menaklukkan kegelapan. Bersama kita belajar memantulkan cahaya di atas cahaya."

Inilah Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, a road movie bertema mindfulness terbaik versi mindfulnesia.id, yang mengajak kita "membunuh diri" kita, melepaskan kelekatan dunia, menjadi manusia bahagia yang bercahaya.

Menuju Cahaya - Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2018


Sumber gambar:
http://videoezyindonesia.blogspot.com/2014/03/new-release-vei-rayya-cahaya-di-atas.html

Minggu, 30 September 2018

Mindful Couple: Mencintai Kehilangan


Oleh Duddy Fachrudin

Kehilangan adalah luka. Ia juga derita yang menjerat rasa.
Meski begitu, kehilangan dapat memiliki makna yang berbeda. Setidaknya bagi para manusia yang pandai mengambil hikmah.

Kehilangan begitu menyesakkan, jika tidak dibekali dengan penerimaan dan pemaafan.

Maka kehilangan memanggilmu untuk menguji cintamu.

Mencintai kehilangan bukanlah memaksa untuk terhempas, melainkan ikhlas melepas.
Mencintai kehilangan adalah mensyukuri nikmat yang telah diberi.
Dan...
mencintai kehilangan berarti siap menerima kebaruan dalam kehidupan.

Janganlah menjadi jiwa-jiwa yang bersedih,
karena kekasihmu selalu di sini,
saat ini.

Dengarkanlah...
dengarkanlah rasa yang berhembus mesra dengan sepenuh hati.

Sumber gambar:
http://griyaquran.org/belajar-alquran/ikhlas-berbuat-kebaikan-i

Rabu, 28 Maret 2018

Sikap Mindfulness: Sabar, Syukur, dan Sejatinya Kehidupan


Oleh Hamzah Abdurahman

Perpisahan kedua orang tua membuat saya memendam rasa. Kesal dan sedih bergantian mengisi ruang hati. Namun, apa yang saya pendam tak pernah sedikitpun tercurahkan. Apa daya, Freud memang benar, memendam rasa sama saja membiarkan emosi saya meledak. Dan pada tahun 2017, akun sosial media saya menjadi saksi bahwa diri berada dalam puncak emosi. Mereka saya hentikan. Pada tahun itu pula, impian, ambisi, dan cita-cita saya meredup. Saya menjadi sering mengalami stres yang biasanya ditandai dengan rasa sakit di tengkuk kepala, tidur tidak tenang, dan sering bermimpi aneh.

Namun ternyata, seperti kata pepatah, “Saat kematian, disitulah ada kehidupan baru.” Benar rupanya, ketika saya sedang terpuruk dan kondisi kesehatan menurun, justru saya dipertemukan dengan orang-orang yang inspiratif. Dr. Tauhid Nur Azhar dan Dr. Yono Budhiono merupakan dua diantaranya.

Berawal dengan seringnya saya mengikuti sesi kedua sosok inspiratif tersebut di kelas Masa Persiapan Pensiun (MPP), kunci kesehatan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita dalam mengelola stres melalui sabar dan syukur. Begitu Dr. Tauhid memaparkan kepada para peserta dan saya sebagai panitia.

Kemudian pada sesi Dr. Yono, saya mengukur tingkat stres saya. Hasilnya saya tergolong individu yang mudah sekali stres. Dr. Yono, menjelaskan saya termasuk tipe A+, yaitu individu yang ambisius, gigih, tekun, namun rentan stres. Beliau kemudian menyarankan saya untuk mengatur ulang perjalanan hidup saya dalam mencapai impian-impian saya serta meminta saya untuk tidak memendam emosi.

Pada titik ini, saya teringkat akan orang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini, yaitu Muhammad Saw. Beliau selalu sehat, bahkan diriwayatkan hanya 2 kali mengalami sakit selama hidupnya. Apa rahasia beliau? Padahal beliau memiliki target, impian, dan berbagai aktivitas yang sangat banyak. Selain itu beliau mengalami berbagai penolakan saat menyampaikan kebenaran.

Thoif salah satunya. Sebuah daerah dimana Sang Nabi disiksa dan dilempari batu. Namun segala rintangan tak membuatnya menyerah untuk terus menyampaikan misinya. Dan tidak ditemukan dalam satu riwayatpun jika Rasulullah pernah mengalami stres.

Artinya, kondisi psikologis beliau tidak seperti kebanyakan orang yang ketika mendapat penolakan langsung turun semangatnya. Kala rintangan menghadang, orang nomor satu menurut Michael Hart tersebut memanjatkan doa seraya memasrahkan diri kepada Tuhan.

Ketenangan. Hal ini yang sedang saya upayakan untuk senantiasa hadir.

Maka, ketika gundah gulana melanda, sabar dan syukur adalah obatnya. Dan ketika penolakan, cemoohan, dan rintangan menghadang, kita terus melangkah untuk meraih cita. Hingga akhirnya kita menerima apapun yang Allah Swt. berikan dengan penuh cinta dan hati yang lapang. Inilah sejatinya kehidupan.

Sumber gambar:
http://ulamasedunia.org/2016/06/28/ketenangan-adalah-anugerah-allah-buat-golongan-beriman/