Tampilkan postingan dengan label Pengalaman Berlatih Mindfulness. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengalaman Berlatih Mindfulness. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 September 2020

Meredakan Nyeri dengan Mindfulness



Oleh Millia Asri 

Beberapa waktu ini saya mulai berlatih mindfulness

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk melakukannya karena saya tipe orang yang selalu melakukan sesuatu dengan cepat dan kebiasan ini sudah membantu saya menjadi orang yang "garocoh pocoh". 

Selain itu saya sering menuntut diri saya untuk multitasking, mind wandering dan lainnya yang membuat saya menjadi orang yang tidak mindful.

Dan akhirnya... saya sering merasa lelah sendiri baik secara fisik maupun mental.

Perlahan saya berlatih mindful raisin, mindful breathing, mindful walking, mindful movement, body scan dan sitting meditation

Jalan sore atau jalan pagi menjadi kebiasaan baru dalam mengembangkan mindfulness.

###

Aktivitas berlatih mindfulness ini semakin lebih sering dilakukan ketika peristiwa ini terjadi.

Ceritanya....

Seminggu yang lalu, saya merasakan sakit yang teramat sangat pada anggota gerak bawah terutama bagian lutut, paha dan pergelangan kaki. Hal ini menyebabkan untuk berdiri saja sangat sangat sulit, apalagi berjalan. Sakit itu mungkin disebabkan karena pergerakan saya yang tidak bagus sehingga membuat otot dan sendi saya sakit.

Dalam kondisi ini saya melakukan body scan, mindful breathing, siting meditation dan mindful walking.

Saya mencoba merasakan setiap sensasi rasa sakit tersebut, mengamati setiap sensasi sakit tersebut, menerima setiap rasa sakit tersebut apa adanya tanpa ada penilaian.

Alhamdulillah setelah rutin melakukan mindful pratices, sakit itu sangat jauh berkurang dan jujur rasa sakit itu hanya sesekali muncul.

Belajar dan berlatih keterampilan psikoterapi bukan hanya untuk membantu orang lain tapi yang paling penting adalah untuk menolong diri sendiri terlebih dahulu. Ketika kita sudah mampu menolong diri sendiri, Insya Allah kita mampu menolong orang lain.

Sumber gambar:
https://creakyjoints.org/alternative-medicine/meditation-for-chronic-pain-what-its-like/

Minggu, 10 Februari 2019

Berlatih Sabar dengan SOBER


Oleh Duddy Fachrudin

Alkisah seorang cowok keren berkelana dari kampungnya nun jauh di sudut Sanur menuju Jakarta, sebuah kota yang penuh ambisi dan memiliki tingkat stres yang tinggi. Meskipun begitu kota tersebut merupakan kota cinta dan penuh hikmah, setidaknya bagi pemuda ini.

Ia merantau mencari ilmu dan karena kecerdasannya ia diterima di jurusan psikologi di kampus ternama. Kadek nama pemuda itu, yang selama menempuh studi lebih banyak melakukan eksperimen kehidupan dibanding membaca buku. Ia bahkan jarang terlihat belajar oleh teman-teman atau dosen-dosennya. Namun nilai-nilainya justru yang paling tinggi dibandingkan dengan teman-teman satu angkatannya.

Semua orang curiga bahwa ia melakukan kecurangan, seperti mencontek atau bahkan menyogok. Teman-temannya berkomentar negatif tentangnya, bahkan ia juga mulai dijauhi oleh mereka. Hanya seorang karib yang senantiasa menemaninya, meskipun ia berada di kota sebelah tempat Kadek menempuh studi.

Sendiri ia menghadapi kenyataan yang sebenarnya fiksi. Jiwanya gelisah ingin marah serta membuktikan diri bahwa ia tak bersalah. Namun kemudian ia teringat pesan gurunya di Sanur, "Orang-orang yang berkomentar menjelekkan adalah mereka yang belum mengenal kebenaran dan tersentuh cinta dalam hatinya."

Maka pesan itu yang menjaganya untuk tetap bijaksana layaknya Arjuna yang tak ternoda dan bercahaya mengendara kereta di Padang Baratayudha sembari ditemani Krisna.

"Mereka (Kurawa) juga saudaraku, maka jika aku menjelekkan atau berkomentar negatif kepadanya sama seperti melukai diriku sendiri."

Begitulah Kadek berbagi rasa dengan teman satu-satunya di suatu senja di Kedai Kopi 372 Dago Pakar.

Tak ada yang kebetulan. Sore itu diskusi menarik tentang "Menerima dan Memaafkan" tersaji bersama hangatnya kopi dibawakan oleh Bu Diana, seorang Guru Mindfulness dari kaki Gunung Ungaran dan muridnya mba Fefi.

Kadek dan temannya mengikuti diskusi interaktif yang diselingi musik dan latihan mindfulness nan asyik. Salah satu latihannya adalah SOBER.

SOBER merupakan konsep dari sabar yang merupakan bagian dari hidup mindful. "Carilah pertolongan, salah satunya melalui sabar..." Begitu ujar Bu Diana di hadapan audiens yang begitu antusias...

Bu Diana kemudian meminta mba Fefi menjabarkan SOBER. Dengan mindfulnya, wanita berparas lembut itu menyampaikan SOBER yang ternyata merupakan sebuah singkatan dari:

Stop
Observe
Breathing
Expand
Respond


"Bisa dijelaskan lebih lanjut"?, tanya seorang peserta bernama Anisa, seorang staf riset dan pengembangan di sebuah sekolah bisnis yang saat itu sedang mempelajari mindfulness.

Mba Fefi kemudian melanjutkan:

Stop: disaat mendapatkan suatu kejadian yang tidak menyenangkan, kita tidak langsung merespon. Tapi ijinkan diri kita untuk sejenak berhenti.

Observe: lalu amati pikiran dan perasaan kita, termasuk amati lingkungan juga.

Breathing: kemudian tarik nafas. Ijinkan diri kita nyaman, rileks dan dalam kondisi yang tenang serta penuh kedamaian.

Expand: setelahnya kita mungkin mendapatkan berbagai alternatif respon yang bijaksana atas peristiwa negatif yang baru saja terjadi.

Respond: kalau sudah mendapat respon terbaik, lakukan respon tersebut.

"Itulah SOBER," lanjut mba Fefi.

Kadek yang menyimak diskusi itu semakin yakin bahwa komentar negatif hanya bisa dikalahkan dengan mempraktikkan SOBER.

Sumber gambar:
Dokumentasi Pribadi

Senin, 28 Mei 2018

Berlatih Mindfulness itu Menantang (Pengalaman Berlatih Mindfulness)



Oleh Yulia Irawati

“You are, after all, what you think. Your emotions are the slaves to your thoughts, and you are the slave to your emotions.”
(Elizabeth Gilbert)

Gelisah, bosan, dan pikiran-pikiran itu selalu muncul.

Itulah hal yang saya rasakan selama 5 hari pertama berlatih mindfulness, khususnya meditasi mindfulness.

Saya seperti halnya Elizabeth Gilberth dalam Eat, Pray, Love yang belum bisa tenang saat berlatih meditasi pertama kali. Pikiran-pikiran itu bermunculan silih berganti mengisi ruang rasa. Semakin sering berlatih, justru pikiran-pikiran itu menyambangi lalu membuat saya menjadi emosi. Ya, seperti kata Liz di atas, emosimu adalah budak bagi pikiranmu. Dan kamu adalah budak bagi emosimu.

Berlatih mindfulness itu menantang.

Saya mengevaluasi bahwa saya belum bisa “meletakkan” pikiran-pikiran itu karena kondisi saat ini yang sering mengeluh dan menyalahkan diri sendiri serta lingkungan.

Maka meskipun belum merasakan manfaat yang signifikan saya melatihnya kembali—apalagi jika merujuk literasi, terdapat beberapa manfaat yang diperoleh setelah berlatih mindfulness.

Bisa dikatakan berlatih mindfulness membutuhkan kesabaran, tidak instan (termasuk ingin segera memperoleh manfaatnya), dan punya keinginan kuat. Seperti cerita kali ini:

Pada suatu pagi saya merasakan sakit pada bagian perut bawah, sampai saya tidak bisa melakukan apapun. Hal ini memang sering terjadi ketika saya merasakan stres. Saya lalu memutuskan untuk berlatih body scan meditation.

Ketika melakukan body scan memang rasa sakit itu semakin terasa sakit dan intens, bahkan sampai bagian pinggang pun ikut terasa sakit. Saya kemudian mencoba untuk menerima segala rasa sakit yang dirasakan dan membiarkan rasa sakit itu terus berada dalam tubuh saya.

Pikiran-pikiran mulai mendistraksi dan memerintahkan saya untuk berhenti latihan.

Namun, setelah beberapa kali mencoba untuk tetap fokus kembali pada napas dan menerima rasa sakit yang dirasakan pada daerah sekitar perut, sedikit demi sedikit saya merasa rileks dan nyaman. Sampai pada akhirnya rasa sakit itu mereda, kemudian hilang.

Sejak saat ini saya mulai merasakan manfaat berlatih mindfulness. Dan, meskipun saya berada dalam kesadaran penuh saat berlatih, saya harus bisa rileks. Itu kuncinya.

Dari semua jenis latihan mindfulness, yang paling saya sukai yaitu mindful breathing. Dengan latihan sederhana ini saya lebih merasa mampu untuk mengarahkan perhatian lebih terarah sehingga efek yang dirasakan lebih terasa. Rasa nyaman dan tenang itu hadir.

Ketika saya merasa lebih tenang, emosi saya tidak terlalu meledak-ledak dan lebih mampu untuk mengendalikan diri. Saya pun mulai belajar untuk menerima keadaan saya saat ini. Menerima bahwa semua yang saya jalani dalam kehidupan ini adalah sebuah proses pembelajaran.

Sumber gambar:
https://www.lumimeditation.com/inhaleexhale/wandering-mind-in-guided-meditations/

Kamis, 17 Mei 2018

Melakukan Dengan Rasa, Bukan Karena Tuntutan (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Melakukan dengan Rasa

Oleh Sinka Mutasia

Saya tidak menyangka akan mendapatkan suatu sensasi, pengalaman, serta pembelajaran yang berharga ketika mengikuti pelatihan mindfulness ini.

Awalnya, saya hanya meniatkan diri untuk belajar mindfulness karena kepentingan tesis saya. Namun, ternyata, i really need it for my personal development, lebih dari sekedar tesis.

Sebagai gambaran saya termasuk orang yang memiliki energi besar, emosi yang cenderung mudah meledak, serta memiliki target dan ambisi yang tinggi. Saya juga berusaha mengontrol atau mengendalikan kehidupan saya.

Tapi, selama ini ternyata yang saya sebut-sebut mengontrol, pada kenyataannya adalah “menekan” bagian lain dari diri saya tersebut.

Maka tak heran, jika di satu waktu ia meledak. Keluar bagaikan monster. Dan saya menjadi seseorang yang seringkali menakutkan bahkan menyebalkan.

Dengan alasan idealis dan kebaikan, saya memaksakan kehendak saya untuk orang lain. Lalu saya suka menuntut diri sendiri mencapai target yang tinggi. Namun saya sendiri tidak siap menerima kegagalan ketika ambisi itu tidak tercapai.

Tuntutan bukan hanya datang dari diri sendiri, Tuntutan dari lingkungan pun seringkali mengganggu apa yang sedang saya lakukan.

Hasilnya: pikiran saya mengembara kemana-mana, saya tidak mendapatkan apa-apa, yang saya lakukan tidak selesai, waktu untuk keluarga kurang berkualitas. Yang saya rasakan hanya lelah.

Akhirnya saya menjadi orang yang frustasi, malas menetapkan target, menjalani hidup apa adanya tanpa tujuan. Lalu seringkali menilai tentang salah benar dan berhasil atau gagal sebelum melakukan sesuatu.

Dalam mindfulness sendiri menetapkan target itu tidak salah, hidup dengan tujuan itu perlu, tapi dibalik itu kita juga sudah menyiapkan penerimaan terhadap kemungkinan adanya kegagalan atau hal di luar ekspektasi kita. Itu dia yang tidak saya lakukan—penerimaan, yang sebelumnya hanya diucapkan di bibir, tapi tidak di hati dan pikiran saya.

Disinilah saya mulai belajar menyadari sebuah proses perjalanan hidup dan menata langkah dengan lebih mindful dengan penuh rasa yang lembut, tidak terburu-buru, dan penerimaan. Dan saya mulai belajar menikmati perjalanan ini.

Ketika mulai berlatih mindfulness, semuanya diajarkan untuk disadari, dan benar-benar merasakan apa yang kita lakukan sekarang.

Saya baru benar-benar merasakan kaki saya berpijak pada bumi, benar-benar berpijak, merasakan sejuknya tanah, menggelitiknya rumput, ranting-ranting dan buah pinus yang berjatuhan.

Dengan fokus pada apa yang saya dengar, saya menerima pikiran-pikiran yang datang, menaruhnya sejenak dan kembali pada apa yang saya kerjakan.

Lalu mendengar (kembali) sekeliling saya, mengatur nafas, merasakan udara yang saya hirup bersamaan dengan semilir angin juga suara-suara.

Kemudian benar-benar merasakan asamnya kismis dan tomat yang ternyata tidak seasam yang saya bayangkan.

Mengembangkan hidup yang mindful sungguh indah. Dan saya benar-benar bersyukur bisa mempelajari hal ini.

Hal terindah lainnya, yaitu dengan saya menerima permasalahan saya, maka itu terasa menjadi lebih ringan di pundak. Pikiran saya tidak semerawut seperti benang-benang kusut. Dan sekarang saya lebih mudah menelusurinya.

Kini, saya memperbaiki niat saya kembali ketika melakukan sesuatu. Berusaha untuk melakukannya dengan segenap perasaan saya dan menikmati tiap prosesnya. Berhenti sejenak jika ada pikiran bahkan penilaian yang mengganggu. Memberinya ruang untuk dipahami dan mengerti, kemudian biarkan ia menunggu sejenak disana. Dan saya kembali mengerjakan dan fokus apa yang sedang saya jalani sekarang.

Menikmati setiap jengkal proses perjalanan ini, menyadari dan menerima setiap permasalahan yang ada. Semua ini membuat hidup saya lebih bermakna, lebih bisa menjalani dan menikmati waktu serta peran dalam keluarga.

Pada akhir pelatihan, fasilitator yang mengajarkan kami mindfulness berpesan, “Lakukanlah, selesaikanlah... karena memang kita ingin menyelesaikan dengan seluruh perasaan kita, bukan karena tuntutan.”

Sumber gambar:
http://www.newsweek.com/2015/05/08/prosthetics-can-feel-thanks-science-touch-325752.html

Kamis, 10 Mei 2018

Belajar untuk Menerima... Belajar untuk Melepas (Pengalaman Berlatih Mindfulness)

Menerima dan Melepas

Oleh Prinskasastri

“Salah saya apa? Apakah saya seburuk itu?

Bagai radio rusak, saya mengulang-ulang pertanyaan itu sendiri.

Sejak akhir tahun 2017, karena sebuah peristiwa, pikiran saya mengembara kemana-mana. Kekhawatiran berlebih akan masa depan dan ketakutan masa lalu terulang terus terngiang di kepala saya.

Saya menyadari kondisi emosi saya tidak dalam kondisi yang bagus. Saya tidak bahagia. Bahkan, saya sering menyalahkan diri saya sendiri dan orang lain yang menyebabkan kondisi saya seperti ini.

Saya marah. Saya sulit menerima kenyataan. Lalu maaf pun enggan memancar dari hati saya.

Energi saya habis. Asam lambung saya naik. Saya lelah.

Saya lelah karena selama ini telah menghukum diri saya dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Dan saya belajar untuk pasrah. But how?

Sampai suatu hari karena tanggungjawab untuk mengerjakan tesis, saya mencari terapi yang tepat, yang bukan hanya bermanfaat bagi subjek penelitian saya, tapi juga bagi saya pribadi. Akhirnya saya menemukan mindfulness melalui teman-teman saya, media sosial, jurnal psikologi, dan blog beberapa praktisi mindfulness.

Di titik inilah saya mulai belajar mindfulness.

Mencerna konsep mindfulness dari berbagai media tidak mudah bagi saya. Untungnya, bagai mestakung, beberapa teman saya di Magister Psikologi Profesi UNISBA memiliki minat yang sama untuk belajar mindfulness. Alih-alih hanya belajar dari jurnal, buku, dan media lainnya, kami memutuskan untuk belajar mindfulness pada Kang Duddy, yang juga alumni Psikologi UNISBA, praktisi mindfulness, dan pernah melakukan penelitian mindfulness sebelumnya.

Dua hari pertama belajar mindfulness merupakan tantangan yang sangat berat bagi saya. Hal ini menjadi menantang karena selama ini saya tidak menyadari bahwa saya ternyata begitu menikmati kondisi masa lalu saya. Dan saya juga menikmati kondisi ketakutan akan masa depan. Saya lupa untuk hidup sepenuhnya di masa sekarang.

Beberapa kali melakukan meditasi duduk, saya semakin menyadari bahwa pikiran saya penuh dengan kondisi di masa lalu saya. Saya biasanya menolak dan memilih mengabaikan pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan. Mencoba menerima dan berdamai dengannya adalah suatu hal yang baru.

Setelah dua hari kami pelatihan, saya berlatih menerapkannya sendiri di rumah. Sudah satu minggu ini saya berlatih dan praktik ini memang menjadi tugas kami sebelum kami belajar mindfulness lagi pada dua hari berikutnya.

Perubahan yang terjadi yang saya rasakan adalah energi saya yang biasanya cenderung cepat lelah semakin lama semakin baik setiap harinya. Saya sedikit demi sedikit mulai menyadari emosi yang muncul dalam diri tanpa mengabaikannya. Terkadang saya masih bersikap reaktif dalam menghadapi segala sesuatu. Namun, saya berniat untuk terus belajar dan berlatih mengembangkan hidup mindfully.

Ya. Belajar untuk menerima dan melepaskan pikiran-pikiran yang mengembara, serta hidup sepenuhnya saat ini dan di sini.

Sumber gambar:
http://www.pilgriminprada.com/the-power-of-letting-go/