Tampilkan postingan dengan label Compassion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Compassion. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 April 2022

Sikap Mindfulness: Mencintai Tanpa Menghakimi


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Sabda Kanjeng Nabi: irhamu man fil ardl, yarhamkum man fis samaa. Sungguh dalam artinya. Bernas diksinya. Mengena sekali pesannya. 

Cintailah (Sayangilah) mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu...

Hadist ini sejalan dengan dalil wa ma arsalnaka ila rahmatan lil alamin, bahwa pada hakikatnya kehadiran manusia ditujukan sebagai "agen" rahmat bagi segenap semesta sekalian alam. 

Kontribusi manfaatnya tidak semata hanya dapat dirasa di lingkungan terbatas, melainkan juga bersifat luas dan mampu melintas ruang yang semula kita anggap takkan mungkin teretas.

Lapis-lapis batas pengamatan memberikan perspektif baru tentang adanya cakrawala di balik setiap cakrawala. Mega kluster Laniakea adalah wadah bagai super kluster Virgo yang bahkan hari ini baru bisa kita cermati sampai The OPIK, awan materi batas Bima Sakti.

Dan di tengah itu semua bergaung sejuta tanda tanya tentang makna mencinta. Tentang siapakah gerangan hamba? Lalu apa yang menjadi keniscayaan yang sesungguhnya?

Wujil dalam Suluk Wujil Sunan Bonang bertanya pada Sunan Wahdat,

Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.

"Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini."

Jika mengacu pada suluk tersebut, menyembah itu harus tahu siapa yang disembah bukan? Harus sadar sepenuhnya tentang peran dan kehadiran. Tentang esensi dan jati diri.

Demikian sekelumit nilai yang dapat dipetik dari penggalan suluk Wujil karya putra Bong Swi Hoo dan cucu Maulana Maliq Ibrahim As Samarqandi.

Pertanyaan yang muncul dalam suluk itu sangat fundamental dan cenderung retorik. Dimana jawabannya harus dicari jauh ke dalam diri sendiri.

Sebagaimana perjalanan Werkudara ke dalam samudera makna sebagaimana dikisahkan dalam Dewa Ruci. Kisah yang berupaya menggambarkan konsep manunggaling kawula Gusti dengan cara membangun dialog antara entitas (Werkudara) dengan representasi consciousness-nya, Dewa Ruci. Tentu dialog yang terjadi sebenarnya adalah dialog retoris yang berkutat tentang proses pencarian jati diri.

Kisah Dewa Ruci ini sebenarnya adalah kisah adaptif yang tidak dapat ditemukan di naskah asli Mahabaratha yang ditulis Vyasa Krisna Dwipayana di India pada sekitar 400 SM.

Sementara Kisah Dewa Ruci yang menjadi bagian dari script para dalang Jawa merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).

Kembali pada Suluk Wujil Sunan Bonang, peran dan esensi personal tercermin dari kegelisahan Wujil untuk segera mendapat ilmu makrifat karena sudah jenuh belajar syariat.

Padahal proses menuju makrifat itu perlu melalui penyucian jiwa atau nafs, lalu pemurnian qalbu, diikuti pengosongan pikiran dan ruh dari selain Allah. 

Istilah lain untuk metoda ini adalah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengelola hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia. Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah.

Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu (Ahad), sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati.

Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. (Hadi Susanto, 2018).

Maka Wujil pun berkisah pada gurunya tentang "kenekatan"nya mencari makna hidup, karena sudah tidak sabar terus disuruh mengaji "Alif".

Ya marma lunga ngikis ing wengi // angulati sarahsyaning tunggal // sampurnaning lampah kabeh // sing pandhita sun dunung // angulati sarining urip // wekasing Jati Wenang // wekasing lor kidul // suruping raditya wulan // reming neta kalawan suruping pati // wekasing ana-ora.


"Karena Sesungguhnya, pada suatu malam hamba pergi diam-diam untuk mencari rahasia daripada kesatuan, mencari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakekat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada dan yang tiada."


Demikian Wujil menyampaikan pada gurunya, Sunan Wahdat. Meski pada hakikatnya Wujil pasti sadar sepenuhnya jika manusia itu sesuai dalil adalah wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun.

Tugasnya adalah beribadah. Ibadah seperti apa? Ibadah yang kaffah yang melibatkan segenap potensi manusia dan jin yang telah dianugerahkan sebagai amanah.

Maka ikhlas menerima, melepas, atau ngekepi juga bagian dari ibadah, asal kita menjalaninya dengan tanpa menghakimi atau membutuhkan alasan yang kadang justru tidak diperlukan.

Sumber gambar:

Senin, 14 Maret 2022

Mindful Couple: Tulus Berpisah dengan Penuh Cinta ala Lagu-Lagu Tulus



Oleh Nita Fahri Fitria 

Di tengah cuaca Praha yang dingin, dengan wajah yang nyaris membeku, Tulus menggambarkan sepi dan dinginnya kondisi perpisahan sepasang insan yang dulunya saling mencinta. 

Ini adalah lagu ballad pertamanya yang berhasil menghipnotis puluhan juta pasang telinga pada 2016 lalu. Uniknya, lirik lagu “Pamit” milik Tulus ini terangkai dengan makna implisit: kesadaran penuh soal kondisi yang ada dan kesediaan untuk melepas demi kebaikan bersama.

Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam
Saat ku menanti fajar

Sudah coba berbagai cara
Agar kita tetap bersama
Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut kuhilang

Dua bait lirik di atas menggambarkan pengamatan yang objektif terhadap tokoh “aku” dalam lagu dengan pasangannya. Tubuhnya saling bersandar, tapi arah pandangnya sudah berbeda, dan kita menginginkan hal yang tak lagi sama. Bersama, tapi sudah tak lagi saling terhubung, sudah berusaha, tapi ternyata tak membuahkan hasil. Pilihan kata yang diambil menggambarkan kedewasaan seseorang yang mengambil keputusan setelah melewati proses pengamatan dan proses usaha untuk memperbaiki keadaan.

Perdebatan apapun menuju kata pisah
Jangan paksakan genggamanmu

Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu

Jangan paksakan genggamanmu, sebuah pinta demi kebaikan si cinta agar tak memaksakan sesuatu yang memang tak lagi bisa menyatu. Izinkan aku pergi, kutetap teman baikmu, cara pamit yang dewasa dengan sebuah penekanan: perpisahan ini tak akan membuatku membencimu. Sebuah jaminan agar perpisahan ini tak menyisakan masalah berkepanjangan.

Maret 2022, Tulus kembali menyajikan lagu perpisahan dengan irama yang lebih manis dan santai. Kali ini liriknya tak kalah mindful dan penuh kebijaksanaan. Judulnya “Hati-Hati di Jalan”, jadi biar berpisah tetap mendo’akan yang baik-baik. Do’a baik untuk dia yang mengarah pada tuju yang berbeda, karena “aku” dalam lagu ini sadar penuh bahwa hidup mereka harus terus berjalan.

Kau melanjutkan perjalananmu
Ku melanjutkan perjalananku


Tidak hanya soal hati-hati di jalan. Meski temanya perpisahan, tapi lagu ini punya sisi optimisme yang terselip apik pada lirik,

Semoga rindu ini menghilang
Konon katanya waktu sembuhkan


Si “aku” di sini begitu memahami perasaannya yang merindu kasih sayang yang membekas, tapi di saat yang bersamaan juga optimis bahwa ada jalan keluar usai lorong panjang yang gelap akibat pijar yang tlah redam. Inilah lagu patah hati yang mengajarkan resiliensi.

Tulus mengajarkan kita bahwa manusia sejatinya punya sumber daya untuk tetap berdiri tegak dan tak putus harap meski dalam kondisi berduka. 

Bahwa keterampilan mengamati situasi, melihat segala sesuatu sesuai apa adanya ia, bukan sesuai dengan penilaian yang kita mau, sangat bisa membuat manusia pada akhirnya menimbang dengan jernih dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Sadar akan ada luka, tapi juga sadar bahwa setiap luka ada penawarnya. 

Memahami ini sebagai situasi yang tak mudah dan menyakitkan, tapi juga sadar bahwa tak ada alasan untuk menyalahkan apalagi membenci. Itulah mengapa, meski sakit, tapi tetap mendo’akan yang terbaik.

Dan Tulus telah mengajarkan perpisahan yang tulus dengan penuh cinta kasih.

Sumber gambar:

Senin, 30 Agustus 2021

Hidup Seimbang ala dr. Song Hwa


Oleh Nita Fahri Fitria 

Memasuki episode kesepuluh pada musim keduanya, Serial Korea Hospital Playlist masih saja menjadi kesayangan banyak orang. Drama ini disebut sebagai drama yang punya efek “healing” bagi penonton akibat jalan cerita yang menyentuh. Menyoroti kehidupan lima orang dokter spesialis yang bersahabat sejak lama, Hospital Playlist juga banyak menggambarkan nilai-nilai kehidupan dari kisah para pasien dan tentu saja para tenaga medis di sekitar lima tokoh utamanya.


Chae Song-hwa adalah pemeran utama wanita yang merupakan seorang dokter spesialis bedah syaraf. Karakternya yang cerdas, baik, dan suka menolong, membuat Chae Song-hwa dikagumi banyak orang. Uniknya, meski memiliki pekerjan segudang tapi Song-hwa selalu Nampak ceria dan Bahagia. Dia benar-benar tahu bagaimana cara menjalani hidup yang bahagia…

Jika kita amati lebih detail, Chae Song-hwa punya beberapa kebiasaan yang membantunya untuk tetap seimbang. Apa saja itu?

Pertama, Chae Song-hwa adalah individu yang objektif. Mungkin sifat ini terbentuk karena ia adalah seorang dokter berpengalaman yang juga senang belajar. Seorang dokter memang terlatih untuk menilai sesuatu secara objektif karena perlu mengambil keputusan penting terkait kondisi pasien. Chae Song-hwa menunjukkan objektivitas itu dengan sangat baik. Ia adalah senior yang baik dan senang membantu juniornya, tapi di sisi lain ia juga akan dengan tegas menegur dan menyampaikan kesalahan apa yang dilakukan oleh juniornya dengan akurat. Inilah yang membuatnya dihormati oleh banyak orang.

Kedua, Chae Song-hwa punya kesadaran yang baik akan kebutuhan dirinya. Meski terkesan nggak enakan saat ada yang meminta bantuannya, tapi Song-hwa sejatinya memahami batasan untuk menjaga dirinya tetap seimbang. Di season pertama, Chae Song-hwa mengalami masalah kesehatan yang cukup serius akibat beban kerja yang berat. Ia kemudian mengajukan pindah tugas ke cabang rumah sakit di daerah yang tingkat kesibukannya lebih ringan. Chae Song-hwa mengatakan, “Aku sakit dan aku butuh istirahat.”. Hal ini juga ia lakukan saat tengah kalut setelah mengetahui bahwa ibunya sakit keras, Song-Hwa dengan tegas membatalkan semua janji temu dan memberikan jeda untuk dirinya sendiri agar ia bisa benar-benar mengalirkan kegalauannya akibat kondisi sang ibu.

Ketiga, Chae Song-hwa punya hobi tidak melakukan apapun dan menikmati waktu mengalir begitu saja. Chae Song-hwa punya hobi berkemah sendirian. Setelah mendirikan tenda dan menyeduh secangkir kopi, ia akan duduk dengan nyaman sambil menikmati suasana area perkemahan yang ia datangi. Selain itu, Chae Song-hwa juga punya hobi duduk diam sembari menikmati rintik hujan dari balik jendela. Ia benar-benar hanya duduk diam dengan mata berbinar memandangi air yang turun dari langit.

Memiliki pandangan yang objektif membuat kita lebih mudah menata pikiran agar tidak ruwet akibat mudahnya menilai sesuatu. Kita akan terlatih untuk melihat dari sudut pandang yang luas sehingga tidak perlu terjebak dalam situasi overthinking yang melelahkan. Punya batasan dan kesadaran akan apa yang diperlukan oleh diri sendiri juga amat penting agar kita tahu kapan harus berhenti sejenak untuk memberi ruang napas pada diri. 

Dan salah satu cara terbaik memberi ruang napas pada diri adalah dengan tidak melakukan apa-apa, tetapi hadir seutuhnya menjalin keterhubungan dengan diri sendiri untuk mengisi ulang energi yang kita butuhkan untuk melanjutkan hidup.

Sumber gambar:

Minggu, 14 Maret 2021

Mindful Parenting: Ketika Mencintai Bukan Lagi Sekedar Alat untuk Dicintai




Oleh Tauhid Nur Azhar 

V: 

Halo Pak Tauhid, apa kabarnya? Semoga baik dan sehat selalu ya pak.

Kalo berkenan saya mau menanyakan kelanjutan pertanyaan saya mengenai arti “cinta” menurut science setahun yang lalu pak.

Jadi kesimpulannya kalau kita bicara sains, cinta antara manusia itu semuanya selalu transaksional ya pak? Bagaimana dengan rasa cinta orangtua dengan anaknya yang rela berkorban nyawa?

Apa benar artinya jika semakin seorang manusia mengerti banyak berbagai ilmu pengetahuan mengenai bagaimana sistem kehidupan ini bekerja, berpikir logis rasional dan disertai rasa syukur penuh dalam menjalani hidupnya yang sesaat karena cukup memahami esensi dari hidup, ketika orang tersebut mencapai kemerdekaan secara bathin, maka orang tersebut lebih “mampu” mengasihi tanpa bersifat transaksional?

Yang artinya ketika manusia sudah mencapai kesadaran tingkat tinggi dalam hidupnya lebih mampu mengasihi manusia lain secara non transaksional karena kondisi bathinnya yang sudah cukup “penuh”.

Seperti cerminan Tuhan sebagai entitas yang membentuk ‘segalanya’ dan merupakan sumber ‘tak terbatas’ dari segala hal itu menjadikannya sebagai entitas kasih yang tak terbatas juga. Yang mana dibutuhkan entitas entitas lain yang masih berkekurangan, entah itu energi maupun informasi.

Maaf kalau bahasa saya agak dangkal, mengingat background saya yang non akademis, semoga Pak Tauhid bisa memahami maksud saya hehe.

Dan saya terbuka pak dengan penjelasan sains diluar peran agama supaya pikiran saya bisa lebih terbuka.

Mohon pencerahannya ya Pak.

Karena saya khawatir kalau menyampaikan sesuatu tanpa dasar dan salah pada banyak orang malah jadi batu sandungan.

Terima kasih sebelumnya ya pak Tauhid jika berkenan meluangkan waktu.

T: 

Siap. Alhamdulillah. Senang sekali bisa menyambung diskusi ini. Cinta yang selama ini kerap dibahas memang secara konotatif maupun denotatif kerap dikaitkan dengan kepemilikan dan berlakunya hak istimewa dalam relasi yang seolah disepakati. Di tataran ini tentu sifat transaksional tak terhindari dan menjadi sebuah keniscayaan yang senantiasa membayangi. Tetapi konsep cinta ini juga sebagaimana semua definisi dan persepsi di semesta, ia dinamis dan bertumbuh. 

Cinta transaksional itu berada di level dimana kita justru tengah mengarungi konsep mencintai secara solipsitik, mencintai diri sendiri yang memang merupakan fitrah kita juga untuk larut dalam egosentrisme. 

Kita cenderung mencintai dengan bermotif protektif dan reflektif. Apa yabg kita cintai adalah subjek ataupun objek yang memproyeksikan dan merefleksikan pemenuhan kebutuhan dan keinginan preferentif kita (sesuai kecenderungan dan selera yang dibangun dari proses belajar melalui pemaknaan terhadap pengalaman). 

Kita butuh hiburan yang dapat dipenuhi melalui pemahaman terhadap konsep dan nilai estetika, maka kita memburu kecantikan dan kerupawanan sebagai proyeksi objektifnya. Maka kita mengembangkan preferensi dan selera untuk menyukai berbagai kriteria subjektif pada objek tertentu sebagai sebentuk indikator bahwa cinta itu bersyarat dan memerlukan prasyarat. Ada ketentuan yang berlaku. Ini masih dalam domain transaksional, yang anehnya meski terkesan dangkal tapi esensial dan justru sangat fundamental, alias memang diperlukan dan dibutuhkam sebagai penunjang kehidupan. 

Maka manusia di otaknya dikaruniai memori primordial tentang warna, bau/aroma, bentuk tertentu yang terasosiasi dengan makanan, misalnya, adalah cara atau alat survival yang memang dikaruniakan untuk mengakomodir kebutuhan terhadap pemenuhan hajat hidup tersebut. Dalam salah sebuah riset terkait kompatibilitas genomik dan imunitas, ternyata orang cenderung memilih pasangan yang memiliki karakter imunitas saling bertolak belakang, agar dapat memiliki library gen imun yang lebih kompleks sebagai warisan kepada generasi penerusnya.

Artinya ketika kita mencintai sesuatu dengan berbagai term and condition yang diberlakukan, itu adalah kewajaran karena merupakan bagian dari kebutuhan primordial terkait dengan respon defensif untuk mempertahankan kehidupan. Yang tentu juga merupakan ekspresi lain dari mensyukuri nikmat hidup.

Dalam konteks cinta yang bertumbuh akan muncul suatu proses pengayaan yang diawali dengan bertambahnya pengetahuan akan esensi dari eksistensi. Kita akan selalu bertanya tentang hakikat keberadaan dan kehadiran dan mulai mampu mengidentifikasi beberapa faktor yang menghadirkan kelelahan dan keresahan yang mendistorsi hidup melalui gelombang kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran. 

Lalu kita pun mulai menyadari bahwa respon agresi dan tindakan-tindakan preemptive yang dilakukan dengan alasan prevensi itu bersifat menyerang dan mendahului (kompetisi) seperti tergambar dalam idiom si vis pacem parabelum

Tapi justru dalam lautan distorsi itu cinta terpurifikasi. Seolah berbagai dinamika interaksi itu adalah sebuah rektor purgatory yang memberikan efek sentrifugal sehingga kita terpental ke alam Paradiso (Dante Alegori). Kita jadi memiliki referensi tentang kesementaraan dan relativitas, lalu mulai mencari kesejatian. 

Jadi semua itu proses, seperti tergambar dalam tingginya kadar hormon oksitosin di kelompok rubah Lyudmilla yg terepresentasi dalam sebentuk kuatnya ikatan kekeluargaan di antara rubah tersebut. Tetapi sebagai konsekuensinya, kehadiran kadar oksitosin yang tinggi itu juga mendorong munculnya sifat xenofobia di keluarga itu. Takut dan curiga berlebih pada sesamanya yang bersifat asing. Sesama dapat diartikan memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama, dan karena asing adalah kata lain bukan bagian dari kita, maka tentu ini akan mendatangkan potensi membahayakan bukan? 

Maka politik identitas secara psikologi massal juga dapat mengarah ke sana, menimbulkan ketakutan dan kebencian pada sesama yang dianggap dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan dan kepentingan.

Di sisi lain saat hubungan telah mampu melampaui motif egosentrisme dalam pemenuhan kebutuhan, maka akan lahir altruisme yang berdasar pada komponen empati sebagai bagian dari esensi eksistensi. Ketulusan dan keikhlasan yang dilambari kesabaran adalah tingkatan kesadaran di mana nalar telah mulai tercerahkan dalam memetakan tujuan. 

Kesementaraan dan kepentingan telah mampu ditempatkan secara proporsional agar dapat menjadi energi penggerak aktualisasi diri yang ditandai dengan kebermanfaatan dan kebermaknaan. Pada akhirnya hidup ini kan bermakna jika bermanfaat, dan itu diberi batasan "kalau sempat". Dan dalam kesementaraan itulah konsepsi cinta transaksional akan kandas karena semua dalam relativitas akan berbatas.

Dan kita tidak bisa meretas apalagi mengubah kepastian yang telah digariskan secara tegas. Maka kita akan mulai merasakan bahwa cinta dalam konteks melepas, berbagi, dan memberi justru membuat ruang luas yang membuat kita sulit kalah oleh lelah. Sulit marah karena salah. Sulit menyerah karena masalah.

Pandemi membuat sebagian dari kita rela mengorbankan rasa cintanya terhadap kebebasan berkumpul, bernafas tanpa masker, dan tak perlu mencuci tangan karena mereka termasuk kelompok beresiko rendah atau bahkan mungkin kelompok yang telah mendapat vaksin. Mereka mulai memikirkan esensi dari eksistensinya dan konsekuensi dari setiap pilihannya terhadap suatu konstelasi yang tak terkurung entitas personal individual. 

Di titik inilah mulai muncul kesadaran bahwa makna keberadaan kita hanya bisa "dibaca" melalui proyeksi yang terpantul dari subjek dan objek yang menerima pancaran "gelombang" kita. Kita adalah sekumpulan persepsi reflektif dari mitra interaksi kita. Di sanalah kita bercermin dan melihat bayang diri kita yang sesungguhnya.

Maka kita akan memulai "siaran" melalui gelombang aktivitas kita dengan harapan akan mendapatkan pantulan terbaik yang dapat melegitimasi niat yang telah dieksekusi. 

Kok masih terdengar seperti sebuah transaksi? 

Karena memang kita hidup dalam alam yang terbentuk dari proses interaksi. Tapi jangan khawatir, transaksi nirlaba akan membawa kita terbebas dari tekanan yang melahirkan kecemasan dan kekhawatiran. 

Di level inilah nalar sadar sesuai kadar akan menjadikan makna hidup berakar. Dan cinta serta proses mencintai sudah lagi tak peduli akan imbal balik ataupun apresiasi. Mencintai bukan lagi sekedar alat untuk dicintai, melainkan semata untuk mensyukuri eksistensi diri ❤️ 

Sumber gambar:

Kamis, 16 Januari 2020

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Dan dendam melahirkan kecemasan kronis. Kata "kronis" tersebut sejatinya diambil dari nama Kronos. 

Sakit hati yang berkronologis. Kronos yang menikahi Rea dihantui kecemasan bahwa keturunannya juga akan mengkhianati dirinya. Ia memakan semua anaknya, kecuali Zeus yang disembunyikan Rea dan ditukar batu. 

Maka hanya batu dan Zeus yang tak lekang oleh siklus dendam berkesinambungan. 

Lalu mengapa manusia terlahir dengan luka yang siap untuk menganga karena pusaran dosa? 

Bukankah kita suci dan terlahir dalam kondisi nan fitri, tapi mengapa kita begitu terpesona pada daya tarik yang kekuatannya akan membuka kembali luka lewat jalan duka. 

Kehilangan karena mencari yang telah dimiliki. Kelelahan karena mengejar pada yang berlari sejengkal saja di belakang kita: masalah. 

Sebenarnya apapun itu nama sandingannya secara metonimia, masalah adalah masalah. Ia selalu akan membersamai kita saat ini dan sesaat kemudian segera bermetamorfosa menjadi masa lalu, bukan?

Maka masalah yang tersisa pastilah sejengkal di belakang, dan ia akan terus ikut berlari selama kita terus berlari. 

Bahkan maslah takkan pernah menjauh sedikitpun, kecuali kita berhenti dan berbalik untuk menghadapi. 

Sayangnya bagi sebagian besar dari kita, konsep itu masih terus betah menjadi sekedar wacana yang terangkum dalam kalimat inspiratif nan kontemplatif dari para "coach" kehidupan. 

Sejujurnya sayapun masuk kategori kelompok pelari, yang sesekali mencoba berani untuk berhenti, belajar menghadapi, dan... pada akhirnya memilih untuk melanjutkan balap lari dengan masalah yang kalau demikian tentu tidak akan pernah kalah, meski juga tak punya peluang untuk menang. 

Kondisi semacam ini tak perlu terlalu berimajinasi tinggi untuk mengetahui hasil akhirnya. Sudah jelas kita akan terkapar kelelahan dan ditimbuni masalah yang telah menyertai kita di sepanjang "pelarian"...


Sumber gambar:

ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Sejarah peradaban manusia terlahir dari luka. Tentang khianat pada realita. Tentang ketakutan Kronos akan arti niscaya hingga ia ingin menciptakan keadaan nirkala.

Timeless... tanpa waktu. 

Dan Kronos pun rela memakan semua anaknya dari Rea karena tersandera dalam kutukan masa lalu. 

Masa lalu yang tak terbunuh oleh waktu. Malah masa lalu itu bertumbuh seiring dengan semesta yang menua. Semesta dan sejarah dari segalanya. 

Dalam karyanya Theogonia. Asal usul segala sesuatu diceritakan oleh Hesiodos. 

Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan misterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (Dewi Bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut Bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). 

Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit Atas) dan Hemera (Siang). Tanpa pasangan pria (partenogenesis), Gaia melahirkan Uranus (Dewa Langit) dan Pontos (Dewa Laut). 

Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dan Tethis. 

Karena satu dan lain hal Gaia berselisih pandang dengan Uranus yang mengisolasi anak-anak mereka yang buruk rupa (Cyclops, raksasa bermata satu). Gaia murka dan meminta Kronos menyiksa ayahnya yang "kabur" dari kenyataan dan tak ingin terperangkap oleh keadaan. Karena Uranus dianggap Kronos--anaknya sendiri, sebagai pengecut, maka Kronos memotong penis Uranus. 

Maka setiap kisah mitos pastilah mencemari Daidalos... beratnya menanggung derita dunia yang menua dengan begitu banyak noda nista dan begitu banyak semburan ludah berbisa dari kata-kata beracun yang mematikan.

Sumber gambar:

Minggu, 08 Desember 2019

Self-Compassion: Aku Bahagia Menjadi Wanita


Oleh Nita Fahri Fitria

Aku bahagia menjadi wanita yang otentik. Maka aku sangat yakin bahwa wanita lain juga bahagia dengan keotentikannya. 

Aku memahami bahwa dia, mereka, dan aku diciptakan sebagai sesama wanita yang ukuran sepatu, baju, warna kesukaan, dan hal-hal lain yang sangat beragam. 

Dunia ini menjadi indah karena di setiap tempat kita akan menemukan definisi cantik yang khas.

Aku bahagia menjadi wanita yang memahami bahwa Allah Swt. punya cara untuk menjadikan orang lain mendapat predikat hebat dengan cara yang tidak sama denganku. 

Banyak sekali kisah perjuangan wanita-wanita hebat yang mungkin alur ceritanya sulit aku mengerti, tapi aku yakin itu menjadikan mereka mulia di hadapan Allah Swt. 

Aku bahagia menjadi wanita yang menyadari bahwa anak dari setiap wanita memiliki garis takdirnya sendiri. Mereka bertumbuh dalam proses yang kompleks dan memiliki ritme perkembangan yang sangat personal. 

Aku bahagia menyaksikan betapa anak-anak dari para wanita di seluruh dunia ini menambah rona indah di bumi yang kupijak.

Aku bahagia menjadi wanita karena aku dapat menyerap banyak sekali inspirasi dari variasi pilihan yang diambil oleh setiap wanita di dunia ini. Mereka memiliki mekanisme berpikir yang berdasar pada pengalaman dan pengetahuan yang tentu saja sangat sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Aku bahagia menjadi wanita dan aku yakin setiap wanita di dunia ini bahagia menjadi wanita yang versi mereka.

Dan untuk menjadi wanita yang bahagia nan menawan aku hanya perlu mencintai diriku dan membagikan cinta yang kumiliki untuk seluruh wanita di dunia ini. 

Sumber gambar:

Senin, 14 Oktober 2019

Nan Nappeun Saram Anya...


Oleh Nita Fahri Fitria

Lagi-lagi kasus bunuh diri pada salah satu ikon visual terbaik di industri hiburan Korea. Yang dipuja puji kecantikannya, tapi entah kenapa banyak juga yang menghujaninya dengan ujaran kebencian selama bertahun-tahun.

"Nan nappeun saram anya..." ujarnya suatu ketika, yang berarti "Saya bukan orang jahat".

Pada awalnya sang idol berusaha melawan segala komentar buruk dengan menampilkan sosok yang ceria sekaligus cuek. Tapi kemarin, ia ditemukan tak bernyawa di rumahnya sendiri.

Belakangan kita juga dihebohkan dengan film yang menunjukkan bagaimana transformasi seseorang yang pekerjaannya menghibur tapi justru menjalani kehidupan yang gelap dan berakhir menjadi seorang kriminal.

Bukannya membenarkan kedua perilaku tersebut, tapi ini sekali lagi menjadi peringatan bagi kita, bahwa kita adalah bagian dari sistem masyarakat yang memiliki potensi "memproduksi" berbagai jenis manusia

Ya, selain dari proses yang sangat individual seperti internalisasi nilai agama, ilmu pengetahuan, dan sebagainya, pengaruh dari lingkungan masyarakat juga merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam proses pembentukan karakter serta pilihan-pilihan sikap seseorang.

Ini adalah soal bagaimana kita berkasih sayang kepada sesama manusia. Soal menaati anjuran Nabi, "Berkata baik atau diam", soal menaati perintah Allah, "Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu..." (QS. Al-Qasas : 77).

Membentuk masyarakat yang berkasih sayang, yang saling menjaga lisan dan perbuatan agar tidak menyakiti orang lain adalah bagian dari tugas kita sebagai manusia di muka bumi. 

Karena dengan berkasih sayang kita akan membantu banyak orang untuk bangkit dari keterpurukannya, termasuk mencegah seseorang dari keinginan mengakhiri hidupnya.

Tidak perlu menyalahkan iman orang lain yang lemah dan begitu mudah diterpa keterpurukan secara mental. Kita lah yang bertugas menjalankan tugas sebagai orang yang beriman, yang taat kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah untuk menjadi insan yang berkasih sayang.

Sumber gambar:

Selasa, 08 Oktober 2019

Menjalani Koas dengan Mindful


Oleh Duddy Fachrudin

Syahdan, Rizki telah selesai menempuh 8 semester di Fakultas Kedokteran (FK) dengan nilai yang sangat memuaskan. Orangtua dan saudara-saudara tercintanya begitu bangga. Bahkan kucing dan ayam peliharaannya juga ikut senang ketika mengetahui majikannya akan menapaki langkah berikutnya untuk menjadi seorang dokter.

Koas. Fase yang begitu ditunggu sejak awal masuk FK kini benar-benar ada di hadapannya. Setiap hari, Rizki begitu merindukan tahap ini. Dalam tidurnya ia seringkali bermimpi sedang berinteraksi dengan pasien dan konsulen di Rumah Sakit.

Namun, saat asyik-asyik pulang ke Dermayu dan memberi butiran jagung untuk ayam kesayangannya, terbersit satu kebingungan yang menjadi kendalanya saat itu. Apa ya yang perlu jadi bekalku agar bisa sukses menjalani koas?

Dalam gelisahnya ia teringat dr. Ayat yang juga memiliki pesantren di pesisir Karangampel. Buya Ayat--begitu panggilannya, memiliki pemahaman ilmu yang luas sehingga banyak orang berdatangan untuk meminta nasihat kepadanya.

Tak terkecuali pemuda satu ini. Ia datang ke padepokan Buya Ayat sambil membawa ayam goreng kampung--yang rupanya adalah ayam kesayangannya. Tak lupa sambal bawang dan lalapan ia bawa untuk menambahkan kelezatan pada ayam goreng kampungnya.

Sesampainya di Karangampel, Rizki disambut baik oleh Buya Ayat yang kebetulan saat itu memang sedang tidak bekerja. Ia terlihat sedang leyeh-leyeh sambil sesekali mencorat coret sebuah kanvas. Rupanya Buya Ayat sedang menulis kaligrafi. Ia tuangkan hobinya di saat sore dimana senja menyapanya.

Bau sambal bawang dan ayam goreng membuatnya berhenti dari menggores tinta. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri mencari tanda hadirnya stimulus yang merangsang saraf olfaktoriusnya.

Rizki pun tiba dan disambut Buya Ayat dengan sukacita. Aha, ini dia rupanya sumber kebahagiaanku hari ini, ujar Buya polos.

Sambil makan ayam goreng kesayangan, Rizki menuturkan keluh kesahnya. Sambil memohon ia berkata, Buya, berikan aku nasihat, agar koas ini berjalan lancar...

Buya tak langsung menanggapi permintaan orang di depannya. Mulutnya masih penuh dengan ayam, sambal bawang, dan nasi. Setelah menegak air kelapa yang dipetik dari belakang rumahnya, Buya berkata:

Gini aja ya, sebenarnya tidak ada rumus kesuksesan. Cuma aku kasih tips aja menurutku. Ini boleh dilakukan boleh tidak...

Jalani koas dengan KOAS. Apa itu KOAS?

K: Kindness, kamu mengembangkan kebaikan kepada pasien, teman-teman, konsulen, dan siapapun yang kamu temui selama stase. Wis pokoe berbuat baik, hadirkan cinta dan kasih sayang.

O: Open Mind, kamu harus terbuka, jangan sok pinter. Jadilah seperti bayi yang penasaran saat ketemu objek baru. Matanya berbinar-binar dapat ilmu baru. Supaya open mind, kosongkan gelasmu, jadilah bodoh, supaya belajar terus.

A: Awareness, eling, sadar, menyadari posisimu sebagai calon dokter dengan segala tanggungjawabnya. Lalu menyadari pasien adalah seorang manusia yang perlu kita perlakukan sebagai manusia. Menyadari segala hal. Kesadaran ini kunci dari berfungsinya kecerdasan.

S: Sincerity, tulus, ikhlas dalam menjalani semuanya. Ga perlu apa untungnya saya kalau begini, apa ruginya saya kalau begitu. Koas ini satu tahap untuk dirimu menjadi dokter sejati. Sebuah fase latihan di kawah candradimuka agar kamu jadi dokter yang mengabdi pada kemanusiaan dengan ikhlas.

Rizki mendengarkan seksama pencerahan dari Buya Ayat. Wajahnya sumringah seakan memiliki makna akan kehidupan bernama koas yang sebentar lagi dijalaninya.

Tak terasa sajian ayam kesayangan Rizki yang ikhlas dijadikan ayam goreng sudah habis. Sore itu benar-benar indah, seindah hamparan mimpi yang biasa mampir dalam malam-malam Rizki.

Mimpi?

Rizki terbangun. Jam di hape-nya menunjukkan pukul 7 pagi.

Waduh, PBL blok 3.1 nih...

Langsung berkemas ia, cuci muka seadanya, lalu memakai sepatu. Keluar dari kosnya bertemu dengan Tito.

Ki, mau kemana?

Sambil terburu-buru Rizki menjawab Tito.

PBL cuy...

Tito terheran-heran, Lu PBL ga pake celana...?

Sumber gambar:

Kamis, 03 Oktober 2019

Mindful Leadership: Kualitas Pemimpin yang Mindful


Oleh Duddy Fachrudin

Hening, mengalir, mengamati, membaca tanda, di sini, saat ini.

Bendera itu berkibar.

Bukan bendera, melainkan angin yang bergerak.

Bukan bendera dan angin, sesungguhnya pikiran yang bergerak.

Setiap orang adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin perlu memimpin dirinya sendiri. Memimpin pikirannya. Dengan begitu memperbaiki dirinya.

Syahdan seorang pengembara bercerita, "Ketika aku masih muda, aku bersemangat.. aku berdoa kepada Tuhan agar memberiku kekuatan untuk mengubah dunia. Ketika sudah separuh baya, aku menyadari setengah dari hidupku sudah berlalu dan aku tak mengubah seorang pun. Maka aku berdoa untuk mengubah mereka yang dekat di sekitarku. Sekarang, aku sudah tua dan doaku lebih sederhana, memohon Tuhan memberikan kekuatan untuk mengubah diriku sendiri.

Lewat kesadaran, memperbaiki diri sendiri.

Pemimpin yang berkesadaran versi Rasmus Hougaard dicirikan 3 hal:

1. Mindfulness
Keterampilan dalam memberikan perhatian penuh terhadap apapun. Inilah kualitas awal yang membuat pemimpin berselancar dalam ombak (mengarungi kehidupan yang tidak pasti). Keputusannya matang dan bijaksana. Pikirannya tidak terperangkap dengan kepentingan tertentu.

2. Selflessness
Pemimpin bukan tentang dirinya, melainkan apa yang dipimpinnya. Mengutamakan orang lain, termasuk kebaikan lingkungan adalah prioritas utama. Leadership dalam konteks ini adalah friendship. Persahabatan yang terlepas dari keinginan untung rugi. Persahabatan yang jujur yang pada akhirnya mengembangkan rasa percaya (trust).

3. Compassionate
Menebarkan manfaat adalah esensi kehidupan. Pemimpin yang berkesadaran akan menghadirkan kenyamanan dan rasa tenang. Bukan karena dibentengi pasukan tentara, tapi karena adanya hati yang lembut yang memancarkan cahaya.

Semua kualitas ini muncul saat pemimpin secara berkesinambungan memperbaiki dan menjernihkan dirinya.

"Tuhan kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah, ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah, dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya."


Sumber gambar:

Senin, 23 September 2019

Mindful Couple: Kembali Ke Awal


Oleh Duddy Fachrudin

Alex dan Beno. Keduanya punya profesi yang super sibuk. Keduanya anak tunggal. Keduanya keras kepala. Keduanya dipertemukan, dan jatuh cinta.

Cinta saja rupanya tak cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Ego masing-masing yg ingin dituruti dan saling menghakimi memunculkan luapan freatik maupun konflik nan masif. Bertubi-tubi pertengkaran melelahkan fisik dan mental, yang pada akhirnya membuat keduanya terpental.

Hubungan interpersonal antara dua insan dalam sebuah ikatan adalah manajemen ketidakcocokan. Begitulah pesan alm. Sophan Sophian, cinta sejatinya Widyawati. Ketidakmampuan pengelolaan dan pengendalian sifat serta karakter individu hanya akan menimbulkan luka bagi pasangannya.

Selain itu, karena terdapat banyak perbedaan, maka setiap individu diminta belajar untuk saling mengenal... Yaa ayyuhan naasu inna khalaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'ubaw wa qabaa 'ila lita'aarafu, inna akramakum 'indallahi 'atqaakum, innallaaha 'aliimun khabir. (QS. 49: 13)

Maka memberi jeda saat konflik menerpa bertujuan untuk mengerti dan memahami. Berhenti adalah sebuah langkah untuk kembali ke awal, titik nol, dimana pikiran dan hati dapat menjadi jernih sehingga memungkinkan untuk hadirnya berbagai alternatif respon yang lebih positif dan bijaksana.

Seperti kata Glen Fredly, "...tak ingin daku, mengulangi cara yang sama tuk mengerti tentang kita..."

Maka strategi yang berbeda niscaya ada. Untuk itu perlu kiranya mengembangkan metacognitive awareness, sebuah istilah yang diciptakan Barnard & Teasdale di awal 90'an yang menggambarkan suatu keadaan pikiran yang berkesadaran dan memiliki perspektif yang luas.

Contoh yang paling nyata datang dari kisah One Piece: Stampede, dimana para bajak laut yang menjadi musuh angkatan laut justru berkoalisi dengan mengusung satu visi. Keduanya menyisihkan ego demi satu tujuan yang sama, yaitu mengalahkan Douglas Bullet, villain utama yang kekuatannya konon melampaui Rayleigh. Loh kok malah nyambungnya ke One Piece ya...

Lalu pertanyaannya: satu itu apa?

Sumber gambar:

Minggu, 22 September 2019

Mindful Parenting: Menjadi Ayah dan Ibu untuk Semua Anak (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Ayah dan bunda tentunya pernah membaca petikan ayat dalam Al-Qur’an bahwa semua anak terlahir suci?

Iya setiap anak terlahir dengan fitrah manusia yang selalu condong pada kebaikan. Kemudian anak-anak bertumbuh dan mengalami banyak hal sejak hari pertamanya di dunia. Ia mendapatkan asupan gizi, pengaruh lingkungan, pendidikan, serta berbagai contoh perilaku dari orang di sekitar yang tidak semuanya baik. 

Anak-anak belajar dan melakukan berbagai eksperimen sebagai bagian dari caranya untuk “hidup”. Menangis, merengek, memukul, mencubit, berteriak, dan sebagainya. Anak-anak juga pandai meniru apapun yang ia lihat dari berbagai sumber.

Jadi, saat ada anak yang memukul, berkata kasar, dan sebagainya, bisakah kita menyalahkan si anak sebagai unsur tunggal keburukan itu? Tentu saja tidak. Karena mereka masih perlu banyak waktu untuk belajar. 

Bahkan orang dewasa yang berbuat dosa pun, selalu Allah buka kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Apalagi anak-anak yang belum 100% berhasil menginstal nilai-nilai baik dalam kehidupan sehingga masih trial and error dalam menampilkan perilaku. 

Jadi, apakah adil jika kita menilai buruk seorang anak hanya karena satu kali pukulan yang ia lakukan pada anak kita? Ingat, mereka masih belajar, dan berhak diberi waktu serta teladan agar mengetahui sikap baik yang seharusnya ditampilkan.

Banyak kasus bullying yang setelah ditelusuri dengan teliti, kemudian akhirnya ditemukan bahwa pelaku bully juga adalah korban dari pengasuhan yang tidak tepat.

Mari menjadi orang tua yang berkesadaran (mindful) dan penuh kasih (compassionate) untuk semua anak. Mereka yang kita cap sebagai anak nakal, adalah anak-anak tidak berdosa yang tengah belajar bagaimana caranya untuk hidup. Kita punya kewajiban untuk menyelamatkan masa depan si “anak nakal” itu dengan memberinya kasih sayang.

Ijinkan anak-anak untuk berteman dan memberikan kasih sayang kepada siapa saja. Sembari kita kuatkan fondasi akhlaqnya agar tidak mudah terpengaruh hal-hal negatif. Jangan sampai kita berusaha melindungi anak kita, tapi di waktu yang bersamaan kita malah membunuh karakter anak lain.

Rasulullah Saw. telah memberikan contoh yang sangat nyata bagiamana memberi kasih sayang bahkan kepada seorang nenek tua yang setiap hari mengungkapkan kebenciannya pada Baginda Rasul. 

Berkasih sayang adalah akhlaq utama seorang muslim. Dan kasih sayang adalah energi yang dahsyat yang dapat kita berikan pada seluruh anak Indonesia.

Tidak ada anak yang nakal, mereka hanya sedang belajar bagaimana mengekspresikan diri. Mereka sedang belajar untuk hidup. 

Jika yang mereka lakukan salah, maka tugas kita membenarkannya. Jika mereka terjebak dalam gelap, tugas kita memberinya terang.

Sumber gambar:

Jumat, 22 Februari 2019

Melatih Compassion dengan Menjadi Relawan


Oleh Duddy Fachrudin

Kata "volunteer" mulai terdengar sejak tahun 1755 dikalangan militer. Menjadi tentara secara sukarela saat itu mendapatkan bayaran, bahkan regular.

Seiring berjalannya waktu, kegiatan sukarelawan berkembang luas di berbagai bidang. Makna di dalamnya pun lebih dalam karena para sukarelawan tidak mengharapkan imbalan berupa materi. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka, yaitu suka dan rela dalam mengikuti kegiatan yang bersifat sosial.

Lalu apa yang menjadi tujuan dari para relawan saat mengikuti kegiatan bersifat altruistik?

Saya sendiri pernah melakukan penelitian secara kualitatif mengenai hal ini, dan hasilnya sangat menarik. Para relawan memiliki niat dan tujuan untuk mendapatkan pengalaman, mengekspresikan kasih sayang (compassion), mendapatkan persetujuan sosial, mengembangkan karir, dan mengalihkan perhatian dari masalahnya.

Niat bersifat transformatif, artinya bisa berubah seiring berjalannya waktu. Dalam film Patch Adams, digambar seorang Hunter Adams awalnya menolong orang lain dapat mengalihkan perhatiannya dari masalah pribadi yang membelenggu. Kemudian perilaku tersebut terus diulang-ulang dan menjadi kebiasaan hingga akhirnya berujung pada pembentukan sifat dan karakter altruis penuh cinta kasih (compassion).

Maka melatih dan mengekspresikan compassion merupakan tujuan mulia dari aktivitas bersifat sukarela karena di dalamnya termasuk dalam kegiatan melayani. Di saat individu atau kelompok memberi, berbagi, dan melayani, maka saat itu pula mereka menyadari (mindful) dan menerima dirinya sebagai mahluk yang memiliki misi menebar kebermanfaatan kepada sesama dan semesta.

Sumber gambar:
https://picgra.com/user/duddyfahri/10148958272

Sabtu, 22 September 2018

Puisi: Anatomi Cinta


Oleh Duddy Fachrudin

Di sinilah aku
bertanya tentang rindu
yang terasa begitu saja
melewati ruang cinta

hadirmu

Di sinilah kamu
menemani jiwa yang rapuh
yang terdiam tanpa kata
merajutkan ruang makna

bisikmu

Hampir saja aku benar-benar buta
mencandu dunia yang tak pernah ada

Dirimu menenangkanku
menghangatkanku
menunjukkanku cara
menyusun anatomi cinta

Sumber gambar:
http://www.scotlandyardnews.com/what-a-drag-flavoured-e-cigarettes-could-be-toxic-to-your-heart-and-these-are-the-most-dangerous-offenders/966/

Rabu, 12 September 2018

Belajar Cinta dari Garam


Oleh Tauhid Nur Azhar

Ada garam ada lautan.

Kala berbicara lautan, kita tidak bisa melupakan garam. Betapa tidak, garam adalah salah satu produk terpenting lautan, selain produk hewani. Hadirnya garam telah menjadikan dunia kita memiliki cita rasa.

Berbicara masalah garam, khususnya natrium klorida alias garam dapur yang hampir setiap hari kita konsumsi, ada pelajaran luar biasa yang bisa kita dapatkan. 

Garam, sebagaimana nama ilmiahnya, merupakan persatuan antara unsur natrium dan klorida. Apabila kita perhatikan, kedua unsur ini jarang berdiri sendiri. Mereka bisa bersatu karena “dicomblangi” oleh air sebagai mediator. 

Ketika masih sendiri, klorida termasuk unsur berbahaya bagi tubuh, biasanya berbentuk asam (HCL). Demikian pula natrium karbonat, walau tidak seberbahaya HCL.

Namun, ketika natrium dan klorida dipertemukan dengan mediasi air, masing-masing melepaskan ikatan dengan pasangannya terdahulu, kemudian mereka saling berikatan membentuk kristal. 

Jika sebuah ikatan kimia sampai membentuk kristal, maka tingkat kecocokannya pasti sangat tinggi, dari fase liquid sampai menjadi solid, terkristalisasi. Ikatan keduanya termasuk ikatan yang sempurna. 

Dengan karakter ini, ada sisi-sisi secara molekuler baik dari sebelah natrium maupun sebelah klorida yang awalnya memiliki efek membahayakan atau membentuk asam, menjadi hilang. Sebab, sisi-sisi “negatifnya” saling menutup dan yang terlihat adalah sisi-sisi indahnya; sisi positifnya.

Jadi, konsep sebuah pasangan, khususnya dalam pernikahan, harus meniru garam. Sisi-sisi buruk yang tidak menyenangkan bisa menjadi simpul dari sebuah ikatan yang mempersatukan, untuk kemudian menghasilkan sebuah molekul yang indah serta memancarkan kebaikan. 

Kelemahan yang ada bukan untuk disesali atau dicemooh, akan tetapi dimanfaatkan untuk berikatan. Inilah gambaran sederhana dari upaya saling mengoptimalkan potensi dan saling mengurangi kekurangan.

Sesungguhnya, natrium yang ada di darah kita harus bertemu dengan pasangannya agar tidak menimbulkan penyakit. Salah satu penyebab terjadinya darah tinggi dan stroke adalah ketika natrium tidak lagi berpasangan dengan klorida.

Sumber gambar:
https://www.seruni.id/garam-dapur-bermanfaat-untuk-kecantikan/

Rabu, 15 Agustus 2018

Mindfulness is Dead


Oleh Duddy Fachrudin

Mindfulness yang digadang-gadang dapat meningkatkan perilaku prososial hingga compassion justru ternyata tidak terbukti. Hoak.

Mungkin itulah yang ingin disampaikan Steven Novella dalam Neurologica Blog.

Saya sepakat dengannya, apalagi apa yang diungkapkannya berdasarkan sebuah penelitian yang berjudul The limited prosocial effects of meditation: A systematic review and meta-analysis.

Duduk diam, hening, lalu memfokuskan perhatian pada suatu objek tertentu tidak akan membuat kita menjadi seorang Superman yang siap memberikan pertolongan atau bahkan cinta kasih kepada sesama dan semesta.

Hanya dengan dibarengi sikap dan aksi nyata yang berulang (repetisi), karakter welas asih itu terbentuk.

Maka ini bukan soal peningkatan aktivitas otak di daerah insula atau korteks prefrontal. Atau tidak lagi merasakan efek untung rugi dari reward system yang melibatkan nucleus accumbens dan kawan-kawannya.

Ini adalah meditasi tanpa meditasi.

Seperti yang dilakukan oleh anak-anak. Mereka bermain dengan ceria begitu bahagianya. Tak peduli matahari nan terik membakar wajahnya.

Mereka tertawa senangnya. Menolong temannya yang terjatuh. Lalu mengulurkan jari jemarinya yang mungil dan mengajaknya kembali bermain.

Meditasi itu ketika kita menjadi anak-anak. Bermain lepas. Bebas. Merdeka. Berbagi rasa dan cinta. Setidaknya itu yang saya amati ketika menjadi relawan inspirator di Kelas Inspirasi Cirebon 4.

Meski namanya relawan inspirator, namun anak-anak itulah yang sesungguhnya memberikan inspirasi. Mengajarkan makna meditasi dan welas asih sejati.

Sumber gambar:
Credit by Kak Faisal Abdau yang mirip Duta SOS

Kamis, 14 Desember 2017

Buku Mindfulness: Kuliah Cinta Edisi 2

Kuliah Cinta Edisi 2

Oleh Duddy Fachrudin

Sang pencinta pasti merindu pada kekasih hatinya. Ia ingin berjumpa walau hanya sedetik saja. Lalu bertutur kata, keluh kesah, hingga kisah kepadanya. Hatinya begitu gembira tampak dari rona merah pipinya. Andai ku dapat bertemu dengannya. Begitu kata hatinya.

Itulah cinta. Dan buku ini merupakan edisi kedua dari “Kuliah Cinta” yang saya tulis pertama kali pada tahun 2012. Tentu terdapat banyak revisi, baik kata maupun kalimat. Lalu pada edisi baru ini juga terdapat tambahan tulisan yang berasal dari pengalaman pribadi ketika berinteraksi dengan teman, sahabat, klien, dan guru kehidupan. 

“Kuliah Cinta” berarti sinau atau belajar cinta dari kehidupan, baik orang-orang di sekitar, orang-orang teladan, hewan, tumbuhan, air, cahaya matahari, dan semesta raya, serta Tuhan tentunya. Sebagai manusia biasa yang memiliki potensi iqra (melihat, membaca, memperhatikan, mendengarkan, mengamati, bertanya), cinta menjadi menu wajib yang perlu diraih dan diinternalisasikan ke dalam hati. Karena hanya dengan cintalah tercipta keindahan, kelembutan, dan kehangatan. Cinta membuat hidup berwarna. Dan cinta yang menjadikan manusia menjadi insan mulia.

Buku ini dapat Anda baca dengan mengunduhnya terlebih dahulu di laman Buku Gratis.

Semoga pembaca mendapat manfaat dari buku sederhana ini. Terima kasih cinta.

Jumat, 13 Oktober 2017

Mindfulness (Sebuah Puisi)

(Ilustrasi: Jalan Cinta)

Oleh Duddy Fachrudin

Beri aku sesuatu yang sulit, kata Andrea
Mari.. mari sini penderitaan, kata Salik
Kata orang-orang, kopi itu pahit,
namun dalam pahitnya itu menyeruak cinta

Jalan Cinta adalah jalan impian Boi
Kau beruntung sedang melaluinya
Janganlah berpaling darinya,
hingga tertawan dalam penjara kegelisahan

Hiduplah saat ini sambil menyeruput kopi itu
Inikah arti dari yang namanya penerimaan?
Salik berkata: aku mau apa yang dimau-Nya:
sini, mari menghablur, melebur bersama bintang gemintang

Sumber gambar:
http://wendyspeaks.com/tailored-workshops/