Tampilkan postingan dengan label Non-Judgement. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Non-Judgement. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 April 2022

Sikap Mindfulness: Mencintai Tanpa Menghakimi


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sabda Kanjeng Nabi: irhamu man fil ardl, yarhamkum man fis samaa. Sungguh dalam artinya. Bernas diksinya. Mengena sekali pesannya. 

Cintailah (Sayangilah) mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu...

Hadist ini sejalan dengan dalil wa ma arsalnaka ila rahmatan lil alamin, bahwa pada hakikatnya kehadiran manusia ditujukan sebagai "agen" rahmat bagi segenap semesta sekalian alam. 

Kontribusi manfaatnya tidak semata hanya dapat dirasa di lingkungan terbatas, melainkan juga bersifat luas dan mampu melintas ruang yang semula kita anggap takkan mungkin teretas.

Lapis-lapis batas pengamatan memberikan perspektif baru tentang adanya cakrawala di balik setiap cakrawala. Mega kluster Laniakea adalah wadah bagai super kluster Virgo yang bahkan hari ini baru bisa kita cermati sampai The OPIK, awan materi batas Bima Sakti.

Dan di tengah itu semua bergaung sejuta tanda tanya tentang makna mencinta. Tentang siapakah gerangan hamba? Lalu apa yang menjadi keniscayaan yang sesungguhnya?

Wujil dalam Suluk Wujil Sunan Bonang bertanya pada Sunan Wahdat,

Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.

"Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini."

Jika mengacu pada suluk tersebut, menyembah itu harus tahu siapa yang disembah bukan? Harus sadar sepenuhnya tentang peran dan kehadiran. Tentang esensi dan jati diri.

Demikian sekelumit nilai yang dapat dipetik dari penggalan suluk Wujil karya putra Bong Swi Hoo dan cucu Maulana Maliq Ibrahim As Samarqandi.

Pertanyaan yang muncul dalam suluk itu sangat fundamental dan cenderung retorik. Dimana jawabannya harus dicari jauh ke dalam diri sendiri.

Sebagaimana perjalanan Werkudara ke dalam samudera makna sebagaimana dikisahkan dalam Dewa Ruci. Kisah yang berupaya menggambarkan konsep manunggaling kawula Gusti dengan cara membangun dialog antara entitas (Werkudara) dengan representasi consciousness-nya, Dewa Ruci. Tentu dialog yang terjadi sebenarnya adalah dialog retoris yang berkutat tentang proses pencarian jati diri.

Kisah Dewa Ruci ini sebenarnya adalah kisah adaptif yang tidak dapat ditemukan di naskah asli Mahabaratha yang ditulis Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.

Sementara Kisah Dewa Ruci yang menjadi bagian dari script para dalang Jawa merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).

Kembali pada Suluk Wujil Sunan Bonang, peran dan esensi personal tercermin dari kegelisahan Wujil untuk segera mendapat ilmu makrifat karena sudah jenuh belajar syariat.

Padahal proses menuju makrifat itu perlu melalui penyucian jiwa atau nafs, lalu pemurnian qalbu, diikuti pengosongan pikiran dan ruh dari selain Allah. 

Istilah lain untuk metoda ini adalah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengelola hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia. Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.

Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu (Ahad), sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati.

Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. (Hadi Susanto, 2018).

Maka Wujil pun berkisah pada gurunya tentang "kenekatan"nya mencari makna hidup, karena sudah tidak sabar terus disuruh mengaji "Alif".

Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal // sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan // reming neta kalawan suruping pati // wekasing ana-ora.


"Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia daripada kesatuan, mencari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan yang tiada."


Demikian Wujil menyampaikan pada gurunya, Sunan Wahdat. Meski pada hakikatnya Wujil pasti sadar sepenuhnya jika manusia itu sesuai dalil adalah wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun.

Tugasnya adalah beribadah. Ibadah seperti apa? Ibadah yang kaffah yang melibatkan segenap potensi manusia dan jin yang telah dianugerahkan sebagai amanah.

Maka ikhlas menerima, melepas, atau ngekepi juga bagian dari ibadah, asal kita menjalaninya dengan tanpa menghakimi atau membutuhkan alasan yang kadang justru tidak diperlukan.

Sumber gambar:

Senin, 17 Januari 2022

Metafora Sikap Mindfulness: Non-Striving



Oleh Duddy Fachrudin 

Seorang nelayan sedang duduk santai di pinggir pantai dengan berbaring di dekat perahu miliknya. Tiba-tiba datanglah seorang pengusaha mendekati nelayan tersebut.

“Kenapa kau tidak pergi menangkap ikan?” tanya pengusaha tersebut kepada si nelayan yang sedang duduk.

“Karena aku sudah menangkap ikan, yang hasilnya dapat aku jual menghasilkan uang yang bisa mencukupi kebutuhanku dan keluargaku hari ini dan tiga hari berikutnya,” jawab si nelayan.

Lalu pengusaha berkata, “Mengapa kau tidak menangkap ikan yang lebih banyak lagi?” 

Dengan santai si nelayan menjawab, "Untuk apa?"

Pengusaha berkata lagi, “Kau akan mendapat uang yang lebih banyak, dan kau bisa menggunakan uangmu untuk membeli jala baru, atau kau bisa memperbaiki perahu mu agar kau bisa menangkap ikan lebih banyak lagi.”

“Lalu?” tanya nelayan.

“Uangmu akan semakin banyak dan kau bisa pergunakan untuk keperluan lain yang lebih besar, seperti membeli perahu baru agar kau bisa menjadi nelayan sukses,” ujar si pengusaha.

“Lalu, selanjutnya aku harus berbuat apa?” tanya si nelayan.

Pengusaha itu meyakinkan nelayan, “Dengan begitu kau bisa beristirahat dengan tenang menikmati hasil tangkapanmu.”

Si nelayan memandang pengusaha dengan tenang lalu berkata, “Menurutmu aku sekarang sedang apa? Bukankah aku sedang beristirahat?”

Referensi:

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 17 Mei 2021

Mindful Diet: Makna Diet, Puasa Ramadhan Setiap Bulan, dan Idul Fitri Setiap Hari



Oleh Duddy Fachrudin

Pemahaman diet yang berkembang pada sebagian besar orang saat ini, yaitu sebuah teknik untuk menurunkan berat badan. Maka terciptalah diet anu... diet nganu... dan diet anu nganu lainnya. 

Mereka yang terobsesi untuk langsing, seksi, dan memiliki tubuh yang aduhai pun tergerak untuk menjalankan diet anu. Saat dicoba selama beberapa waktu ternyata hasilnya tak kunjung mengubah arah jarum timbangan. Karena merasa bahwa diet anu tersebut gagal, kemudian beralih ke diet nganu. 

Maka memahami suatu esensi dari diet adalah kunci dari sebuah keberhasilan.

Kata diet berasal dari Bahasa Yunani, yaitu diaita yang merupakan turunan dari kata kerja "diaitasthan" yang memiliki arti sesungguhnya adalah "menjalani kehidupan". Esensi diet adalah bukan tidak boleh melakukan (makan) ini dan harus melakukan itu, melainkan menikmati apapun yang tersedia di muka bumi sesuai kadar secara sadar dengan menggunakan nalar. Maka kenikmatan dari diet (baca: menjalani kehidupan), terletak sejauhmana diri kita mengenal dan memahami takaran hidup kita. 

Diet bukanlah sebuah teknik, tapi way of life

Sebuah cara menjalani kehidupan yang seimbang. Cara bagaimana kita mengenal dan memahami tubuh kita sendiri. Cara bagaimana menjalin relasi dengan makanan yang dimasukkan ke dalam mulut. 

Diet adalah kehidupan itu sendiri.

Kehidupan yang membutuhkan yatacittama, yang artinya pengendalian. Jadi apapun teknik dan metode dietnya, inti sebenarnya adalah pengendalian.

Dan bukankah pengendalian memiliki asosiasi yang sangat kuat dengan puasa?

Jason Fung, seorang dokter yang mengobati pasien-pasiennya dengan metode puasa mengatakan bahwa puasa dapat disandingkan dengan diet apapun. 

Mengapa puasa? Ada apa dengan puasa? 

1. Puasa dilakukan oleh semua umat manusia, apapun latar belakang agamanya
2. Puasa adalah aktivitas keseharian Nabi

"Generasi terbaik adalah generasi di zamanku, kemudian masa setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi sebelum diminta kesaksiannya, bernazar tapi tidak melaksanakannya, dan nampak pada mereka kegemukan." (HR. Bukhari dan Muslim) 

Nabi sendiri mencontohkan dirinya gemar berpuasa, seperti puasa senin-kamis, saat tidak memiliki makanan berpuasa, ketika ada makanan tapi ingin memberi sedekah makanannya beliau kemudian berpuasa, saat ingin meningkatkan keyakinan melakukan puasa, dan sebagainya.

3. Puasa itu menyehatkan

Puasa mencegah obesitas atau kegemukan yang berpotensi menimbulkan penyakit-penyakit lainnya. Nabi sendiri memiliki perut yang rata. 

Abu Hurairah RA berkata:
"Rasulullah Saw. dada dan perutnya rata." (HR. Ibn Sa'ad)

Puasa membersihkan (memfitrikan) tubuh kita. Terjadi proses detoksifikasi yang dinamakan autofagi, dimana sel-sel yang rusak di dalam tubuh akan memakan dirinya sendiri. Sel-sel yang telah "dimakan" oleh tubuh ini kemudian didaur ulang menjadi sel baru yang lebih fresh yang pada akhirnya berdampak pada kualitas kesehatan fisik dan mental.

Puasa membuat pelakunya jarang mengalami sakit. Tengok Nabi yang hanya mengalami 2 kali sakit selama hidupnya. 

Maka seusai Ramadhan, adalah suatu hal yang bijak untuk melanjutkan puasa sehingga tubuh dan pikiran senantiasa difitrikan (dibersihkan/ disucikan). Saat fitri, bukankah kita dapat jernih dalam pengambilan keputusan dan tercegah dari melontarkan caci serta makian?

Sumber gambar:

Rabu, 29 Juli 2020

Gandhi, Tolstoy, dan Wukuf di Padang Arafah



Oleh Duddy Fachrudin 

Kian hari semakin banyak yang mempelajari mindfulness. Malam ini baru saja selesai mengkaji dan berdiskusi terkait ilmu ini. Yang hadir tidak main-main, para profesional, akademisi, dan juga praktisi.

Lalu apa yang sebenarnya kita cari? Segenap tanya meminta jawaban yang sesuai logika hingga rasa.

Begitulah manusia. Semestinya. Senantiasa ingin bertumbuh dan berkembang seperti Gandhi dan Tolstoy yang kadang pemikirannya tak kita mengerti. Gandhi yang senang jalan kaki dan puasa, sementara Tolstoy, bangsawan dan pujangga besar itu bercita-cita menjadi orang biasa-biasa saja.

Keduanya tak pernah bertatap muka, namun disatukan oleh kata-kata.

Dalam surat terakhirnya kepada Gandhi, Tolstoy menulis:

The longer I live-especially now when I clearly feel the approach of death-the more I feel moved to express what I feel more strongly than anything else, and what in my opinion is of immense importance, namely, what we call the renunciation of all opposition by force, which really simply means the doctrine of the law of love unperverted by sophistries. 

Love, or in other words the striving of men's souls towards unity and the submissive behaviour to one another that results therefrom, represents the highest and indeed the only law of life, as every man knows and feels in the depths of his heart (and as we see most clearly in children), and knows until he becomes involved in the lying net of worldly thoughts. This law was announced by all the philosophies- Indian as well as Chinese, and Jewish, Greek and Roman.

Cinta melahirkan persatuan dan kesatuan. Tak ada lagi membeda-bedakan, penilaian, serta penghakiman. Semua sama berkat cinta. Karena cinta pula lahir ahimsa. 

Keduanya menempuh jalan sunyi. Jalan transformasi. Bukan untuk mengubah dunia. Melainkan menanam untuk diri sendiri. Agar memahami dan mengenali diri.

###

Siapa kita ini? Semburat tanya kembali menggeliat. 

Bersama mereka dari berbagai negara, bangsa, berbeda suku, ras, dan kulit warna melakukan waqafa (berhenti sejenak), di padang arafah (hamparan pengetahuan) di waktu siang dan malam hari, di puncak haji.

Wukuf, berdiam diri untuk mengenal, dan memahami, serta menyadari diri.

Begitulah haji mengajarkan. Haji adalah arafah. Begitu sabda Nabi.

Haji adalah retreat akbar yang mengajak manusia untuk menilai dirinya agar tak lagi memvaluasi untung rugi. Tak lagi termelekati rupa-rupa kemolekan sensasi yang diindera oleh penglihatan, pendengaran, juga hati.

Arafah adalah upaya untuk menjadi murni. Cara agar kita manusia melepaskan diri dari jerat ilusi dan halusinasi. Strategi dalam mengolah batin untuk tak lagi menjadi hakim selama hidupnya. 

Maka arafah adalah hikmah bagi mereka yang berserah menjalani kehidupan dengan ilmu dan cinta.

Sumber gambar:

Senin, 06 Juli 2020

11 Film Asyik Tentang Mindfulness



Oleh Duddy Fachrudin 

All this anger, man... It just begets greater anger.

Kemarahan memunculkan kemarahan yang lebih besar. 

Premis tersebut tesaji dalam film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, sebuah kisah tentang ketidakrelaan, kurangnya penerimaan, kemarahan, dan ambisi yang meletup-letup dari seorang ibu atas kematian remaja putrinya. 

Pusaran konflik tak hanya pada kehidupan dirinya dengan para polisi yang menurutnya "tidak cakap" dalam menangani kasus anaknya. Sang ibu bernama Mildred ini pun memiliki masalah dengan dirinya sendiri yang suka minum alkohol. Kemudian seorang polisi yang rasis, dan kepala polisi yang rapuh karena kanker. 

Banyak sekali hikmah terkait mindfulness dalam film ini, seperti belajar untuk tidak reaktif, tidak menghakimi, mengembangkan kedermawanan, penerimaan, dan belajar untuk melepas (letting go) dari masa lalu. 

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang memenangi berbagai penghargaan di OSCAR 2018 merupakan satu dari 11 film asyik tentang mindfulness yang sayang untuk dilewatkan. Berikut daftar ke-11 film yang bisa kita tonton di saat jeda dari kesibukan sekaligus upaya untuk mengembangkan kemampuan mindfulness kita.

  1. Capernaum (2018, IMDB: 8,4)
  2. 27 Steps of May (2019, IMDB: 8,2)
  3. Spiderman: Far From Home (2019, IMDB: 7,5)
  4. Seven Years in Tibet (1997, IMDB: 7,1)
  5. Peaceful Warrior (2006, IMDB: 7,3)
  6. How to Train Your Dragon (2010, IMDB: 8,1)
  7. Le Grand Voyage (2004, IMDB: 7,2)
  8. A Street Cat Named Bob (2016, IMDB: 7,3)
  9. Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017, IMDB: 8,2)
  10. The Lives of Others (2006, IMDB: 8,4)
  11. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020, IMDB: 7,5)
Semuanya bagus dan sarat akan pembelajaran. Namun jika boleh memilih highly recommended, tiga terbaik maka pilihannya jatuh pada Le Grand Voyage, sebuah road movie perjalanan haji seorang ayah dan anaknya menggunakan mobil dari Prancis. Lalu The Lives of Others, kisah tentang polisi intel di era Jerman Timur yang melakukan pengamatan pada kehidupan seorang penulis. Dan tentu saja Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. 


Sumber gambar: 

Jumat, 03 Agustus 2018

Yes, Akhirnya Merasakan "Living In The Moment" [Pengalaman Berlatih Mindfulness]


Oleh Oka Ivan Robiyanto

Gegara video pemandangan super lambat berdurasi 6 menit itu pikiran saya semakin mengembara.

"Apa maksudnya ini?"

"Saya kan mau belajar mindfulness berbasis terapi kognitif, kenapa dikasih video yang nggak jelas seperti ini?"

Saya mengikuti pelatihan ini agar saya mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan target seminar proposal cepat terealisasi.

Namun, nyatanya selama pelatihan hari pertama pikiran saya terus dibayangi target. Ditambah video itu... "Oh sepertinya gua dikadalin nih sama pematerinya..." 

Alhasil, pada hari itu, saya belum bisa merasakan hidup dengan memberikan perhatian sepenuhnya di setiap momen.

Pada pelatihan pertama, kami memang belum berlatih mindfulness. Kami banyak berdiskusi mengenai mindfulness dari berbagai pengalaman dan juga dari literatur-literatur ilmiah sesuai dengan tujuan pelatihan ini, yang salah satunya untuk kepentingan penelitian.

Pada hari kedua, barulah saya dan teman-teman berlatih mindfulness.

Hari itu diawali dengan apa yang disebut sebagai mindful walking. Berjalan dengan penuh kesadaran, bagaimana kaki ini melangkah dan merasakan apa yang tersentuh oleh kaki kami sebagai peserta.

Kasar, basah, kotor, pegal yang terasa oleh kaki ini ditambah suara angin hingga kendaraan yang melintas di sekitar wilayah pepohonan tempat kami berjalan. Lalu juga tampak kucing yang sedang tidur berbaring dan suara-suara tonggeret yang bertengger di pepohonan pinus disekitarnya.

Seolah saya bisa memberikan perhatian penuh saat mindful walking... 

Tapi pikiran ini ternyata masih mengembara pada proposal, pekerjaan yang tertunda, serta keinginan mengabadikan pemandangan nan asri ini melalui kamera.

Rasa cemas pun mulai muncul seiring pikiran yang mengembara tersebut. Namun, saat latihan mindful walking berikutnya pikiran ini mulai bisa ditata hanya untuk merasakan langkah kaki dan apa yang terinjak dibawahnya.

Saat otot-otot paha ini melangkah secara bergantian, tumit yang menyentuh tanah dilanjutkan dengan jari-jari kaki yang menyentuh ranting-ranting yang berserakan sungguh amat terasa.

Perasaan nyaman dan tenang pun mulai muncul meskipun sesekali pikiran ini kembali mengembara ke tempat lain namun bisa kembali lagi untuk merasakan sentuhan pada kaki ini. 

Selain berlatih mindful walking di hutan pinus yang asri itu, kami juga berlatih mindful hearingmindful eating, breathing, meditasi duduk, dan body scanning.

Pikiran mengembara tetap muncul, bahkan tidak jarang berupa judgement. Sensasi tidak nyaman terjadi, seperti pusing. Puncaknya ketika latihan body scan, rasa pusing dan mual tersebut tidak tertahankan, yang akhirnya membawa saya untuk segera bangun di pertengahan sesi dan berlari menuju ke toilet.

Lega terasa karena sudah membuang racun yang bersarang di dalam tubuh.

Rasa mual ini terjadi mungkin karena saya cemas akan target proposal atau juga karena minum kopi saat sesi coffe break.

Maka saat ada sesi berlatih mindfulness lagi yaitu pada pelatihan hari keempat (pelatihan hari ketiga membahas desain intervensi mindfulness), saya tidak minum kopi, dan tentunya saya juga melepaskan kecemasan saya. Dan, I'm really fine and yes, finally i feel "living in the moment".

Non-striving kuncinya. Tidak berambisi karena semua akan sampai pada waktunya.


Sumber gambar:
http://healthcoachpenny.com/strive-to-non-strive/

Selasa, 10 Juli 2018

Sikap Mindfulness: Menilai itu... Jahat


Oleh Duddy Fachrudin

Maka pernahkah kita berpikir untuk mau mencoba sekedar melihat, mendengar, merasakan, dan mendeskripsikan tanpa melibatkan penilain subjektif? 
(dr. Tauhid Nur Azhar, pemateri workshop "Mindfulness in Medical Education")

Terlepas dari judulnya yang juga "jahat" (karena menilai), topik ini memang perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif oleh kita sebagai mahluk yang bereksistensi dan beraktualisasi serta memiliki peran kehidupan di dunia.

Setelah belajar bersama dalam workshop "Mindfulness in Medical Education" kemarin, kawan saya, dokter Hapsoro menyampaikan kepada saya bahwa penting bagi kita untuk tidak terburu-buru memberikan penilaian terhadap suatu situasi atau, diri sendiri, atau orang lain.

Penilaian yang tergesa-gesa biasanya muncul dari suatu persepsi sempit tanpa memandang suatu hal lebih luas. Atau bisa juga hasil dari suatu prasangka, value, atau belief yang terlekat amat kuat dalam pikiran manusia.  Dan tentu ada upaya comparing, sehingga tidak jarang menilai adalah mempolarisasi pikiran menuju satu titik tertentu.

Ya. Saat menilai, divergent thinking kurang dilibatkan.

"Kamu bodoh...", padahal dia hanya belum dapat menjawab suatu pertanyaan.

"Kamu tidak mungkin sukses...", padahal dia hanya gagal dalam satu ujian mata kuliah.

"Teman-teman saya tidak ada yang peduli pada saya...", padahal hanya karena konflik dengan seorang teman di masa lalu.

Menilai itu jahat, karena menilai adalah kata-kata. Dan kata-kata bukankah sebuah do'a?

Prof. Sutejo Kuwat dari Undip, dalam suatu sesi pelatihan peningkatan kualitas dosen wali pun berpesan kepada mereka yang berprofesi sebagai guru atau dosen agar melatih kualitas emosi dan tidak sering menyalahkan mahasiswa.

Maka saat menilai atau menghakimi, tidak ada lagi yang namanya empati.

Sumber gambar:
https://thequotes.com/quotes/541408