Tampilkan postingan dengan label Filosofi Kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filosofi Kehidupan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Oktober 2022

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Perjalanan lintas masa mereka yang menggunakan jentera anti tesis ruang waktu, membawa ke sebuah daerah yang dulu masuk ke area pusat peradaban Liyangan. Belum sampai sana sebenarnya, tepatnya di Papringan.

Lokus yang menjadi laboratorium hidup untuk kearifan budaya yang bersifat holistik dan menjadi etalase cara hidup arif bijaksana yang waskita terhadap berbagai piweling dan pertanda dari alam.

Pendekatan pemenuhan kebutuhan yang berkepedulian dan kapasitas untuk menjadi pengendali keinginan tanpa mengeksploitasi, apalagi manipulasi, secara berlebihan dan tak beretika ketika berinteraksi dengan alam.

Alam takambang menjadi guru bukanlah sekedar pameo ataupun peribahasa bersayap yang terbang membumbung tinggi seperti Alap Alap. Ia justru menjadi Lumbricus yang membumi dan bersanggama langsung dengan kenyataan, tetapi mampu mewarisi ilmu visi Alap Alap sebagaimana yang dimiliki oleh Bala Sanggrama pengawal Raden Wijaya raja pertama Majapahit yang keturunan Jawa Sunda. Ayahnya dalam beberapa manuskrip dikenal sebagai Rakyan Jayadarma yang berasal dari Sunda Galuh, dan Ibunya adalah Dyah Lembu Tak keturunan Ken Arok pendiri Singhasari.

Kakawin Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti Kudadu menjelaskan tentang asal usul dan sepak terjang Raden Wijaya dalam mendirikan Emporium Majapahit, yang kelak dikenal dengan doktrin penyatuan Nusantara.

Kembali kepada Papringan dan beberapa daerah yang dengan kesadaran penuh mulai belajar untuk mengenali kembali kearifan terdahulu yang antara lain maujud dalam tradisi yang diwariskan sebagai pesan kebudayaan yang menjadi pengingat dan perekat dari generasi berikutnya yang heterogen. 

Pesan ini antara lain maujud dalam sebentuk craftmanship dan kecerdasan natural yang dapat memanfaatkan segenap potensi alam dengan cara yang sederhana, tepat guna, dan tidak mendorong terjadinya dampak ikutan yang tidak diharapkan seperti limbah dan kerakusan yang senantiasa menjadi bagian dari konteks potensi komoditas.

Papringan dengan tokoh penggerak seperti Mas Singgih yang ahli pemanfaatan bambu, dapat menjadi contoh tentang kebersahajaan cara hidup yang justru dapat mengalir sejalan dengan arus semesta yang menubuh dalam berbagai fenomena alam yang penuh dengan tanda.

Papringan atau perbambuan yang menjadi jenama sebuah pasar dengan produk dan cara bertransaksi unik, bukanlah semata sebuah jenama belaka, ia adalah laboratorium tentang nilai.

Pasar yang berlokasi di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, kecamatan Kedu yang di masa lalu masuk dalam wilayah Bagelen, ini adalah sebuah media interaksi nilai yang dapat menjadi media kontemplasi terhadap pola interaksi kita dengan alam selama ini.

Jika bangsa Jepang memiliki shokunin waza, maka bangsa Indonesia dengan berbekal warisan berupa capaian budaya dan cendekia yang sedemikian luar biasa pada zamannya, tentulah juga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengelola segenap potensi intelijensia dan ketrampilan dalam mengelola sumber daya yang tersedia dalam ruang hidupnya.

Semangat inilah yang semestinya jangan sampai mengalami kondisi pati obor, alias tercerabut dari tradisi cendekia bangsa yang meski maju dalam tatanan masyarakat dunia, tetapi juga semestinya dapat menyumbang konsep dan karya adiluhung melalui sebentuk karya dan model hidup welas wasis waskita yang cerdas bernas sekaligus ikhlas. 🙏🏿💕

Sumber gambar:

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Aja mung dadi wong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya wong sing ugi bisa lan pinter rumangsa.

Peka terhadap kondisi, sadar berkenyataan, bersikap dan berbuat dengan olahan kejernihan pikiran yang menghasilkan kesejukan dalam kebersamaan.

Karena pada dasarnya manusia itu hanya memanen apa yang telah dikerjakan, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. Segenap peristiwa dalam kehidupan sesungguhnya adalah pelajaran yang mau kita terima dan kerjakan PR nya, atau mau kita abaikan. 

Lucunya rangkaian dari peristiwa yang merupakan kurikulum pendidikan kemanusiaan itu, konten dan objektifnya kita tentukan sendiri. Karena hidup ini adalah Learning Management System atau LMS dengan Personal and Community Learning Objective yang turut kita kembangkan berdasarkan pilihan sikap dan kedalaman cara berpikir, juga sekhusyu' apa kita berzikir.

Bukankah menungsa mung ngunduh wohing pakarti?

Pakarti dalam kinerja, karya, dan olah rasa, teutama dalam hubungan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan di semesta. Tidak eksploitatif manipulatif secara abusif, juga pandai menata dan mengelola titipan yang telah diamanahkan sebagai khalifah yang wajib menghadirkan rahmah.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mbancangi, dhuwur tan ngungkuli.

Presensi yang menghadirkan kehangatan, dan bukan ancaman. Kehadiran yang membahagiakan, bukan yang membahayakan.

Untuk menyelami dan menghirup atmosfer ilmu itu, bisa singgah di Papringan.

Sahabat saya bersama kroninya yang ahli dalam soal konservasi berbagai warisan budaya arsitektur heritage, sedang melakukan tour de central Java yang berpusar di sekitar pegunungan sakral bangsa Medang. Ungaran, Telomoyo, Sindoro, Sumbing, minus Merapi dan Merbabu.

Mereka berkelana dan memanja indera dengan sajian romansa eklektika yang dipenuhi dengan berbagai kisah nostalgia tentang masa jaya sebuah peradaban yang pernah hadir di Nusa Jawa.

Nusa silang budaya kata Denys Lombard, sejarawan yang bukunya tentang sejarah Nusantara laris manis tanjung kimpul. Bahkan melebihi karya-karya ilmiah populer cendekiawan kita sendiri. Tak apa tentunya, karena ilmu kan bersifat egaliter, universal, dan bebas kepemilikan. 

Tersedia banyak tanda bagi mereka yang punya niat belajar dan berkenan membaca dan menyimak isinya tanpa terjebak sebatas menghafal jenama dan pariwaranya saja.

Dalam parikan Jawa sifat bangga akan bungkus dan kosong saat ditanya soal isi kerap disampaikan sebagai pengingat bagi para generasi penerus, wa bil khusus, generasi yang sudah teramat banyak difasilitasi teknologi.

Kecepatan dan intensitas informasi yang ditandai dengan tingginya volume transmisi, seperti rumus Claude Shannon ya, membuat prosesor analitik kita tak sempat mengendapkan data, apalagi mengurainya menjadi ekstrak ilmu yang dapat dipertautkan secara silogisme untuk merajut makna yang sebenarnya terwakili dalam berbagai bentukan pesan semiotika.

Budaya kulit atau lapis superfisial yang terwakili oleh status ataupun feed serta mikro blog yang hanya berkisar sekitar 160 karakter, telah membuat kita mengukur setiap fenomena melalui "baju" yang dikenakannya saja.

Kembali kepada duo Hasti dan Hesti yang berasal dari dunia yang berbeda, Holland (yang bukan bakery) dan Tahura Bandung, rupanya mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Yang satu punya ilmu terkait konservasi dan pemuliaan situs atau artefak bersejarah, satunya lagi punya jejaring di berbagai kalangan untuk bisa memberi akses petualangan time traveling mereka.


Sumber gambar:

Rabu, 19 Januari 2022

Filosofi Tahu Bulat



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di Nusantara serta pernah berkesempatan ngumbara ke berbagai sudut mancanagara, saya tuh paling senang melihat dan memperhatikan manusia. Juga hewan, tumbuhan, serta alam sekitar tentu saja.

Sementara sebagai bagian dari alam semesta rasanya bahagia sekali jika dapat mengetahui sekelumit pengetahuan terkait berbagai hal, misal sebab akibat ataupun sekedar definisi dari suatu benda atau fenomena. Ada yang rumit dan ada yang dapat dipahami secara tidak sulit.

Ada yang perlu diungkit, ada yang dinamis seperti jungkat-jungkit, dan ada pula yang pengertiannya berpusar melilit.

Tapi TAHU adalah sesuatu. Mungkin Mang Rene, yang bernama lengkap Rene Descartes (kalau di Jawa mungkin namanya Rene Yo Le) atau dalam bahasa Latin sebagaimana banyak manuskrip di masanya ditulis, dikenal sebagai Renatus Cartesius, paham benar soal TAHU ini, maka ia pun bersabda: COGITO ERGO SUM. Aku berpikir maka aku ada. Aku ada karena aku berpikir. Berpikir berarti meNAHU. Pikir adalah pabrik TAHU.

Mang Rene ini unik, pemikir tapi pernah daftar tentara, 1617 jadi tentara Belanda dan pada masa perang 30 tahun menjadi tentara Bavaria. Justru saat jadi tentara itulah Mang Rene punya privilege untuk berpikir dan menulis.

Karya-karya besarnya antara lain Discours de la méthode dan Meditationes de prima Philosophia. Tapi mungkin banyak yang belum TAHU bahwa sang filsuf TAHU ini adalah bapak matematika modern yang sumbangan pemikirannya antara lain maujud dalam sistem koordinat Cartesius yang banyak digunakan dalam aplikasi kalkulus.

Mang Rene juga seorang neuroscientist, karena pernah menghasilkan karya besar tentang proses berpikir dalam naskah yang diberi judul Rules for the Direction of the Mind.

Tapi pada prinsipnya sih Mang Rene banyak bicara soal TAHU dan bagaimana untuk menjadi TAHU. Bumbu ikutannya mah banyak, ada diskursus logika sampai fallacy. Tapi bahasan kita hari ini adalah soal TAHU, meNAHU, dan dikeTAHUi.

Kalau dipikir-pikir seluruh siklus kehidupan manusia itu berpusar di pabrik TAHU bukan? Indera dikaruniakan dan dihadirkan untuk menghimpun data sebagai bahan baku perTAHUAN atau pengeTAHUan sebagai kata benda yang bisa menjadi adjektiva, mencerminkan sifat. Dengan kata kerja atau keterangan mengeTAHUi dan proses nya: mencari TAHU.

Kan kita tidak TAHU-TAHU paham, mengerti, dan bisa? Jadi semua proses adalah belajar, dan belajar adalah perancah untuk mengonstruksi TAHU. Setelah TAHU kita jadi MAU. Mau apa? MAU TAHU.

Demikian bukan?

Maka lahirlah motif, lahirlah ingin, lahirlah reward alias imbalan, lahirlah desire atau hasrat syahwat yang membuat jantung berdetak lebih cepat.

Imbalan dari proses adalah harapan yang terbumikan. TAHU adalah syarat lahirnya MAU yang berkorelasi kausalistik dengan imbalan atau penghargaan akan capaian yang merupakan apresiasi terhadap upaya untuk menubuhkan bayangan keinginan menjadi sebuah kenyataan. Aktualisasi diri yang menjadi bagian dari proses dan capaian.

Maka TAHU menjadi kata kunci eksistensi. TAHU juga menjadi platform esensi kesadaran, keberadaan, dan peran. TAHU menjadi nilai inti dari interaksi dan komunikasi.

Dari kacamata neurosains TAHU diawali dari indera yang memberi stimuli berupa aneka data dalam berbagai bentuk biofisika. Lalu ada perhatian yang diarahkan sehingga materi yang diterima akan diperhatikan. 

Salience network yang terdiri dari anterior singulata dan korteks insula akan memilah dan memilih data dan mengklasifikannya seperti Dewey mengklasifikasi buku sebagai sumber pustaka di perpustakaan. Dan selanjutnya data akan diolah menjadi memori dan serangkai cerita yang akan mewarnai otak kita.

Dalam diam yang tak hening, kadang kita larut dalam lamunan yang bahasa Jakselnya adalah self referential processing (Ekhtiari et al, 2016), dan memikirkan serta merancang masa depan, imagining future.

Pada saat itulah korteks singulata posterior, prekuneus, dan medial prefrontal korteks, serta korteks parietal inferior bahu membahu mengolah data menjadi pabrik TAHU masa depan. Kita jadi TAHU apa yang kita MAU, dan TAHU apa yang harus kita lakukan agar TAHU dan MAU bisa ADA dan mengADA. Kita menamainya CARA, atau boleh juga sih biar keren, disebut Metoda.

Untuk bisa punya CARA kita perlu ILMU yang didapatkan dari meracik TAHU dan bumbu-bumbu.

Maka kata orang-orang penganut Stoic, Stoicism, atau kita Indonesiakan saja menjadi Stoika, kebahagiaan itu bersumber dari hal-hal yang dapat kita kendalikan. Maka mengendalikan itu perlu metoda, perlu cara bukan? Iya kan Kang Zeno? Kang Epitectus, Boss Marcus Aurelius, dan Om Seneca sependapat kah? Jika sependapat, aman berarti ya?

Metodanya ya bisa melalui retorika, dialektika, sampai mengkaji secara fisika (nalar) dan etika serta estetika (rasa). Tapi intinya tetap TAHU apa yang kita TAHU, TAHU apa yang kita tidak TAHU, dan kadang ya yang sering sih tidak TAHU apa yang kita tidak TAHU. Memang ada juga sih yang tidak TAHU kalau kita TAHU.

Saya mungkin yang sering sok TAHU padahal tidak TAHU juga kadang saya pura-pura tidak TAHU kalau saya tuh TAHU. Banyak alasan untuk itu secara fisika dan etika bukan?

Maka TAHU yang mana yang semestinya menjadi TAHU ideal? Buat kita, baca manusia, ya tidak ada. Karena semua TAHU, pengeTAHUan, TAHU MAU dan MAU TAHU itu subjektif. Meski ada pengeTAHUan komunal yang dibangun melalui jejaring interaksi personal, tetapi TAHU tetaplah AKU, karena AKU tak TAHU kamu dan KAMU takkan pernah TAHU AKU. Karena kita sama-sama TAHU, oleh karena itu kita sama-sama tidak TAHU.

Bukankah segenap makhluk itu diciptakan berpasangan? Temasuk TAHU tentunya bukan? 

Seriously, TAHU adalah esensi. Nilai inti dari eksistensi. Bahkan sumber dari segenap proses kreasi. Kehadiran kita dan alam semesta kan bagian dari proses TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi bukan?

Survivalitas saja kan lahir karena kita TAHU apa yang kita butuhkan untuk mempertahankan kehidupan bukan? Komunikasi dan bisnis hadir karena kita TAHU bagaimana cara kita menjalin simbiosis dalam sebentuk interaksi sarat kepentingan yang bersifat mutualis bukan?

Lalu pada gilirannya kita akan menyadari bahwa esensi dari TAHU, mengeTAHUi, dan dikeTAHUi itu adalah kehidupan dan keberadaan itu sendiri bukan? TAHU adalah kesadaran.

TAHU apakah yang paling lezat? TAHU BULAT tentu saja.

TAHU yang BULAT adalah sebentuk kesadaran yang dibangun oleh konstruksi pengeTAHUan yang sudah tak lagi bersudut dan berbidang. Tak ada garis dan nodus yang tak terpusat. Fokus. AHAD.

Digoreng dadakan. Spontan dan selalu segar. Tumbuh dan berkembang. Melaju seiring jaman. Adaptif terhadap dinamika kebutuhan, lapar goreng banyak, kenyang tak digoreng.

500 an, murah, mudah, terjangkau. Bisa didapatkan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Demikian tulisan hari ini yang diendorse TAHU BULAT. Mohon jangan ditelan bulat-bulat, periksa dulu siapa tahu ada ulat, atau ada bagian yang disunat. Sudah ya, TAMAT. 

Sumber gambar:
https://www.kompas.com/food/read/2021/06/17/151100275/3-tips-goreng-tahu-bulat-kopong-agar-renyah-dan-mengembang

Rabu, 12 Agustus 2020

Ubah Dunia dengan Mendengar



Oleh Duddy Fachrudin 

“Dulu gue tuh, berdoa, memohon, meminta, berharap dari mulai yang aneh-aneh sampai yang paling sederhana. 

Meminta hanya untuk sehat aja kok... tapi kenyataannya yang dihadapi sekarang adalah penyakit kanker. Hodgkin’s lymphoma... sejak itu nggak lagi mau meminta. 

Do’a sekarang untuk mendengar dan merasakan energi Yang Maha Kuasa... Hanya keheningan yang membuat kita mendengar sebenarnya...”

Sebuah monolog yang menyentuh dari seorang karakter bernama Meimei yang diperankan Cut Mini dalam ending film Arisan 2. 

Bagi saya, monolog ini sangat menohok kesadaran sekaligus melucuti ego saya yang sering kali meminta ini itu kepada Tuhan.

Berdo’a memang harus, bahkan Allah Swt. meminta kita untuk berdo’a kepada-Nya. Dengan begitu kita sebagai hamba-Nya ini senantiasa merapat dan mendekat kepada-Nya. 

Namun kadang selama berdo’a kita lupa untuk berdialog, mendengar, dan merasakan kehadiran-Nya. 

Kita berdo’a hanya karena memang minta ini itu berupa kebutuhan duniawi.

Aktivitas dunia yang serba sibuk, padat, dan ramai semakin membuat kita lupa akan mendengar, termasuk mendengar tubuh kita sendiri. 

Tubuh berkata “Sudah cukup, aku butuh istirahat. Aku tidak kuat lagi digunakan untuk bekerja. Aku benar-benar butuh istirahat.” 

Sayang orang yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya tidak mendengar jeritan tubuhnya. Kesehatan diabaikan dan akhirnya sakit bahkan tidak jarang meninggal.

Maka kita perlu merenungkan kembali kata-kata Dalai Lama yang menganggap manusia adalah hal yang membingungkannya. 

Mengapa? 

Beliau menjawab, “Karena manusia mengorbankan kesehatannya demi uang. Lalu ia mengorbankan uangnya demi kesehatan. Manusia sangat khawatir dengan masa depannya sampai-sampai tidak menikmati saat ini.”

Sumber gambar:

Selasa, 30 Juni 2020

Mindful Diet: Memasak Dimsum Sepenuh Jiwa


Oleh Nur Yanayirah 

Kenapa mindful cooking

Karena saat saya belanja, cuci bersih bahan, bikin adonan, membentuk adonan, dan kukus, dilakukan dengan mindful, maka memasak menjadi enjoy. Penuh kesadaran dan kesabaran, fokus dan konsentrasi selama memasak. 

Mengosongkan pikiran untuk hal-hal lain, memprioritaskan untuk memasak dimsum ini, dan menikmati semua proses-nya, tidak terlalu mempedulikan bagaimana hasilnya. 

Yang penting adalah "kenikmatan dalam bekerja", hadir pada saat ini, pikiran tidak mengawang-awang ke masa lalu, atau masa depan. Hadir, sepenuh jiwa...

Dimsum Ayam Keju

Bahan:
-500 gram ayam cincang
-Keju 100 gram
-Wortel parut

Haluskan:
-Bawang merah 10 siung
-Bawang putih 5 siung
-Jahe 1 buah

Bumbu lain:
-Saus tiram 2 sachet
-Penyedap rasa bisa di skip
-Tapioka 10 sdm
-Telor 1 butir
-Daun bawang secukupnya
-Garam secukupnya
-Gula pasir secukupnya
-Kulit pangsit

Let's cook...
 
Cuci bersih ayam, lalu cincang.

Haluskan bumbu, tambahkan saus tiram, penyedap rasa, garam, gula, daun bawang cincang, tambahkan telur dan keju, aduk rata, dan taburi wortel parut.

Masukan adonan dimsum ke dalam kulit pangsit, kukus selama 35-40 menit, api sedang saja. 

Sajikan..

Hidup berkesadaran dengan melakukan mindfulness in cooking. Cukup masak yang simpel-simpel. 

Atau selain memasak teman-teman juga bisa melatih hidup mindful dengan melakukan aktivitas: menyetrika baju, melukis, menggambar, dan menjahit. Jangan terlalu pedulikan hasilnya. At least teman-teman sudah berusaha.

Dengan terbiasa melakukan ini, insya Allah kita jadi bisa lebih fokus, dan mengurangi pikiran negatif yang tidak perlu.

Sumber gambar:
Dokumentasi pribadi

Senin, 18 Mei 2020

Ketidakpastian dan Makhluk Qubit Bernama Manusia



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Dalam mengarungi masa-masa pandemi corona ini, mari sejenak merenung mengenai konsep "ketidakpastian" atau bahasa londonya uncertainty. Hal ini dikaji dalam ilmu fisika secara khusus dalam prinsip Heisenberg. 

{∆x.∆p> h/2} (bisa dilihat di gambar di bawah ya). 

Dimana "ketidakpastian" ini maujud dalam pernyataan terkait posibilitas dan probabilitas. 

Seberapa besar kemungkinan sesuatu itu terjadi ? 

Keterangan gambar (searah jarum jam): 
Prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam gelombang, dapat disimak pula pola double slit dari Thomas Young. Anotasi Dirac yang dapat diaplikasikan dalam konsep super posisi dan quantum states. Bloch Sphere dengan konsep qubit dan formulasi quantum states

Jika mendapat pertanyaan seperti itu biasanya kita akan memutar otak lalu mulai mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah gerangan yang turut menentukan tingkat posibilitas suatu keadaan.

Dan mungkin saja faktor-faktor yang teman-teman identifikasi sama dengan yang teridentifikasi oleh saya, yaitu: adanya pengetahuan, pengalaman, kemampuan (terlatih), derajat niat dan usaha, kondisi yang mendukung, serta mungkin ada yang memasukkan faktor "keberuntungan" (opportunity) atau nasib.

Semua benar tentu saja, sekaligus semua juga belum tentu benar dalam memastikan kemungkinan untuk menjadi 100% mungkin. 

Mengapa? Karena masih ada faktor probabilitas tentu saja. 

Bukankah jika semua syarat untuk mencapai keberhasilan terpenuhi maka probabilitasnya juga mendekati 100%?

Contoh jika kita sudah mengikuti dan menjalankan safety procedure, maka hampir dapat dipastikan kita akan selamat dalam perjalanan atau penerbangan misalnya. 

Apakah anda yakin? Kan dalam kalimat itu saja masih ada kata "hampir". Artinya tidak ada sesuatu hal pun di semesta ini yang bersifat deterministik alias pasti selama terkait dengan konsep probabilitas alias kemungkinan. 

Sementara bagi manusia hal yang telah dapat dipastikan sebagai konsekuensi rasional dari kelahiran adalah kematian. Kepastian ini pun dijamin dengan perubahan waktu ∆t (delta t) yang tak dapat diubah dengan perubahan posisi dan kecepatan (∆s dan ∆v). 

Maka saya sering menyampaikan premis (premis: kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dalam logika) tentang perjalanan adalah bukan persoalan menempuhi jarak, melainkan waktu. 

Sehingga dalam premis minornya, ruang adalah konsekuensi dari kehadiran waktu.

Kembali ke probabilitas. Maka pada hakikatnya manusia sebagai makhluk unik yang dikaruniai kemampuan analitik yang mampu melahirkan gagasan, imajinasi, dan kreasi punya keterikatan secara probabilistik justru di rasio yang deterministik, 50%. 

Semua kemampuan super kognitif manusia yang tercipta karena adanya pengintegrasian fungsi-fungsi seperti memori, asosiasi, korelasi, interpretasi, dan kemampuan sintesis, akan bermuara pada limit probabilitas 50%.

Kepastian di ketidakpastian 50% membawa kita pada irisan dengan pendekatan di domain quantum

Manusia dengan pilihan algoritmik yang melekat padanya dan ketidak kuasaannya untuk mengendalikan hasil akhir dari setiap tahapan proses/ reaksi, dapat digambarkan berada di posisi quantum state (QS).

Dimana QS menurut definisi GK Tong adalah an entangled quantum state is made of two or more particles held in a multitude of undecided outcomes.

Kondisi dan posisi "undecided" ini mengikuti konsep binari dengan tingkatan fasenya (lihat gambar di atas). Sehingga setiap pilihan selalu menyediakan pasangan kemungkinan. 

Dalam filosofi akidah ini dapat menggambarkan posisi makhluk yg selalu berada dalam status relatif, karena yang absolut, satu, dan tidak berpasangan adalah Allah (Qur'an Surat Al-Ikhlas).

Sehingga dalam perjalanan hidup ini kita juga dapat digambarkan tengah berada dalam kondisi "super posisi". 

Dimana menurut Delfosse, super posisi, entanglement, dan tunneling adalah "dunia qubit" yang membuat kita saat ini sudah berada dalam berbagai posisi secara paralel, sekaligus belum berada di sana.

The qubit is the basis of quantum computing due to their quantum mechanical properties: superposition, entanglement, and quantum tunneling. Qubits can be in a state of a 0, 1, and also in a state where they are 0 and 1 at the same time — this is called superposition. 

(Silahkan simak di anotasi Dirac yang ada di gambar ya).

Bahkan jika kita mempelajari cara kerja otak kita dalam membangun kesadaran, beberapa teori yang sepertinya baru sampai pada tingkatan analogi, ternyata sudah mulai banyak diteliti lebih mendalam. 

Sebagai contoh pendekatan Quantum Brain Dynamics yang digagas Harald Atmanspacher. Framework otak yang bersifat spektral saat membangun kesadaran dari komposisi berbagai fungsi di otak hanya akan ideal jika didekati dengan teori quantum field, dan akan sulit diurai jika menggunakan pendekatan biokimiawi linier yang bertumpu pada fungsi neurotransmiter. 

Bahkan Roger Penrose dan Stuart Hameroff sudah lebih detil berfokus pada mikrotubul yang terlibat dalam proses sinaptik dan neurotransmisi sebagai salah satu elemen dari mekanisme quantum yang bekerja di otak. 

Penrose dan Hameroff menggulirkan gagasan dalam bentuk postulasi Orchestrated Objective Reduction (OOR). Konsep ini jika boleh saya tambahkan, hanya akan dapat bekerja jika prinsip-prinsip dasar quantum state dengan dunia qubitnya bisa diterapkan. 

Hubungan antara aspek biologi dan karakter fisikanya sebenarnya sudah terepresentasi dalam level quasi partikel yang terdiri dari phonon yang berasal dari eksitasi atom padat yang mengalami vibrasi, dan plasmon yang berasal dari osilasi plasma. 

Dalam hal ini kita dapat asumsikan bahwa seluruh sel-sel otak, bahkan mungkin tubuh dan juga semesta, semuanya berada dalam fase quantum state atau super posisi yang memiliki semua potensi probabilitas. 

Kondisi entanglement yang akan menghasilkan spektrum fungsi karena dapat menjalankan program "meta" dalam ranah kognisi hingga muncul pola interaksi real time yang membangun konstruksi qualia, atau bangunan kesadaran lintas dimensi.

Maka jika kita cermati berbagai premis di atas, tampak ada suatu korelasi yang kuat antara berbagai fenomena di setiap lapis dan dimensi kehidupan, yang menyiratkan adanya suatu kompleksitas terencana. 

Menghablurnya aspek filosofis dalam dimensi materi di level quantum menghantarkan kita pada kesadaran baru tentang esensi dari eksistensi yang terintegrasi dalam distribusi fungsi. 

Sumber gambar:
WAG Rumah Peradaban

Senin, 09 Maret 2020

Amartya... Percik Sadar di Pusar Syahwat yang Berkelindan dengan Hasrat (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Mimpi apa saya? Di malam yang mendadak basah ini saya juga mendadak gelisah, resah, dan gundah...

Apakah ini nyata? Demikian sebaris tanya bak running text terus saja berulang di dalam benak saya seolah menjadi cameo pengisi ruang. 

Ya undangan kehormatan Dhian, seorang akademisi ISI Surakarta, membuat saya terdampar dan terkapar lemas di pantai-pantai sadar tak berbalut lagi selembar nalar. 

Sungguh sajian malam ini kurang ajar... Asu, kata Mas Butet, yang semalam duduk tepat di depan saya. 

Diawali terbukanya gerbang mistika yang penuh dengan mustika lewat mantra musika Kua Etnika yang menggetarkan sukma, dimulailah sebuah perjalanan spiritual menuju gua garba cinta dan asal muasal manusia. 

Mbak Silir dengan intonasi yang bisa semilir sekaligus berhembus kencang menghilir, membuai gendang telinga untuk larut dalam rima demi rima yang dibangkitkan dari pusara cerita oleh sang penyulap, kata Landung Simatupang anak Batak asli Jogja. 

Marinta Si Anak Matahari yang mewarisi radiasi hasil fusi saripati Tanah Karo dengan puser bumi tanah Jawa, Solo, membungkus kasunyatan dalam aliran gairah syahwat nalar nan gawat sampai tak terasa ada yang mengerut dalam cawat. Sirna lah nafsu yang berbaju hasrat. Lahirlah sejuta tanda tanya nan menggoda, meski sebagian besarnya tersandera retorika dan akan larut dalam pekatnya haeno tiga dunia nyata. 

Kasunyatan...yang nyata sesungguhnya yang maya. Yang lapar sesungguhnya indera. Yang kuasa sesungguhnya raga yang menjadi daya wadag adalah boga. Dan hidup adalah maha daya yang tak terperdaya oleh cinta maya. 

Adalah air, adalah rasa, adalah eter yang mengisi setiap jengkal ruang semesta. Persetan dengan Schopenhauer dengan majas idea nya. Persetan dengan Heidegger yang terlalu centil dengan ajaran Husserl tentang fenomena...

Belajarlah mencari apa yang terlukis dan tertulis di jiwa. Dan Jawa adalah Jiwa yang bermata, Mata Jiwa. Mata yang menembus sifat fana dan berkelindan dengan para malaikat yang baka. 

Wujud, qidam, baqa... eksistensi materi adalah bagian dari konstruksi hati yang mencari. Yang dicari tak pernah pergi, tapi kita mencintai proses mencari. Karena esensi mencari adalah mengenali yang hakiki. Mengagumi dan mengamati dari setiap sudut persepsi.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar:
https://funnyjunk.com/channel/wallpapers/A+collision+of+dark+and+light/pLstDcY/

Kamis, 16 Januari 2020

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dan dendam melahirkan kecemasan kronis. Kata "kronis" tersebut sejatinya diambil dari nama Kronos. 

Sakit hati yang berkronologis. Kronos yang menikahi Rea dihantui kecemasan bahwa keturunannya juga akan mengkhianati dirinya. Ia memakan semua anaknya, kecuali Zeus yang disembunyikan Rea dan ditukar batu. 

Maka hanya batu dan Zeus yang tak lekang oleh siklus dendam berkesinambungan. 

Lalu mengapa manusia terlahir dengan luka yang siap untuk menganga karena pusaran dosa? 

Bukankah kita suci dan terlahir dalam kondisi nan fitri, tapi mengapa kita begitu terpesona pada daya tarik yang kekuatannya akan membuka kembali luka lewat jalan duka. 

Kehilangan karena mencari yang telah dimiliki. Kelelahan karena mengejar pada yang berlari sejengkal saja di belakang kita: masalah. 

Sebenarnya apapun itu nama sandingannya secara metonimia, masalah adalah masalah. Ia selalu akan membersamai kita saat ini dan sesaat kemudian segera bermetamorfosa menjadi masa lalu, bukan?

Maka masalah yang tersisa pastilah sejengkal di belakang, dan ia akan terus ikut berlari selama kita terus berlari. 

Bahkan maslah takkan pernah menjauh sedikitpun, kecuali kita berhenti dan berbalik untuk menghadapi. 

Sayangnya bagi sebagian besar dari kita, konsep itu masih terus betah menjadi sekedar wacana yang terangkum dalam kalimat inspiratif nan kontemplatif dari para "coach" kehidupan. 

Sejujurnya sayapun masuk kategori kelompok pelari, yang sesekali mencoba berani untuk berhenti, belajar menghadapi, dan... pada akhirnya memilih untuk melanjutkan balap lari dengan masalah yang kalau demikian tentu tidak akan pernah kalah, meski juga tak punya peluang untuk menang. 

Kondisi semacam ini tak perlu terlalu berimajinasi tinggi untuk mengetahui hasil akhirnya. Sudah jelas kita akan terkapar kelelahan dan ditimbuni masalah yang telah menyertai kita di sepanjang "pelarian"...


Sumber gambar:

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Sejarah peradaban manusia terlahir dari luka. Tentang khianat pada realita. Tentang ketakutan Kronos akan arti niscaya hingga ia ingin menciptakan keadaan nirkala.

Timeless... tanpa waktu. 

Dan Kronos pun rela memakan semua anaknya dari Rea karena tersandera dalam kutukan masa lalu. 

Masa lalu yang tak terbunuh oleh waktu. Malah masa lalu itu bertumbuh seiring dengan semesta yang menua. Semesta dan sejarah dari segalanya. 

Dalam karyanya Theogonia. Asal usul segala sesuatu diceritakan oleh Hesiodos. 

Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan misterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (Dewi Bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut Bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). 

Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit Atas) dan Hemera (Siang). Tanpa pasangan pria (partenogenesis), Gaia melahirkan Uranus (Dewa Langit) dan Pontos (Dewa Laut). 

Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dan Tethis. 

Karena satu dan lain hal Gaia berselisih pandang dengan Uranus yang mengisolasi anak-anak mereka yang buruk rupa (Cyclops, raksasa bermata satu). Gaia murka dan meminta Kronos menyiksa ayahnya yang "kabur" dari kenyataan dan tak ingin terperangkap oleh keadaan. Karena Uranus dianggap Kronos--anaknya sendiri, sebagai pengecut, maka Kronos memotong penis Uranus. 

Maka setiap kisah mitos pastilah mencemari Daidalos... beratnya menanggung derita dunia yang menua dengan begitu banyak noda nista dan begitu banyak semburan ludah berbisa dari kata-kata beracun yang mematikan.

Sumber gambar:

Senin, 30 Desember 2019

Resolusi Filosofi untuk Hidup Bahagia


Oleh Duddy Fachrudin

Setiap akhir tahun biasanya kita membuat resolusi atau perubahan apa yang ingin dicapai di tahun berikutnya.

Ingin berat badan ideal
Menikah
Punya bisnis
Penghasilan bertambah 2x lipat
Memiliki rumah
Hafalan Al Qur'an bertambah
Indeks Prestasi naik
Traveling ke tempat-tempat yang tertulis di bucket list

Atau bisa juga berkaitan dengan perilaku:

Berhenti merokok
Menolak uang suap/ korupsi
Memisahkan berbagai jenis sampah
Menyisihkan uang untuk ditabung
Bersedekah lebih banyak

Dan sebagainya...

Manusia selalu ingin berubah. Menentukan target, tujuan, cita-cita kemudian berusaha mencapainya untuk menjadi insan yang lebih baik, sukses, bahagia, dan penuh berkah.

Karena itu kita merumuskan resolusi, bukan?

Di awal tahun kita bersemangat untuk mencapai perubahan tersebut, namun dalam perjalanan, distraksi atau gangguan kemudian menyerbu bagaikan wabah penyakit yang mengalihkan fokus.

Di sisi lain kita tidak sabar menjalani proses dan menginginkan hasil instan. Ujungnya kita lelah. Lalu berhenti. Dan tidak jarang menggelontorkan sejuta excuse terhadap kegagalan memenuhi target.

Jika hal seperti itu yang terjadi, kita memang sebaiknya berhenti melakukan aksi dalam mencapai resolusi. Berhenti sejenak untuk menggali atau menemukan filosofi.

Kita boleh belajar pada negara Skandinavia atau Jepang yang kental dengan filosofi kehidupan masyarakatnya. Lagom, Hygge, Sisu, Lykke, Fika, Wabi-Sabi, dan Ikigai masih dipegang dan dijalani oleh masing-masing individu di sana.

Penduduk Indonesia pun kental dengan filosofi hidup. Setiap suku bangsa di negara kepulauan ini memiliki filosofi tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan lebih baik dan bahagia. Filosofi Kawruh Jiwa yang diteliti oleh sahabat saya, Abdul Kholik nyatanya menjadi kunci hidup bahagia bagi pelakunya.

Bagi para pembelajar, memegang filosofi Growth Mindset (GM) menjadi keniscayaan. Dalam mindfulness, hal itu disebut beginner's mind. Dirinya selalu ingin belajar terhadap sesuatu yang ditemuinya sehingga ia bisa terus bertumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan.

Maka sesungguhnya resolusi perlu dibarengi dengan filosofi. Resolusi tanpa filosofi ibarat sayur tanpa garam, atau masakan tanpa rempah. Hambar sekaligus ambyar.

Dan ngomong-ngomong, mindfulness bukan sekedar sikap (attitude) dan latihan (practice). Mindfulness itu filosofi. Sebelum mengembangkan sikap dan latihannya, memahami mindfulness dalam bentuk filosofi adalah kepatutan, terutama buat kita yang ingin menjalani kehidupan yang mindful.

Apa itu mindfulness sebagai filosofi? Find it.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Rabu, 14 Agustus 2019

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 3, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Lalu apapun hasilnya, kita berhak untuk bahagia.

Mengapa?

Karena itulah proses yang berkelindan dengan rasa syukur karena kita ada dan berada. Yah daripada habis tenaga untuk terus bertanya tentang mengapa dan bagaimana.. jalani saja dulu pertanyaan itu, toh di ujungnya kunci jawaban tersedia kok.

Bahagia itu gratis, kecuali bahagia yang sudah jadi komoditas dan bersifat transaksional.

Jenis bahagia yang kedua butuh modal, beresiko dan berbahaya juga. Kenapa? Karena komoditas punya life cycle dan transaksional amat bergantung pada dinamika nilai tukar. 

Awas lo, nanti belum balik investasinya sudah keluar produk bahagia model baru loh.. ga kebeli deh.. sedih merana deh.. galau deh.. 

Makanya mungkin sekarang banyak orang galau, salah satunya mungkin kehabisan modal buat beli kebahagiaan kali ya? 

Padahal bahagia di dunia ini adalah kunci untuk bahagia di akhirat loh.. kan ada dalam doa yang kita semua hapal dan lancar membacakannya 😊

Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 2)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Karena hidup itu sebuah perjanjian yang harus ditepati. Karena ruang itu harus dijalani. Karena umur itu harus dihabiskan sendiri. Karena kalau tidak kita habiskan kan tetap habis sendiri.

Bagaimana cara kita menghabiskannya? Ya sama seperti makan, sama-sama harus dihabiskan dan disyukuri. Apa yang terjadi pada saat kita makan? 

Syaraf-syaraf keren berujung papila, berbuhul gema gustatoria, bersimpul kelindan dengan serabut fasial dan trigeminal akan mengolah dan membawa rasa yang menimbulkan suka, juga cita, dan daya untuk merasakannya kembali. Begitulah makan, prosesnya diawali dengan kebutuhan biologi, mekanismenya diwarnai kenikmatan, dan diakhiri dengan kebermanfaatan. 

Seharusnya demikian pula hidup dan kehidupan. Lahir dan hadir secara hayati adalah keniscayaan. Dipungkiri pasti utopi. Ditolak pasti cuma bisa sebatas kehendak. Hendak menolak hal yang nyata takkan tertolak. 

Itulah mengapa hidup harus dijalani, ditepati, dinikmati, dan disyukuri. Seperti daun yang lebih dari separuhnya pasti tak mengerti mengapa ia sampai harus berada di bumi. Sebaliknya kita, lebih dari separuhnya sepertinya mengerti tentang arti hadir, berada, dan menjalani "kini" yang dilahirkan "lalu" dan akan melahirkan "akan". 

Maka biarkan hidup mengalir, mengambang, dan tertiup kemana angin bertiup karena pasti angin pun ada yang mengatur dan mengendalikannya bukan. 

Apakah hanya Buys Ballot yang dapat melihat itu? Angin hanya keniscayaan yang lahir dari interaksi sebab-akibat. Sebab ada ruang bertekanan rendah dan ada yang bertekanan tinggi, akibatnya terjadi perpindahan massa udara melintasi media atmosfera. Gitu aja kok repot ya? 

Ikut saja sama yang punya skenario ya. Yang punya banyak kejutan ajaib semudah menambah kurang tekanan di seantero bumi sesuka dan semaunya, la wong yang punya kok

Maka ini saatnya mikir dan bertanya.. nah ada waktunya kan? Apa mikir dan pertanyaannya? "Lalu kita bisa apa ?" Nah itu pertanyaan saya, mungkin anda juga sama ya? Kalau kita bertanya secara retoris seperti itu, apa perlu dijawab? 

Karena baik anda, saya, dan juga mereka pasti sudah tahu jawabannya. Ya ndak bisa apa-apa. Karena ndak bisa apa-apa yang usaha dan doa saja apa-apa yang bisa kan? 


Sumber gambar:

Manusia Tidak Seperti Daun yang Bahagia dalam Diamnya (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Melanjutkan renungan kayu dan api yang saling meniadakan karena tiada pada hakikatnya adalah ada yang sejati, pagi ini saya ingin bertanya lebih pada diri sendiri.

Mengapa berada menjadi begitu penuh drama dan diwarnai kepemilikan dan rasa kehilangan? 

Apakah daun juga bertanya mengapa ia diberi stomata? Mengapa ia begitu butuh cahaya? Mengapa ia harus menghisap CO2 yang jelas bukan semata dihasilkan dari ulahnya? Mengapa pula ia butuh air hingga di sekujur tubuhnya dijaluri oleh pembuluh xylem dan phloem? 

Iya tidak tahu mengapa ada cairan bernama giberelin dan auksin yang seolah memaksa dirinya untuk terus bertumbuh dan meliuk mengikuti arah datangnya cahaya. 

Mengapa cahaya? Ingin ia berteriak dan bertanya, mewakili triliunan daun sedunia... tapi untuk apa? 

Untuk apa bertanya jika hanya kau sendiri yang akan tahu jawabannya. Tentu pada waktunya. Lalu untuk apa juga kita bertanya? Dan berteriak tak terima? 

Jamak sebenarnya. Kita dipersyarafi dan merasakan begitu banyak nyeri, derita, juga nestapa. Berimbang dengan nikmatnya guyuran cinta, tawa, gembira, dan tentu saja bahagia. Tapi mengapa? 

Toh bahagia itu bila dalam terminologi kimia fasanya adalah liquid dan bersifat termolabil yang volatil. Terkena terpaan panas sedikit saja, maka ia akan menguap dan menghablur entah kemana. Mungkin di ketinggian tertentu ia akan kembali menyublimasi dan menjadi kebahagiaan di hati orang lain. 

Ya , orang lain. Bukan kita. Maka bahagia menjadi bagian dari proses transaksional yang dimasukkan dalam ranah ekonomi matematika. Bahkan kadang diukur dengan indikator psikometrika. Bisa juga pada gilirannya dikemas dan dirapihkan pasca disetrika. 

Kebahagiaan menjadi komoditas. Sama seperti akal dan kecerdasan yang menyisakan sejumlah tanya.

Manusia tidak seperti daun yang bahagia dalam diamnya.

Membuka tutup stomata, memeluk cahaya, dan mengubah air serta CO2 menjadi gula dan O dua, lalu tumbuh, ruku ke arah sang surya-foto taksis namanya, berbuah dan segera saja segenap entitasnya larut dalam semangat tulus untuk melayani, memberi, dan sekedar berbagi. 

Inilah ikhlas di level sangat tinggi. Inilah jalan Salik untuk mengerti. Bertanya pada diri sendiri, lalu menjalani pertanyaanmu sendiri, dan kau akan menemukan jawaban jika engkau terus berjalan. 

Mengapa? 

Sumber gambar: