Tampilkan postingan dengan label Beginners Mind. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Beginners Mind. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 November 2022

Oogway, Karakter Paling Brengsek di Kung Fu Panda







Oleh Duddy Fachrudin

Tahun depan, tepatnya di bulan Maret Kungfu Panda 4 rilis. What? Seriously? 

Kungfu Panda sudah sangat keren dengan ketiga filmnya. Terbukti dengan penilaian di situs IMDB yang memberi skor di atas 7 untuk kisah petualangan Po yang kocak, inspiratif, sekaligus filosofis. Dan yang terpenting teka-teki mengapa Oogway memilih Si Panda Gemoy itu menjadi Dragon Warrior telah terjawab di film yang ketiga.

Kungfu Panda sudah sangat bagus. Setidaknya menurut saya. Dan karena itu tidak berharap ada kelanjutannya.

Baiklah, namun berita tersebut sudah tersebar, bahkan menjadi trending topic di Twitter bulan Agustus yang lalu. Semoga petualangan berikutnya menyajikan kisah yang "Wooooaaaah", seperti reaksi Po ketika mendapatkan suatu pembelajaran baru dari Shifu maupun Oogway.

Master Shifu dan Master Oogway. Kedua guru Po ini punya karakter yang berbeda. Shifu yang serius dan serba terencana, sementara Oogway lebih kalem, intuitif, dan kadang-kadang konyol, plus brengsek juga. Namun karena kebrengsekan Oogway, Kungfu Panda menghadirkan makna bagi penontonnya.

Sebut saja ketika dia tiba-tiba menunjuk Po yang jatuh dari langit sebagai Pendekar Naga, sementara 5 calon yang yang telah disiapkan akhirnya menjadi sia-sia. Karena itu pula Shifu protes kepadanya bahwa jatuhnya Po persis di depan Oogway sebagai kebetulan belaka. Oogway sudah mau memilih Tiger sebagai pewaris Manuskrip Rahasia. Itulah yang ada dalam benak Shifu.

Bayangkan anda di posisi Shifu saat itu lalu melihat keputusan Oogway. Pasti bingung, kesal, kecewa, marah, menolak dan tidak menerima. Brengsek bukan Oogway ini?

Kebrengsekan Oogway berlanjut saat Shifu diminta melatih Po yang "hanya kebetulan" untuk menjadi Dragon Warrior. Lalu Si Kura-Kura ini dengan enaknya mengatakan kepada Shifu di suatu malam di bawah Pohon Persik, "You must continue without me." Dan kemudian Oogway menghilang alias moksa.

Brengsek bukan. Dia yang nunjuk Po, Shifu yang melatih, tapi kemudian dia menghilang. Ngasih kerjaan itu namanya.

Dan saran Oogway kepada Shifu yang begitu campur aduk pikiran dan perasannya itu sebelum moksa hanyalah: "You must believe..." atau dengan redaksi lain, Shifu, kamu harus percaya bahwa Si Gendut Panda yang suka makan itu dapat memenuhi takdirnya sebagai Pendekar Naga yang ditunggu-tunggu keberadannya dan bisa menjadi solusi memberikan kedamaian bagi semua penduduk Valley of Peace.

Assseeem tenan iki Oogway.

Tapi untungnya Shifu yang berarti Guru tersebut mau belajar.

Meski syuuulit menerima keputusan Oogway yang brengsek, ia perlahan membangun raport alias hubungan yang harmonis dengan Po. Pada akhirnya Master Shifu bisa melatih Po dengan cara yang unik dan berbeda. Bahkan ketika Po diminta menguasai inner peace, Po berhasil. Lalu saat Po akhirnya ditugaskan untuk mengajar kungfu dan melatih chi-nya, ia pun bisa.

Memang, hal-hal ajaib dapat bermula dari kebrengsekan. Dan tulisan ini pun mungkin sesuatu yang brengsek bagi anda.

Hikmahnya, terbukalah dengan berbagai pengalaman. Kalau kata mindfulness: kembangkan sikap beginners mind dan jangan terlalu terburu-buru menilai atau menghakimi.

Anak anda, murid anda, bawahan anda, klien anda bisa memenuhi takdir terbaiknya melalui anda.

How? You must believe...

Senin, 25 Oktober 2021

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 3, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Ini seolah mengingatkan kita terkait situasi yang kerap kita hadapi ya? 

Jika kita hidup di tengah karut marut dinamika sosial yang secara moral mungkin bertentangan dengan hati nurani kita, apakah kita akan larut dan hanyut serta terdilusi dalam kondisi hiper konsentrasi yang membuat kita menjadi "ikan asin". 

Ataukah kita tetap menjalani fitrah dan fungsi kita, bahkan mendapatkan limpahan kesyukuran karena mampu menjadi spesies eksklusif yang tidak dipusingkan karena keterbatasan sumber daya dan perebutan support system karena keterbatasan telah kita ubah menjadi keberlimpahan melalui sikap berterimakasih atas semua yang telah dikaruniakan?

Tak heran ya jika lembah Jordan, Laut Mati, dan kawasan segitiga yang dibentuk oleh ujung 3 benua ini menjadi tempat lahirnya peradaban. Banyak hikmah dan nilai intrinsik kemanusiaan yang dapat dipetik dari interaksi manusia dan alam yang menjadi media dan platform hidupnya.

Maka di seputaran Laut Mati pula ditemukan manuskrip penting yang kini dikenal sebagai Dead Sea Scroll. Sebuah manuskrip Alkitab Ibrani tertua yang diprakirakan berasal dari abad ke-3 sebelum masehi sampai abad pertama Masehi, dengan jumlah gulungan 900, manuskrip kuno itu ditemukan antara tahun 1947 dan 1956 di gua Qumran.

Uniknya ini manuskrip berupa naskah multi lingual. Manuskrip ini tidak hanya ditulis dalam bahasa Ibrani saja, melainkan juga berisi tulisan Yunani dan Aramaic, termasuk beberapa teks awal yang berasal dari dari Alkitab. Misalnya, salinan kuno Sepuluh Perintah Allah (Ten Commandments).

Sungguh suatu fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa peradaban senantiasa lahir dan tumbuh dimana alam terkembang menjadi guru. Dimana alam menjadi tempat belajar untuk membangun sadar melalui tanda berkadar yang dapat dicerna nalar secara tertakar. Dan pada akhirnya akan lahir pengetahuan, ilmu, dan iman yang mengakar.

Belajar dari Laut Mati dan juga ikan Aphanius, bersisa sepotong pertanyaan: apakah kita mau menjadi ikan asin atau ikan yang hidup bahagia di air asin?

Sumber gambar:
http://awesomeocean.com/guest-columns/visit-dead-sea-bucket-list/

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Lalu pertanyaan berikutnya, kemana perginya air yang memasuki Laut Mati? 

Ada teori bahwa keberadaan air dengan volume tertentu di Laut Mati terjadi karena adanya evaporasi atau penguapan yang masif. Kondisi ini juga tentu mempengaruhi tingkat kepekatan atau molaritas dari air yang terkumpul. Ada kemungkinan air permukaan di Laut Mati merembes masuk menjadi air tanah. Karena secara geologis memang terletak di jalur patahan Laut Merah dan Great Rift Valley.

Secara geologis Laut Mati diduga terbentuk di masa akhir Pliosene dan awal Plestosen sekitar 3,7 juta tahun lalu. Semula berhubungan dengan laut dan dikenal sebagai Laguna Purba Sedom. Aliran air yang bersumber dari sungai Mujib dan Jordan mengalir ke laut melalui lembah Jerzeel. Tetapi ketika blok Korazim secara evolutif terangkat, maka terjebaklah beberapa danau seperti Amora dan Lisan di masa Pliosen dan menjadi cikal bakal terbentuknya Laut Mati atau Birket Lut (Yam Hamelah) dengan kadar salinitas mencapai 342g/kg dan densitas air yang mencapai 1,24 kg/L.

Tingginya deposit kadar garam yang tertimbun selama jutaan tahun juga tergambarkan melalui terbentuknya beberapa formasi gunung garam di sekitar Laut Mati, salah satunya adalah gunung garam Sodom.

Meski bersalinitas sangat tinggi, tetapi ternyata masih ada organisme biologi yang dapat hidup dalam kondisi ekstrem tersebut. Beberapa bakteri, arkea, dan alga seperti Dunaliella mampu beradaptasi dengan kondisi hipersalinitas tersebut.

Bahkan di beberapa lokus tertentu ada spesies ikan yang mampu bertahan hidup di salinitas yang hampir 10x lipat konsentrasi garam di laut. Ikan itu adalah Aphanius dispar richardsoni. Spesies ikan ini berwarna perak. Untuk dewasa, ukuran panjangnya hanya sekitar 4-5 sentimeter. Spesies ini telah masuk daftar merah dalam organisasi Persatuan Internasional bagi Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak 2014. Populasi nya terus merosot seiring dengan menyusutnya volume air Laut Mati yang tentu berakibat antara lain pada peningkatan salinitasnya.

Jika dipikir pikir ajaib bukan? 

Ada ikan yang mampu bertahan hidup dalam kondisi seekstrem Laut Mati ini. Dari sini kita dapat mengambil hikmah, bahwa sesulit apapun kondisi yang kita hadapi, akan selalu ada jalan untuk menyikapinya hingga kita dapat beradaptasi, bahkan menikmati. 

Mengapa? 

Karena tercipta habitat atau lingkungan eksklusif, dimana hanya yang dapat beradaptasi dan mampu mensyukuri segenap potensilah yang akan berhasil mengonstruksi sinergi yang menghasilkan solusi. Esensinya adalah observasi, adaptasi, identifikasi potensi, sinergi, dan jangan pernah berhenti mensyukuri.

Maka Aphanius tak menjadi ikan asin di Laut Mati, karena spesies ini mampu meregulasi osmosis dan menyeleksi ion sehingga dapat menjaga molaritas cairan tubuhnya agar tidak terpengaruh oleh dinamika konsentrasi cairan eksternal. Menyaring dan menjaga keseimbangan adalah kata kuncinya. 

Kita dapat meneladani Aphanius yang mensyukuri semua potensi yang telah dikaruniakan melalui kekhasan sistem saluran cernanya (gut system) dan desain insang nya yang khas. Artinya setiap kita sebenarnya memiliki potensi untuk beradaptasi dan itu dapat dioptimasi jika kita sepenuhnya menyadari dan ikhlas menerimanya sebagai sebuah konsekuensi dari hadir dan menjalani takdir bukan?


Sumber gambar:
http://awesomeocean.com/guest-columns/visit-dead-sea-bucket-list/ 

Ikan Asin Laut Mati (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Saat berkesempatan menjelajahi Yordania, Palestina, dan sebagian wilayah Israel, banyak hal berkesan di dalam pikiran saya. Bayangkan kita berjalan di atas lahan yang sama di kawasan yang pada masanya dijelajahi para Nabi.

Seolah terputar kembali di dalam benak cerita yang disampaikan dalam berbagai kitab yang mengisahkan dialektika, suasana bathin, dan dinamika sosial yang tercipta dalam suatu model interaksi pada zamannya. Betapa alam dan bentang kawasan ini telah menjadi saksi dari kiprah Nabi Idris, Luth, Nuh, Syuaib, Musa, Harun, Yaqub, Ishaq, Ibrahim, Ismail, Zakaria, Yahya, dan Isa pernah menapaki tanah ini dan setiap bulir molekulnya pernah berinteraksi di sini.

Kota kota tua di seputar Al Qadisiyah atau Al Quds yang dikenal sebagai Yerusalem seperti Hebron, Haifa, Betlehem, Jericho, Nablus, Nazaret, Khan Yunis dan banyak situs bersejarah lainnya telah menorehkan berbagai kisah untuk kita generasi yang datang kemudian.

Dan salah satu keajaiban geologi yang mungkin tak ada orang yang tak mengenalnya di muka bumi ini adalah Laut Mati. Saat mengunjungi keajaiban geologi berupa danau laut mati yang memiliki kadar garam berkonsentrasi sangat tinggi itu sayapun terkagum kagum dan merasa takjub menyaksikan fenomena alam dimana berat jenis cairan atau air laut mati itu tinggi sekali, dan kita dapat mengapung di atasnya tanpa perlu pelampung ataupun gerakan gerakan renang.

Kondisi kandungan kadar garam tinggi ini dapat terjadi karena adanya fenomena geologi yang unik di kawasan terkait, dimana air sungai Jordan yang mengalir dari danau Galilea terhenti di Laut Mati sehingga terjadi konsentrasi dari kandungan mineral, termasuk garam tentunya. Hingga Laut Mati disebut juga kawasan hipersalinitas karena konsentrasi garamnya mencapai 35%.

Laut Mati disebut Laut Mati sejak Era Romawi oleh orang-orang Yudea. Karena saat itu air Laut Mati diasumsikan tidak memungkinkan semua bentuk kehidupan, baik vegetasi ataupun fauna.

Di masa lalu, ketika Sungai Jordan mengalir ke selatan dari Danau Galilea di musim hujan, tumbuhan air dan ikan terbawa oleh aliran sungai ke Laut Mati yang airnya sangat asin.

Ikan maupun ganggang tidak dapat bertahan hidup di air yang hampir 10 kali lebih asin daripada kebanyakan samudera. Dengan kata lain, Laut Mati seperti jebakan maut bagi makhluk hidup.


Sumber gambar:

Rabu, 20 Oktober 2021

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 3, Habis)



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Namun ketika metoda desinfeksi dengan mencuci tangan hendak diperkenalkan sebagai salah satu protokol dasar sebelum tindakan, terjadilah penolakan masif di kalangan medis yang beranggapan bahwa teori Semmelweis tidak didukung oleh bukti bukti ilmiah yang memadai.

Maklumlah saat itu fasilitas dan alat pengamatan di bidang mikrobiologi belumlah berkembang seperti saat ini. Bahkan konsep mikroba sebagai patogen saja masih dianggap kontroversial. Meski Zacharias Janssen (1585–1632) seorang ilmuwan yang berasal dari Belanda, telah berhasil mengembangkan mikroskop dan selanjutnya seorang Antonie Philips van Leeuwenhoek, juga dari Belanda, telah menggunakannya untuk melakukan penelitian untuk melihat diertjes atau animalculum (hewan kecil, makhluk mikroskopis), tetapi konsep nosokomial dan patogen penyebab infeksi belumlah dapat diterima sepenuhnya oleh para dokter di masa itu.

Padahal mencuci tangan dengan klorin di masa Penicillin sebagai cikal bakal antibiotika modern belum ditemukan oleh Alexander Flemmings, adalah cara yang cukup efektif untuk mengurangi resiko terjadinya penularan patogen penyebab infeksi, tetapi kalangan medis saat itu punya pendapat yang berbeda.

Intinya pemikiran dan hipotesa Semmelweis dianggap radikal dan tidak cocok dengan fatsun ilmiah kedokteran yang saat itu diterapkan dan dijalankan segenap profesi medis di berbagai institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan terkemuka.

Bahkan karena kengototan Semmelweis dalam memperkenalkan metoda desinfeksinya, ia dianggap mengalami gangguan mental. Nasibnya berakhir tragis dengan dikirimkan oleh para sejawatnya sendiri ke pusat perawatan jiwa pada tahun 1865.

Demikianlah sekelumit kisah hikmah tentang Semmelweis, sang inovator, yang seperti banyak inovator lainnya, dianggap gila pada zamannya, yang berawal dari sikap ingin tahu, bertanya, mengamati, meneliti, yang itu semua terangkum dalam sikap beginner's mind. 

Kelak waktu akan membuktikan bahwa pemikiran pemikiran mereka yang jauh melampaui jamannya akan mendapatkan pembuktian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan metoda pembuktian yang belum ada di zaman gagasan terkait dilontarkan.

Semmelweis mungkin senasib dengan Nikola Tesla yang pemikiran dan karyanya baru termanfaatkan dan dapat dipahami hampir satu abad setelah pertama kali dicetuskan.

Simpulan dan hikmah yang dapat kita petik dari kisah hidup Semmelweis ini adalah betapa banyak gagasan aneh, bahkan gila, dan belum dapat diuji serta diukur efektivitasnya saat ini, barangkali adalah solusi masa depan yang akan kita butuhkan nanti. Maka inovasi dan kreativitas serta kejelian dalam memetakan hubungan sebab akibat adalah keniscayaan untuk menghasilkan sebuah terobosan yang menghadirkan kemaslahatan, bahkan dapat meningkatkan kualitas peradaban.

Sumber gambar:

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 2)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Terlepas dari berbagai metodologi ilmiah yang berkembang tersebut, Semmelweis melihat bahwa kasus kematian di bangsal persalinan tentulah ada mekanisme sebab akibatnya. Untuk menemukan jawaban atas hipotesis sementaranya itu Semmelweis melakukan pengamatan dan pencatatan yang cukup detil terkait dengan berbagai kondisi, kegiatan, dan prosedur medis, serta berbagai peristiwa yang terjadi di kedua bangsal.

Semula Semmelweis menaruh curiga pada posisi pasien terkait prosedur medis yang dilakukan. Hal tersebut mengemuka karena ia melihat adanya perbedaan posisi pasien di kedua bangsal. Tetapi setelah dilakukan perubahan dan posisi pasien di kedua bangsal disamakan tetap saja perbandingan tingkat kematian tidak berubah.

Semmelweis berpikir keras dan mencoba mencari faktor penyebab lain yang dapat menjadi alasan rasional terjadinya ketimpangan tingkat kematian tersebut. Tak lama ia melihat bahwa ada kemungkinan kehadiran pendeta dan ritualnya setiap ada kematian di bangsal persalinan dapat memicu stres dan tekanan mental yang berakibat fatal pada pasien. 

Semmelweis melihat adanya perbedaan ritual di bangsal yang ditangani dokter dan di bangsal persalinan bidan. Sebenarnya pemikiran Semmelweis ini sudah menjangkau pendekatan psikoneuroimunologi yang saat ini berkembang pesat. Sayangnya saat itu setelah upaya meminimalisir ritual dan mengubah pola kunjungan rohani, ternyata tetap tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari perbandingan angka kematian semula.

Semmelweis tak menyerah apalagi putus asa, ia terus berusaha mencoba mencari alasan paling rasional yang menjadi penyebab utama tingginya angka kematian di bangsal para dokter dan mahasiswa kedokteran. Hingga pada suatu hari Semmelweis mendapat kabar duka tentang kematian koleganya, seorang patolog, yang diduga akibat terkontaminasi dan terinfeksi patogen saat melakukan autopsi. Dan kejadian semacam itu jamak terjadi pada jaman itu. Patolog yang seyogianya bertugas mencari sebab sebab kematian melalui proses autopsi, kerap sakit dan bahkan meninggal karena tertular dari jenazah yang diautopsi.

Melihat kondisi tersebut Semmelweis mendapatkan suatu titik cerah. Dari catatan hasil observasinya, Semmelweis menemukan bahwa para dokter dan mahasiswa kedokteran selain menjalankan tugas klinik, juga mendapatkan penugasan untuk melakukan autopsi.

Ada kemungkinan pasca proses autopsi para dokter dan mahasiswa kedokteran yang langsung menangani persalinan justru menjadi vektor pembawa patogen infeksius ke pasiennya. Di zaman modern kondisi ini dikenal sebagai infeksi nosokomial.

Untuk membuktikan dan mencegah terjadinya kejadian serupa terus berlangsung, Semmelweis memperkenalkan metoda desinfeksi dengan menggunakan klorin/chlorine (Cl2) atau bentuk sediaannya NaOCl (sodium hipochloride). Hasil riset dan eksperimentasi kliniknya berhasil. Angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran menurun seiring dengan diberlakukannya protokol mencuci tangan dengan klorin sebelum melakukan tindakan persalinan.

Sumber gambar:

Sikap Mindfulness Beginner's Mind: Gila Pada Jamannya (Bagian 1)



Oleh Tauhid Nur Azhar

Pandemi mengajarkan pada kita normalitas baru dalam beraktivitas dan berinteraksi di antara sesama manusia. 3M, 5M, bahkan 6M. Di antara M itu mencuci tangan menjadi salah satu M yang dianggap berperan signifikan dalam upaya mengurasi resiko penularan.

Kisah kita berawal dari soal cuci mencuci tangan, tetapi izinkanlah saya membawa kita semua mengembara menelusuri lorong waktu, kembali ke tahun 1846.

Alkisah pada tahun 1846 di Viena General Hospital seorang dokter Hungaria bernama Ignaz Semmelweis bertugas. Semmelweis bukanlah seperti klinisi pada umumnya, ia klinisi yang kritis dan gemar meneliti serta selalu mencari hubungan sebab akibat dari berbagai fenomena yang kerap dihadapi di rumah sakit.

Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah perbedaan angka kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter dan mahasiswa kedokteran dengan bangsal yang ditangani bidan. Tingkat kematian di bangsal persalinan yang ditangani dokter 5x lebih tinggi dibandingkan di bangsal yang ditangani bidan. Fakta ini amat mengganggu pikiran Semmelweis yang tak puas dengan berbagai penjelasan yang ada.

Meski pada masa itu metodologi penelitian klinis belumlah berkembang sebagaimana yang kita kenal hari ini, Semmelweis dengan jeli telah melihat adanya kemungkinan faktor-faktor penyebab tertentu yang mendasari terjadinya perbedaan tingkat kematian tersebut.

Pada abad ke X dunia sains telah diperkenalkan berbagai upaya validasi hasil pengamatan dan penerapan berbagai metoda untuk mencari hubungan baik asosiatif, korelatif, maupun kausalistik dengan model sampling dan pengujian yang dapat menjamin objektivitas, oleh seorang ahli optik Timur Tengah yang juga penemu kamera Obscura, Abu Ali Al Hasan Ibnu Haytham yang biasa dipanggil Al Haytham saja. 


Al Haytham adalah cendekiawan polimat yang berasal dari Basrah (kini masuk wilayah Irak). Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Aristoteles (384 SM–322 SM), Euclid yang hidup sekitar abad ke-4 SM, Ptolemy (90–168), ilmuwan Fisika Yunani Galen (129–200), Al-Kindi (801–873), Banu Musa yang hidup di abad ke-9, Thabit ibn Qurra (826–901), Ibrahim ibn Sinan (908–946), Al-Quhi, dan Ibn Sahl (940–1000). Intinya pendekatan bermetodologis ala Al Haytham inilah yang kemudian melahirkan revolusi sains dengan berbagai implikasi terapannya.

Perkembangan konsep metodologi ilmiah dan penelitian sendiri berlanjut berabad abad kemudian yang antara lain dikembangkan oleh Francis Bacon yang memperkenalkan metoda induksi. Dalam magnum opus-Novum Organum atau instrumen baru, Bacon ber­argumentasi bahwa meskipun pada umumnya filsafat menggunakan silogisme deduktif untuk menginter­pretasikan alam, terutama menurut logika Aristotelian, seorang filsuf dan ilmuwan seharusnya juga memulai penalaran induktif dari fakta ke aksioma, lalu ke hukum fisika.

Dimana metoda deduksi yang selama ini dikenal adalah metoda dengan proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum untuk mencapai kesimpulan logis tertentu. Sedangkan metoda induksi ala Bacon adalah mengambil simpulan yang bersifat umum dari data dan fakta yang bersifat khusus.

Halaman Selanjutnya >>>

Senin, 19 April 2021

Cara Kerja Sel Dendritik yang Dapat Membantu Proses Pengenalan Terhadap Patogen


Oleh Tauhid Nur Azhar 

Selama pandemi terjadi kita mendapat banyak sekali tambahan informasi dan pengetahuan terkait berbagai perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, farmasi, dan bioteknologi. Di antaranya terkait dengan sistem imunitas dan berbagai pendekatan imunologi yang terus dikembangkan untuk dapat diterapkan sebagai bagian dari pengelolaan wabah yang bersumber dari mikroba patogen, yang dalam hal ini adalah virus.

Kita sedikit banyak jadi mengenal berbagai istilah, mulai dari teknik dan metoda pemeriksaan RT-PCR sampai ke berbagai jenis vaksin yang semuanya membuka wawasan kita tentang kemajuan ilmu kedokteran dan farmasi berbasis bioteknologi.

Dalam tulisan ini akan sedikit dibahas respon imun dan efektornya yang cukup penting dalam proses pengenalan patogen dan dapat menjadi acuan dalam mempelajari bagaimana cara bekerjanya sistem imun kita.

Salah satu mekanisme yang amat menarik dalam proses pengenalan (identifikasi) dan stimulasi respon imunitas berjenjang adalah peran dari mekanisme yang dikenal sebagai APC (antigen presenting cell). Adapun elemen dari sistem imunitas yang terlibat dalam mekanisme APC ini antara lain adalah sel dendritik, makrofag, dan juga sel limfosit B. Sebagai sel APC profesional sel dendritik memiliki mekanisme kerja yang cukup kompleks dan menarik untuk dipelajari.

Secara umum jika terdapat suatu pajanan antigen tertentu yang masuk ke dalam tubuh manusia, sel dendritik akan "menangkap" dan "menelan" antigen yang diduga merupakan patogen yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Proses tangkap telan itu dinamai fagositosis atau endositosis. 

Setelah antigen ditelan, maka antigen akan ditempatkan di dalam suatu kantong khusus di sel dendritik yang dinamai fagosom. Selanjutnya setelah sel dendritik menelan antigen, ia akan kembali ke markas besarnya yaitu kelenjar limfa regional untuk seterusnya memproses "tahanan" yang telah ditangkap rekannya tersebut.

Di dalam fagosom sel dendritik, antigen akan diproses dengan cara meleburkannya dengan kantong lain yang bernama lisosom. Dimana akan terbentuk suatu struktur baru bernama fagolisosom (seperti penggabungan Kemenristek dengan Kemendikbud ya?). Di dalam fagolisosom itu antigen (dari virus) akan dipotong-potong menjadi peptida yang terdiri dari 7 sampai dengan 14 asam amino. Proses pemotongan itu dilakukan oleh enzim Protease yang semula terdapat di lisosom.

Sementara itu secara paralel, di dalam sel dendritik ada organela lain yang juga giat bekerja dan teraktifkan dengan kehadiran antigen tadi. Organela itu adalah retikulum endoplasma yang sibuk memproduksi molekul-molekul yang bernama Major Histocompatibility Complex atau MHC, tepatnya MHC kelas II. Mengapa kelas II? Karena antigen yang diproses oleh sel dendritik sebagai APC profesional adalah antigen yang berasal dari luar ekosistem alias bersifat eksogenous.

Selanjutnya molekul MHC-II yang diproduksi oleh retikulum endoplasma tersebut akan dipindahkan ke organela lain yang bernama aparatus golgi dan ditempatkan dalam kantong (vesikel) khusus. Lalu apa yang terjadi? Vesikel berisi molekul MHC-II akan bergabung dengan endosom berisi peptida hasil pemotongan di fagolisosom, lalu gabungan keduanya akan menghasilkan kompleks MHC-II+Peptida yang akan diekspresikan ke permukaan sel dendritik melalui mekanisme yang menyerupai proses eksositosis.

Kompleks peptida MHC-II inilah yang akan dikenali oleh sel-sel T Penolong Naif atau Limfosit T-CD4+, kerap dikenal pula sebagai sel Th0.

Proses berikutnya, peptida antigen virus akan berikatan dengan reseptor sel T (TcR) dan MHC-II akan berikatan dengan molekul CD4 di permukaan sel Th0.

Selanjutnya ikatan ini akan mengaktifkan sel limfosit CD4 atau sel T Penolong ini yang akan mengaktifkan proses polarisasi fungsi dari sel Th0 untuk menjadi sel T Penolong 1 (Th1), Th2, dan sel T Memori.

Proses ini juga disertai dengan terjadinya produksi sitokin atau zat komunikator sel. Sitokin yang diproduksi pada jalur polarisasi Th2 antara lain adalah: IL-4, 5, 6, 10, dan 13. IL adalah singkatan dari interleukin.

Mengapa jalur Th2 yang dibahas dalam tulisan ini? Karena melalui jalur Th2 inilah, dengan bantuan IL-4 dan IL-13 yang berikatan dengan reseptornya di sel limfosit B akan terjadi proses yang dinamakan isotype switching yang akan menghasilkan molekul antibodi spesifik. Dimana molekul antibodi khas, imunoglobulin G/IgG, yang diproduksi sel B dapat berperan sebagai elemen sistem imunitas spesifik terhadap patogen yang telah disajikan oleh sel-sel dendritik.

Demikian sekilas kisah tentang kecanggihan sistem imunitas tubuh kita, yang dalam tulisan ini diwakili oleh peran sel dendritik yang unik. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, sebagai bagian dari upaya untuk mensyukuri anugerah Tuhan yang telah mengaruniai kita dengan berbagai sistem tubuh dengan berbagai mekanisme kerja yang istimewa dan dapat melindungi kita dari berbagai bentuk marabahaya.

Sumber gambar:

Kamis, 27 Agustus 2020

Sikap Mindfulness: Melepas Jubah Malaikat




Oleh Duddy Fachrudin 

Manusia selalu senang dengan ciri atau atributnya. Ciri tersebut dapat berupa gelar dan profesi yang disematkan, pakaian yang dikenakan, harta yang dimiliki, tahta yang diduduki, dan pernak-pernik lainnya. Karena senang tersebut tidak jarang ciri tersebut akhirnya melekat pada diri seseorang dan dibawa kemanapun ia pergi.

Jon Kabat-Zinn, pengembang Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) bercerita dalam bukunya Wherever You Go There You Are bahwa ia tidak pernah menggunakan jubah malaikatnya selama berpraktek menjadi seorang dokter.

“Ketika saya mulai bekerja di pusat kesehatan, saya diberi tiga jas panjang berwarna putih yang di sakunya bersulamkan tulisan ‘Dr. Kabat-Zinn/ Departemen of Medicine’. Semuanya tergantung di balik pintu saya selama lima belas tahun, tanpa terpakai.”

Apa yang dilakukan Jon Kabat-Zinn tentu memiliki alasan tertentu. Baginya jas putih adalah simbol yang tidak diperlukan dalam pekerjaannya sebagai seorang dokter.

Seorang dokter akan disebut dokter karena pelayanannya yang tulus, bukan karena jas malaikat tersebut. Bahkan siapapun orang yang memberikan bantuan secara ikhlas layak disebut dokter, begitu kata Patch Adams, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute.

Kebahagiaan dapat dimulai dengan melepaskan atribut yang ada pada diri kita. Dan kemudian kita menjadi manusia yang lebih berfokus pada misi hidup menebar kebermanfaatan sebaik-baiknya kepada sesama dan semesta. 

Sumber gambar: 

Jumat, 17 Juli 2020

Mindfulness Tidak Hebat-Hebat Amat



Oleh Duddy Fachrudin 

Jika ada satu intervensi psikologi yang gitu-gitu aja, cenderung membosankan, dan mungkin malah membuat stres, maka itu adalah mindfulness

Mungkin saja hasil-hasil penelitian yang membesarkan nama mindfulness itu penuh dengan bias dan konflik kepentingan. 

Mindfulness sebagai prediktor kebahagiaan, kesejahteraan psikologis, ataupun kesehatan fisik mungkin juga perlu dipertanyakan keabsahannya. 

Bukankah berlatih mindfulness dan mengembangkan kehidupan yang mindful, aslinya tidak mengharapkan apa-apa? 

Maka jangan terlena rayuan orang-orang yang mengatakan mindfulness adalah jurus jitu dalam menyelesaikan kecemasan, depresi, atau permasalahan psikologis lainnya. 


Mindfulness mengajak individu untuk tidak menilai. Namun, manusia tidak bisa tidak melakukan penilaian atau evaluasi. Termasuk tulisan ini yang penuh dengan penilaian. 

Masih banyak alternatif tritmen atau intervensi lain yang bisa digunakan, yang lebih mudah, instan, dan berdampak ketimbang mindfulness

Mindfulness bukan apa-apa. Bukan strategi keramat. 

Mindfulness tidak hebat-hebat amat. 

Sumber gambar:

Selasa, 14 Juli 2020

Non-Judgement: Apa Salahnya Menjadi Janda?



Oleh Tauhid Nur Azhar 

Ada stigma dan penilaian yang acapkali disematkan pada sekelompok orang atau komunitas. Misalnya saja terjadi pada wanita yang menjadi janda, khususnya mereka yang mendapatkan status tersebut karena perceraian. 

Tentu hal ini perlu dikaji secara holistik dan multiaspek agar tidak terjadi stigma kurang produktif pada kelompok tertebut. Perjalanan hidup manusia kan dinamis. Stigma ini juga mendera para penderita Covid, pelaku poligami, pengidap HIV, dan banyak lagi pada mereka yang kita anggap berbeda. 

Padahal kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya mereka alami dan apa yang melatarbelakangi pilihan hidup mereka tersebut. Kita terlalu nyaman dalam zona "menilai" dan berasumsi dengan persepsi kita sendiri secara sesuka hati. Maka berbeda menjadi masalah besar di negeri ini.

Sayangnya konteks kebersamaan yang dibangun tidak dalam kontribusi konstruktif. Padahal keberagaman justru potensi besar untuk saling mensubstitusi dan mengomplementasi. Membantu dan saling melengkapi, kalau bisa memperkaya wawasan dengan memberi ruang untuk saling belajar dan memetik hikmah dari interaksi serta pertukaran pengalaman.

Jadi tema besarnya bukan lagi #savejanda, tapi semestinya lebih ke arah #savekemanusiaan. Karena rasa kemanusiaanlah yang telah luntur dalam tradisi kita bermasyarakat. Otak kita terkapitalisasi dan pada akhirnya profit menjadi motivasi dan transaksi menjadi satu-satunya mekanisme yang diketahui.

Lihat pohon ditebang, lihat burung ditangkap, lihat apapun yang dapat menjadi sumber kenyamanan langsung diterkam. Tidak salah memang, tapi itu semua perlu niat suci untuk saling memberdayakan, bukan saling memperdayakan. Kan tugas kita adalah menjadi Khalifah. Misinya membumikan Rahmah. Karakternya harus amanah. Sikap mentalnya haruslah kaffah, Istiqomah, dan tak mengenal lelah dalam Lillah.

Wejangan bagi jiwa-jiwa yang lelah, juga yang jengah dengan kondisi yang terjajah oleh pragmatisme, pesimisme, dan melahirkan oportunisme yang mengerdilkan nilai dan makna hidup menjadi sekedar deretan angka-angka yang dianggap dapat membeli cinta serta menebus waktu agar mau sejenak membeku.

Padahal fitrahnya hanyalah satu. Terus maju. Dan kita yang tersandera dalam detik dan detak seolah tak menyadari bahwa yang berlalu itu akan hadir selalu, dan yang saat ini adalah konstruksi dari mimpi yang perlahan mulai menyetubuhi bumi dan mencumbui tubir memori. Dan masa depan adalah cakrawala harapan dengan berbagai jalan yang tersedia sebagai pilihan.

Dan kita ditakdirkan untuk menjadi makhluk persimpangan. Dimana setiap detik waktu dan setiap detak jantung memerlukan keberanian untuk memutuskan. Dan hidup dapat dipremiskan sebagai sekumpulan keputusan. Juga setumpuk penyesalan yang kerap menimbuni rasa syukur yang lantas terlupakan.

Tapi syukur itu "benih". Meski ditimbuni "tahi sapi" ia tak pernah menyesali. Karena ia tahu, tahi sapi kaya nutrisi. Maka diserapnya sajalah kepedihan dan kekecewaan yang telah menjadi "tahi" dan kerap kita emohi. Kita sembunyikan dan tutup rapat-rapat dalam septic tank lalu kita menipu diri dengan semprotan parfum wangi bebungaan.

Kentut dan tahi fitrahnya berbau busuk. Tentu untuk mengingatkan bahwa pahit dan getir adalah syarat untuk manis dan lezat. Maka yang bisa menerima tahi sebagai kompos atau biogas akan dapat tahu dan berbagai hal yang dia mau. Tapi jangan tolak dulu tahinya. Syukuri semuanya. Jangan hanya mau mengunyah yang kita suka lalu melepehkan semua yang tak kita kehendaki.

Siapa tahu dari tahi yang tidak kita kehendaki itulah benih bahagia akan tumbuh dan bertunas... 

Sabtu, 11 Juli 2020

Metafora: 11 Lampu Merah




Oleh Duddy Fachrudin 

Jogja kota yang unik. Makanannya khas, seperti gudeg, krecek, nasi kucing, bakmi, sate klatak, tahu guling, getuk, hingga tiwul. Bahkan di daerah Gunung Kidul ada yang namanya walang (belalang) goreng. Minumannya? Jangan ditanya, ada dawet, kopi jos, wedang ronde sampai wedang uwuh. Dijamin kuliner khas Jogja ini membuat kita ketagihan untuk terus makan dan makan.

Selain kulinernya, Jogja terkenal dengan budayanya, tempat wisatanya, pantainya, goanya, psikolog puskesmasnya, dan lalu lintasnya serta sarana transportasinya. Khusus yang terakhir ini, memang baru saya jumpai kalau di Jogja angkutan transportasi umumnya hanya ada bus kota, transjogja, ojeg, becak, dan taksi. Satu yang tidak ada yaitu angkutan kota (angkot). Karena angkot tidak ada, maka banyak penduduk Jogja yang memakai sepeda motor sebagai kendaraan sehari-harinya. Jika tidak ada motor, maka akan sulit sekali ke mana-mana.

Selama kuliah di Magister Psikologi Profesi Universitas Gadjah Mada (UGM) saya menggunakan motor untuk pulang pergi rumah-kampus UGM. Saya tinggal di Imogiri dekat makam raja-raja. Selama perjalanan Imogiri-UGM, saya menghitung ada sekitar 11 lampu merah yang saya temui. Jika di setiap lampu merah saya berhenti 40 detik, maka total saya kehilangan 440 detik atau 7 menit. Imogiri-UGM sendiri dalam waktu normal menempuh waktu 40 menit. Ditambah perkiraan kehilangan 7 menit, saya harus memiliki waktu minimal 47 menit untuk bisa sampai di UGM dari tempat tinggal saya.

Jam kuliah paling pagi adalah pukul 7.30, maka saya harus sudah berangkat maksimal pukul 6.43. Pada awalnya saya cemas, kalau-kalau saya terlambat, oleh karena itu saya biasa berangkat pukul 6.30, apalagi sepanjang jalan Imogiri penuh dengan pengendara sepeda motor yang menuju Jogja. Atau saya dapat berangkat pukul 6.43, melajukan motor dengan kecepatan 60-70 km/jam dan mengusahakan tidak terkena lampu merah.

Pada awalnya saya sering tergesa-gesa dan memacu kendaran dengan kecepatan tinggi saat berangkat kuliah. Tujuan saya hanya satu yaitu datang tepat waktu atau sebelum pembelajaran dimulai. Ketika saya harus berhenti karena lampu merah sering kali saya kesal. Pikiran pun mengembara dan menerka-nerka ke masa depan, “Jangan-jangan saya telat!”.

Beberapa waktu kemudian saya menyadari ternyata pikiran dan perasaan saya tidak nyaman.

Lalu, saya mengijinkan diri saya lebih santai ketika harus berhenti di lampu merah. Kenapa? 

Bukankah saat saya berhenti di lampu merah saya bisa menarik nafas sejenak sebelum memacu kendaraan lagi? Ketika saya berhenti di lampu merah, itu artinya saya bisa melihat ke sekeliling dan menemukan insight untuk ide-ide atau tulisan saya berikutnya. 

Atau saat saya berhenti di lampu merah, hati ini berkata, “Hidup ini kadang memang butuh berhenti sejenak. Berpikir sesaat. Atau merenungkan apa yang telah dilakukan oleh diri ini.”

Dan gara-gara daya berhenti di lampu merah, saya jadi punya ide membuat tulisan ini.

Sumber gambar:

Selasa, 30 Juni 2020

Mindful Diet: Memasak Dimsum Sepenuh Jiwa


Oleh Nur Yanayirah 

Kenapa mindful cooking

Karena saat saya belanja, cuci bersih bahan, bikin adonan, membentuk adonan, dan kukus, dilakukan dengan mindful, maka memasak menjadi enjoy. Penuh kesadaran dan kesabaran, fokus dan konsentrasi selama memasak. 

Mengosongkan pikiran untuk hal-hal lain, memprioritaskan untuk memasak dimsum ini, dan menikmati semua proses-nya, tidak terlalu mempedulikan bagaimana hasilnya. 

Yang penting adalah "kenikmatan dalam bekerja", hadir pada saat ini, pikiran tidak mengawang-awang ke masa lalu, atau masa depan. Hadir, sepenuh jiwa...

Dimsum Ayam Keju

Bahan:
-500 gram ayam cincang
-Keju 100 gram
-Wortel parut

Haluskan:
-Bawang merah 10 siung
-Bawang putih 5 siung
-Jahe 1 buah

Bumbu lain:
-Saus tiram 2 sachet
-Penyedap rasa bisa di skip
-Tapioka 10 sdm
-Telor 1 butir
-Daun bawang secukupnya
-Garam secukupnya
-Gula pasir secukupnya
-Kulit pangsit

Let's cook...
 
Cuci bersih ayam, lalu cincang.

Haluskan bumbu, tambahkan saus tiram, penyedap rasa, garam, gula, daun bawang cincang, tambahkan telur dan keju, aduk rata, dan taburi wortel parut.

Masukan adonan dimsum ke dalam kulit pangsit, kukus selama 35-40 menit, api sedang saja. 

Sajikan..

Hidup berkesadaran dengan melakukan mindfulness in cooking. Cukup masak yang simpel-simpel. 

Atau selain memasak teman-teman juga bisa melatih hidup mindful dengan melakukan aktivitas: menyetrika baju, melukis, menggambar, dan menjahit. Jangan terlalu pedulikan hasilnya. At least teman-teman sudah berusaha.

Dengan terbiasa melakukan ini, insya Allah kita jadi bisa lebih fokus, dan mengurangi pikiran negatif yang tidak perlu.

Sumber gambar:
Dokumentasi pribadi

Senin, 13 April 2020

Iftirosy Mengusir Corona dan Kerja dari Rumah


Oleh Duddy Fachrudin 

Seorang bocah cilik dengan lantangnya berkata kepada corona: 

Hey corona, siraku ya gawe pegawean isun 
Isun pengen sekola bae beli bisa 
Pegawean diliburaken 
Apa-apa diliburaken 

Siraku... mana lunga 
Aja mene-mene maning 

Hei corona, kamu tuh buat pekerjaan aku 
Aku mau sekolah saja tidak bisa
Pekerjaan diliburkan 
Apa-apa diliburkan 

Kamu tuh ya, sana pergi 
Jangan ke sini lagi

Jika setiap orang disurvei terkait keberadaan corona, maka semua setuju jika corona menjauh, memudar, menghilang dari muka bumi. 

Gara-gara corona semuanya menjadi stres: 

Cemas keluar rumah 
Bosan di rumah aja 
Penghasilan tak punya 
Parno kalau ada yang batuk dan bersin seenaknya 

Tabungan menipis dan terpaksa puasa makan 
Ga bisa lagi jalan-jalan 
Ga bisa lagi nonton film bersama teman 

Kerja di rumah ga bisa fokus dan banyak gangguan 
Kerja di rumah sendirian 
Kerja di rumah malah tidur berkurang 

Semuanya berubah dari biasanya. Tak semestinya begini. Corona sana pergi! 

Lagi-lagi jiwa kita marah, tak menerima yang ada. 

Berusaha memejamkan mata, lalu menarik nafas dengan lembut, dan berdoa: 

Tuhan, kuatkan aku untuk mengubah hal-hal yang dapat aku ubah. Ikhlaskan aku untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah. Dan jernihkan pikiran serta hatiku untuk dapat membedakan keduanya. 

Setelahnya stretching sejenak melepaskan ketegangan. Ah, lalu menikmati sajian buah-buahan. 

Hati terasa tenang karena tak berusaha mengendalikan. Segalanya diletakkan: stres, cemas, dan ketakutan. 

Jiwa tak lagi carut marut. Wajah tiada berkerut. 

Diri menyelam dalam tahannuts. 

Melakukan dudi (duduk diam) iftirosy. 

Rabbighfirlii 
Warhamnii 
Wajburnii 
Warfa'nii 
Warzuqnii 
Wahdinii 
Wa'afinii 
Wa'fuannii 

Diawali dengan Tuhan ampuni aku dan diakhiri dengan Tuhan maafkanlah aku (yang suka mengeluh). 

Kerja di rumah nir stres dan tanpa keluhan. 

Mari atur napas untuk kembali pada prioritas. Usahakan tak terlalu multitasking agar tak menjadi pusing. Membuat jeda untuk mengisi energi cinta. Say hello menyapa teman yang selama pandemi jadi berjauhan. Dan mengawal diri untuk esok hari dengan tidur lebih awal. 

Sumber gambar: 

Senin, 30 Desember 2019

Resolusi Filosofi untuk Hidup Bahagia


Oleh Duddy Fachrudin

Setiap akhir tahun biasanya kita membuat resolusi atau perubahan apa yang ingin dicapai di tahun berikutnya.

Ingin berat badan ideal
Menikah
Punya bisnis
Penghasilan bertambah 2x lipat
Memiliki rumah
Hafalan Al Qur'an bertambah
Indeks Prestasi naik
Traveling ke tempat-tempat yang tertulis di bucket list

Atau bisa juga berkaitan dengan perilaku:

Berhenti merokok
Menolak uang suap/ korupsi
Memisahkan berbagai jenis sampah
Menyisihkan uang untuk ditabung
Bersedekah lebih banyak

Dan sebagainya...

Manusia selalu ingin berubah. Menentukan target, tujuan, cita-cita kemudian berusaha mencapainya untuk menjadi insan yang lebih baik, sukses, bahagia, dan penuh berkah.

Karena itu kita merumuskan resolusi, bukan?

Di awal tahun kita bersemangat untuk mencapai perubahan tersebut, namun dalam perjalanan, distraksi atau gangguan kemudian menyerbu bagaikan wabah penyakit yang mengalihkan fokus.

Di sisi lain kita tidak sabar menjalani proses dan menginginkan hasil instan. Ujungnya kita lelah. Lalu berhenti. Dan tidak jarang menggelontorkan sejuta excuse terhadap kegagalan memenuhi target.

Jika hal seperti itu yang terjadi, kita memang sebaiknya berhenti melakukan aksi dalam mencapai resolusi. Berhenti sejenak untuk menggali atau menemukan filosofi.

Kita boleh belajar pada negara Skandinavia atau Jepang yang kental dengan filosofi kehidupan masyarakatnya. Lagom, Hygge, Sisu, Lykke, Fika, Wabi-Sabi, dan Ikigai masih dipegang dan dijalani oleh masing-masing individu di sana.

Penduduk Indonesia pun kental dengan filosofi hidup. Setiap suku bangsa di negara kepulauan ini memiliki filosofi tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan lebih baik dan bahagia. Filosofi Kawruh Jiwa yang diteliti oleh sahabat saya, Abdul Kholik nyatanya menjadi kunci hidup bahagia bagi pelakunya.

Bagi para pembelajar, memegang filosofi Growth Mindset (GM) menjadi keniscayaan. Dalam mindfulness, hal itu disebut beginner's mind. Dirinya selalu ingin belajar terhadap sesuatu yang ditemuinya sehingga ia bisa terus bertumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan.

Maka sesungguhnya resolusi perlu dibarengi dengan filosofi. Resolusi tanpa filosofi ibarat sayur tanpa garam, atau masakan tanpa rempah. Hambar sekaligus ambyar.

Dan ngomong-ngomong, mindfulness bukan sekedar sikap (attitude) dan latihan (practice). Mindfulness itu filosofi. Sebelum mengembangkan sikap dan latihannya, memahami mindfulness dalam bentuk filosofi adalah kepatutan, terutama buat kita yang ingin menjalani kehidupan yang mindful.

Apa itu mindfulness sebagai filosofi? Find it.

Sumber gambar:
https://www.instagram.com/duddyfahri/

Kamis, 05 Desember 2019

Mindful Couple: Jika Engkau Ingin Menikah... (Bagian 2, Habis)


Oleh Nita Fahri Fitria

Yang kita perlukan adalah membuka diri terhadap segala perbedaan yang dihadapi, kemudian bertoleransi akan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, gak gue banget, agar mempermudah diri kita untuk menghadapi tantangan lain yang sudah pasti akan datang.

Menerima dan berdamai dengan harapan-harapan kita yang mungkin belum bisa dipenuhi oleh pasangan. Serta menerima dan berdamai dengan situasi pasca menikah yang mungkin tidak seindah bayangan. Di situlah pentingnya kesediaan untuk terus belajar.

Begitu kita membuka diri, ok suami aku begini, situasi saat ini begini dan aku terima dengan hati yang terbuka. Kita akan secara otomatis belajar beradaptasi dengan semua itu. Untuk menghadapi sifat pasangan yang begini, kita harus bagaimana atau untuk menjalani situasi begitu, harus bagaimana, dan seterusnya. 

Dan melalui proses belajar itulah kita akan menemukan cara untuk terus berjalan seimbang dan harmonis, tidak lagi sikut-sikutan, ingin jalan duluan, atau saling menyalahkan. Kalau sudah begitu, tantangan apapun yang dihadapi akan membuat hubungan kita semakin solid. 

Coba bayangkan jika dalam satu tubuh, kaki kanan memakai flat shoes sementara kaki kiri menggunakan sepatu setinggi tujuh senti, dan disuruh berjalan di atas hamparan kerikil. 

Terbayang? Itulah gambaran pasangan yang tidak bisa saling membuka dan menyeimbangkan diri. Baru beberapa langkah saja pasti sudah jatuh tersungkur. Maka, mari seimbangkan.

Tentu saja proses membuka diri agar bisa saling menyeimbangkan dengan pasangan ini tidak hadir begitu saja. Kemampuan ini perlu dibangun sejak masih sendiri. 

Untuk membangunnya kita perlu banyak memberikan kesempatan pada diri untuk menerima tantangan baru seperti bepergian ke tempat asing, bertemu dengan banyak orang, serta melakukan banyak aktivitas yang memungkinkan diri kita untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda. 

Hal-hal tersebut akan melatih diri kita untuk memiliki kemampuan adaptasi yang baik serta terbiasa untuk belajar dan menerima hal baru.

Jadi, jika engkau ingin menikah...

Bepergianlah, merantaulah, berteman dengan banyak orang, belajar hal baru, ijinkan diri sendiri untuk menerima hal yang gak gue banget. 

Sumber gambar:

Mindful Couple: Jika Engkau Ingin Menikah... (Bagian 1)


Oleh Nita Fahri Fitria

Termasuk kategori life event dalam teori perkembangan, menikah memang momen super penting bagi setiap insan. Life event adalah sebuah kejadian/ pengalaman yang menghadirkan perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Tentu saja, menikah menghadirkan begitu banyak perubahan pada diri kita, bukan?

Perubahan dalam pernikahan tidak hanya sekedar perubahan dulu tidur sendiri sekarang berdua, atau dulu ngurusin diri sendiri sekarang ngurusin suami. Tapi dalam pernikahan ada banyak sekali perubahan yang detail, rumit, dan penuh kejutan. Maka tidak heran, mereka yang melewati masa berpacaran sekian tahun saja mengatakan bahwa setelah menikah semuanya berbeda.

Setelah menikah kita akan menghadapi pasangan dengan karakter, latar belakang, sudut pandang, kebiasaan, dan segalanya bisa jadi benar-benar berbeda dengan kita. Di hadapan kita juga ada keluarga pasangan yang terdiri dari ayah dan ibu mertua, saudara ipar, keponakan, om, tante, kakek, nenek, sepupu yang masing-masingnya juga memiliki detail kepribadian yang berbeda dengan kita. Terhampar pula di hadapan, perbedaan budaya, tradisi keluarga, bahasa, cara pengelolaan keuangan, hobi, dan sederet detail lainnya. Belum lagi soal manajemen diri, waktu, dan pekerjaan pasca menikah yang tentunya juga akan mengalami perubahan.

Banyak orang kemudian merasa seperti terpenjara, tidak nyaman, ingin kembali membujang, atau sekedar melarikan diri sejenak karena tidak siap menghadapi sederet perbedaan tadi.

Bahkan ada yang berpisah dengan dalih terlalu banyak perbedaan, tidak lagi cocok, buntu, dan sebagainya di usia pernikahan yang masih seumur jagung. 

Jadi sebetulnya pernikahan itu apa sih? Kok orang-orang begitu mendambakan pernikahan, tapi kemudian merasa stress, depresi, merasa terpenjara, dan menjadi sebal setengah mati pada pasangan yang dulu dicintai, justru setelah hidup bersama dalam ikatan yang katanya membahagiakan itu?

Pernikahan adalah soal membuka diri. Dalam mindfulness, sikap membuka diri dinamakan beginners mind

Sepasang pria dan wanita yang tengah dimabuk cinta dan ingin melewatkan sisa hidup bersama, perlu untuk terus saling membuka diri untuk saling belajar, saling bertoleransi, dan saling berupaya agar bisa berjalan seimbang sebagai sepasang kaki yang menapaki jalan menuju satu tujuan. 

Sekali saja kita menutup diri dan berkata, “Aku gak mau ya, itu gak aku banget.”, maka sejatinya kita tengah membangun tirani kita sendiri. Lantas, apakah kita harus menjadi orang lain? Tidak juga...


Sumber gambar:

Minggu, 27 Oktober 2019

Mindful Jamu: Tidak Ada Penciptaan yang Sia-Sia


Oleh Duddy Fachrudin

Pahit. Kata yang dilontarkan orang-orang perihal jamu. 

Tak jarang karena kepahitannya seseorang menolak untuk meminumnya.

Namun, bagi sebagian orang lainnya, pahit hanyalah episode rasa yang terikat waktu dan pasti berlalu. Sehingga meskipun pahit, mereka tetap menikmatinya.

Jamu adalah kekayaan rempah-rempah Indonesia. Seperti jamu ini: Linugon, yang dari namanya saja langsung tercium fungsi dan khasiatnya untuk mengatasi pegal linu.

Kekayaan Linugon tercermin dari bahannya. Ada Curcuma Xanthorriza, Zingiber Zerumbet, Piper Rethrofactum, Imperata Cylindrica, Curcuma Longa, dan Cassiavera yang membentuk sonata indah serta orkestra sempurna kaya rasa, kaya akan manfaat.

Dari semua rempah tersebut, ada satu nama yang menjadi perhatian khusus, yaitu Imperata Cylindrica, alang-alang atau ilalang. 

Tanaman yang kerap dikatakan sebagai gulma (pengganggu tanaman lain) tak berdaya guna ini justru punya segudang manfaat. Rimpangnya dapat mencegah pembekuan darah. Akarnya dapat menurunkan demam.

Maka, sejatinya tidak ada sesuatu yang sia-sia dalam segala penciptaan-Nya. 

Semua yang hadir tercipta bagi manusia untuk dipikirkan dan siperhatikan saat berdiri (bergerak), duduk, maupun berbaring.

Semua ini tidak lain memiliki satu maksud dan tujuan: agar kita, manusia ini mendekat kepada-Nya.

Sumber gambar:

Rabu, 23 Oktober 2019

Menjadi Insan Berdayaguna (Bagian2, Habis)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Adanya kebijaksanaan dan kewaskitaan dalam menata dan mengelola potensi sebagai karunia yang wajib disyukuri dengan cara dioptimasi hingga dapat terimplementasi dalam bentuk manfaat yang bersifat operasional dan implementatif sesuai dengan situasi kondisional. 

Banyak kan yang barangkali memiliki kesempatan dan potensi berkekuatan dahsyat tetapi tidak teroptimasi sepenuhnya. 

Sekali lagi ini bukan penghakiman subjektif, semua bersifat relatif dan merupakan pilihan bagi yang bersangkutan. 

Beberapa pemimpin tertinggi negara kita, dan juga negara sahabat, serta tetangga malah berasal dari keluarga sederhana nan bersahaja yang memiliki keteguhan tekat untuk memberikan yang terbaik sejauh apa yang mampu untuk digapai dan dicapai. 

Inilah sesungguhnya plastisitas kapasitas yang didukung sepenuhnya oleh mekanisme neuroplastisitas. Kondisi inisial atau modal awal yang menjadi pijakan untuk melangkah sebenarnya tidak hanya terletak pada faktor-faktor yang sudah sempat sedikit kita bicarakan di atas, tapi utamanya terletak pada gen dan DNA serta mekanisme pengekspresiannya yang secara epigenetik terbuka untuk dioptimasi dan dilatih serta diajari untuk "memainkan" konfigurasi strategi yang kita inginkan dan rencanakan. 

Artinya apa? Soal potensi pada hakikatnya kita semua sama. Memang secara opportunity mungkin saja fasilitas pembantu yang kita miliki bisa berbeda-beda seperti yang tadi saya gambarkan di atas, beda garis start nya saja. 

Apakah yang start di belakang bisa menyusul? Apakah yang start di depan bisa disusul? 

Rasio probabilitasnya akan kembali pada daya upaya, doa, dan keikhlasan untuk mensyukuri dan menerima anugerah potensi hingga tidak terdistorsi dan tereduksi oleh penyesalan dan keluh kesah yang juara dalam mengonsumsi energi. 

Pandai bersyukur menjadi kata kunci, mekanisme ini bukan hanya mampu mengorkestrasi kemampuan berpikir dalam ranah foresight ability yang mampu menembus garis waktu (timeline) dgn pandangan maju prospektif dengan bekal hasil olahan/ analisis perjalanan retrospektif menambang data dari masa lalu (data mining). 

Inilah peran penting dari proses mengalami, mempelajari, dan mengembangkannya menjadi memori, pengetahuan, dan kemampuan. Konsep bersyukur dan berdoa secara aktif dengan cara mengoptimasi potensi yang telah kita terima sebagai anugerah akan maujud dalam bentuk orkestrasi sistem komunikasi dan interaksi otak yang antara lain dijembatani Dopamin, Serotonin, Oksitosin, Epinefrin, Norepinefrin, Endorfin, Asetilkolin, Glutamat, GABA, dan lain sebagainya. 

Terlibat pula bagian-bagian ini dalam proses Circular Mind dan struktur neuroanatomi yang tentu saja memiliki peran fisiologis tertentu, bahkan khusus. 

Di sinilah arti penting dari keberadaan amigdala dan hipokampus, tidak sekedar untuk mengenang, melainkan menjadikan kenangan sebagai pengalaman yang diaugmentasi menjadi pelajaran dan prosesnya menjadi pembelajaran. Di sinilah arti pentingnya keberadaan proses dan mekanisme verifikasi, validasi, dan valuasi yang antara lain melibatkan OFC, PFC, dan ACC dari kompartemen frontal otak kita. 

Dan jangan lupa pula bersyukur, kitapun dilengkapi dengan kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi serta melakukan rencana aksi menjadi aksi yang sesungguhnya. Tentu dengan motor penggerak berupa motivasi berenergi yang hadir dan lahir dari rahim rasa yang mewarnai hidup dengan suka dan menyukai, serta tentu saja sebaliknya. 

Area Broca, juga area motor imagery dan daerah eksekusi motorik beserta sub sistem pengendalinya adalah modal interaksi yang menjadikan kita makhluk sosial yang mewakili kepentingan personal dalam bentuk interaksi multi level dan multi dimensi yang membawa kita dalam diplomasi komunal. 

Dan sifat komunal sosial itulah yang mendorong lahirnya nilai dan tata kelola untuk mepreservasi nilai. Sifatnya seolah otomatis lahir dari sebuah model interaksi hingga dikenal sebagai self poetic.

Karena pada hakikatnya ada ketidaksadaran bersama di balik lapis kesadaran, bahwa manusia memiliki motif paling mendasar yang bersifat generik. Artinya hampir semua model dan bentuk interaksi itu ditujukan untuk mempertahankan kehidupan, dan ternyata eksistensi itu adalah jaminan kepastian untuk mendapatkan akses terhadap pemenuhan kebutuhan. 

Maka sebenarnya siapapun kita, dan saat ini tengah mengerjakan apapun, syukurilah apa yang tengah dijalani, ikhlaskan, lalu belajar mengamplifikasi syukur menjadi energi bagi proses tafakur. Tak hanya itu, masa lalu dan sistem memori dan super logika yang melibatkan sistem limbik-kortikal juga mengajarkan kita untuk senantiasa mengevaluasi dan sekaligus mengobservasi posisi eksistensi diri. 

Maka yang masih menzhalimi diri sendiri dan orang lain, tanpa bermaksud menghakimi, ya monggo kita lakukan self correction atau swa koreksi. Dan lakukan penyesuaian dengan tune in pada gelombang perubahan yang tepat dan dibutuhkan. Jadi untuk menjadi baik dan lebih baik tak perlu menunggu jadi menteri toh?
Sumber gambar:

Menjadi Insan Berdayaguna (Bagian 1)


Oleh Tauhid Nur Azhar

Tengah ramai orang memperbincangkan jabatan pejabat negara seperti menteri atau yang sejajar dengannya. Demikian juga orang kerap berdebat siapa orang yang paling tepat untuk menjadi nahkoda sebuah perusahaan raksasa, atau juga menjadi pemimpin di suatu daerah.

Terlepas dari itu semua saya justru ingin mengajak kita berpikir konstruktif-kontributif yang ditandai dengan kebermaknaan eksistensi yang diindikasikasikan dari kebermanfaatan bagi sesama. 

Tentu tak dapat dipungkiri, mempelajari lalu menganalisis proses seseorang untuk mendapat amanah berupa kesempatan melayani publik dan konstituennya melalui pendayagunaan kompetensi dan kapasitas kapabilitasnya juga sangat menarik. 

Mengapa? Karena tak semua orang bisa masuk line up, yang bahkan seolah menjadi representasi dari lapis terbaik yang dipilih dan dipilah dari sekitar 260 juta manusia yang menjadi warga negara. 

Luar biasa bukan? 

Apakah semata ini persoalan kemampuan Intelijensia belaka? Atau sintesis dari semua potensi kecerdasan jamak yang terintegrasi dalam kapasitas profesional yang mumpuni? 

Mana yang diperlukan? Pengambil kebijakan yang mampu melakukan pemindaian data secara superfisial meluas dan menjadi pemandu dalam menghasilkan solusi konstruktif yang dirancang secara kreatif dan inovatif. Atau barangkali mereka yang memiliki kemampuan teknikal mumpuni untuk secara spesifik dapat menjadi trouble shooter di bidangnya? Atau harus keduanya? Sejenis hibrida antara pengusaha sukses yang paham seluk beluk pengelolaan bisnis, termasuk sosiopreneur, mahfum ilmu ketatanegaraan, sekaligus luwes dalam berkomunikasi di ranah publik, serta pakar di bidang khusus yang masuk dalam domain rentang kendali yang menjadi kewenangannya? 

Untuk kriteria yang seperti ini mungkin Tony Stark boleh mendaftar. Tapi seandainya Tony adalah 1 dari sekitar 260 juta warga negara Indonesia, bagaimana dia bisa sampai di posisinya yang dapat "dikenali" atau direkognisi oleh radar sistem yang mungkin akan membawanya menjadi pilihan untuk posisi jabatan publik yang mengurusi hajat hidup orang banyak. 

Apakah tidak ada faktor lain yang terlibat? Misal dari aspek keturunan yang menempatkannya dalam posisi terpantau secara politik karena memang bagian tak terlepas dari dinasti politik tertentu misalnya. 

Dalam salah satu rujukan teori kepemimpinan, konsep ini termaktub dalam The Great Man Theory

Ambil contoh, anak muda pendiri perusahaan rintisan transportasi daring nasional yang kini statusnya decacorn, Nadiem Makarim. 

Tentu tak bijak jika kita tidak melihat latar belakangnya yang dilahirkan dari keluarga terdidik dan terpandang. Ayahandanya adalah Nono Anwar Makarim seorang ahli hukum dengan reputasi sangat baik dan tentu saja terkenal. Dengan kapasitas orangtuanya tentu Nadiem dapat memiliki akses yang baik untuk menempuh pendidikan di institusi terbaik di tempat terbaik pula, hingga tak terlalu heran jika dengan kapasitas berbasis pengetahuan dan kesempatan yang dimilikinya ia dapat menghasilkan inovasi solutif yang membantu banyak manusia. 

Dan mungkin itu juga yang mengantarkannya terpilih menjadi seorang pejabat publik. Demikian juga putra puteri Bapak Ibu Profesor, dan mungkin juga Pak Kyai dan Ibu Nyai. Pajanan mereka terhadap pengetahuan, juga lingkungan, dan jejaring pertemanan serta kekerabatan dapat diibaratkan sebagai "jackpot" yang memberikan sedikit keuntungan atau keunggulan "start". 

Tapi ya secara relatif bisa juga itu tidak berpengaruh, dan jika berpengaruh pun tidak signifikan. Karena semua predikat yang melekat dan kondisi yang memfasilitasi itu ibarat substrat yang siap diolah dengan syarat adanya kehadiran enzim pengkatalisa.

Halaman Selanjutnya >>>

Sumber gambar: