Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Mindfulness di Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelatihan Mindfulness di Indonesia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Oktober 2022

Menyelami Hening di Rerimbunan Pring Pikiran (Bagian 2, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Perjalanan lintas masa mereka yang menggunakan jentera anti tesis ruang waktu, membawa ke sebuah daerah yang dulu masuk ke area pusat peradaban Liyangan. Belum sampai sana sebenarnya, tepatnya di Papringan.

Lokus yang menjadi laboratorium hidup untuk kearifan budaya yang bersifat holistik dan menjadi etalase cara hidup arif bijaksana yang waskita terhadap berbagai piweling dan pertanda dari alam.

Pendekatan pemenuhan kebutuhan yang berkepedulian dan kapasitas untuk menjadi pengendali keinginan tanpa mengeksploitasi, apalagi manipulasi, secara berlebihan dan tak beretika ketika berinteraksi dengan alam.

Alam takambang menjadi guru bukanlah sekedar pameo ataupun peribahasa bersayap yang terbang membumbung tinggi seperti Alap Alap. Ia justru menjadi Lumbricus yang membumi dan bersanggama langsung dengan kenyataan, tetapi mampu mewarisi ilmu visi Alap Alap sebagaimana yang dimiliki oleh Bala Sanggrama pengawal Raden Wijaya raja pertama Majapahit yang keturunan Jawa Sunda. Ayahnya dalam beberapa manuskrip dikenal sebagai Rakyan Jayadarma yang berasal dari Sunda Galuh, dan Ibunya adalah Dyah Lembu Tak keturunan Ken Arok pendiri Singhasari.

Kakawin Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti Kudadu menjelaskan tentang asal usul dan sepak terjang Raden Wijaya dalam mendirikan Emporium Majapahit, yang kelak dikenal dengan doktrin penyatuan Nusantara.

Kembali kepada Papringan dan beberapa daerah yang dengan kesadaran penuh mulai belajar untuk mengenali kembali kearifan terdahulu yang antara lain maujud dalam tradisi yang diwariskan sebagai pesan kebudayaan yang menjadi pengingat dan perekat dari generasi berikutnya yang heterogen. 

Pesan ini antara lain maujud dalam sebentuk craftmanship dan kecerdasan natural yang dapat memanfaatkan segenap potensi alam dengan cara yang sederhana, tepat guna, dan tidak mendorong terjadinya dampak ikutan yang tidak diharapkan seperti limbah dan kerakusan yang senantiasa menjadi bagian dari konteks potensi komoditas.

Papringan dengan tokoh penggerak seperti Mas Singgih yang ahli pemanfaatan bambu, dapat menjadi contoh tentang kebersahajaan cara hidup yang justru dapat mengalir sejalan dengan arus semesta yang menubuh dalam berbagai fenomena alam yang penuh dengan tanda.

Papringan atau perbambuan yang menjadi jenama sebuah pasar dengan produk dan cara bertransaksi unik, bukanlah semata sebuah jenama belaka, ia adalah laboratorium tentang nilai.

Pasar yang berlokasi di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, kecamatan Kedu yang di masa lalu masuk dalam wilayah Bagelen, ini adalah sebuah media interaksi nilai yang dapat menjadi media kontemplasi terhadap pola interaksi kita dengan alam selama ini.

Jika bangsa Jepang memiliki shokunin waza, maka bangsa Indonesia dengan berbekal warisan berupa capaian budaya dan cendekia yang sedemikian luar biasa pada zamannya, tentulah juga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengelola segenap potensi intelijensia dan ketrampilan dalam mengelola sumber daya yang tersedia dalam ruang hidupnya.

Semangat inilah yang semestinya jangan sampai mengalami kondisi pati obor, alias tercerabut dari tradisi cendekia bangsa yang meski maju dalam tatanan masyarakat dunia, tetapi juga semestinya dapat menyumbang konsep dan karya adiluhung melalui sebentuk karya dan model hidup welas wasis waskita yang cerdas bernas sekaligus ikhlas. πŸ™πŸΏπŸ’•

Sumber gambar:

Senin, 13 September 2021

Pelatihan Intervensi Psikologi Berbasis Mindfulness: Acceptance and Commitment Therapy


Oleh Duddy Fachrudin 

Lasse Rouhiainen dalam bukunya yang sangat fresh yang terbit di tahun 2019 yang berjudul Artificial Intelligence: 101 Things You Must Know Today About Our Future menuliskan 11 skills yang dibutuhkan di masa depan. 

Salah satu keterampilan tersebut ialah mindfulness, suatu kemampuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap suatu hal.

Jauh sebelum Rouhiainen mencantumkan mindfulness sebagai keterampilan penting di era masa kini dan mendatang, 15 tahun sebelumnya, mindfulness menjadi komponen utama bersama acceptance, metakognitif, personal values, dan spiritual dalam terapi “third wave cognitive behavioral”[2,3]. 

Salah satu terapi berbasis third wave, yaitu Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mengakomodasi mindfulness sebagai tools untuk mencapai psychological flexibility dan terlepas dari penderitaan psikologis[3].

Penderitaan psikologis (psychological suffering) dalam ACT bermula ketika individu kaku secara psikologi[3]. Sebagai contoh penderita depresi yang mengembangkan experiential avoidance melalui alkohol sebagai pelarian sekaligus solusi semu atas permasalahan psikologisnya. 

Pada titik ini yang diperlukan adalah mengetahui akar masalah dengan berhenti sejenak mengamati dan menyadari (mindful) pikiran, menerimanya, tapi juga tidak terjerat dengannya, lalu mengembangkan tujuan dan nilai-nilai penting penuh makna serta mengarahkan perilaku sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan. 

Itulah ACT yang mengajarkan individu untuk berpindah dari kekakuan psikologi menuju fleksibilitas psikologi.

Pada era yang serba tidak pasti saat ini dan isu mengenai kesehatan mental yang semakin menjadi perhatian, keterampilan-keterampilan dalam ACT perlu dikembangkan individu. 

Pelatihan ACT memfasilitasi siapapun para pembelajar untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang menunjang fleksibilitas psikologi, yaitu mindfulness, acceptance, cognitive defusion, self as context, dan living with values, serta committed action yang dapat diaplikasikan kepada diri sendiri maupun orang lain.

Terdapat tiga capaian pembelajaran yang dapat dicapai peserta pelatihan ACT: 1) peserta dapat memahami konsep dan cara kerja ACT; 2) peserta dapat membuat desain modul ACT; dan 3) peserta dapat menggunakan dan mempraktikkan elemen-elemen keterampilan dalam ACT dalam permasalahan psikologi sederhana.


Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>


Referensi:

[1]   Fachrudin D. #2019HidupLebihMindful (internet). Mindfulnesia. 2019 (dikutip 8 September 2021). http://www.mindfulnesia.id/2019/01/2019hiduplebihmindful.html

[2]   Hayes SC, & Hoffman SG. Third wave of cognitive behavioral therapy and the rise of process-based care. World Psychiatry. 2017; 16(3): 245-246. DOI:1 0.1002/w ps.20442

[3]   Luoma JB, Hayes SC, & Walser RD. Learning ACT: An acceptance and commitment therapy skills training manual for therapists. Oakland: New Harbinger, 2017.


Sumber gambar:

Kamis, 27 Agustus 2020

Sikap Mindfulness: Melepas Jubah Malaikat




Oleh Duddy Fachrudin 

Manusia selalu senang dengan ciri atau atributnya. Ciri tersebut dapat berupa gelar dan profesi yang disematkan, pakaian yang dikenakan, harta yang dimiliki, tahta yang diduduki, dan pernak-pernik lainnya. Karena senang tersebut tidak jarang ciri tersebut akhirnya melekat pada diri seseorang dan dibawa kemanapun ia pergi.

Jon Kabat-Zinn, pengembang Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) bercerita dalam bukunya Wherever You Go There You Are bahwa ia tidak pernah menggunakan jubah malaikatnya selama berpraktek menjadi seorang dokter.

“Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan ‘Dr. Kabat-Zinn/ Departemen of Medicine’. Semuanya tergantung di balik pintu saya selama lima belas tahun, tanpa terpakai.”

Apa yang dilakukan Jon Kabat-Zinn tentu memiliki alasan tertentu. Baginya jas putih adalah simbol yang tidak diperlukan dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter.

Seorang dokter akan disebut dokter karena pelayanannya yang tulus, bukan karena jas malaikat tersebut. Bahkan siapapun orang yang memberikan bantuan secara ikhlas layak disebut dokter, begitu kata Patch Adams, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute.

Kebahagiaan dapat dimulai dengan melepaskan atribut yang ada pada diri kita. Dan kemudian kita menjadi manusia yang lebih berfokus pada misi hidup menebar kebermanfaatan sebaik-baiknya kepada sesama dan semesta. 

Sumber gambar: 

Senin, 29 Juni 2020

Dilema WBP dan Neurobiologi Mindfulness



Oleh Duddy Fachrudin

Terbersit wajah garang namun ringkih dan penuh dengan kecemasan itu. Beberapa kata yang keluar dari mulutnya menyiratkan bahwa dirinya akan berubah. Meski kemudian ada ragu yang mengayun di sela-sela rongga dadanya.

Suatu waktu, saya berkesempatan memberikan intervensi psikologi berbasis logoterapi dan mindfulness kepada calon Warga Binaan Permasyarakatan (WBP) yang sebentar lagi bebas di salah satu lembaga permasyarakatan (lapas) di Yogyakarta. Mengajak mereka untuk menemukan makna dan belajar melepas masa lalu tidaklah mudah. Sesulit membantu mereka untuk berhenti menghakimi dan mensyukuri makanan yang selalu hadir di setiap pagi meski hanya nasi dan sebuah tempe mayit.

Di ruangan yang panas itu kami menjalankan sesi demi sesi. Mencoba beradaptasi lalu bermeditasi. Segala kecamuk rasa berkelindan bertautan menghasilkan resultan yang hanya mereka dan Tuhan tahu.

Satu yang pasti dan ditakuti serta dikhawatiri: Aku cemas mas, takut kalau tidak ada yang menerimaku lagi. Takut juga kalau aku kembali ke lingkungan yg nggak bener lagi.

Yang bilang itu ya pencuri, pembunuh, pemerkosa. Yang bukan hanya sekali masuk penjara.

Bahkan ada seorang WBP banjir air mata karena berlebihnya rasa bersalah. Perasaan berdosa membuncah hingga menyasar sisi terdalam sukma seiring berharap dalam seuntai tanya: Apakah untukku tersedia maaf?

Dinamika dan pergolakan jiwa orang yang melakukan kesalahan seperti halnya WBP, yang benar-benar merasa bersalah serupa hutan rimba yang belum terjamah oleh manusia. Sulit bisa menaksir dari pengamatan sesaat perubahan yang terjadi setelah menjalani masa "jeda" di balik jeruji penjara.

Saat diwawancarai Bang Andy Noya, kita bisa melihat sepintas dari raut wajah John Kei, bahwa penyesalan dan perubahan itu nyata. Namun pemberitaan belakangan ini membuat orang-orang kembali mempertanyakan sekaligus meragukannya.

Dalam kajian neurosains, salah satu bagian otak yg mempengaruhi dalam hal bertindak baik, benar, sesuai moral dan etika adalah Anterior Cortical Cortex (ACC).

Bagian otak ini menjadi selebritis yang manis dan selalu menjadi perhatian para saintis saat meneliti meditator yang sedang atau seusai bermeditasi. Saat dilakukan pemindaian dengan alat pemindai otak, kita bisa melihat sejauhmana aktivitas pada area tersebut.

Umumnya, hasil pemindaian menunjukkan warna yang menyala tanda rewire atau peningkatan aktivitas. Hasil ini juga ditunjukkan pada area otak lainnya, seperti PFC, dlPFC, insula, dan hippocampal.

Pengukuran brain marker bisa diintegrasikan dengan biomarker lainnya, seperti telomer, keadaan tekanan darah pada jantung, kualitas mitokondria yang berada dalam sel, hingga kadar hormon kortisol dan adrenalin.

Idealnya kuantifikasi yang telah diperoleh dilanjutkan dalam pengamatan secara kualitatif sehingga mix methode ini bisa menghasilkan data yang valid, terukur, dan benar adanya.

Ternyata perubahan itu memang tidak instan layaknya mie. Perubahan sejalan dengan perkembangan hidup manusia (life-span development) yang sejatinya terus ada hingga individu itu tiada.

Dan manusia sejatinya memang terus menjadi baru, baik itu pikiran, rasa, hingga, perilaku. Baru memperbarui kualitas sesuai Key Performance Indicator (KPI) manusia.

By the way, KPI nya manusia memangnya apa saja?

Sumber gambar:

Rabu, 05 Februari 2020

Pelatihan Mindfulness: 3 hari Untuk Selamanya


Oleh Duddy Fachrudin

Berapa jam saya perlu berlatih mindfulness?

Sebagian besar modul mindfulness seperti Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) atau Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT), berisi 8 sesi yang bisa dilakukan selama 2 bulan. Setiap sesi berlangsung selama 90 menit atau 1,5 jam setiap minggunya.

Artinya total 12 jam menjalani Program Mindfulness. Jika dalam modul tersebut ditambah 1 hari untuk sesi retreat maka 36 jam kita berlatih mindfulness dalam pelatihan atau program mindfulness.

Pelatihan mindfulness juga mengajak peserta untuk berlatih mindfulness secara mandiri di rumah setidaknya 45 menit dalam sehari. Body scanning, mindful breathing, stretching, walking, sitting, dan sebagainya menjadi menu formal yang bisa diterapkan dan juga dilatih sehari-hari.

Maka ada sekiranya 52 hari x 45 menit atau 2340 menit atau 39 jam yang digunakan untuk berlatih berbagai jenis latihan mindfulness secara mandiri di rumah selama 2 bulan.

Total 75 jam atau 3 hari lebih kita berlatih mindfulness dalam sebuah program pelatihan mindfulness berdasarkan pada modul-modul mindfulness.

Berlatih mindfulness memang tidak instan karena memang tujuannya mengembangkan dan membiasakan kehidupan yang mindful yang dilandasi jernihnya pikiran dan beningnya hati sehingga respon atau perilaku yang keluar adalah perilaku yang bijaksana. Selain itu tentu diiringi kesehatan mental (mental health) dan fisik yang optimal dari sebelumnya.

Setelah mendapat pelatihan mindfulness secara formal, kita bisa menjadi lebih terbiasa untuk berlatih mindfulness dan mengembangkan mindfulness dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat makan, mandi, tidur, olahraga, beribadah, berinteraksi dengan orang lain, dan mengemudi kendaraan.

Maka ketika mengembangkan kehidupan yang mindful (mindful living) sama artinya berlatih mindfulness selamanya.

Ya. Karena mindfulness is lifestyle.

Bagaimana jika saya mengikuti pelatihan mindfulness yang hanya dua atau satu hari, bahkan setengah hari? Apakah maksimal?

Pelatihan yang sesungguhnya adalah setelah program pelatihan. Maka ikuti pelatihan mindfulness tersebut, lalu kembangkan diri dan terus berlatih setelahnya.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Rabu, 13 November 2019

Pelatihan Mindfulness-Based Cognitive Therapy, Apa Manfaatnya? (MBCT Batch #6)


Oleh Duddy Fachrudin

Seorang peserta pelatihan Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) batch #5 menanyakan tentang hal itu. "Apa sih manfaatnya? Kalau klien sudah menjalani 8 sesi ini, apa yang terjadi pada diri klien?"

Pertanyaan tersebut menjadi gerbang diskusi menarik, ciamik, nan apik bagi kami semua yang kemudian berujung pada sebuah kesimpulan, yaitu decentering thought.

Namun sebelum membahas mengenai decentering thought, MBCT yang awalnya didesain untuk mencegah kekambuhan depresi, kini penggunaannya semakin meluas.

Lalu MBCT digunakan untuk permasalahan apa saja dan pada siapa saja? Beberapa penelitian menyebutkan penggunaan MBCT, seperti pada kasus-kasus berikut:

  • Kecemasan
  • Adiksi dan penyalahgunaan obat terlarang
  • Stres pascatrauma
  • Nyeri kronis
  • Pencegahan bunuh diri
  • Gangguan bipolar
  • Penyintas kanker dan HIV
  • Caregiver kanker
  • Pasangan yang berkonflik

Individu yang depresi, cemas, dan berbagai permasalahan lainnya terkait itu memiliki core belief negatif yang sekaligus menjadi pikiran otomatisnya (automatic thought).

Pelatihan MBCT memfasilitasi individu mengelola hal tersebut sehingga mudah menghadirkan berbagai alternatif pikiran. Inilah yang disebut decentering atau kesadaran metakognisi.

Dampak positif bisa dirasakan dalam bentuk keterampilan memperhatikan perubahan perasaan dan berkurangnya ruminasi yang pada akhirnya menjadi solusi dari masalah psikologis yang dialami individu.

NB: Pelatihan Mindfulness, khususnya Mindfulness-Based Cognitive Therapy Batch #6 tanggal 11-12 Januari 2020 (info: 089680444387)

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Selasa, 08 Oktober 2019

Menjalani Koas dengan Mindful


Oleh Duddy Fachrudin

Syahdan, Rizki telah selesai menempuh 8 semester di Fakultas Kedokteran (FK) dengan nilai yang sangat memuaskan. Orangtua dan saudara-saudara tercintanya begitu bangga. Bahkan kucing dan ayam peliharaannya juga ikut senang ketika mengetahui majikannya akan menapaki langkah berikutnya untuk menjadi seorang dokter.

Koas. Fase yang begitu ditunggu sejak awal masuk FK kini benar-benar ada di hadapannya. Setiap hari, Rizki begitu merindukan tahap ini. Dalam tidurnya ia seringkali bermimpi sedang berinteraksi dengan pasien dan konsulen di Rumah Sakit.

Namun, saat asyik-asyik pulang ke Dermayu dan memberi butiran jagung untuk ayam kesayangannya, terbersit satu kebingungan yang menjadi kendalanya saat itu. Apa ya yang perlu jadi bekalku agar bisa sukses menjalani koas?

Dalam gelisahnya ia teringat dr. Ayat yang juga memiliki pesantren di pesisir Karangampel. Buya Ayat--begitu panggilannya, memiliki pemahaman ilmu yang luas sehingga banyak orang berdatangan untuk meminta nasihat kepadanya.

Tak terkecuali pemuda satu ini. Ia datang ke padepokan Buya Ayat sambil membawa ayam goreng kampung--yang rupanya adalah ayam kesayangannya. Tak lupa sambal bawang dan lalapan ia bawa untuk menambahkan kelezatan pada ayam goreng kampungnya.

Sesampainya di Karangampel, Rizki disambut baik oleh Buya Ayat yang kebetulan saat itu memang sedang tidak bekerja. Ia terlihat sedang leyeh-leyeh sambil sesekali mencorat coret sebuah kanvas. Rupanya Buya Ayat sedang menulis kaligrafi. Ia tuangkan hobinya di saat sore dimana senja menyapanya.

Bau sambal bawang dan ayam goreng membuatnya berhenti dari menggores tinta. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri mencari tanda hadirnya stimulus yang merangsang saraf olfaktoriusnya.

Rizki pun tiba dan disambut Buya Ayat dengan sukacita. Aha, ini dia rupanya sumber kebahagiaanku hari ini, ujar Buya polos.

Sambil makan ayam goreng kesayangan, Rizki menuturkan keluh kesahnya. Sambil memohon ia berkata, Buya, berikan aku nasihat, agar koas ini berjalan lancar...

Buya tak langsung menanggapi permintaan orang di depannya. Mulutnya masih penuh dengan ayam, sambal bawang, dan nasi. Setelah menegak air kelapa yang dipetik dari belakang rumahnya, Buya berkata:

Gini aja ya, sebenarnya tidak ada rumus kesuksesan. Cuma aku kasih tips aja menurutku. Ini boleh dilakukan boleh tidak...

Jalani koas dengan KOAS. Apa itu KOAS?

K: Kindness, kamu mengembangkan kebaikan kepada pasien, teman-teman, konsulen, dan siapapun yang kamu temui selama stase. Wis pokoe berbuat baik, hadirkan cinta dan kasih sayang.

O: Open Mind, kamu harus terbuka, jangan sok pinter. Jadilah seperti bayi yang penasaran saat ketemu objek baru. Matanya berbinar-binar dapat ilmu baru. Supaya open mind, kosongkan gelasmu, jadilah bodoh, supaya belajar terus.

A: Awareness, eling, sadar, menyadari posisimu sebagai calon dokter dengan segala tanggungjawabnya. Lalu menyadari pasien adalah seorang manusia yang perlu kita perlakukan sebagai manusia. Menyadari segala hal. Kesadaran ini kunci dari berfungsinya kecerdasan.

S: Sincerity, tulus, ikhlas dalam menjalani semuanya. Ga perlu apa untungnya saya kalau begini, apa ruginya saya kalau begitu. Koas ini satu tahap untuk dirimu menjadi dokter sejati. Sebuah fase latihan di kawah candradimuka agar kamu jadi dokter yang mengabdi pada kemanusiaan dengan ikhlas.

Rizki mendengarkan seksama pencerahan dari Buya Ayat. Wajahnya sumringah seakan memiliki makna akan kehidupan bernama koas yang sebentar lagi dijalaninya.

Tak terasa sajian ayam kesayangan Rizki yang ikhlas dijadikan ayam goreng sudah habis. Sore itu benar-benar indah, seindah hamparan mimpi yang biasa mampir dalam malam-malam Rizki.

Mimpi?

Rizki terbangun. Jam di hape-nya menunjukkan pukul 7 pagi.

Waduh, PBL blok 3.1 nih...

Langsung berkemas ia, cuci muka seadanya, lalu memakai sepatu. Keluar dari kosnya bertemu dengan Tito.

Ki, mau kemana?

Sambil terburu-buru Rizki menjawab Tito.

PBL cuy...

Tito terheran-heran, Lu PBL ga pake celana...?

Sumber gambar:

Kamis, 03 Oktober 2019

Mindful Leadership: Kualitas Pemimpin yang Mindful


Oleh Duddy Fachrudin

Hening, mengalir, mengamati, membaca tanda, di sini, saat ini.

Bendera itu berkibar.

Bukan bendera, melainkan angin yang bergerak.

Bukan bendera dan angin, sesungguhnya pikiran yang bergerak.

Setiap orang adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin perlu memimpin dirinya sendiri. Memimpin pikirannya. Dengan begitu memperbaiki dirinya.

Syahdan seorang pengembara bercerita, "Ketika aku masih muda, aku bersemangat.. aku berdoa kepada Tuhan agar memberiku kekuatan untuk mengubah dunia. Ketika sudah separuh baya, aku menyadari setengah dari hidupku sudah berlalu dan aku tak mengubah seorang pun. Maka aku berdoa untuk mengubah mereka yang dekat di sekitarku. Sekarang, aku sudah tua dan doaku lebih sederhana, memohon Tuhan memberikan kekuatan untuk mengubah diriku sendiri.

Lewat kesadaran, memperbaiki diri sendiri.

Pemimpin yang berkesadaran versi Rasmus Hougaard dicirikan 3 hal:

1. Mindfulness
Keterampilan dalam memberikan perhatian penuh terhadap apapun. Inilah kualitas awal yang membuat pemimpin berselancar dalam ombak (mengarungi kehidupan yang tidak pasti). Keputusannya matang dan bijaksana. Pikirannya tidak terperangkap dengan kepentingan tertentu.

2. Selflessness
Pemimpin bukan tentang dirinya, melainkan apa yang dipimpinnya. Mengutamakan orang lain, termasuk kebaikan lingkungan adalah prioritas utama. Leadership dalam konteks ini adalah friendship. Persahabatan yang terlepas dari keinginan untung rugi. Persahabatan yang jujur yang pada akhirnya mengembangkan rasa percaya (trust).

3. Compassionate
Menebarkan manfaat adalah esensi kehidupan. Pemimpin yang berkesadaran akan menghadirkan kenyamanan dan rasa tenang. Bukan karena dibentengi pasukan tentara, tapi karena adanya hati yang lembut yang memancarkan cahaya.

Semua kualitas ini muncul saat pemimpin secara berkesinambungan memperbaiki dan menjernihkan dirinya.

"Tuhan kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah, ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah, dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya."


Sumber gambar:

Minggu, 08 September 2019

Bisakah Depresi Disembuhkan?


Oleh Duddy Fachrudin

Tiga hari ini berita meninggalnya mahasiswa ITB benar-benar menjadi perhatian dalam pikiran. Bukan hanya karena faktor lokasi meninggalnya yang merupakan daerah tempat kos saya dulu, tapi juga kesehatan mental di kalangan young people sudah harus menjadi prioritas utama kita semua.

Membaca blognya (alm) memang menyiratkan depresi, bahkan bisa dikatakan severe dengan disertai gejala psikotik berupa keyakinan-keyakinan delusional. OST Bioshock Infinite, "Will The Circle Be Unbroken" yang diputar saat ia gantung diri menegaskan hal itu.

Sungguh berat saat berada diposisinya. Pikiran ruminasi yang mendominasi tak kunjung berhenti. Depresi. Sendiri. Tidak ada yang memahami. Kesulitan dalam coping strategi. Ketiadaan cinta. Hampa. Tanpa makna. Untuk apa? Ya sudah.

Prevalensi depresi kian meningkat. Penelitian terbaru dari Peltzer & Pengpid (2018) sendiri mencapai 21,8%. Itu di Indonesia. Tinggi loh.

Lalu bagaimana menyembuhkan depresi?

Mari sedikit mengambil pelajaran dari Ruby Wax, seorang komedian yang depresi. Saat gejala itu muncul ia malah memutuskan mengambil studi S-2 di Oxford University. Ia tidak belajar bisnis, manajemen, seni, atau apapun yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai seorang artis. Ia belajar psikologi, ingin tahu tentang dirinya. Ruby Wax mengambil studi Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT).

Ia bukan hanya belajar, tapi tentu juga diterapi dengan MBCT. It works. Namun kata Ruby dalam bukunya Sane New World: Taming The Mind (2013), mungkin belum tentu MBCT berhasil bagi orang lain.

Suatu pendapat yang bijaksana. Karena MBCT didesain sesuai dengan kebutuhannya: ingin tahu tentang dirinya (tentang mengapa ia depresi). Dalam MBCT Ruby Wax belajar mekanisme pikiran, neurobiologi, bagian otak yang berpengaruh dalam depresi, neuroplastisitas, dan tentunya beberapa teknik mindfulness dan latihan-latihan kognitif-perilaku.

Depresi bisa dialami siapa saja. Maka yang paling penting, sudahkah kita siap untuk mengatasinya? Sudahkah kesehatan mental menjadi prioritas dalam hidup kita?

Maka bagi yang saat ini sedang mengalami permasalahan mental, please segera menghubungi psikolog atau psikiater terdekat.

Atau ingin mencoba strategi Ruby Wax dengan mempelajari MBCT?

Referensi:
Peltzer, K., & Pengpid, S. (2018). High prevalence of depressive symptoms in a national sample of adults in Indonesia: Childhood adversity, sociodemographic factor and health risk behavior. Asian Journal of Psychiatry, 33, 52-59, doi: 10.1016/j/ajp.2018.03.017.

Wax, R. (2013). Sane new world: Taming the mind. London: Hodder & Stoughton Ltd.

Sumber gambar: 
Dokumentasi Pribadi

Senin, 12 Agustus 2019

Cara Mencegah Kekambuhan Depresi (MBCT Workshop Batch #5)


Oleh Duddy Fachrudin

Penggunaan mindfulness sebagai pendekatan intervensi psikologi berkembang pesat selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari jumlah publikasi ilmiah yang terdata oleh American Mindfulness Research Association (AMRA) dari Web of Science (WoS) yang mencapai 5000 publikasi (1980-2018)[1]. Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) menjadi pelopor intervensi berbasis mindfulness yang dikembangkan sejak tahun 1979 di Klinik Reduksi Stres di Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts. Tujuan dari MBSR sendiri adalah membantu orang-orang yang mengalami stres, kecemasan, depresi, dan rasa nyeri[2].

Seiring dengan hasil yang signifikan, MBSR kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam intervensi berbasis mindfulness lainnya. Berawal dari konsep metacognitive awareness yang dikembangkan Barnard dan Teasdale[3], Segal dan Williams kemudian mengajukan Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) yang bertujuan mencegah kekambuhan depresi dan stres emosional lainnya[3][4][5]. Kolaborasi dan sinergi MBSR dan Cognitive Therapy ini juga suatu bentuk generasi kedua dari terapi berbasis penerimaan, Acceptance and Commitment Therapy.

World Health Organization (WHO) melaporkan jumlah penderita depresi mengalami kenaikan sebesar 18% sejak tahun 2005 hingga 2015. Setidaknya, ada 300 juta orang di dunia ini yang mengalami gangguan depresi[6]. Angka ini tentu mengkhawatirkan karena berpotensi semakin naik jika tidak ada upaya dan strategi baru, khususnya intervensi psikologi untuk menangani depresi. Intervensi MBCT bisa menjadi alternatif dari pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT) murni yang bisa digunakan oleh para profesional healthcare seperti psikolog dan dokter dalam menangani klien atau pasien-pasiennya.

Workshop MBCT mengakomodir dan memfasilitasi profesional healthcare yang tertarik mempelajari mindfulness sebagai bentuk intervensi psikologi yang dikolaborasikan dengan terapi kognitif. Total waktu pembelajaran tatap muka selama 13 jam (2 hari) menjadi bekal awal mengenal, memahami sesi dan cara kerja MBCT. Workshop ini juga memfasilitasi keterampilan mindfulness dan CBT, serta bagaimana memberikan MBCT kepada klien atau pasien.

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>  

Referensi:
[1] https://goamra.org/resources/
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness-based_stress_reduction
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Mindfulness-based_cognitive_therapy
[4] Teasdale, J., Williams, M., & Segal, Z. The Mindful Way Workbook: An 8-Week Program to Free Yourself from Depression and Emotional Distress. New York: The Guilford Press 2014.
[5] Sipe, WEB., & Eisendrath, SJ. Mindfulness-based cognitive therapy: Theory and practice. The Canadian Journal of Psychiatry 2012; 57(2): 63-69.
[6] https://www.who.int/news-room/detail/30-03-2017--depression-let-s-talk-says-who-as-depression-tops-list-of-causes-of-ill-health

Rabu, 20 Maret 2019

Pikiran Saya Doing or Being Mode Ya? (MBCT Workshop Batch 3)



Oleh Duddy Fachrudin

Seorang kolega, sahabat, sekaligus guru bercerita tentang pengalamannya mendapatkan klien yang "aneh" menurutnya. Penasaran dengan kata "aneh" tersebut saya membuka kedua telinga menyimak sebaik mungkin.

"Klien tersebut seorang pengusaha, datang dengan mobil bagus, lalu menemui saya..." ujar kolega saya. "Lalu ia berkata, 'Saya takut miskin'..."

Mendengar cerita tersebut saya terperangah, how come? Bagaimana mungkin ia mengatakan hal yang realitanya adalah sebaliknya?

Namun hal itu sangat mungkin karena ia berada pada doing mode.

Doing mode merujuk pada cara kerja pikiran yang serba otomatis, berfokus pada masa lalu dan masa depan, menghindari ketidaknyamanan, dan pikiran tersebut seolah-olah realita yang sebenarnya.

Doing mode kadang bermanfaat dalam kehidupan individu, tapi seringnya ia menggangu karena menjadi penjara yang membelenggu. Doing mode berpotensi berulang yang kemudian menjadi ruminasi (rumination thought).

Kebalikan doing mode adalah being mode. Cara kerja pikiran ini lebih terjaga, tertata, dan tidak terburu-buru. Pikiran hanyalah sebuah bentuk imaji mental, bukan sebuah kenyataan. Individu yang mengembangkan being mode lebih menyadari pikiran yang datang dan mengolahnya menjadi sebuah keputusan yang tepat.

Memunculkan being mode dalam keseharian seolah mudah, namun nyatanya butuh latihan, apalagi bagi mereka yang memiliki gangguan, seperti depresi dan kecemasan.

Itulah mengapa doing vs being mode menjadi satu sesi yang amat penting dalam Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT). Di sesi ini, klien diajarkan untuk mengenali dan menyadari pikirannya, apakah itu termasuk dalam doing mode atau being mode. Setelah berkenalan dengan pikirannya sendiri (yang kenyataannya lebih banyak doing mode), tahap selanjutnya adalah berlatih mindfulness.

Banyak jenis latihan mindfulness yang bisa dilakukan, seperti breathing, body scan, dan walking. latihan-latihan tersebut bukan hanya dilakukan selama sesi bersama terapis, namun juga di rumah. Sampai akhirnya, klien dapat mengevaluasi sendiri, "Pikiran saya masih sering berada pada mode doing atau sudah being ya?"

Cek pelatihan mindfulness terbaru di sini >>>

Selasa, 26 Februari 2019

Coaching & Behavior Shifting [Mindfulness-Based Coaching Event]


Oleh Duddy Fachrudin

"Dan apa artinya menjadi Dragon Warrior?"

Pertanyaan yang diajukan Shifu kepada Po di pembuka Kungfu Panda 3 ini membuatnya terdiam sejenak, lalu berkata, "It means, you know, just going around and punching, kicking. Defending the Valley..."

Jawaban sederhana dan apa adanya dari Po memang bukan yang diinginkan Shifu dan tentunya Oogway, namun karena hal itu pula Po merenungi kembali makna menjadi Ksatria Naga? Untuk apa?

Premis yang ditampilkan dalam Kungfu Panda 3 tentang makna menjadi seorang pendekar sekaligus menjawab siapa sesungguhnya saya, atau who am I? Sebuah pertanyaan yang bagi Oprah Winfrey menjadi syarat mutlak yang perlu diajukan dan dijawab oleh dirinya sendiri.

Keterampilan bertanya sendiri nyatanya tidak mudah dan penuh tantangan. Sebagai seorang leader atau mentor, termasuk konselor dan psikolog kadang lebih nyaman memberikan masukan atau nasehat kepada tim atau kliennya. Cara ini kadang kurang berhasil karena saran yang diberikan tidak cocok untuk diterapkan.

Maka Shifu, tidak pernah meminta Po untuk melakukan meditasi untuk menemukan jawaban atas "who am I?"

Inilah proses coaching dimana seorang guru mengarahkan muridnya lewat berbagai pertanyaan bukan sekedar nasehat, masukan, dan juga penilaian (judgement).

Namun tantangannya, di era digital yang serba cepat dan terburu-buru menggeser sikap dan perilaku manusia. Terjadi behavior shifting yang sangat nyata dimana orang-orang tanpa filter berkomentar, cyber bullying, dan yang terbaru tidak adanya pencegahan pada seorang pemuda di Lampung yang melakukan bunuh diri. Masyarakat hanya bisa menonton dan merekam (disertai canda tawa) yang sangat tidak beretika.

Salah satu makna dari shifting, yaitu change the emphasis, direction, or focus. Telah terjadi perubahan arah yang semakin kurang terkendali karena kurangnya jeda dan tanya mengenai hakikat manusia. Salah satu fungsi dari korteks prefrontal, yaitu sebagai inhibitory control telah menurun, yang berefek pada pengambilan keputusan yang tidak waskita dan bijaksana.

Maka coaching berbasis pendekatan mindfulness adalah skill bagi siapa saja yang sedang menuju peradaban baru, yang saat ini sedang bergolak (bukan hanya fisik tapi juga pikiran)

Keseimbangan hanya akan tercapai saat manusia kembali bertanya dan saling menanyakan serta menemukan jawaban mengenai apa hakikat menjadi seorang Ksatria Naga?

Sumber gambar:
https://www.yooying.com/p/1987849270557269484_8428988123

Minggu, 06 Januari 2019

Event Mindfulness: Mindfulness-Based Cognitive Therapy


Oleh Duddy Fachrudin

Mengawali 2019, apa resolusimu?

Setiap orang mendambakan kondisi yang lebih baik setiap harinya. Jika tidak bisa lebih baik, minimal hari ini setara dengan hari kemarin. Jika saat ini lebih buruk dari yang lalu, maka kita menjadi orang yang merugi.

Kesehatan, finansial, spiritual, ilmu dan pengetahuan, teknologi, relasi dan sosial, serta kebahagiaan secara psikologi merupakan domain resolusi dalam hidup manusia.

Kita berharap semua aspek kehidupan tersebut terpenuhi sehingga kehidupan yang kita jalani dapat berjalan dengan lancar dan tenteram.

Namun, kadang kita menemui beberapa aspek tidak berada dalam keseimbangan sehingga menggerus dan menggoyahkan perjalanan hidup. Di saat seperti ini, jiwa kita menjadi tidak stabil, pikiran terdistorsi, dan perasaan yang tidak menentu hadir menemani hari demi hari.

Maka, resolusi 2019 itu perlu ditambahkan satu domain lagi, yaitu berharap agar bisa lebih mindful. Agar kita bisa menyadari, menerima, dan melepas segala pikiran dan perasaan yang tidak nyaman.

Untuk itu kami hadir.

Mindfulness-Based Cognitive Therapy ini bukan hanya untuk para praktisi psikologi saja, namun untuk siapa saja yang ingin mempelajari mindfulness secara sistematis dan komprehensif, lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Beritahu teman-teman dan kerabatmu. Kabar terbaru hingga hari ini, masih ada seat tersedia untukmu.




Rabu, 21 November 2018

[Event Mindfulness] Be A Mindful Mom




Ibu, jangan bersedih
Ibu, berpikirlah yang jernih
Aku yang sebentar lahi lahir ini, akan membuatmu ceria

Namun, aku, sang ibu entah mengapa gelisah, lelah, dan mudah marah. Lantas kemudian menyendiri, kurang bisa berkonsentrasi, dan memiliki pikiran bunuh diri. Entah mengapa, rasa ini hadir. Bahkan setelah anakku yang dinanti telah lahir.

Ternyata problem psikologis ini bernama Post Partum Depression (PPD) atau Depresi Pasca Melahirkan. Itu yang dikatakan dokter dan psikolog. Kini ku tahu permasalahanku, namun aku pun ingin lebih tahu tentang hal ini dari mereka yang pernah mengalami hal serupa. Dan tentunya, aku perlu tahu bagaimana caranya menangani permasalahan ini.

Karena aku, ibu, ingin bahagia, dan karenanya anakku bahagia.

Be a mindful mom. Itulah aku.

Jumat, 03 Agustus 2018

Yes, Akhirnya Merasakan "Living In The Moment" [Pengalaman Berlatih Mindfulness]


Oleh Oka Ivan Robiyanto

Gegara video pemandangan super lambat berdurasi 6 menit itu pikiran saya semakin mengembara.

"Apa maksudnya ini?"

"Saya kan mau belajar mindfulness berbasis terapi kognitif, kenapa dikasih video yang nggak jelas seperti ini?"

Saya mengikuti pelatihan ini agar saya mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan target seminar proposal cepat terealisasi.

Namun, nyatanya selama pelatihan hari pertama pikiran saya terus dibayangi target. Ditambah video itu... "Oh sepertinya gua dikadalin nih sama pematerinya..." 

Alhasil, pada hari itu, saya belum bisa merasakan hidup dengan memberikan perhatian sepenuhnya di setiap momen.

Pada pelatihan pertama, kami memang belum berlatih mindfulness. Kami banyak berdiskusi mengenai mindfulness dari berbagai pengalaman dan juga dari literatur-literatur ilmiah sesuai dengan tujuan pelatihan ini, yang salah satunya untuk kepentingan penelitian.

Pada hari kedua, barulah saya dan teman-teman berlatih mindfulness.

Hari itu diawali dengan apa yang disebut sebagai mindful walking. Berjalan dengan penuh kesadaran, bagaimana kaki ini melangkah dan merasakan apa yang tersentuh oleh kaki kami sebagai peserta.

Kasar, basah, kotor, pegal yang terasa oleh kaki ini ditambah suara angin hingga kendaraan yang melintas di sekitar wilayah pepohonan tempat kami berjalan. Lalu juga tampak kucing yang sedang tidur berbaring dan suara-suara tonggeret yang bertengger di pepohonan pinus disekitarnya.

Seolah saya bisa memberikan perhatian penuh saat mindful walking... 

Tapi pikiran ini ternyata masih mengembara pada proposal, pekerjaan yang tertunda, serta keinginan mengabadikan pemandangan nan asri ini melalui kamera.

Rasa cemas pun mulai muncul seiring pikiran yang mengembara tersebut. Namun, saat latihan mindful walking berikutnya pikiran ini mulai bisa ditata hanya untuk merasakan langkah kaki dan apa yang terinjak dibawahnya.

Saat otot-otot paha ini melangkah secara bergantian, tumit yang menyentuh tanah dilanjutkan dengan jari-jari kaki yang menyentuh ranting-ranting yang berserakan sungguh amat terasa.

Perasaan nyaman dan tenang pun mulai muncul meskipun sesekali pikiran ini kembali mengembara ke tempat lain namun bisa kembali lagi untuk merasakan sentuhan pada kaki ini. 

Selain berlatih mindful walking di hutan pinus yang asri itu, kami juga berlatih mindful hearingmindful eating, breathing, meditasi duduk, dan body scanning.

Pikiran mengembara tetap muncul, bahkan tidak jarang berupa judgement. Sensasi tidak nyaman terjadi, seperti pusing. Puncaknya ketika latihan body scan, rasa pusing dan mual tersebut tidak tertahankan, yang akhirnya membawa saya untuk segera bangun di pertengahan sesi dan berlari menuju ke toilet.

Lega terasa karena sudah membuang racun yang bersarang di dalam tubuh.

Rasa mual ini terjadi mungkin karena saya cemas akan target proposal atau juga karena minum kopi saat sesi coffe break.

Maka saat ada sesi berlatih mindfulness lagi yaitu pada pelatihan hari keempat (pelatihan hari ketiga membahas desain intervensi mindfulness), saya tidak minum kopi, dan tentunya saya juga melepaskan kecemasan saya. Dan, I'm really fine and yes, finally i feel "living in the moment".

Non-striving kuncinya. Tidak berambisi karena semua akan sampai pada waktunya.


Sumber gambar:
http://healthcoachpenny.com/strive-to-non-strive/

Rabu, 01 Agustus 2018

Sikap Mindfulness: Meletakkan itu... Indah



Oleh Duddy Fachrudin

Saat mengikuti sebuah pelatihan biasanya hal yang paling berharga yang kita dapatkan adalah materi pelatihan dan juga pengalaman serta relasi baru.

Namun, yang saya temui pada pelatihan itu bukan hanya ketiganya.

Seorang narasumber yang baru saja menikmati coffe break itu berdiri lalu berjalan perlahan mendekati tempat piring dan gelas kotor. Dengan lembut, ia meletakkan piring kecil dan gelas bekas kopinya di tempat itu.

Indah kami memandangnya.

Lalu pikiran ini tetiba membayangkan semua orang melakukan hal yang sama dalam kehidupannya seperti yang beliau lakukan barusan. Maka kelak tercipta sebuah keselarasan dan harmoni dari sebuah tata perilaku manusia.

Bukan hanya kecantikan nan asyik mengerik kesombongan yang begitu terik. Tapi semesta akan bersenandung memujinya dan berdoa kepada Tuhan agar ia dimasukkan ke dalam surga.

Meletakkan itu indah, bukan?

Apalagi jika kita pandai meletakkan yang tidak berguna seperti sampah yang dapat mewabah.

Tidak hanya sampah fisik.

Yang lebih penting adalah sampah pikiran.

Mereka adalah kecemasan, kesedihan, kekecewaan, iri, dengki, memori yang tidak menyenangkan, kesombongan, prasangka negatif, dan amarah, serta rasa memiliki yang belebihan.

Maka, meletakkan itu indah, bukan?

Orang yang berada di sebelah saya mengangguk.

Sumber gambar:
https://freedomandfulfilment.com/stop-feeding-your-mind-garbage/

Senin, 28 Mei 2018

Berlatih Mindfulness itu Menantang (Pengalaman Berlatih Mindfulness)



Oleh Yulia Irawati

“You are, after all, what you think. Your emotions are the slaves to your thoughts, and you are the slave to your emotions.”
(Elizabeth Gilbert)

Gelisah, bosan, dan pikiran-pikiran itu selalu muncul.

Itulah hal yang saya rasakan selama 5 hari pertama berlatih mindfulness, khususnya meditasi mindfulness.

Saya seperti halnya Elizabeth Gilberth dalam Eat, Pray, Love yang belum bisa tenang saat berlatih meditasi pertama kali. Pikiran-pikiran itu bermunculan silih berganti mengisi ruang rasa. Semakin sering berlatih, justru pikiran-pikiran itu menyambangi lalu membuat saya menjadi emosi. Ya, seperti kata Liz di atas, emosimu adalah budak bagi pikiranmu. Dan kamu adalah budak bagi emosimu.

Berlatih mindfulness itu menantang.

Saya mengevaluasi bahwa saya belum bisa “meletakkan” pikiran-pikiran itu karena kondisi saat ini yang sering mengeluh dan menyalahkan diri sendiri serta lingkungan.

Maka meskipun belum merasakan manfaat yang signifikan saya melatihnya kembali—apalagi jika merujuk literasi, terdapat beberapa manfaat yang diperoleh setelah berlatih mindfulness.

Bisa dikatakan berlatih mindfulness membutuhkan kesabaran, tidak instan (termasuk ingin segera memperoleh manfaatnya), dan punya keinginan kuat. Seperti cerita kali ini:

Pada suatu pagi saya merasakan sakit pada bagian perut bawah, sampai saya tidak bisa melakukan apapun. Hal ini memang sering terjadi ketika saya merasakan stres. Saya lalu memutuskan untuk berlatih body scan meditation.

Ketika melakukan body scan memang rasa sakit itu semakin terasa sakit dan intens, bahkan sampai bagian pinggang pun ikut terasa sakit. Saya kemudian mencoba untuk menerima segala rasa sakit yang dirasakan dan membiarkan rasa sakit itu terus berada dalam tubuh saya.

Pikiran-pikiran mulai mendistraksi dan memerintahkan saya untuk berhenti latihan.

Namun, setelah beberapa kali mencoba untuk tetap fokus kembali pada napas dan menerima rasa sakit yang dirasakan pada daerah sekitar perut, sedikit demi sedikit saya merasa rileks dan nyaman. Sampai pada akhirnya rasa sakit itu mereda, kemudian hilang.

Sejak saat ini saya mulai merasakan manfaat berlatih mindfulness. Dan, meskipun saya berada dalam kesadaran penuh saat berlatih, saya harus bisa rileks. Itu kuncinya.

Dari semua jenis latihan mindfulness, yang paling saya sukai yaitu mindful breathing. Dengan latihan sederhana ini saya lebih merasa mampu untuk mengarahkan perhatian lebih terarah sehingga efek yang dirasakan lebih terasa. Rasa nyaman dan tenang itu hadir.

Ketika saya merasa lebih tenang, emosi saya tidak terlalu meledak-ledak dan lebih mampu untuk mengendalikan diri. Saya pun mulai belajar untuk menerima keadaan saya saat ini. Menerima bahwa semua yang saya jalani dalam kehidupan ini adalah sebuah proses pembelajaran.

Sumber gambar:
https://www.lumimeditation.com/inhaleexhale/wandering-mind-in-guided-meditations/

Rabu, 01 November 2017

Investasi Kesehatan Mental, Perlukah?


Oleh Duddy Fachrudin

Orang-orang biasa bertanya pada dirinya, “Bisakah saya menjadi lebih baik?”, namun mereka jarang bertanya, “Bisakah saya menjadi lebih buruk?”

Teknologi informasi memudahkan hidup kita. Inovasi disruptif membawa kita menjadi lebih cepat, lebih smart, dan lebih menghemat waktu terhadap aktivitas kehidupan kita. Layanan transportasi online misalnya, memudahkan kita menuju tempat yang kita tuju. Maka, semua orang setuju, bahwa era digital informasi ini memiliki dampak positif dan membuat kehidupan kita menjadi lebih baik.

Namun, era baru ini juga memiliki ekses yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental kita. Gangguan tidur, stres, depresi (dan berakhir dengan bunuh diri), permasalahan pada atensi dan memori (akibat multitasking), kecemasan sosial (FOMO), narsis yang patologis, dan adiksi internet serta sosial media merupakan sederet permasalahan yang mungkin terjadi pada individu yang kurang mampu “berselancar” dengan baik di era digital informasi. Maka, Scott Becker, Ph.D dari MSU Counseling Center memaparkan dengan gamblang atropi yang terjadi pada beberapa bagian otak (seperti halnya korteks prefrontal dan insula) akibat kekurangmampuan individu hidup di era digital informasi.

Korteks prefrontal merupakan bagian otak yang menjadi pembeda manusia dengan mahluk lainnya. Pengambilan keputusan, pengendalian impuls (dorongan), perencanaan, dan kebijaksanaan ada di dalamnya. Sementara insula merupakan bagian yang berhubungan dengan empati dan compassion (kasih sayang). Lalu, apa jadinya jika pada kedua bagian tersebut terjadi atropi atau penyusutan?

Maka kemampuan “berselancar” dan beradaptasi di era digital informasi menjadi kebutuhan yang layak dipertimbangkan bahkan disejajarkan dengan kebutuhan pokok kita. Dan salah satu dari kemampuan “berselancar” itu adalah ability to live in the present moment, seperti yang dikatakan Abraham Maslow, psikolog ternama dunia. Investasi terhadap kesehatan mental Anda saat ini akan menentukan kehidupan Anda berikutnya di masa yang akan datang.

Sumber gambar: 
Dokumen pribadi