Tampilkan postingan dengan label Mindfulnesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mindfulnesia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Agustus 2017

Mindful Parenting: Ayah, Bunda, Ijinkan Aku Menangis..


Oleh Nita Fahri Fitria

“Ssst... jangan nangis!”, Ayah dan Bunda pernah mengucapkan kalimat tersebut kepada ananda? Apa yang salah dengan menangis sehingga kita merasa perlu melarang ananda menangis?




Menangis, khususnya pada periode anak-anak adalah sesuatu yang bersifat alamiah, bahkan perlu dialami oleh setiap anak sebagai penanda bahwa ia mencapai salah satu tugas perkembangan emosi dengan baik. Ya, menangis adalah bagian dari tahap perkembangan emosi anak. Pada fase bayi, menangis menjadi salah satu cara anak berkomunikasi pada orang dewasa. Pada fase berikutnya (usia balita hingga pra-sekolah), menangis memiliki fungsi yang lebih kompleks, yakni sebagai bentuk ekspresi atas rasa sedih, takut, sakit, atau marah. Dan sekali lagi, ini amatlah wajar dan menandakan bahwa emosi ananda berkembang sesuai usia.

Dari mana datangnya larangan menangis? Saya tidak tahu persisnya apa alasan banyak orang dewasa yang “alergi” dengan tangisan anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang saya simpulkan dari hasil pengamatan saya, di antaranya; suara tangisan yang dianggap mengganggu, malu (saat anak menangis di depan umum), ada urusan lain yang dianggap lebih prioritas, atau tidak tahu penyebab anak menangis dan bingung cara mengatasinya.

Dengan beberapa kondisi tersebut, biasanya reaksi orang dewasa terhadap anak yang menangis adalah; marah, dengan cepat memberi keinginan anak, mencari pengalihan, atau justru mengabaikan tangisannya sampai anak berhenti karena lelah. Kecuali karena kondisi khusus pada anak, reaksi-reaksi tersebut justru malah memicu anak untuk menjadikan tangisan sebagai “senjata” untuk menaklukan orang tua.

Letak masalah sebetulnya bukan pada menangis, karena sekali lagi menangis adalah sesuatu yang amat wajar. Maka, saat anak menangis kita perlu sepenuhnya sadar bahwa ia sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Jadi buatlah dia nyaman terlebih dahulu.

Dengan menyadari kondisi tersebut akan membantu kita untuk tetap tenang menghadapi tangisannya. Peluk atau usaplah punggung atau kepala ananda dengan tenang. Pada kasus tertentu, proses ini memakan waktu agak lama, jadi bersabarlah sebentar. Biarkan dia menangis sambil terus kita dampingi hingga tangisannya reda. Setelah itu barulah ajak ia berbicara tentang apa yang membuatnya menangis serta diskusikan solusinya dengan tenang. Jika anak menangis karena terluka, fokuslah mengobati lukanya dan dampingi ia menangis hingga reda tangisannya.

Proses ini penting untuk menumbuhkan kemampuan anak mengatasi masalah. Alih-alih menunjukkan bahwa kita cemas menghadapi tangisannya, bersikap tenang dan sabar justru membantu kita memberikan teladan tentang bagaimana bersikap saat menghadapi situasi sulit. Ingat, bahasa non-verbal (mimik muka, gestur tubuh, intonasi suara) justru lebih efektif dalam menyampaikan pesan. Memeluk atau membelainya dengan penuh kasih sayang adalah pesan bahwa kita siap mendampinginya dalam situasi tidak menyenangkan tersebut. Dan terakhir, berkomunikasi setelah tangisannya reda juga baik untuk mengasah kemampuan logisnya.

Poin-poin di atas adalah poin kunci untuk membentuk kesehatan emosi anak pada level berikutnya. Semakin anak bertumbuh, maka semakin banyak konflik yang dihadapinya. Maka ini adalah fondasi dan harus kuat agar kita punya generasi yang punya daya tahan terhadap masalah, atau istilahnya resilien. Anak-anak yang didukung untuk menyampaikan emosi secara wajar, diajarkan untuk bersikap tenang serta mencari solusi atas masalahnya maka dia akan belajar untuk mengatasi konflik yang dihadapi dengan lebih baik dibanding dengan anak-anak yang tidak mendapatkan pendampingan yang tepat saat menangis.

Jadi ayah, bunda sudah siap mendampingi ananda menangis?

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://photographyblogger.net/live-laugh-cry-smile-20-pictures-of-human-emotion/

Selasa, 15 Agustus 2017

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 6, habis)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesimpulan

17 Agustus 1945 dipilih Soekarno sebagai hari pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dengan penuh pertimbangan dan ketenangan. Pelaksanaannya yang meski dilakukan dengan tempo singkat dan sederhana, namun tak ada kericuhan maupun pemberontakan dari tentara Jepang. Semuanya berjalan tertib dan tenteram. Merdeka dan kemudian sejahtera (baca: terbebas dari penjajahan)

Beginilah hidup seharusnya dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hidup yang sangat singkat ini (60-70 tahun) perlu diisi dengan ketenangan yang tercermin dari pikiran dan emosi yang tertata sehingga melahirkan kata-kata santun dan bijaksana dan perilaku yang berakhlak mulia seperti sabar, syukur, merasa cukup, dan ikhlas serta ridha atas ketentuan-Nya. Untuk itu kita perlu mengembangkan hidup mindful, dengan cara menelisik gerak-gerik hati, niat serta pikiran yang terlintas. Mengecek nafsu-nafsu duniawi yang ingin dituruti segera yang berpotensi destruktif mengacaukan tatanan ketenangan. Kemudian menyadari hal itu sepenuhnya lalu berfokus pada kehidupan akhirat yang pastinya juga tertuju pada Allah Swt. Memberi perhatian penuh pada Allah Swt. berarti menginternalisasi sifat-sifatnya, khususnya cinta kasih. Karena sifat itu pula yang akhirnya menjadikan kita khalifah di muka bumi. Menjadi pribadi-pribadi yang menebarkan kebermanfaatan positif

Ketenangan batin akan menciptakan ketenangan pada dunia luar kita. Disaat itulah kesejahteraan tercipta. Inilah kesejahteraan yang utama. Semoga rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri serta para pemimpinnya mengoptimalkan potensi ini.

1 2 3 4 5 < Sebelumnya

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 5)


Oleh Duddy Fachrudin




Mindfulness dan Ketenangan: Merdeka dari Jeruji Pikiran

Ketidaktenangan hidup bersumber dari pikiran yang terlalu mengembara dan terlalu banyak tuntutan serta keinginan yang harus dipenuhi dengan sesegera mungkin. Keinginan-keinginan ini biasanya bersumber dari kebutuhan dasar manusia. Abraham Maslow, salah satu tokoh psikologi terkenal menciptakan teori tentang kebutuhan manusia (motivasi) berdasarkan jenjang, dari yang paling dasar hingga yang paling atas dengan model piramida.



Kebutuhan manusia yang paling dasar (basic needs) adalah kebutuhan fisiologis, seperti makan, minum, dan seks. Kebutuhan ini lebih mirip dengan kebutuhan instingtif dan bertahan hidup. Jika kebutuhan ini tercapai maka manusia membutuhkan rasa aman. Manusia membutuhkan keamanan sehingga perlu melindungi dirinya. Oleh karenanya manusia memiliki keinginan akan kepastian. Hal ini juga mirip dengan kebutuhan bertahan hidup. Kemudian kebutuhan diatasnya adalah kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki sebagai manusia yang berjiwa sosial. Manusia butuh bersosialisasi, berbaur dan mendapatkan kasih sayang.

Manusia juga ingin dianggap ada keberadaannya oleh kelompoknya. Jika kebutuhan ini tercapai, maka manusia membutuhkan penghargaan diri dengan kata lain ingin dihargai oleh orang lain. Kebutuhan yang kelima adalah kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi jika empat kebutuhan dibawahnya tercapai. Maslow kemudian menyempurnakan teorinya dengan menambahkan kebutuhan terakhir pada puncak piramida yaitu kebutuhan spiritual (meta need), yaitu tentang kebutuhan keterhubungan dengan suatu Dzat Yang Maha Segalanya.

Jika kita melihat kenyataan pada kehidupan manusia memang seperti Piramida Maslow. Kita melakukan sesuatu termotivasi karena untuk mengenyangkan perut. Jika dapur sudah mengepul, kita butuh rumah yang membuat kita aman dari hujan, kalau perlu rumah pun ditembok tinggi hingga sulit bagi pencuri memasuki rumah kita. Kita pun mengasuransikan kesehatan kita agar jika terjadi sesuatu pada diri kita, maka perusahaan asuransi yang membayarnya. Setelahnya kita bergaul, bersosialisasi, mencintai dan ingin dicintai. Lalu kita ingin dihargai, atau bahkan dipuji atas hasil kerja keras kita. Dan selanjutnya kita mengkreasikan segala potensi dalam wujud aktualisasi diri, menghasilkan karya di dunia ini. Setelah semuanya terpenuhi... namun ternyata hati ini masih hampa dan tidak tenteram. Di masa tua kita mendekat kepada-Nya.

Mazhab kelima dalam psikologi adalah transpersonal, yang lahir dari kebutuhan spiritual dimana mindfulness termasuk di dalamnya. Salah satu tokohnya yang mempelopori ternyata Maslow. Konon kabarnya di akhir hayatnya Maslow kecewa dengan teori yang sudah dibuatnya. Piramida kebutuhan itu bukan berdiri seperti mengerucut ke atas membentuk segitiga, namun piramida itu harusnya dibalik.




Dengan kondisi piramida terbalik ini maka kebutuhan pertama dan utama adalah berhubungan dan berinteraksi dengan Tuhan, yaitu Allah Swt. bukan kebutuhan fisiologis. Segala aktivitas termotivasi karena Allah, untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk mengenal-Nya, dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Berfokus dan mendekatkan diri kepada Allah menghadirkan ketenangan.

Muhammad Rasulullah Saw., orang nomor satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia menurut Michael Hart, bersabda:

“Barangsiapa bangun pagi dan dunia ini menjadi perhatian utamanya, maka Allah Swt. akan membuat dia berserakan dan terpecah; dia akan merasakan perasaan panik dan rugi; serta dia hanya akan mendapatkan dunia ini sesuai dengan apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Akan tetapi, barangsiapa bangun pagi dan perhatian utamanya adalah akhirat, maka Allah Swt. akan membuat dia merasa fokus dan utuh; Allah Swt. akan memberinya suatu perasaan sebagai pribadi mandiri; serta hasil-hasil duniawi sudah pasti mendatanginya.”

Dengan pikiran dan hati terfokus pada Allah, maka ego (keakuan) yang berisi keinginan dan nafsu duniawi pada diri kita perlahan luntur. Kita dapat mengelola rasa dari berbagai keinginan dan perasaan termasuk ketidakpuasan terhadap kehidupan yang membelenggu. Kita pun melangkah dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Tak ada kekhawatiran maupun ketakutan.

Inilah kondisi yang merdeka sesungguhnya. Hidup mindful (memberi perhatian penuh) pada Allah Swt. membuat kita terbebas dari jeruji pikiran yang menjerat. Fokus dan tujuan kita hanya tertuju pada-Nya, sehingga pada akhirnya kita manusia berhasil memposisikan diri sebagai hamba yang tidak memiliki apa-apa namun begitu memiliki tugas mulia menjadi wakil-Nya di dunia. Kesadaran dan penerimaan sebagai khalifah menghadirkan potensi cinta yang tiada lain menjadi manusia-manusia yang rahmatan lil ‘alaamiin.

Selanjutnya, kebijaksanaan menaungi setiap gerak geriknya. Ucapannya penuh hikmah. Hidupnya untuk memberi, berbagai, dan melayani. Hatinya selalu teringat akan kematian. Dan ia begitu rindu akan perjumpaan dengan-Nya.

Kesejahteraan berawal dari hadirnya suatu ketenangan. Itulah kekayaan dan keberlimpahan. Hati kita kaya karena kita dekat dengan Sang Maha Kaya. Sehingga kita tidak perlu khawatir tidak diberi rizki (harta, sehat, keamanan, dan sebagainya). Semua sudah diperhitungkan oleh-Nya. Jadi cukup berikhtiar sebaiknya, berdo’a dengan merendahkan diri, dan mendekat kepada-Nya.


1 2 3 4 Sebelumnya <> Berikutnya 6

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 4)


Oleh Duddy Fachrudin




Kesejahteraan dan Neurofisiologi Mindfulness

Kesejahteraan (well-being) identik dengan kebahagiaan yang biasanya diperoleh dari kepemilikan harta, menjadi sehat, status sosial yang meningkat, jabatan yang tinggi, interaksi sosial yang hangat serta kenyamanan dan keamanan tinggal di lingkungan rumah. Kebahagiaan ini umumnya bersifat subjektif sehingga para pakar menyebutnya sebagai subjective well-being. Hal tersebut tidak terlepas dari penilaian individu terhadap perasaan yang sedang dialaminya maupun kepuasan hidup yang sedang dijalani.

Harta, menjadi sehat, status sosial, dan sebagainya sebenarnya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan bukan kesejahteraan itu sendiri. Selain faktor-faktor tersebut, faktor kepribadian ternyata sangat mempengaruhi kesejahteraan individu.

Berkaitan dengan faktor kepribadian ini, ternyata individu dengan kepribadian neuroticism memiliki hubungan langsung dengan kondisi bahagia atau tidak bahagia (Diener, 2009). Neuroticism merupakan salah satu dimensi kepribadian yang mencerminkan tingkat sejauh mana seseorang memiliki kestabilan emosi dan mampu mengatasi situasi yang menekan. Individu yang memiliki skor tinggi pada neuroticism mudah merasa gelisah dan menderita secara emosional, termasuk kesedihan, permusuhan, dan iri dengki. Sebaliknya, yang memiliki skor rendah tergolong individu yang stabil secara emosi, tenang, dan ulet dalam menghadapi kegagalan (Wiseman, 2014). Individu yang berlatih mindfulness dapat mengembangkan kepribadian yang matang secara emosi sehingga mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (kontak sosial) sehingga lebih puas dan memiliki emosi yang lebih positif. Mengapa hal itu dapat terjadi?

Pribadi-pribadi yang bertindak dan beraksi secara mindful, tidak akan reaktif dan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otak bagian korteks prefrontal (Greeson & Brantley, 2009). Korteks prefrontal memiliki fungsi luhur, yaitu dalam berpikir, berencana, mengambil keputusan secara bijaksana, memusatkan perhatian, ketabahan dan kesabaran, pengendalian impuls, kesadaran diri, belajar dari pengalaman, mengungkapkan emosi, dan mengembangkan empati atau kasih sayang (Amen, 2011).

Mekanisme respon terhadap suatu situasi secara mindful akan melibatkan bagian otak korteks prefrontal tersebut. Sebagai contoh orang yang memiliki kecemasan atau emosi yang berlebihan. Stimulus yang diterima panca indera melalui saraf kranial dan batang otak akan diteruskan ke sistem limbik. Thalamus, suatu bagian dalam sistem limbik yang berfungsi sebagai stasiun relay akan mengirimkan pesan kepada korteks otak. Korteks prefrontal yang aktif akan bekerja sesuai fungsinya, mengolah data, mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana sebagai respon dari stimulus yang diterima. Respon tersebut kemudian dikirimkan kembali pada sistem limbik, batang otak melalui medula spinalis, sistem saraf otonom dan endokrin, lalu sistem parasimpatik, bagian-bagian tubuh, hingga akhirnya keluar sebagai sebuah perilaku yang bijaksana.

Respon yang tidak mindful, termasuk respon takut, khawatir, atau kecemasan lainnya tidak melibatkan bagian korteks prefrontal. Bagian sistem limbik yang bernama amigdala yang berisi memori negatif akan lebih banyak berperan dalam memberikan respon terhadap suatu stimulus yang masuk ke dalam otak. Respon tersebut dikirimkan ke batang otak, lalu dikirimkan ke sistem saraf simpatik yang bekerja sama dengan berbagai hormon kecemasan. Respon kemudian dilanjutkan ke bagian organ yang menghasilkan simtom-simtom kecemasan dan akhirnya dalam bentuk perilaku cemas, menghindar, khawatir, panik, atau tidak bijaksana.

Berlatih mindfulness memungkinkan terjadi perubahan aktivitas pada bagian otak tertentu. Hal ini karena otak manusia bersifat plastis atau yang biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input dari lingkungan (Setiabudhi, 2015).

Sebagai bukti bahwa terjadi neuroplatisitas adalah adanya peningkatan atau penurunan aktivitas pada bagian otak tertentu. Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok orang yang berlatih mindfulness dengan meditasi (meditator) dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Sementara non-meditator merupakan kelompok yang tidak berlatih meditasi sama sekali.

Lazar menemukan di beberapa area kortikal pada kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Dua area kortikal yang menjadi perhatian Lazar adalah korteks prefrontal dan insula. Seperti yang telah dipaparkan, korteks prefrontal memiliki fungsi kognitif yang luhur seperti pengambilan keputusan dan penilaian secara bijaksana. Insula terhubung dengan kemampuan beremosi secara sosial dan kesadaran diri (self-awareness) (Baime, 2011).

Pengaruh meditasi mindfulness tidak hanya pada tataran organ seperti otak, namun juga struktur tubuh manusia yang lebih kecil yaitu sel. Pada sebuah sel terdapat berbagai organela, salah satunya adalah mitokondria. Menurut Nishihara (2015) mitokondria adalah organ kecil sel yang berfungsi dalam metabolisme energi dan berada di dalam semua butiran sel selain sel darah merah.

Pada tubuh manusia terdapat 60 triliun sel dan pada masing-masing terdapat 800-3000 mitokondria. Mitokondria menggunakan semua bahan yang ada di dalam tubuh seperti vitamin, mineral, asam amino esensial, lemak esensial, air, oksigen, dan asam piruvat yang merupakan hasil penguraian glukogen untuk menghasilkan energi. Pada pengertian lain, mitokondria adalah pabrik atau tempat produksi energi sebagai penunjang kehidupan (Nishihara, 2015). Penelitian Bhasin, dkk. (2013) menunjukkan meditasi dapat meningkatkan produksi energi yang dilakukan mitokondria.

Pengaruh mindfulness juga berlaku pada kualitas panjang pendeknya telomer. Pikiran yang tidak mindful atau mengembara identik dengan melamun, tidak fokus, dan pikiran itu tidak berada pada saat ini. Pikiran tersebut kembali pada masa lalu atau melayang jauh ke masa depan. Seseorang yang pikirannya mengembara menjadi tidak mindful terhadap apa yang sedang dikerjakannya. Seringkali pikiran yang “melompat-lompat” itu membuat pemiliknya mengembangkan kekhawatiran, kecemasan, atau kekecewaan. Hal ini yang dapat menganggu kehidupan individu itu sendiri, karena hidup yang dipenuhi dengan perasaan-perasaan itu menjadi tidak berkualitas.

Pikiran yang suka berkelana dan mengembara di sini bukan suatu pemikiran ide-ide kreatif atau visi masa depan yang kemudian dieksekusi dalam suatu produk yang berkualitas atau aksi yang positif yang bermanfaat bagi banyak orang. Pikiran mengembara ibarat suatu pikiran yang terjebak dalam suatu perangkap. Pikiran tersebut melibatkan ego individu, yang artinya ego atau aku sangat mendominasi dalam pikiran. Sebagai contoh seorang wanita yang sebentar lagi menikah merasa cemas dan khawatir pernikahannya tidak berlangsung baik. Ia memiliki pikiran “aku tidak cukup baik sebagai seorang istri”. Pikiran tersebut muncul karena ia melihat berita-berita perceraian di televisi.

Pikiran yang mengembara tidak hanya membuat gelisah dan gundah gulana hingga berujung nestapa serta tidak bahagia. Pikiran tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan fisik yang menjadi semakin buruk. Sebuah penelitian dari Epel, dkk. (2012) menyebutkan pikiran yang mengembara memiliki hubungan dengan penuaan sel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan orang yang pikirannya sering mengembara memiliki telomer yang lebih pendek pada sel darah putih. Telomer merupakan bagian dari kromosom dari suatu sel dan berfungsi sebagai pelindung pada ujung kromosom. Semakin telomer cepat rusak, maka kromosom dan juga sel juga akan cepat rusak. Pola tersebut akan mempercepat penuaan.

Pikiran yang mindful merupakan antitesis dari pikiran yang mengembara. Jika pikiran yang mengembara dapat mempercepat penuaan, maka semakin sering berlatih mindfulness dan mengembangkan pikiran yang mindful maka dapat menghambat penuaan.

1 2 3 Sebelumnya <> Berikutnya 5 6

Referensi:
Amen, D. G. (2011). Change your brain change your life. (Nukman, E.Y., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 1998)

Baime, M. (2011, Juli). This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf diakses pada tanggal 2 Februari 2015.

Bhasin, M. K., Dusek, J. A., Chang, B. H., Joseph, M. G., Denninger, J. W., Fricchione, G. L. Benson, H., & Libermann, T. A. (2013). Relaxation response induces temporal transcriptome changes in energy metabolism, insulin secretion, and inflammatory pathways. PLos ONE, 8(5), e62817, doi: 10.1371/journal.pone.0062817.

Epel, E. S., Puterman, E., Lin, J., Blackburn, E., Lazaro, A., & Berry Mendes, W. (2012). Wandering minds and aging cells. Clinical Psychological Science, XX(X), 1-9, doi: 10.1177/2167702612460234.

Diener, E. (Ed.). (2009). The science of well being: The collected works of Ed Diener. New York: Springer Science & Business Media.

Greeson, J., & Brantley, J. (2009). Mindfulness and anxiety disorders: Developing a wise relationship with the inner experience of fear. Dalam F. Didonna (Ed.), Clinical handbook of mindfulness (hal. 171-188). New York: Springer Science & Business Media.

Nishihara, K. (2015). Keajaiban mitokondria: Menyembuhkan penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (Wardani, D.K., terj). Bandung: Qanita (Karya asli terbit 2013)

Wiseman, R. (2014). 59 detik yang membuat anda menjadi lebih kreatif, lebih meyakinkan, lebih menarik, dan lebih bahagia. (Wulansari, D., terj). Tangerang: Kelompok Pustaka Alvabet (Karya asli terbit 2009)

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 3)


Oleh Duddy Fachrudin




Konflik Bagian Diri

Jika kita bercermin atau melihat ke dalam diri kita sendiri, adakah karakter-karakter diri atau subkepribadian (bagian-bagian diri) kita yang mirip dengan karakter Golongan Muda atau Golongan Tua yang tergambar dalam perdebatan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan? Jawabannya pasti ada. Bahkan karakter Golongan Muda maupun Golongan Tua ada di dalam diri kita. Dan tak ayal perdebatan atau konflik pun sering terjadi.

Permasalahan psikologis utama yang terjadi pada diri manusia adalah konflik dalam diri. Dan hampir setiap hari manusia mengalami konflik. Saat bangun pagi, sebagian besar dari kita menengok jam lalu setelah mengetahui pukul berapa kita bangun, bagian diri kita berkata, “Oh masih jam 3 pagi”, lalu dengan refleksnya kita menarik selimut dan bersiap tidur kembali. Tiba-tiba sebelum kita terlelap lagi, terdengar sesuatu di dalam hati, “Hei... kenapa kau tidur lagi. Ayo bangun dan sholat tahajud.” Itulah konflik antar bagian diri, dan dapat kita temui dalam kehidupan sejak bangun hingga bersiap untuk tidur kembali.

Konflik lainnya dapat dijumpai saat seorang kepala keluarga yang ingin menyelenggarakan resepsi pernikahan sesuai budaya di daerahnya anaknya namun terkendala dana. Di satu sisi perlu ada resepsi karena hal itu sudah menjadi budaya bagi masyarakat sekitar, namun hatinya berkata sebenarnya ia tidak memiliki uang yang cukup dan ingin resepsi sederhana saja. Akhirnya dalam forum keluarga, acara resepsi sesuai budaya daerah diputuskan untuk dilaksanakan meskipun harus berhutang. Pada hari-H satu keluarga berbahagia, namun setelah acara itu selesai, sang kepala keluarga sering terpikir hutang tersebut. Hati dan pikirannya gelisah dan tidak tenang.

Contoh lainnya, seorang kolega penulis menceritakan dirinya memiliki klien seorang pengusaha yang ketika datang ke kliniknya membawa mobil bagus dan berpakaian rapih. Namun ketika ditanya mengenai masalahnya, klien tersebut menuturkan, “Saya takut miskin.” Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang penghasilan dari bisnisnya sangat berlimpah lalu mengatakan, “Saya takut miskin”?

Faktanya memang mungkin. Dan sesungguhnya, terjadinya konflik tersebut karena munculnya keinginan-keinginan yang ingin segera dipenuhi. Maka konflik itu terus terjadi jika orang itu tidak mengenali keinginan-keinginannya secara sadar, atau dalam perspektif lebih luas tidak memahami dirinya sendiri.

Mindfulness

Konflik dalam diri terjadi karena pertentangan antara dua atau lebih bagian diri dalam diri kita. Saat terjadi konflik antar bagian diri, kita perlu menyadari kehadiran bagian-bagian diri tersebut. Lalu memahami apa tujuan yang diinginkan bagian-bagian diri tersebut. Dan terakhir diri kitalah yang mendamaikan mereka dengan kebijaksanaan tertinggi.

Kata kunci yang tepat dalam hal ini adalah awareness atau kesadaran. Dalam disiplin ilmu psikologi terdapat berbagai pendekatan atau metode yang tepat dalam mengelola konflik berbasis kesadaran. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah mindfulness. Berbagai jenis latihan dalam mindfulness meliputi meditasi, melakukan satu aktivitas pada satu waktu (contoh makan hanya makan saja tidak disertai aktivitas lain), berlatih mendengarkan, berdoa, bertualang di alam, merenungkan penciptaan lagit dan bumi, melakukan suatu hal positif untuk pertama kalinya, mengembangkan sikap pemula (beginners mind) atau vuja de (melihat suatu hal yang pernah dilihat sebelumnya namun dengan perspektif yang berbeda), serta tai chi atau menari dengan harmonis.

Mindfulness berorientasi pada kesadaran, perhatian, dan penerimaan. Menjadi sadar dan memahami sepenuhnya serta menerima diri termasuk bagian-bagian diri perlu dilatih dan diupayakan. Mengapa? Agar kita tidak terpeleset dalam mengambil keputusan saat terjadi konflik internal. Maka untuk itu kita perlu memberi perhatian atau mengecek pikiran, emosi, maupun niat-niat yang muncul dalam keseharian.

Pikiran yang muncul biasanya bersifat otomatis karena hasil dari tautan-tautan memori sejak masa awal kehidupan yang kemudian berkolaborasi dengan stimulus yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Pikiran otomatis berpotensi menghasilkan perilaku yang reaktif, terburu-buru atau tergesa-gesa, dan cenderung tanpa pertimbangan.

Menerapkan mindfulness berarti meingijinkan jeda sesaat sebelum bertindak. Kita mulai mengamati pikiran atau apapun yang muncul lalu mengenalinya, menerimanya, menimbang berbagai konsekuensi yang mungkin muncul atas keputusan yang kita ambil, dan pada akhirnya merespon secara bijaksana (Carmody, Baer, Lykins, & Olendzki, 2009; Shapiro, Carlson, Astin, & Freedman, 2006). Respon tersebut merdeka atau terbebas dari segala belenggu kekecewaan atau kemarahan di masa lalu maupun kekhawatiran atau ketakutan di masa depan.

1 2 Sebelumnya <> Berikutnya 4 5 6

Referensi:
Carmody, J., Baer, R. A., Lykins, E. L. B., & Olendzki, N. (2009). An empirical study of the mechanisms of mindfulness in a mindfulness-based stress reduction program. Journal of Clinical Psychology, 65(6), 613-626, doi: 10.1002/jclp.20579.

Shapiro, S. L., Carlson, L. E., Astin, J. A., & Freedman, B. (2006). Mechanisms of mindfulness. Journal of Clinical Psychology, 62, 373–386.

Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 2)


Oleh Duddy Fachrudin




Kemerdekaan, Kesejahteraan, dan Ketenangan

Meskipun muncul rasa was-was dan gelisah akan munculnya tentara Jepang, rakyat yang berkumpul dengan setia menanti momen proklamasi itu. Setelah menunggu kedatangan partnernya, yaitu Bung Hatta, Soekarno menuju mimbar dan mikrofon yang telah disiapkan. Bendera merah putih telah siap untuk dikibarkan. Seorang petugas Pembela Tanah Air (PETA) mengatur barisan. Dan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dilakukan sesuai dengan isinya yaitu dalam tempo sesingkat-singkatnya, bahkan dilakukan secara sederhana tanpa protokol resmi.

Hari itu menjadi hari yang paling penting dalam sejarah Indonesia. Sebuah momen yang telah mengubah status bangsa, yang sebelumnya adalah negara jajahan menjadi negara yang sepenuhnya merdeka. Inilah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang telah lama dan ditunggu-tunggu karena ratusan tahun Indonesia dijajah oleh berbagai bangsa seperti Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Kesejahteraan yang diperoleh dari hasil perjuangan para pahlawan bangsa yang terus menerus. Kesejahteraan itu bernama kemerdekaan.

Jika menilik kembali bagaimana detik-detik proklamasi yang secara singkat telah diceritakan pada awal tulisan ini, bahwa terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat antara Golongan Muda dan Golongan Tua. Golongan Muda ingin sesegera mungkin proklamasi dilakukan dengan tanpa pertimbangan yang matang. Namun ternyata Golongan Tua sebaliknya, semuanya perlu diperhitungkan dan tidak perlu terburu-buru.

Ketenangan pada akhirnya memainkan peran penting dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Golongan Tua yang dipimpin Soekarno. Keputusan maupun saran-saran yang muncul merupakan hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang holistik, konstruktif, dan futuristik yang merujuk fokus bukan hanya saat ini tapi juga masa depan. Maka sesungguhnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan dalam tempo singkat itu merupakan buah dari ketenangan pikiran dan emosi dari pemimpin-pemimpin revolusi tersebut.

1 Sebelumnya <> Berikutnya 3 4 5 6

Senin, 14 Agustus 2017

Edisi Kemerdekaan: Proklamasi, Mindfulness, dan Kesejahteraan Bangsa Indonesia (bagian 1)


Oleh Duddy Fachrudin




Menyusul pernyataan kekalahan Jepang dari Sekutu di Kapal USS Missouri sehari sebelumnya, Rabu, 15 Agustus 1945 Pukul 22.00 WIB di Jalan Pegangsaan Timur 56, Golongan Muda yang dipimpin Chaerul Saleh berusaha meyakinkan Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan dengan sesegera mungkin. Sukarni yang juga termasuk Golongan Muda mendukung rencana Saleh. “Kita harus merebut kekuasaan!”, begitu ucapnya dengan lantang di depan para tokoh yang hadir malam itu (Soebardjo, 1978). Mereka menolak pemberiaan kemerdekaan dari Jepang yang seyogyanya direncanakan pada tanggal 24 Agustus 1945. Para tokoh yang termasuk Golongan Tua mendengarkan aspirasi mereka.

Malam semakin larut dan Golongan Muda terus menuntut Soekarno dan Hatta untuk secepatnya menyatakan kemerdekaan dengan cara mereka. Namun, Soekarno-Hatta yang mewakili Golongan Tua tidak sepakat dengan cara tersebut yang terkesan terburu-buru dan tidak terorganisir. Terlebih jika revolusi dilakukan secara tergesa-gesa dapat menimbulkan pertumpahan darah di kalangan rakyat sipil. Apalagi Soekarno berpendapat kekuatan mereka termasuk tentara Indonesia yang tidak banyak itu akan mudah dikalahkan tentara Jepang. Maka Golongan Tua memilih jalan kerjasama dengan pemerintah Jepang mengenai Proklamasi Kemerdekaan melalui PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Jiwa-jiwa yang bergejolak pada Golongan Muda tidak menerima hal itu. Mereka menganggap Soekarno dan Golongan Tua telah terbawa pengaruh Jepang dan mereka tidak menginginkan kompromi dengan PPKI karena jelas-jelas forum tersebut dibuat oleh Jepang. Golongan Muda mengambil tindakan nekat dengan “menculik” Soekarno dan Hatta pada pagi harinya ke Rengasdengklok.

Dibawanya Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok yang merupakan kota kecil dekat Karawang itu dengan maksud mengamankan dan meminta kedua tokoh itu dengan segera menyatakan kemerdekaan secara resmi tanpa pengaruh Jepang. Namun, Soekarno dengan didampingi Hatta tetap dengan rencananya. Siang itu kembali terjadi perdebatan sengit. Golongan Muda kembali menekan Soekarno. Mereka menginginkan revolusi dilaksanakan malam harinya. Soekarno sempat marah, namun beberapa detik kemudian mereda. Dengan tenang ia menjelaskan rencana Proklamasi Kemerdekaan yang telah dibuatnya di Saigon.

Semua orang mendengarkan rencana Soekarno. Pemimpin Revolusi itu merencanakan Proklamasi akan dinyatakan pada tanggal 17. Tentu, dipilihnya tanggal 17 bukan tanpa alasan. Tanggal tersebut jatuh pada hari Jum’at yang merupakan hari yang penuh berkah dan memiliki banyak keutamaan di dalamnya. Angka 17 juga merujuk pada tanggal diturunkannya Al-Qur’an. Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam menunaikan sholat wajib lima waktu yang total rakaatnya berjumlah 17. Pada saat itu merupakan bulan Ramadhan yang melengkapi keistimewaan jika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Golongan Muda dan Tua lantas bersatu. Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Dan seorang Perwira Angkatan Laut Jepang bernama Laksamana Maeda pun turut membantu dengan “menyediakan” rumahnya sebagai tempat penyusunan teks proklamasi. Dengan segera, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo, trio perumus teks proklamasi itu menyusun untaian kalimat demi kalimat bersejarah dalam secarik kertas.

Menjelang subuh, tanggal 17 Agustus 1945, teks proklamasi yang telah disusun dibacakan kepada para tokoh lainnya yang menunggu dengan antusias. Sajuti Melik lalu mengetiknya disaat yang lain menyantap sahur yang disediakan empunya rumah. Lantas kemudian terjadi diskusi mengenai siapa yang menandatangani teks tersebut. Dan akhirnya diputuskan bahwa Soekarno dan Hatta sebagai wakil bangsa yang menorehkan tandatangan pada naskah agung itu (Soebardjo, 1978).

Sinergi dan kolaborasi para tokoh dari dua Golongan dalam waktu yang terus memburu, memacu adrenalin memunculkan ide-ide, termasuk ide dari Sukarni yang memberi masukan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan di lapangan IKADA. Namun, sekali lagi dengan pertimbangan yang sehat, Soekarno menolaknya dengan alasan bahwa lapangan tersebut merupakan tempat umum yang memiliki potensi munculnya benturan antara rakyat dengan tentara Jepang. Soekarno mengusulkan pembacaan proklamasi dilakukan di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56 pada pukul 10.00 WIB.

> Berikutnya 2 3 4 5 6

Refensi:
Soebardjo, A. (1978). Lahirnya republik Indonesia. Jakarta: Kinta.

Senin, 07 Agustus 2017

Mindful Diet: Mindset Hidup Sehat dan Pesan Konfusius


Oleh Duddy Fachrudin

Apa yang membedakan dokter yang biasa-biasa saja dengan dokter yang luar biasa? Pakar kesehatan atau dokter yang biasa-biasa saja adalah mereka yang memberikan intervensi pengobatan sesuai dengan penyakit yang dialami pasien tanpa memberikan nasihat-nasihat mengenai gaya hidup sehat yang baik. Sementara pakar kesehatan atau dokter yang luar biasa adalah mereka yang memberikan nasihat mengenai gaya hidup yang baik kepada para pasien, menuliskan tips-tips gaya hidup sehat dalam buku, bahkan menganjurkan kepada mereka untuk dapat merawat dirinya sendiri (self care).

Para pakar kesehatan yang luar biasa memberi nasihat kepada pasien bahwa pasienlah yang menentukan kesehatan mereka. Bahkan pasien tidak perlu tergantung pada para dokter, obat-obatan, atau suplemen untuk menjadi sehat. Diri kitalah yang menentukan kesehatan kita. Hal ini dikarenakan tubuh manusia didesain dengan sangat canggih oleh Allah Swt. Di dalam tubuh manusia sudah tersedia perangkat organ yang berfungsi dalam menjaga kesehatan tubuh, seperti jantung, lambung, usus, dan hati. Bahkan di dalam perut manusia terdapat ratusan miliar bakteri baik yang bertindak sebagai pasukan penjaga perdamaian dan keamanan dari serangan virus dan bakteri jahat.




Orang sehat adalah mereka yang sadar akan potensi tubuhnya dan menggunakannya sebaik mungkin. Sebaliknya orang sakit adalah bertindak semena-mena pada tubuhnya sendiri. Gaya hidup masa kini berpotensi membuat orang cenderung merusak tubuhnya, seperti dengan memakan makanan cepat saji, makan dengan terburu-buru, tidur larut malam karena terlalu banyak bekerja, dan sebagainya.

Memiliki tubuh yang sehat dan menjaga berat badan berada dalam kondisi ideal dimulai dari mindset bahwa “Akulah yang bertanggungjawab atas kesehatanku”. Dengan mindset tersebut kita menyadari sepenuhnya bahwa kesehatan menjadi prioritas dalam hidup kita. Konfusius, filsuf terkenal dari Tiongkok berkata, “Ada 3 jenis kematian pada orang yang mempersingkat hidupnya sendiri. pertama, saat mereka tidak menjalani hidup dengan normal. Mereka tidak mengatur apa yang mereka makan. Mereka membuat lelah diri mereka secara berlebihan atau terlalu malas sehingga mereka merusak tubuh mereka sendiri, menjadi sakit dan meninggal...”

Maka memiliki mindset “Akulah yang bertanggungjawab atas kesehatanku” adalah sangat penting. Dokter bukan orang yang bertanggungjawab apalagi penentu kesehatan Anda. Obat dan suplemen adalah opsi terakhir untuk menjaga kesehatan. Dan opsi pertama dan utama untuk menjaga kesehatan adalah dengan menjalani gaya hidup sehat.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
http://colemanhealthandlifestylecenter.com/courses/

Jumat, 28 Juli 2017

Depresi dan 300 Juta Penduduk Dunia (Bagian 2-Selesai)


Oleh Kadek Widya Gunawan




Terkait karakteristik gangguan, depresi memiliki variasi gejala tertentu yang salah satunya dapat terlihat dari gender individu. Menurut hasil kajian dari National Institute of Mental Health, Amerika Serikat (2016), perempuan lebih sering mengalami gangguan depresi daripada laki-laki. Hal ini terkait dengan siklus kehidupan dan pengaruh hormon pada perempuan. Perempuan yang mengalami depresi umumnya menunjukkan gejala kesedihan, perasaan tidak berharga, serta munculnya perasaan bersalah yang teramat sangat. Sedangkan pada laki-laki yang mengalami gangguan depresi, umumnya menunjukkan gejala sangat kelelahan, emosi tidak stabil yang terkadang termanifestasi dalam sikap mudah marah. Laki-laki dengan gangguan depresi juga mudah kehilangan ketertarikan dalam pekerjaan ataupun aktivitas yang disenanginanya, adanya masalah dalam siklus tidur, serta timbul berbagai perilaku negatif termasuk penyalahgunaan narkoba dan alkohol. Banyak laki-laki yang tidak mengenali gejala depresinya dan gagal dalam mencari pertolongan. Data dari National Institute of Mental Health di Amerika juga menunjukkan bahwa meskipun banyak perempuan yang berakhir dengan bunuh diri, namun jumlah pelaku bunuh diri dengan gender laki-laki ternyata lebih tinggi. Tingginya angka bunuh diri pada laki-laki disinyalir merupakan dampak dari ketidakmampuan laki-laki untuk mengenali gejala depresinya.

Selain dari segi gender, segi usia juga menjadi faktor pembeda terhadap pengaruh dari gangguan depresi pada individu. Orang yang berada pada usia paruh baya dan usia tua, biasanya menunjukkan gejala yang kurang jelas terkait depresi dan individu pada usia ini juga memiliki karakteristik penolakkan yang tinggi terhadap perasaan sedih. Namun, individu usia paruh baya biasanya memiliki kondisi medis tertentu, seperti darah tinggi ataupun sakit jantung, yang bisa saja disebabkan oleh /atau bahkan berkonstribusi terhadap tingkat depresi yang dialaminya. Lalu, anak-anak yang mengalami depresi menunjukkan sikap berpura-pura sakit, menolak untuk pergi ke sekolah, tidak mau jauh dari orangtuanya atau bahkan menunjukkan ketakutan yang mendalam akan kematian orangtuanya. Sedangkan, remaja dengan gangguan depresi biasanya terlibat masalah di sekolah, serta menjadi sangat sensitif secara emosional. Remaja dengan depresi juga biasanya menunjukkan gejala dari gangguan lain seperti kecemasan, gangguan makan, serta penyalahgunaan narkotika dan alkohol (National Institute of Mental Health, 2016).

Gangguan depresi memang merupakan gangguan kesehatan yang kompleks dan terkadang sulit untuk mengetahui apakah kita ataupun orang-orangg terdekat kita mengalaminya. Karena berbeda dengan gangguan kesehatan lain, orang-orang yang berjuang menghadapi depresi bisa saja terlihat sehat dalam kesehariannya. Namun dibalik senyum mereka, tersimpan jiwa pejuang yang sedang berusaha melawan suatu racun di dalam diri. Oleh karena itu dengan mengetahui gejala umum serta karakteristik gangguan depresi, diharapkan kita bisa lebih sadar dengan diri dan orang-orang terdekat sehingga, kita bisa mencari pertolongan atau memberikan support pada orang-orang terdekat yang kita kasihi.

Referensi:
Carne, K. (2017). Seven secrets of mindfulness: How to keep your everyday practice alive. London: Rider.

National Institute of Mental Health. (2016). Depression Basics. Bethesda: U.S. Department of Health and Human Services NIH Publication.

Hooton, C. (2017). Chester Bennington discusses his depression in 'final' interview: 'I can either just give up and f*cking die or I can fight'. http://www.independent.co.uk. 28 Juli 2017.

World Health Organization. (2017). Depression. http://www.who.int. 28 Juli 2017.

Sumber Gambar:
https://tinybuddha.com/blog/10-thinking-patterns-that-can-lead-to-depression/

Depresi dan 300 Juta Penduduk Dunia (Bagian 1)


Oleh Kadek Widya Gunawan




Akhir-akhir ini berita tentang bunuh diri dan depresi kembali terangkat ke permukaan. Salah satu yang mungkin membuat saya ‘shock’ adalah berita tentang Chester Bennington yang melakukan bunuh diri.

Saya merupakan salah satu penggemar Linkin Park, grup band rock alternative tempat Bennington dan rekan-rekannya berkarya mengekspresikan jiwa mereka.

Wawancara terakhir Bennington dengan The Mirror mengungkapkan tentang bagaimana ia melalui saat-saat sulit dalam kehidupannya, termasuk perasaan yang coba ia lawan seperti, rasa lelah yang membuatnya tidak ingin meninggalkan tempat tidur di pagi hari, karena dunia penuh dengan hal-hal yang negatif –“the world is full of shit” (Hooton, 2017).

Kemudian, setelah kepergian Bennington muncul fakta-fakta tentang peperangan batin yang ia lalui mulai dari perceraian orangtuanya di usia 11 tahun, pelecehan seksual ketika kanak-kanak, adiksi terhadap obat-obatan dan alkohol, serta trauma masa kecil.

Semua hal yang berusaha dihadapi oleh Bennington tertuang dalam lirik lagu bandnya hingga pada album terbaru yang berjudul “One More Light”. Pada video clip lagu “Heavy” terdapat adegan dimana Bennington bertarung melawan dirinya yang lain yang merupakan manifestasi dari perasaan trauma dan depresinya. Namun, seperti yang kita tahu, pertempuran panjang yang dilakukan Bennington harus berakhir pada 20 Juli 2017 ini.

Membayangkan betapa beratnya perjuangan yang dilakukan Bennington dan orang lain yang sedang memikul beban dalam kehidupan membuat saya berpikir bahwa depresi bukan hanya tentang perasaan sedih, down, ataupun kecewa.

Depresi lebih dari hanya sekedar emosi negatif. Depresi seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti semangat, kebahagiaan, harapan, dan masa depan seseorang hingga akhirnya tanpa disadari racun itu pun merenggut kehidupan dengan seketika dan dengan cara yang amat menyakitkan, baik bagi orang itu sendiri maupun orang terdekatnya.

Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan racun depresi ini?

Ada yang mengatakan bahwa depresi disebabkan oleh trauma masa lalu, perasaan kehilangan yang termat sangat, duka yang mendalam, konflik batin, serta adiksi narkotika maupun alkohol.

Namun, para ahli juga menyatakan bahwa depresi sebagai masalah kesehatan mental melibatkan kondisi medis seperti rendahnya kadar hormon serotonin dalam otak bahkan sampai adanya predisposisi genetik yang termanifestasikan menjadi gejala mental negatif seperti perasaan sedih ataupun ketidakberdayaan pada individu (Carne, 2016; National Institute of Mental Health, 2016).

Depresi sebagai suatu problem kesehatan memiliki gejala yang sangat bervariasi pada setiap individu dan jumlah individu yang mengalami depresi menurut data WHO (World Health Organization) pada Februari 2017 adalah sekitar 300 juta jiwa.

Bisa kita bayangkan, betapa kompleksnya sebuah gangguan kesehatan yang menyerang 300 juta populasi dunia dan memiliki gejala yang berbeda antara individu satu dengan yang lainnya.

Namun, dari beberapa kasus depresi yang berhasil terpetakan di masa lalu, para ahli pun menemukan beberapa gejala umum serta karakteristik dari gangguan ini.

Adapun beberapa gejala umum dari gangguan depresi adalah sebagai berikut:
  1. Perasaan sedih atau gelisah yang intens. 
  2. Perasaan tidak berdaya dan pesimis dalam menghadapi situasi dalam hidup. 
  3. Merasa kurang begitu tertarik dalam kegiatan harian. 
  4. Perasaan tidak berharga dan muncul rasa bersalah yang kuat. 
  5. Merasa sangat kelelahan atau energi yang begitu sedikit dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 
  6. Peningkatan ataupun penurunan nafsu makan, atau bisa juga termanifestasikan dalam penurunan ataupun peningkatan berat badan. 
  7. Kesulitan dalam berkonsentrasi, berpikir, ataupun membuat suatu keputusan. 
  8. Kesulitan untuk tidur di malam hari ataupun tidur berlebihan pada siang hari. 
  9. Perasaan sensitif atau moody
  10. Muncul keluhan fisik seperti sakit kepala, kram, ataupun gangguan pencernaan tanpa adanya penyebab fisik yang jelas dan/atau keluhan fisik tersebut tidak mereda setelah memperoleh pengobatan. 
  11. Muncul pikiran untuk bunuh diri. 

Individu dikatakan mengalami depresi jika memiliki 5 (lima) atau lebih gejala tersebut dan berlangsung minimal selama 2 (dua) minggu (Carne, 2016; National Institute of Mental Health, 2016).

Referensi:
Carne, K. (2017). Seven secrets of mindfulness: How to keep your everyday practice alive. London: Rider.

National Institute of Mental Health. (2016). Depression Basics. Bethesda: U.S. Department of Health and Human Services NIH Publication.

Hooton, C. (2017). Chester Bennington discusses his depression in 'final' interview: 'I can either just give up and f*cking die or I can fight'. http://www.independent.co.uk. 28 Juli 2017.

World Health Organization. (2017). Depression. http://www.who.int. 28 Juli 2017.

Sumber gambar:
https://welldoing.org/article/depressing-instead-depression.

Senin, 17 Juli 2017

Mindful Diet: Tai Chi dan Manfaatnya Bagi Kesehatan


Oleh Duddy Fachrudin

Jika ada satu bentuk olahraga yang tidak akan pernah dilombakan dalam olimpiade maka tai chi adalah jawabannya.

Mengapa?

Tentu saja tai chi tidak memenuhi prinsip dan moto olimpiade, yaitu Citius (lebih cepat), Altius (lebih tinggi), dan Fortius (lebih kuat).

Tai chi adalah salah satu bentuk meditasi gerak (moving meditation). Setiap gerakan dalam tai chi memiliki prinsip kelenturan, kelembutan, harmoni, dan terus menerus. Itulah mengapa dalam tai chi setiap gerakannya perlu disadari dan dirasakan. Dan dibalik gerakan tai chi, terdapat manfaat tersembunyi yang luar biasa bagi kesehatan tubuh.

Berbagai penelitian mengenai tai chi yang dipraktikkan selama 2-6 bulan (rata-rata 3x/ minggu) oleh partisipan penelitian menunjukkan manfaat tai chi bagi kesehatan fisik maupun psikis sebagai berikut:




Melihat manfaat yang begitu banyak dari hasil berlatih tai chi mungkin kita mulai menjadikan olahraga ini sebagai olahraga yang kita lakukan, apalagi di tengah gaya hidup penduduk dunia di era digital yang serba cepat ini. Apalagi bagi orang dengan berat badan berlebih, tai chi ibarat para teknisi bengkel yang siap menservis motor kita. Sebelum masuk bengkel motor kita terasa berat mesinnya, namun setelah keluar (diservis) jadi terasa ringan. Begitulah tai chi. 

Gerakan tai chi banyak bersinggungan dengan lutut, bahu, dan pinggul. Semakin sering dilatih ketiga bagian ini maka otot-otot, persendian, dan tulang yang di sekitar organ tersebut semakin kuat dan semakin fleksibel. Dengan ini orang dengan berat badan berlebih lebih aktif dan nyaman untuk bergerak.

Tai Chi dan Body Mass Index (BMI)

Apakah tai chi dapat menyeimbangkan BMI? Salah satu manfaat tai chi adalah menurunkan tekanan darah dan memperbaiki profil lemak. Saat profil lemak stabil maka berat badan turun. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan (Hui, Woo, & Kwok, 2009), bahwa terapi body-mind seperti tai chi menurunkan tekanan darah tinggi, memperbaiki profil lemak, dan menurunkan berat badan. 

Jadi, meskipun tai chi tidak membuat Anda lebih cepat (Citius), lebih tinggi (Altius), dan lebih kuat (Fortius), namun tai chi yang gerakannya pelan dan lembut memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan kita. Berlatih tai chi, kenapa tidak?

Referensi:
Hui, S.S.C., Woo, J., & Kwok, T. (2009). Evaluation of energy expenditure and cardiovascular health effects from Tai Chi and walking exercise. Hongkong Medical Journal, 15 Suppl 2, p. 4-7. 

Sumber gambar:
Dokumen pribadi

Sabtu, 17 Juni 2017

Cegah Craving & Relapse (Narkoba) dengan MBRP


Oleh Duddy Fachrudin

Penggunaan mindfulness sebagai suatu terapi meluas pada perilaku adiksi. Bowen, Chawla, & Marlat (2011) mengembangkan Mindfulness-Based Relapse Prevention (MBRP) yang memadukan antara terapi kognitif-perilaku dalam upaya relapse prevention (RP) dengan mindfulness meditation. Program tersebut berlangsung selama 8 minggu dan bertujuan meningkatkan kesadaran saat menghadapi pemicu (trigger), mengembangkan pola baru sehingga tidak reaktif, memiliki ketrampilan dalam menghadapi situasi yang dapat memunculkan respon reaktif, meningkatkan penerimaan terhadap craving dan memudahkan untuk melepasnya (letting go). Mindfulness-Based Relapse Prevention didesain sebagai latihan kesadaran bagi penyalahguna Narkoba yang pikirannya terperangkap dalam suatu pola, sehingga terus ada keinginan untuk memakai Narkoba kembali (craving). Latihan-latihan mindfulness meditation dalam MBRP meliputi mindful eating, meditasi deteksi tubuh, meditasi napas dan meditasi SOBER (Stop, Observe, Breath, Expand, Respond), meditasi jalan, meditasi suara, dan meditasi yang dimodifikasi yang berkaitan dengan aspek kognitif/ pikiran. 




Penelitian efektifitas MBRP dilakukan oleh Bowen dkk (2009). Sejumlah 168 partisipan (64% laki-laki) mengikuti program MBRP. Mereka adalah para penyalahguna Narkoba dan zat adiktif lainnya yang dipilih secara random dan bersedia untuk berhenti sementara dari program rehabilitasi yang sedang dijalani. Penelitian dilakukan secara randomized controlled trial dengan mengukur craving, penggunaan Narkoba, penerimaan diri, depresi, kecemasan, dan level mindfulness. Residen melaporkan penggunaan Narkoba 60 hari sebelum program, saat selesai program, dan dua serta empat bulan setelah selesai program (follow up).

Tingkat kehadiran partisipan setiap sesi MBRP rata-rata 65% dan partisipan yang melakukan latihan mindfulness meditation 85% dari total partisipan. Dari 85% tersebut sebanyak 54% yang terus melanjutkan mindfulness meditation setelah 4 bulan program selesai. Berdasarkan hasil feedback kuesioner menyatakan partisipan menilai positif program yang telah dilangsungkan kepada mereka. Jika dibandingkan dengan program standar (as usual), tingkat craving penyalahguna Narkoba lebih rendah pada program MBRP dibanding program standar. Partisipan pada program MBRP juga memiliki tingkat kesadaran dan penerimaan (saat menghadapi pemicu) yang meningkat. 

Saat partisipan selesai mengikuti program MBRP, mereka kembali mengikuti program standar, dan partisipan tidak diwajibkan untuk melatih mindfulness serta mengaplikasikan hasil pembelajaran yang sudah didapat dari MBRP. Hasilnya, penggunaan Narkoba pada partisipan MBRP kembali meningkat dan memiliki skor yang sama dengan partisipan program standar.

Maka, berdasarkan hasil penelitian ini, perlu direkomendasikan bahwa partisipan program MBRP perlu terus berlatih mindfulness meditation setelah program selesai. Selain itu hal yang penting adalah perlunya pengajar yang konsisten dan komunitas yang mendukung dan memberi kesempatan untuk terus melakukan mindfulness meditation.

Penggunaan mindfulness sebagai suatu bentuk terapi pada komunitas penyalahguna Narkoba mendukung program 12 Langkah Narcotic Anonymous (NA). Poin 11 pada 12 Langkah NA menyatakan bahwa doa dan meditasi sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran untuk berhubungan dengan Tuhan. Sehingga dalam program 12 Langkah NA, mindfulness meditation bisa terus dilakukan selama dan bahkan setelah proses pemulihan.
Referensi: 
Bowen, S, Chawla, N, & Marlat, G. W. 2011. Mindfulness-based relapse prevention for addictive behaviors: A clinician’s guide. New York: The Guilford Press.

Bowen S, Chawla N, Collins SE, Witkiewitz K, Hsu S, et al. (2009) Mindfulness-based relapse prevention for substance use disorders: A pilot efficacy trial. Subst Abus, 30, 295-305.

Sumber gambar:
https://muslimvillage.com/2011/09/22/14948/drugs-alcohol-and-muslims/

Senin, 12 Juni 2017

Narkoba, Mindfulness, dan Neuroplatisitas Otak


Oleh Duddy Fachrudin

Otak manusia bersifat plastis atau biasa dikenal dengan neuroplastisitas. Konsep neuroplatisitas merujuk pada kemampuan otak untuk berubah secara struktural dan fungsional akibat dari input lingkungan (Setiabudhi dalam Sutanto, 2015). Penelitian dari suatu tim neurosains yang meneliti otak seorang biksu bernama Richard Matthieu di Prancis. Penelitian berlangsung selama 4 tahun, yaitu dari tahun 2008-2012. Richard Matthieu melakukan mindfulness meditation dan dipasang konektor di kepalanya untuk melihat aktivitas otaknya selama melakukan mindfulness meditation. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas yang luar biasa di bagian korteks prefrontal otak Richard (Ulfah, 2010).




Penelitian Sara Lazar, seorang neurosaintis dari Harvard melakukan penelitian dengan membandingkan otak kelompok meditator dan non-meditator. Kelompok meditator adalah orang umum yang biasa melakukan meditasi selama kurang lebih satu jam setiap harinya. Lazar menemukan di beberapa area kortikal otak kelompok meditator lebih tebal daripada kelompok non-meditator. Salah satu area kortikal yang lebih tebal adalah korteks prefrontal (Baime, 2011).

Perbedaan aktivitas atau volume yang terjadi pada otak subjek penelitian merupakan bentuk dari sifat otak yang plastis. Pelatihan-pelatihan otak seperti mindfulness menjadi pembeda otak individu sebelum dan sesudah pelatihan otak tersebut. Sifat plastis juga sebenarnya terjadi pada otak penyalahguna Narkoba saat individu tersebut berhenti menggunakan Narkoba. Otak tersebut akan perlahan kembali normal, namun dengan berlatih mindfulness dapat menjadi katalis otak tersebut lebih cepat kembali normal bahkan menjadi lebih baik kualitasnya. 

Konsep mindfulness berawal dari melepaskan penderitaan yang dialami manusia. Penderitaan tersebut dapat berupa stres, depresi, cemas, konflik interpersonal, kebingungan, khawatir berlebihan dan ketakutan-ketakutan irasional (Mace, 2008). Mindfulness dipercaya dapat mengurangi penderitaan dan mempromosikan kesejahteraan (Grossman & Van Dam, 2011). 

Menurut Mace (2008), mindfulness menekankan pada kesadaran, menjadi sadar sepenuhnya pada apa yang terjadi saat ini, dengan mengalihkan pengalaman yang lain, diterima sepenuhnya tanpa penilaian. Mindfulness merupakan suatu keterampilan dalam memberikan perhatian dengan berfokus pada satu tujuan, saat ini, dan tidak menilai (Kabat-Zinn, 1990). Mindfulness sangat berorientasi pada hidup saat ini. Konsep hidup pada saat ini (living in the present) berbeda dengan hidup untuk saat ini (living for the present). Hidup untuk saat ini dapat membuat seorang individu berperilaku dengan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang terjadi di masa depan. Hidup pada saat ini mengembangkan perilaku berdasarkan kontrol diri dan pencapaian tujuan yang lebih efektif (Brown, Ryan, & Creswell, 2007). 

Tujuan utama dari berlatih mindfulness adalah untuk mengolah kesadaran agar tidak reaktif, serta penerimaan atas suatu hal/ objek. Ketika hal tersebut meningkat, maka individu akan lebih mudah untuk melepas objek tersebut. Brahm (2013), menyatakan usaha dalam mindfulness diarahkan untuk melepas dan mengembangkan pikiran yang cenderung tidak melekat. Salah satu yang perlu dilepas adalah yang menjadi beban dalam pikiran manusia. Saat seseorang membiarkan hal-hal berlalu dalam pikiran, maka akan terasa jauh lebih lega dan lebih bebas. 

Narkoba menjadi suatu zat yang sulit dilepaskan dari pikiran, karena pengaruhnya yang memicu pengeluaran dopamin secara berlebihan. Efek dopamin yang membuat nikmat (efek candu) ini yang melekat pada tubuh dan pikiran, sehingga penyalahguna Narkoba mengulangi penggunaan Narkoba. Berlatih mindfulness bertujuan menghilangkan kemelekatan individu penyalahguna Narkoba terhadap kenikmatan yang muncul akibat pengeluaran dopamin yang berlebihan.

Cek pelatihan/ event mindfulness terbaru di sini >>>

Referensi:
Baime, M. (2011, Juli). This is your brain on mindfulness. Shambala Sun. http://www.nmr.mgh.harvard.edu/~britta/SUN_July11_Baime.pdf diakses pada tanggal 2 Februari 2015.

Brahm, A. 2008. Superpower mindfulness. Jakarta: Ehipassiko Foundation

Brown, K. W., Ryan, R. M., & Creswell, J. D. (2007). Mindfulness: Theoretical foundations and evidence for its salutary effects. Psychological Inquiry, 18(4), 211-237, doi: 10.1080/10478400701598298.

Grossman, P., & Van Dam, N. T. (2011). Mindfulness, by any other name...: Trials and tribulations of sati in western psychology and science. Contemporary Buddhism, 12(1), 219-239, doi: 10.1080/14639947.2011.5648 41.

Kabat-Zinn, J. (1990). Full catastrophe living: Using the wisdom of your body and mind to face stress, pain, and illness. New York: Bantam Dell.

Mace, C. (2008). Mindfulness and mental health: Therapy, theory, and science. New York: Routledge.

Setiabudhi, T. (2015). Neuroplatisitas dan tai chi. Dalam J. Sutanto (Ed.), The dancing leader 4.0: Tai chi dan kesehatan otak, senam berbasis neuroplastisitas (hh. 1-48). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Ulfah, N. (2010, September). Otak manusia siapa yang paling bahagia di dunia. Detik.com. http://health.detik.com/read/2010/02/09/160046/1296057/766/otak-manusia-yang-paling-bahagia-di-dunia/ diakses tanggal 13 November 2014

Sumber gambar:
http://healingtraumacenter.com/neuroplasticity-and-rewiring-the-brain/

Minggu, 11 Juni 2017

Phineas Gage dan Narkoba: Otak Rusak, Perilaku Berubah


Oleh Duddy Fachrudin

Kasus kerusakan otak fenomenal terjadi pada Phineas Gage. Damasio (1994) memaparkan, Gage adalah seorang insinyur bangunan yang bekerja untuk perusahaan pembuat jalan kereta api Rutland & Burlington Railroad. Pada musim panas 13 September 1848. Gage mengalami kecelakaan parah yang merusak otaknya. Sebatang besi menembus pipi kirinya melintasi otak di belakang mata menyeruak keluar batok kepalanya. Setelah luka kepalanya sembuh, Gage tampak hidup normal, berbicara secara rasional dan kemampuan berpikirnya tampak utuh, namun terjadi perubahan karakter dan perilaku pada diri Gage. Dahulu Gage dikenal sebagai orang yang sabar, energik, dan cerdas. Setelah kecelakaan tersebut, Gage kehilangan beberapa karakter dan perilaku yang esensial. Gage menjadi pribadi yang kasar, agresif, pemberang, dan temperamental. 

Berbagai kajian dilakukan untuk menemukan penyebab perubahan karakter pada Phineas Gage. Dr. Antonio Damasio dan koleganya melakukan brain-scanning dan menyimpulkan bahwa perubahan karakter dan perilaku Gage karena kerusakan pada bagian korteks prefrontal. Berdasarkan kasus Phineas Gage, dapat disimpulkan kerusakan otak mempengaruhi perubahan karakter dan perilaku individu.

Lesi pada otak tidak hanya terjadi karena kecelakaaan benda fisik. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan pencitraan otak dan neurosains, pengaruh-pengaruh pornografi dan Narkoba dapat mempengaruhi kondisi otak. Berkaitan dengan Narkoba, para peneliti menemukan bahwa penyalahgunaan Narkoba dan zat adiktif lainnya dapat menyebabkan kerusakan parah pada otak. Hasil pemindaian otak penyalahguna Narkoba dan alkohol (zat adikitif lainnya) menampilkan otak yang mengerikan. Otak mereka kurang aktif, lebih kisut, dan kurang sehat. Secara psikologis, sistem kognitif, afektif, dan perilaku yang nampak pada penyalahguna Narkoba adalah mudah lupa, impulsif, sulit fokus, gelisah, agresif, apatis, dan kehilangan minat terhadap masa depan (Amen, 2011).




Setidaknya ada empat bagian otak yang rusak akibat penyalahgunaan Narkoba dan zat aditif lainnya. Bagian-bagian otak tersebut, yaitu korteks prefrontal, lobus temporal, girus singulata dan sistem limbik, serta basal ganglia. Berikut penjelasannya:

Korteks prefrontal merupakan bagian dari otak depan (lobus frontalis). Terjadi penurunan aktivitas korteks prefrontal yang menyebabkan permasalahan psikologis pada penyalahguna Narkoba seperti sulit fokus, sulit mengendalikan impuls, kesulitan dalam melakukan organisasi dan perencanaan, kurang bisa memberikan penilaian dengan baik, serta kurang empati. 

Lobus temporal merupakan salah satu bagian korteks otak yang terletak dekat dengan telinga. Terjadi penurunan aktivitas pada lobus temporal yang menyebabkan seorang penyalahguna Narkoba menjadi berperilaku kasar bahkan dapat berujung pada perilaku kekerasan/ agresif, serta kesulitan dalam belajar. 

Girus singulata terletak antara korteks dengan sistem limbik. Terjadi peningkatan aktivitas pada girus singulata dan sistem limbik (khususnya amigdala) yang menyebabkan penyalahguna Narkoba memiliki pemikiran yang kaku dan sulit memilih alternatif lain. Selain itu emosi menjadi cenderung negatif dan moodiness

Basal ganglia terletak di bagian tengah otak. Terjadi peningkatan aktivitas pada basal ganglia yang menyebabkan perilaku menjadi addict—kecanduan, ketagihan, bahkan pada akhirnya ketergantungan (dependen) terhadap Narkoba.

Otak rusak, perilaku pun berubah. 

“Saya pakai Narkoba 14 tahun, apakah otak saya bisa kembali normal Bro?”, tanya seorang residen di Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika nasional (BNN) kepada penulis di sela-sela program komunitas craving & relapse prevention yang dibawakan penulis dan rekan penulis.

Pertanyaan bagus sekali. Dan pembahasannya ada pada artikel berikutnya di sini
Referensi:
Amen, D. G. (2011). Change your brain change your life. Bandung: Qanita.

Damasio, A. (1994). Descartes error: Emotion, reason, and the human brain. Avon Books:New York.

Sumber gambar:
http://www.drugrehabadvisor.com/drug-addiction/crystal-meth-addiction/brain-damage-permanent-meth-addiction/

Jumat, 09 Juni 2017

Cara Agar Aktivitas Multitasking Efektif dan Efisien


Oleh Duddy Fachrudin

“Lalu apakah kita masih tetap bisa mindful meskipun melakukan lebih dari satu aktivitas?” tanya seseorang yang sedang belajar mindfulness kepada penulis.

Berlatih mindfulness identik dengan melatih kesadaran dengan objek tunggal, seperti napas, suara-suara tertentu, atau keheningan. Namun sebenarnya latihan mindfulness tidak hanya terbatas pada hal itu. Seseorang dapat melatih kesadaran pada objek lebih dari satu atau dapat dinamakan kesadaran terbuka. 

Kita dapat melatih sensasi indera kita dari berbagai stimulus yang hadir, baik itu melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, pengecapan, dan penciuman. Kita mengamati, menyadari, merasakan sepenuhnya, serta menerima sensasi yang hadir dalam satu waktu. Sebagai contoh kita dapat duduk dengan nyaman di suatu tempat tertentu. Pada saat itu mata melihat objek tertentu, telinga mendengar suara-suara yang hadir di ruangan, kedua kaki merasakan sensasi bersentuhan dengan lantai atau tempat dimana kita duduk dan kulit di seluruh tubuh merasakan suhu di tempat itu, serta penciuman kita aktif merasakan bau yang masuk melalui hidung. 

Dengan latihan kesadaran terbuka memungkinkan kita untuk bisa lebih mindful saat melakukan lebih dari satu aktivitas pada waktu yang bersamaan. Tentu sebelum berlatih mindfulness kesadaran terbuka ini, kita dapat berlatih mindfulness dengan objek tunggal. Semakin mudah memberikan atensi secara penuh pada objek tunggal maka semakin mudah pula mengamati dan menyadari objek yang beragam.




Inspirasi yang bagus datang dari sebuah penelitian ciamik yang dilakukan David M. Levy dan beberapa koleganya yang berjudul The Effects of Mindfulness Meditation Training on Multitasking in a High-Stress Information. Penelitian ini memaparkan kelompok yang berlatih meditasi mindfulness lebih bisa meng-handle dengan konsentrasi yang lebih baik dan stres yang lebih rendah saat melakukan aktivitas multitasking yang dilakukan di lingkungan kantor seperti mengecek dan menjawab email serta pesan-pesan instan lainya, mengusulkan agenda rapat dan sebagainya sambil menerima telepon dibandingkan kelompok yang hanya mendapat intervensi relaksasi tubuh dan kelompok kontrol (tidak mendapat perlakuan).

Tertarik dapat efektif dan efisien dalam multitasking? Tentu melakukan aktivitas multitasking di tempat yang aman dan jauh dari resiko bahaya.

Referensi:
Levy, D. M., Wobbrock, J. O., Kaszniak, A. W., & Ostergen, M. (2012). The effects of mindfulness meditation training on multitasking in a high stress information environtment. Graphic Interface

Sumber gambar:
http://yourhub.denverpost.com/blog/2016/03/the-neuroscience-behind-multitasking-and-mindfulness/142034/

Selasa, 06 Juni 2017

Inilah Mengapa Mindful Driving Sangat Penting


Oleh Duddy Fachrudin

Dengan adanya alat-alat teknologi yang canggih di jaman digital memungkinkan orang untuk multitasking. Kita bisa mengerjakan tugas atau pekerjaan di laptop sambil mendengarkan musik favorit ditambah ngemil keripik kentang. Bahkan sesekali menelepon atau menerima telepon dari klien atau atasan kita. Contoh lainnya yang ditemui penulis ketika mengajar mindfulness, yaitu seorang peserta bercerita bahwa ia mandi sambil streaming video di Youtube.

Pada era informasi digital, multitasking menjadi sebuah kebutuhan bahkkan life style (gaya hidup), khususnya bagi kalangan usia produktif. Banyak manfaat dari multitasking seperti mengatasi kebosanan dan agar berbagai pekerjaan dapat selesai dalam satu waktu dan secepat mungkin. Namun sayangnya kadang aktivitas multitasking menjadi tidak produktif dan malah membuat stres jika tidak dikelola dengan baik. Selain itu multitasking dapat membahayakan keselamatan individu itu sendiri, terutama jika dilakukan saat mengendarai kendaraan.

Tidak jarang kita menjumpai orang mengendarai kendaraan sambil berinteraksi dengan orang lain melalui smartphone, atau sambil makan sepotong burger dan mendengarkan musik. Di jalan pun masih terlihat para pengendara motor yang mengobrol dengan rekannya sesama pengendara motor. Atau pengendara motor yang merekam video perjalanan melalui teman yang duduk dibelakangnya. Hal ini bukan hanya membahayakan keselamatan diri mereka tapi juga orang lain.

Karena terdapat lebih dari satu aktivitas yang dilakukan, maka atensi (perhatian) pun terbagi. Perhatian tidak sepenuhnya pada aktivitas mengendarai kendaraan, tapi terpecah pada aktivitas makan, menelepon, mendengarkan musik, dan sebagainya. Hal ini tidak hanya berlaku saat mengendarai kendaraan bermotor, tapi juga bersepeda.




Maka, memberikan perhatian secara penuh saat berada di belakang setir (mindful driving) menjadi kewajiban bagi kita. Mindful driving berarti fokus dan menyadari sepenuhnya pada aktivitas menyetir dan meminimalisasi melakukan aktivitas lain saat mengendarai kendaraan. Ini juga termasuk tidak menggunakan alkohol atau obat-obatan terlarang yang dapat memberikan pengaruh pada tingkat kesadaran seseorang.

Mindful driving tidak hanya meminimalisir terjadinya kecelakaan, tapi seseorang dapat mengembangkan rasa tenang dan nyaman saat berkendara.

***

Ditulis sebagai hikmah yang dapat dipetik dari meninggalnya Nicky Hayden, Sang Juara Dunia MotoGP 2006.

Sumber gambar:
https://blogs.psychcentral.com/mindful-mastery/2015/10/your-mind-body-vehicle-a-holistic-view-of-resilience/