Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Psikologi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 November 2024

Diskusi Forest Therapy di Stasiun Kopi




Oleh Duddy Fachrudin & Janu Dewandaru 

Pagi itu sebuah direct message masuk ke ponsel saya. Seseorang memperkenalkan dirinya lalu menyatakan ingin bertemu untuk sekedar berbincang. Temanya tidak main-main: forest therapy. Siapakah gerangan yang tertarik dengan “bermain-main” di alam lalu menceburi dirinya menyengajakan untuk terpapar oleh aroma pepohonan, angin yang berdesir, tanah dan bebatuan, hingga mentari yang menari?

Nyatanya Om Janu Dewandaru benar-benar menghampiri saya sore harinya, dari Bandung ke Cirebon. Head of Innovation Team Bank Indonesia yang gemar belajar itu tak sungkan diajak boncengan dengan motor supra yang telah berusia belasan tahun. Padahal beliau seorang “Dekan” yang memimpin BI Institute dan mengajak semua sumberdaya manusia untuk belajar apapun agar kualitas serta kapasitasnya terus bertumbuh. Hmm... Dekan biasa pastinya misuh-misuh jika dijemput dengan kendaraan roda dua.

Tapi memang pencari ilmu sejati tidak terlekati dengan materi. Fokusnya hidupnya pada dimensi intangible, seperti personal fulfillment, yang tiada lain adalah ilmu yang kelak berguna untuk mempercantik kualitas mental dan spiritualnya. Dan mereka cenderung tidak memiliki keinginan terhadap apapun yang ada di dunia. Mereka hanya ingin terkoneksi dengan alam dan kemanusiaan. 

Sampailah kami di Stasiun Kopi, suatu kedai kopi yang memang dekat dengan stasiun kereta. Dari secangkir kopi, berlanjut pada diskusi forest therapy.

Terapi hutan bukanlah sesuatu yang baru. Dibutuhkan beragam disiplin ilmu seperti kehutanan, kedokteran, psikologi, sosiologi, biologi, dan ilmu pendukung terkait lainnya. Terapi hutan memiliki tujuan spesifik sesuai kebutuhan individu itu sendiri. Selain itu kriteria lokasi hutan yang dijadikan tempat beraktivitas untuk forest therapy memerlukan standar khusus.

Pendekatan yang lebih sederhana dari terapi hutan ialah yang menggunakan mindfulness. Thoreau, sang filosof yang terkenal dengan karyanya Walden itu sudah melakukannya kala dahulu. Meskipun hanya dengan berjalan kaki di tengah hutan. Tidak ada sesuatu yang dikejar oleh Thoreau. Sekali lagi, hanya berjalan kaki sambil mengijinkan diri terpapar oleh energi positif dari hutan.

Aktivitas berada di hutan, tanpa terburu-buru, tanpa tujuan tertentu, dan hanya sekedar hadir kemudian dikenal lebih lanjut dengan forest bathing. Direktur Badan Kehutanan Jepang Tomohide Akiyama menamainya Shinrin-yoku pada tahun 1982. Ide tersebut berkembang dengan maksud mempromosikan hutan sebagai wellness-oriented ecotourism. Hutan Akazawa di dekat Kota Agematsu menjadi pilot project Shinrin-yoku. Di hutan tersebut, pengunjung tidak sekedar “piknik” melainkan yang terpenting dipandu untuk melakukan forest bathing oleh guide yang telah menjalani pelatihan dan berpengalaman. Beberapa negara seperti Korea Selatan juga memiliki aktivitas forest bathing bernama Sanlim yok. Sementara di Norwegia dikenal dengan Friluftsliv[1].

Forest bathing kian popular seiring dengan beragam penelitian yang membuktikan adanya manfaat kesehatan, baik fisik serta psikologis. Empat indikator utama yang diukur ialah tekanan darah, kadar kortisol melalui saliva, denyut nadi, serta variasi denyut jantung (HRV). Salah satu hasil penelitian efek Shinrin-yoku di 24 hutan di Jepang menunjukkan tekanan darah, kadar kortisol, serta denyut nadi yang lebih rendah, dan HRV yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan kontrol[2]. Ini menunjukkan efek yang positif dari forest bathing seperti rendahnya stres, tingginya kesejahteraan psikologis hingga kualitas kardiovaskular yang sehat.

Forest bathing bukanlah hiking menuju bukit atau puncak gunung, melainkan menyengajakan diri untuk hening di rerimbunan pohon yang kaya akan fitonsida yang memiliki sifat antimikroba. Mendengarkan sunyi dan menyadari, membiarkan segala yang terjadi secara alami. Memahami lintasan pikiran serta emosi, tanpa menghakimi.

Menariknya, salah satu manfaat lain dari paparan hutan ialah dapat menjadikan individu memiliki penurunan keinginan[3]. Hasrat nan gawat dalam pemenuhan kebutuhan dunia memang sejatinya perlu dirawat, eh maksudnya dikelola agar manusia itu sendiri tidak terjerat hingga berujung kiamat. Forest bathing membuat jiwa kita bertransformasi menjadi nirmaterialistik. Tetap senang dengan materi, tapi tidak terlekati, apalagi terobsesi.

Kopi kami habis diminum. Diskusi berlanjut ke stasiun kereta. Berbincang mengenai berbagai penyakit yang sering diderita pegawai Bank Indonesia. Ada tiga yang utama, yaitu...  

Sumber:
[1] Clifford, MA. Your Guide to Forest Bathing: Experience of The Healing Power of Nature. Newburyport: Red Wheel 2018.

[2] Park, BJ., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): Evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environ Health Prev Med. 2010 Jan;15(1):18-26. doi: 10.1007/s12199-009-0086-9. PMID: 19568835; PMCID: PMC2793346.

[3] Joye, Y., Bolderdijk, JW., Köster, MAF., & Piff, PK. A diminishment of desire: Exposure to nature relative to urban environments dampens materialism. Urban Forestry & Urban Greening. 2020 July;54,126783. https://doi.org/10.1016/j.ufug.2020.126783.


Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Senin, 13 September 2021

Pelatihan Intervensi Psikologi Berbasis Mindfulness: Acceptance and Commitment Therapy


Oleh Duddy Fachrudin 

Lasse Rouhiainen dalam bukunya yang sangat fresh yang terbit di tahun 2019 yang berjudul Artificial Intelligence: 101 Things You Must Know Today About Our Future menuliskan 11 skills yang dibutuhkan di masa depan. 

Salah satu keterampilan tersebut ialah mindfulness, suatu kemampuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap suatu hal.

Jauh sebelum Rouhiainen mencantumkan mindfulness sebagai keterampilan penting di era masa kini dan mendatang, 15 tahun sebelumnya, mindfulness menjadi komponen utama bersama acceptance, metakognitif, personal values, dan spiritual dalam terapi “third wave cognitive behavioral”[2,3]. 

Salah satu terapi berbasis third wave, yaitu Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mengakomodasi mindfulness sebagai tools untuk mencapai psychological flexibility dan terlepas dari penderitaan psikologis[3].

Penderitaan psikologis (psychological suffering) dalam ACT bermula ketika individu kaku secara psikologi[3]. Sebagai contoh penderita depresi yang mengembangkan experiential avoidance melalui alkohol sebagai pelarian sekaligus solusi semu atas permasalahan psikologisnya. 

Pada titik ini yang diperlukan adalah mengetahui akar masalah dengan berhenti sejenak mengamati dan menyadari (mindful) pikiran, menerimanya, tapi juga tidak terjerat dengannya, lalu mengembangkan tujuan dan nilai-nilai penting penuh makna serta mengarahkan perilaku sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan. 

Itulah ACT yang mengajarkan individu untuk berpindah dari kekakuan psikologi menuju fleksibilitas psikologi.

Pada era yang serba tidak pasti saat ini dan isu mengenai kesehatan mental yang semakin menjadi perhatian, keterampilan-keterampilan dalam ACT perlu dikembangkan individu. 

Pelatihan ACT memfasilitasi siapapun para pembelajar untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang menunjang fleksibilitas psikologi, yaitu mindfulness, acceptance, cognitive defusion, self as context, dan living with values, serta committed action yang dapat diaplikasikan kepada diri sendiri maupun orang lain.

Terdapat tiga capaian pembelajaran yang dapat dicapai peserta pelatihan ACT: 1) peserta dapat memahami konsep dan cara kerja ACT; 2) peserta dapat membuat desain modul ACT; dan 3) peserta dapat menggunakan dan mempraktikkan elemen-elemen keterampilan dalam ACT dalam permasalahan psikologi sederhana.


Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:

[1]   Fachrudin D. #2019HidupLebihMindful (internet). Mindfulnesia. 2019 (dikutip 8 September 2021). http://www.mindfulnesia.id/2019/01/2019hiduplebihmindful.html

[2]   Hayes SC, & Hoffman SG. Third wave of cognitive behavioral therapy and the rise of process-based care. World Psychiatry. 2017; 16(3): 245-246. DOI:1 0.1002/w ps.20442

[3]   Luoma JB, Hayes SC, & Walser RD. Learning ACT: An acceptance and commitment therapy skills training manual for therapists. Oakland: New Harbinger, 2017.


Sumber gambar:

Senin, 12 Agustus 2019

Cara Mencegah Kekambuhan Depresi (MBCT Workshop Batch #5)


Oleh Duddy Fachrudin

Penggunaan mindfulness sebagai pendekatan intervensi psikologi berkembang pesat selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari jumlah publikasi ilmiah yang terdata oleh American Mindfulness Research Association (AMRA) dari Web of Science (WoS) yang mencapai 5000 publikasi (1980-2018)[1]. Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) menjadi pelopor intervensi berbasis mindfulness yang dikembangkan sejak tahun 1979 di Klinik Reduksi Stres di Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts. Tujuan dari MBSR sendiri adalah membantu orang-orang yang mengalami stres, kecemasan, depresi, dan rasa nyeri[2].

Seiring dengan hasil yang signifikan, MBSR kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam intervensi berbasis mindfulness lainnya. Berawal dari konsep metacognitive awareness yang dikembangkan Barnard dan Teasdale[3], Segal dan Williams kemudian mengajukan Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) yang bertujuan mencegah kekambuhan depresi dan stres emosional lainnya[3][4][5]. Kolaborasi dan sinergi MBSR dan Cognitive Therapy ini juga suatu bentuk generasi kedua dari terapi berbasis penerimaan, Acceptance and Commitment Therapy.

World Health Organization (WHO) melaporkan jumlah penderita depresi mengalami kenaikan sebesar 18% sejak tahun 2005 hingga 2015. Setidaknya, ada 300 juta orang di dunia ini yang mengalami gangguan depresi[6]. Angka ini tentu mengkhawatirkan karena berpotensi semakin naik jika tidak ada upaya dan strategi baru, khususnya intervensi psikologi untuk menangani depresi. Intervensi MBCT bisa menjadi alternatif dari pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT) murni yang bisa digunakan oleh para profesional healthcare seperti psikolog dan dokter dalam menangani klien atau pasien-pasiennya.

Workshop MBCT mengakomodir dan memfasilitasi profesional healthcare yang tertarik mempelajari mindfulness sebagai bentuk intervensi psikologi yang dikolaborasikan dengan terapi kognitif. Total waktu pembelajaran tatap muka selama 13 jam (2 hari) menjadi bekal awal mengenal, memahami sesi dan cara kerja MBCT. Workshop ini juga memfasilitasi keterampilan mindfulness dan CBT, serta bagaimana memberikan MBCT kepada klien atau pasien.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>  

Referensi:
[1] https://goamra.org/resources/
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness-based_stress_reduction
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness-based_cognitive_therapy
[4] Teasdale, J., Williams, M., & Segal, Z. The Mindful Way Workbook: An 8-Week Program to Free Yourself from Depression and Emotional Distress. New York: The Guilford Press 2014.
[5] Sipe, WEB., & Eisendrath, SJ. Mindfulness-based cognitive therapy: Theory and practice. The Canadian Journal of Psychiatry 2012; 57(2): 63-69.
[6] https://www.who.int/news-room/detail/30-03-2017--depression-let-s-talk-says-who-as-depression-tops-list-of-causes-of-ill-health