Tampilkan postingan dengan label Non-Striving. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Non-Striving. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Januari 2022

Metafora Sikap Mindfulness: Non-Striving



Oleh Duddy Fachrudin 

Seorang nelayan sedang duduk santai di pinggir pantai dengan berbaring di dekat perahu miliknya. Tiba-tiba datanglah seorang pengusaha mendekati nelayan tersebut.

“Kenapa kau tidak pergi menangkap ikan?” tanya pengusaha tersebut kepada si nelayan yang sedang duduk.

“Karena aku sudah menangkap ikan, yang hasilnya dapat aku jual menghasilkan uang yang bisa mencukupi kebutuhanku dan keluargaku hari ini dan tiga hari berikutnya,” jawab si nelayan.

Lalu pengusaha berkata, “Mengapa kau tidak menangkap ikan yang lebih banyak lagi?” 

Dengan santai si nelayan menjawab, "Untuk apa?"

Pengusaha berkata lagi, “Kau akan mendapat uang yang lebih banyak, dan kau bisa menggunakan uangmu untuk membeli jala baru, atau kau bisa memperbaiki perahu mu agar kau bisa menangkap ikan lebih banyak lagi.”

“Lalu?” tanya nelayan.

“Uangmu akan semakin banyak dan kau bisa pergunakan untuk keperluan lain yang lebih besar, seperti membeli perahu baru agar kau bisa menjadi nelayan sukses,” ujar si pengusaha.

“Lalu, selanjutnya aku harus berbuat apa?” tanya si nelayan.

Pengusaha itu meyakinkan nelayan, “Dengan begitu kau bisa beristirahat dengan tenang menikmati hasil tangkapanmu.”

Si nelayan memandang pengusaha dengan tenang lalu berkata, “Menurutmu aku sekarang sedang apa? Bukankah aku sedang beristirahat?”

Referensi:

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 17 Mei 2021

Mindful Diet: Makna Diet, Puasa Ramadhan Setiap Bulan, dan Idul Fitri Setiap Hari



Oleh Duddy Fachrudin

Pemahaman diet yang berkembang pada sebagian besar orang saat ini, yaitu sebuah teknik untuk menurunkan berat badan. Maka terciptalah diet anu... diet nganu... dan diet anu nganu lainnya. 

Mereka yang terobsesi untuk langsing, seksi, dan memiliki tubuh yang aduhai pun tergerak untuk menjalankan diet anu. Saat dicoba selama beberapa waktu ternyata hasilnya tak kunjung mengubah arah jarum timbangan. Karena merasa bahwa diet anu tersebut gagal, kemudian beralih ke diet nganu. 

Maka memahami suatu esensi dari diet adalah kunci dari sebuah keberhasilan.

Kata diet berasal dari Bahasa Yunani, yaitu diaita yang merupakan turunan dari kata kerja "diaitasthan" yang memiliki arti sesungguhnya adalah "menjalani kehidupan". Esensi diet adalah bukan tidak boleh melakukan (makan) ini dan harus melakukan itu, melainkan menikmati apapun yang tersedia di muka bumi sesuai kadar secara sadar dengan menggunakan nalar. Maka kenikmatan dari diet (baca: menjalani kehidupan), terletak sejauhmana diri kita mengenal dan memahami takaran hidup kita. 

Diet bukanlah sebuah teknik, tapi way of life

Sebuah cara menjalani kehidupan yang seimbang. Cara bagaimana kita mengenal dan memahami tubuh kita sendiri. Cara bagaimana menjalin relasi dengan makanan yang dimasukkan ke dalam mulut. 

Diet adalah kehidupan itu sendiri.

Kehidupan yang membutuhkan yatacittama, yang artinya pengendalian. Jadi apapun teknik dan metode dietnya, inti sebenarnya adalah pengendalian.

Dan bukankah pengendalian memiliki asosiasi yang sangat kuat dengan puasa?

Jason Fung, seorang dokter yang mengobati pasien-pasiennya dengan metode puasa mengatakan bahwa puasa dapat disandingkan dengan diet apapun. 

Mengapa puasa? Ada apa dengan puasa? 

1. Puasa dilakukan oleh semua umat manusia, apapun latar belakang agamanya
2. Puasa adalah aktivitas keseharian Nabi

"Generasi terbaik adalah generasi di zamanku, kemudian masa setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi sebelum diminta kesaksiannya, bernazar tapi tidak melaksanakannya, dan nampak pada mereka kegemukan." (HR. Bukhari dan Muslim) 

Nabi sendiri mencontohkan dirinya gemar berpuasa, seperti puasa senin-kamis, saat tidak memiliki makanan berpuasa, ketika ada makanan tapi ingin memberi sedekah makanannya beliau kemudian berpuasa, saat ingin meningkatkan keyakinan melakukan puasa, dan sebagainya.

3. Puasa itu menyehatkan

Puasa mencegah obesitas atau kegemukan yang berpotensi menimbulkan penyakit-penyakit lainnya. Nabi sendiri memiliki perut yang rata. 

Abu Hurairah RA berkata:
"Rasulullah Saw. dada dan perutnya rata." (HR. Ibn Sa'ad)

Puasa membersihkan (memfitrikan) tubuh kita. Terjadi proses detoksifikasi yang dinamakan autofagi, dimana sel-sel yang rusak di dalam tubuh akan memakan dirinya sendiri. Sel-sel yang telah "dimakan" oleh tubuh ini kemudian didaur ulang menjadi sel baru yang lebih fresh yang pada akhirnya berdampak pada kualitas kesehatan fisik dan mental.

Puasa membuat pelakunya jarang mengalami sakit. Tengok Nabi yang hanya mengalami 2 kali sakit selama hidupnya. 

Maka seusai Ramadhan, adalah suatu hal yang bijak untuk melanjutkan puasa sehingga tubuh dan pikiran senantiasa difitrikan (dibersihkan/ disucikan). Saat fitri, bukankah kita dapat jernih dalam pengambilan keputusan dan tercegah dari melontarkan caci serta makian?

Sumber gambar:

Minggu, 20 September 2020

Sikap Mindfulness: Non-Striving, Berhenti Berharap dan Melepaskan Tujuan




Oleh Duddy Fachrudin 

Suatu ketika saya menjadi fasilitator bagi siswa-siswa SMA/SMK yang dianggap memiliki perilaku yang kurang baik, seperti tawuran dan vandalisme. Mendampingi mereka dalam sebuah pelatihan yang berdurasi lima hari tentunya berbeda dengan mendampingi peserta pelatihan yang benar-benar ingin mengikuti pelatihan. 

Sebagian besar dari mereka tidak tahu mengapa mereka dikirim sekolahnya untuk mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Pendidikan itu. Sebagian lagi sadar bahwa karena perilaku mereka di sekolah yang menyebabkan mereka perlu diberi pendidikan karakter.

Pelatihan bagi mereka sangat membosankan. Banyak yang tidur-tiduran selama pelatihan, meminta ijin untuk ke toilet padahal merokok, bermain smartphone, dan mengobrol dengan temannya. 

Para siswa juga enggan membaur dengan peserta yang berasal dari sekolah lain. Hal ini berlangsung selama tiga hari pertama.

Selain fasilitator, dalam pelatihan itu terdapat panitia dan juga trainer utama yang bertanggung jawab atas kelancaran acara, serta mewujudkan tujuan dari pelatihan. 

Pada hari keempat, kelelahan memuncak pada diri kami. Mungkin ini yang dinamakan compassion fatigue. Panitia dan trainer utama yang paling merasakannya karena selain harus bertugas saat acara, mereka ikut menginap bersama peserta di mess pelatihan, dan harus membangunkan mereka serta “menggiring” mereka ke ruang pelatihan. 

Pada hari itu kami briefing, setelah peserta tidak mau mengikuti permainan yang kami berikan. 

Melihat kondisi yang begitu lelah dan emosi negatif berhamburan yang terjadi pada panitia dan trainer utama, maka ada wacana pelatihan akan ditutup hari itu juga. Masing-masing dari kami memberikan solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. 

Tibalah saya memberikan usulan. Saya mengatakan bahwa sudah saatnya melepas tujuan, harapan, dan keinginan untuk mengubah mereka. Tugas kita di sini adalah menyampaikan, dan tidak ada kewajiban bagi kita agar mereka berbaur dengan peserta sekolah lain (blending), berhenti tawuran, atau melakukan vandalisme. 

Trainer utama menolak dirinya lelah, meskipun sangat terlihat dari raut wajahnya, serta pola nafasnya yang tak beraturan. Ia juga ingin pelatihan terus dijalankan sesuai rundown dan mencapai tujuan pelatihan, yaitu bagaimana membuat peserta berbaur satu sama lain.

Ada beberapa yang setuju dengan usul saya, termasuk seorang yang menjadi penghubung antara kami dengan Dinas Pendidikan. Maka akhirnya kami memutuskan melanjutkan pelatihan tersebut tanpa ada harapan sama sekali.

Pada sesi pelatihan berikutnya adalah kontes drama. Para peserta dibagi ke dalam empat kelompok, dan masing-masing kelompok harus menampilkan drama dengan tema yang sudah kami tentukan. 

Setiap kelompok didampingi oleh dua orang fasilitator. Saya dan teman saya tidak banyak melakukan intervensi kepada kelompok yang kami dampingi. Mereka berdiskusi secara alami, dan sesekali bertanya pada kami mengenai konsep drama yang akan mereka bawakan. 

Akhirnya tibalah saatnya setiap kelompok menampilkan dramanya masing-masing. 

Hasilnya begitu ajaib! Suasana ruangan pelatihan dipenuhi dengan senyuman, gelak tawa, dan emosi yang positif. Para peserta dapat membaur dengan yang lainnya, menampilkan diri mereka secara kocak, dan jarang ada yang keluar ruangan atau bermain HP. 

Kami sangat senang dengan perubahan yang terjadi. Rasa kelah dan emosi negatif yang masih menaungi kami lenyap begitu saja. 

Saya pun tidak menyangka dengan apa yang saya lihat, bahkan saya takjub ketika kelompok kami diumumkan menjadi pemenang dalam kontes drama tersebut. Awesome!

Maka salah satu sikap mindfulness yang dapat kita kembangkan adalah non-striving atau tidak berambisi dengan melepaskan harapan atau tujuan. 

Bukankah tugas kita adalah ikhtiar sebaik-baiknya tanpa ambisi atau kendali secara berlebihan, dan menyerahkan hasilnya pada Allah Swt.?

Sumber gambar:

Sabtu, 11 Juli 2020

Metafora: 11 Lampu Merah




Oleh Duddy Fachrudin 

Jogja kota yang unik. Makanannya khas, seperti gudeg, krecek, nasi kucing, bakmi, sate klatak, tahu guling, getuk, hingga tiwul. Bahkan di daerah Gunung Kidul ada yang namanya walang (belalang) goreng. Minumannya? Jangan ditanya, ada dawet, kopi jos, wedang ronde sampai wedang uwuh. Dijamin kuliner khas Jogja ini membuat kita ketagihan untuk terus makan dan makan.

Selain kulinernya, Jogja terkenal dengan budayanya, tempat wisatanya, pantainya, goanya, psikolog puskesmasnya, dan lalu lintasnya serta sarana transportasinya. Khusus yang terakhir ini, memang baru saya jumpai kalau di Jogja angkutan transportasi umumnya hanya ada bus kota, transjogja, ojeg, becak, dan taksi. Satu yang tidak ada yaitu angkutan kota (angkot). Karena angkot tidak ada, maka banyak penduduk Jogja yang memakai sepeda motor sebagai kendaraan sehari-harinya. Jika tidak ada motor, maka akan sulit sekali ke mana-mana.

Selama kuliah di Magister Psikologi Profesi Universitas Gadjah Mada (UGM) saya menggunakan motor untuk pulang pergi rumah-kampus UGM. Saya tinggal di Imogiri dekat makam raja-raja. Selama perjalanan Imogiri-UGM, saya menghitung ada sekitar 11 lampu merah yang saya temui. Jika di setiap lampu merah saya berhenti 40 detik, maka total saya kehilangan 440 detik atau 7 menit. Imogiri-UGM sendiri dalam waktu normal menempuh waktu 40 menit. Ditambah perkiraan kehilangan 7 menit, saya harus memiliki waktu minimal 47 menit untuk bisa sampai di UGM dari tempat tinggal saya.

Jam kuliah paling pagi adalah pukul 7.30, maka saya harus sudah berangkat maksimal pukul 6.43. Pada awalnya saya cemas, kalau-kalau saya terlambat, oleh karena itu saya biasa berangkat pukul 6.30, apalagi sepanjang jalan Imogiri penuh dengan pengendara sepeda motor yang menuju Jogja. Atau saya dapat berangkat pukul 6.43, melajukan motor dengan kecepatan 60-70 km/jam dan mengusahakan tidak terkena lampu merah.

Pada awalnya saya sering tergesa-gesa dan memacu kendaran dengan kecepatan tinggi saat berangkat kuliah. Tujuan saya hanya satu yaitu datang tepat waktu atau sebelum pembelajaran dimulai. Ketika saya harus berhenti karena lampu merah sering kali saya kesal. Pikiran pun mengembara dan menerka-nerka ke masa depan, “Jangan-jangan saya telat!”.

Beberapa waktu kemudian saya menyadari ternyata pikiran dan perasaan saya tidak nyaman.

Lalu, saya mengijinkan diri saya lebih santai ketika harus berhenti di lampu merah. Kenapa? 

Bukankah saat saya berhenti di lampu merah saya bisa menarik nafas sejenak sebelum memacu kendaraan lagi? Ketika saya berhenti di lampu merah, itu artinya saya bisa melihat ke sekeliling dan menemukan insight untuk ide-ide atau tulisan saya berikutnya. 

Atau saat saya berhenti di lampu merah, hati ini berkata, “Hidup ini kadang memang butuh berhenti sejenak. Berpikir sesaat. Atau merenungkan apa yang telah dilakukan oleh diri ini.”

Dan gara-gara daya berhenti di lampu merah, saya jadi punya ide membuat tulisan ini.

Sumber gambar:

Jumat, 03 Agustus 2018

Yes, Akhirnya Merasakan "Living In The Moment" [Pengalaman Berlatih Mindfulness]


Oleh Oka Ivan Robiyanto

Gegara video pemandangan super lambat berdurasi 6 menit itu pikiran saya semakin mengembara.

"Apa maksudnya ini?"

"Saya kan mau belajar mindfulness berbasis terapi kognitif, kenapa dikasih video yang nggak jelas seperti ini?"

Saya mengikuti pelatihan ini agar saya mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan target seminar proposal cepat terealisasi.

Namun, nyatanya selama pelatihan hari pertama pikiran saya terus dibayangi target. Ditambah video itu... "Oh sepertinya gua dikadalin nih sama pematerinya..." 

Alhasil, pada hari itu, saya belum bisa merasakan hidup dengan memberikan perhatian sepenuhnya di setiap momen.

Pada pelatihan pertama, kami memang belum berlatih mindfulness. Kami banyak berdiskusi mengenai mindfulness dari berbagai pengalaman dan juga dari literatur-literatur ilmiah sesuai dengan tujuan pelatihan ini, yang salah satunya untuk kepentingan penelitian.

Pada hari kedua, barulah saya dan teman-teman berlatih mindfulness.

Hari itu diawali dengan apa yang disebut sebagai mindful walking. Berjalan dengan penuh kesadaran, bagaimana kaki ini melangkah dan merasakan apa yang tersentuh oleh kaki kami sebagai peserta.

Kasar, basah, kotor, pegal yang terasa oleh kaki ini ditambah suara angin hingga kendaraan yang melintas di sekitar wilayah pepohonan tempat kami berjalan. Lalu juga tampak kucing yang sedang tidur berbaring dan suara-suara tonggeret yang bertengger di pepohonan pinus disekitarnya.

Seolah saya bisa memberikan perhatian penuh saat mindful walking... 

Tapi pikiran ini ternyata masih mengembara pada proposal, pekerjaan yang tertunda, serta keinginan mengabadikan pemandangan nan asri ini melalui kamera.

Rasa cemas pun mulai muncul seiring pikiran yang mengembara tersebut. Namun, saat latihan mindful walking berikutnya pikiran ini mulai bisa ditata hanya untuk merasakan langkah kaki dan apa yang terinjak dibawahnya.

Saat otot-otot paha ini melangkah secara bergantian, tumit yang menyentuh tanah dilanjutkan dengan jari-jari kaki yang menyentuh ranting-ranting yang berserakan sungguh amat terasa.

Perasaan nyaman dan tenang pun mulai muncul meskipun sesekali pikiran ini kembali mengembara ke tempat lain namun bisa kembali lagi untuk merasakan sentuhan pada kaki ini. 

Selain berlatih mindful walking di hutan pinus yang asri itu, kami juga berlatih mindful hearingmindful eating, breathing, meditasi duduk, dan body scanning.

Pikiran mengembara tetap muncul, bahkan tidak jarang berupa judgement. Sensasi tidak nyaman terjadi, seperti pusing. Puncaknya ketika latihan body scan, rasa pusing dan mual tersebut tidak tertahankan, yang akhirnya membawa saya untuk segera bangun di pertengahan sesi dan berlari menuju ke toilet.

Lega terasa karena sudah membuang racun yang bersarang di dalam tubuh.

Rasa mual ini terjadi mungkin karena saya cemas akan target proposal atau juga karena minum kopi saat sesi coffe break.

Maka saat ada sesi berlatih mindfulness lagi yaitu pada pelatihan hari keempat (pelatihan hari ketiga membahas desain intervensi mindfulness), saya tidak minum kopi, dan tentunya saya juga melepaskan kecemasan saya. Dan, I'm really fine and yes, finally i feel "living in the moment".

Non-striving kuncinya. Tidak berambisi karena semua akan sampai pada waktunya.


Sumber gambar:
http://healthcoachpenny.com/strive-to-non-strive/

Jumat, 12 Januari 2018

Coutinho, Keseimbangan, dan Resolusi 2018

Philippe Coutinho

Oleh Duddy Fachrudin

Sejak Neymar bercerai dengan Barcelona dan bergabung dengan Paris Saint-Germain, Luis Suarez dan Lionel Messi kehilangan partner terbaik di lini depan El-Barca. Demi mempertahankan formasi 4-3-3 yang sudah menjadi pakem dan andalan Barcelona, pihak manajemen berburu pengganti Neymar. Sosok Ousmane Dembele, winger Borussia Dortmund yang masih berusia 20 tahun pun direkrut dengan harga fantastis. Pemuda Prancis itu dihargai 105 juta Euro atau 1,6 triliun Rupiah. Namun lacur, sang pemain cedera parah di awal musim. Tak jarang formasi 4-3-3 diubah menjadi 4-4-2 dengan hanya Suarez dan Messi sebagai duo maut pengoyak jala lawan.

Meskipun Barcelona kokoh di puncak klasemen Liga Spanyol, dan Dembele segera pulih dari cederanya, tim asal Catalan itu tetap membutuhkan gelandang serang kreatif selevel Neymar. Apalagi mereka masih memiliki uang yang melimpah dari hasil transfer Neymar yang mencapai 222 juta Euro. Dan akhirnya, The Magician alias Si Pesulap Coutinho berhasil didatangkan dari Liverpool dengan mahar 2,58 triliun Rupiah.

Skill Coutinho tidak perlu dipertanyakan lagi dan levelnya di atas Dembele, bahkan mendekati Neymar. Barcelona membutuhkan Coutinho untuk menjaga keseimbangan lini depannya tetap sesuai formasi ideal. Selain itu teman dekat Neymar itu juga menjaga regenerasi pemain tetap berjalan di Barcelona. Tiga atau empat tahun lagi, Messi dan Suarez berada sudah memasuki usia pra-pensiun, dan Coutinho sosok yang pas untuk memimpin lini serang El-Barca. Resolusi rival abadi Real Madrid di tahun 2018 itu terpenuhi. Ya, resolusi itu bernama keseimbangan.

Resolusi. Biasanya orang-orang mulai memikirkan harapan, cita-cita, impiannya di tahun baru sejak menjelang pergantian tahun atau di awal bulan di tahun baru. Apa ya resolusi saya?, begitu kira-kira Anda bertanya pada diri Anda sendiri.

Jika berkaitan dengan prinsip mindfulness, maka sesungguhnya kita “tidak membutuhkan resolusi”. Loh, apakah itu berarti tidak memiliki harapan atau cita-cita?

Tentu, tidak seperti itu. Salah satu sikap mindfulness sendiri adalah non-striving atau tidak berambisi. Kita tetap memiliki harapan dan impian. Dan cita-cita yang terpatri dalam hati di tahun yang baru diwujudkan dalam proses yang mindful, ora kemrungsu (tidak terburu-buru apalagi hingga sampai menghalalkan segala cara), sabar, penuh dengan kebersyukuran, termasuk menerima segala tantangan maupun hambatan dengan bijaksana. Saat resolusi tercapai, justru kita belajar untuk melepaskan kelekatan terhadap apa yang sudah kita raih atau miliki. Resolusi pun difokuskan pada aspek yang belum kita capai. Misalnya, jika kita telah sukses dalam materi, namun secara emosional belum sukses (baca: masih belum dapat mengelola emosi secara baik), maka kita dapat memfokuskan resolusi kita pada peningkatan kualitas emosi pada diri ini. Inilah non-striving.

Tidak perlu buru-buru. Toh, Philippe Coutinho yang sudah menjadi incaran Barca sejak musim panas lalu, akhirnya berlabuh juga di Camp Nou musim dingin ini.

Maka non-striving sesungguhnya mengajarkan kita untuk hidup seimbang dan living mindfully. Karena kesuksesan sejati berarti kita berada pada titik equilibrium, seimbang di semua aspek kehidupan.

Lalu, apa resolusi Anda di tahun 2018 ini?

Sumber gambar:
https://twitter.com/phil_coutinho